#2. Patah & Jatuh

Denting piano mengiring sunyi, menemani seorang remaja laki-laki menjamah wajah langit yang temaram bersama bulan yang meremang tanpa senyuman. Angin malam di jam satu dini hari ini bergemuruh, tirai tak cukup kuat mempertahankan eksistensinya, tersibak menyingkap sebuah kamar tidur yang dipenuhi berbagai kanvas, tiga gitar—satu putih dan dua lainnya hitam, kantong biola terbuka yang tergeletak di lantai, sebuah pianika dan beberapa harmonika.

Aroma luka tercium dari setiap denting jemarinya di atas tuts, melodi pedih itu mencekik jiwa. Bukan hanya sunyi dan sepi, patah hati rasanya telah membuat suasana malam ini bak kapal pecah. Tak hanya itu, kegilaan malam ini telah menelan semangatnya.

Kurasa lebih baik malam semakin panjang. Kuharap pagi tidak akan pernah datang.

“Bisa saja. Bisa saja, sayangnya aku yakin mama mungkin tidak akan mengalah.”

Remaja laki-laki itu mendaratkan kepalanya di atas tuts, terkulai tanpa daya. Seluruh atmanya lepas, rontok begitu dahsyat seperi dahan-dahan pohon mangga tua di depan jendelanya yang sudah mengering lalu terbawa angin.

Lampu mengerjap, laki-laki itu beranjak dari duduknya pada kursi kecil berbantalan busa. Kakinya bergerak malas, ia menyapu apa saja yang ada di jalannya. Tak peduli meski yang dilaluinya adalah sekotak cat air yang alhasil terburai ke mana-mana, menciptakan noda dengan berbagai warna tak jelas rupanya.

“Berisik, tetangga bisa komplain. Sudah jam satu!” ucap seorang wanita berpakaian daster seperempat tangan, sepanjang lutut. Rambut dan wajah kusut itu membuat si empunya kamar mendesah.

“Iya, maaf.”

“Tidur. Perjalanan Jogjakarta dan Jakarta tidak semudah mengedipkan mata. Kita pergi pakai mobil, bukan pesawat!” katanya sambil mengacak-acak rambut hitam belanga nan tebal laki-laki itu dengan lembut.

“Selamat tidur, Mama.”

Tanti Marsita—wanita itu mengangguk lembut seraya menutup pintu kamar anak bujang semata wayangnya.

******

Simfoni Hitam tak pernah lepas dari telinga Meta, sejuta kali diputar, gadis itu tetap tak mampu menggantinya. Alunan pianonya selalu membuat kaki Meta bergerak sendiri, menari meluapkan emosinya tanpa perlu bertanya. Mengawal perasaan masygul tentang papa dan perangainya yang dingin nan apatis.

Sulit disentuh. Tak mampu Meta gapai. Standarisasi prestasi yang membagongkan.

Napas gadis itu berembus padam param.

Meta merebahkan punggungnya, jam sepuluh malam. Meta masih belum mengantuk, padahal besok ia ada jadwal piket pagi. Meta memegangi pergelangan kakinya yang tampak masih memar, sudah dikompres air es dan diberi krim pereda nyeri juga, ya masih nyut-nyutan tetapi tidak sesakit tadi siang. Mungkin imbas dari terlalu lelah juga memengaruhi kakinya.

Setelah hampir delapan jam hanya rebahan di ranjang sambil menonton film, ngemil lalu sambung mendengarkan musik sembari baca novel. Kakinya terasa lebih ringan. Ini definisi istirahat sejenak sambil nyantai.

Pintu dibuka, seorang wanita berjalan membawa nampan berisi wadah dan termos kecil berwarna hijau. Tubuh lenjang berpinggang kecil itu sedikit membungkuk saat meletakkan nampan di nakas.

Duduk ia di sebelah Meta yang berbaring disangga dua bantal di tengkuknya. Nirmana Puspita—ibunda Meta, menatap sederhana anak bungsu di keluarga Neswara itu.

“Sanundera bilang kakimu terkilir?” kata Nirmana sembari meraba wajah Meta yang lembut, putih kemarahan ronnya. Meta mengangguk.

“Kenapa tidak minta Samudaya untuk dipijat? Dua kakakmu atlet, setidaknya tau cara memijat orang terkilir.”

Meta menggulirkan matanya dengan sebal, bibir merah cerinya tampak ditekuk. Meta mendesis, “Mama seperti tidak mengenal siapa kak Sanu dan kak Samu. Mereka sombong sekali sama adiknya.”

“Sanu bilang katanya tadi kamu yang nolak waktu mau dipijat,” kata Nirmana dengan tatapan mendalam.

“Kak Sanu nggak bilang gitu, kok. Dia hanya tanya kenapa jalanku pincang, terus aku jawab keseleo, terkilir gitu. Eh, jawabnya rasain, mampus kau.” Meta memirsa dengan mata berkaca-kaca.

“Kalau Samu bilang apa? Dia ajak kamu ke rumah Gibran, bukan? Ayahnya tukang totok dan akupuntur.” Nirmana berucap dengan nada sedikit tinggi.

Meta membisu. Samu benar, kali ini mama pasti akan mendesaknya. Meta berberat hati tersenyum manis. Meskipun bibirnya tak sanggup, setidaknya ia tak mau wanita di depan wajahnya ini meledakkan air matanya.

“Iya, tapi tadi sore Meta lelah sekali. Waktu kakak ajak, aku benar-benar mengantuk, sementara kakak pergi naik sepeda karena motornya dijabel papa. Aku hanya takut tidak bisa menahan kantuk, kalau jatuh dan itu lebih parah … bagaimana?”

“Begitu rupanya. Sekarang, kakimu bagaimana?” Nirmana membelai kembali wajah anak perempuan satu-satunya itu.

“Sudah membaik sejak Ayas memijatnya. Aku juga sudah minum vitamin dan obat pedera nyeri. Mengurangi aktivitas yang menggunakan kaki, pergelangan kakiku terasa lebih ringan dari sebelumnya.”

Mendengar penjabaran Meta, Nirmana sedikit lega. Ia juga mengusap-usap lembut kaki Meta untuk membuatnya tetap rileks. Menjadi seorang penari, apalagi balerina, memang rawan terkena cedera kaki. Ya, sedikit-sedikit terkilit, sedikit-sedikit mudah pegal dan keram. Itu sudah biasa, sebetulnya. Namun, kali ini sebagian besar orang mengkhawatirkan Meta, jika ia gagal di sepuluh besar kompetisi menari Narasi Prosodi, mungkin ini akan menjadi pukulan pertama baginya selepas semester lalu dinisbatkan sebagai juara satu kompetisi Lyrical Dance Mandala Sasmita.

Malam tak benar-benar berdiam diri, matahari menyambut Meta. Tubuhnya begitu terasa ringan saat air hangat membasahi setiap inci dermisnya.

“Bogel, cepetan mandinya. Aku akan pergi ke sekolah sekarang. Samu juga sudah siap!” panggil Sanu, kakak laki-laki Meta, ia yang kini kelas dua di salah satu sekolah teknik mesin—STM.

“Berhenti memanggil aku bogel, Kak Sanu.” Meta membalas dari dalam kamar mandi. “Kak Samu pasti mau menunggu aku.”

“Meta, ayo cepat. Kakak harus jaga gerbang, hari ini ada operasi atribut dan kaos kaki. Kakak tidak bisa terlambat,” timpal Samu. Kakak laki-laki pertama Meta, anak kelas tiga SMK Penerbangan.

“Iya, Kak. Sebentar lagi, Meta hanya tinggal membilas rambut,” sahut Meta dengan lembut.

Sanu menatap pada Samu, keduanya tampak mirip meski bukan kembar, bedanya Sanu punya codet di pipi bekas tragedi tawuran dua tahun lalu saat ia baru masuk kelas tiga SMP. Keduanya adalah atlet karate, sama-sama seorang pemilik sabuk hitam, sejak duduk di bangku sekolah dasar keduanya sudah jadi atlet kejurwil dan kejurnas.

Samu menoleh pada adiknya tersebut. “Nu, kamu jangan menekan Meta seperti itu, aku tidak suka, sebab aku tidak memperlakukan kamu seperti itu,” ujar Samu sambil menatap dingin.

Ludah dan jakun Sanu turun.

“Aku bisa memakai bogemku untuk menghancurkan sikap kasarmu pada Meta!”

“Iya, iya. Aku hanya bercanda.”

“Ayo, sarapan, mama mungkin akan segera mengomel saat kita terlambat menyantap roti panggangnya,” kata Samu meninggalkan kamar Meta yang begitu girlie.

Diekor Sanu, Samu bergegas ke dapur, dan benar Nirmana sudah berkacak pinggang dengan tatapan mata kesal. Wanita itu mengembuskan napasnya dengan berat agaknya dalam. Nirmana berucap, “Anak emas mama tidak boleh melewatkan sarapan! Bukankah nanti ada latihan untuk kejuaraan antarsekolah?”

Samu menatap lembut. “Ma, Samu minta sarapan nasi saja, pakai telur dadar. Soalnya kakak ada upacara dan operasi atribut. Dari prediksi cuaca, matahari hari ini terik, sebagai pengawas aku tidak bisa pingsan begitu saja,” ungkap Samu tersenyum manis.

“Sanu, mau sarapan apa?”

Lirikan mata Nirmana ditangkap Sanu mentah-mentah. Sanu berdecak, “Sereal gandum.”

“Baiklah. Meta kira-kira mau sarapan apa?” tanya Nirmana pada dua anaknya yang tengah menikmati segelas susu madu jahe.

“Aku mau sarapan roti pakai telur saja.” Meta yang baru saja tiba di dapur langsung duduk, menuangkan susu madu jahe dari termos kecil berwarna hijau ke gelasnya.

“Meta, itu mama siapkan untuk minuman kamu di sekolah, Sayang. Kan, bisa tuang yang dari ini!” Nirmana mengangkat teko kaca setinggi pusarnya.

“Meta lupa.” Gadis itu menggulirkan matanya jenuh. “Nanti aku refill termosnya.”

Bulan semakin temaram, di sudut kota lainnya, saat waktu terasa tak bergerak untuk sesaat.

Tak ada yang benar-benar mencintaimu, lebih besar daripada dirimu sendiri. Egois, begitu pikirannya melayang-layang saat mobil sudah meninggalkan pekarangan rumah di jam enam lewat lima belas menit. Setidaknya perjalanan pagi lebih baik dari perjalanan malam, walau akan terkena macet parah mungkin.

Earphone menyumbat kedua daun telinga remaja laki-laki pemilik mata temaram agak cekung dengan bulu mata lentik itu. Ia terbiasa mensimulasikan gerak otaknya dengan permainan piano yang ia ciptakan sendiri. Kakinya bergoyang-goyang ringan, jari-jari tangannya menekan-nekan udar kosong.

“Kamu gugup, ya?” Tanti mencolek lutut anaknya sambil tersenyum manis.

“Tidak, kok.”

“Baguslah.”

Tampak menyebalkan.


Hai, halo.

Publikasi 3 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top