#16. Spekta Narasi Prosodi

Gema alunan biola dari tangan Asa membawa jiwa Meta mengudara. Melangkahkan kakinya mengelana setiap titik panggung bersama para penari lainnya. Megahnya panggung SNP membuat semua orang terkagum-kagum. Namun, satu hal yang membuat Pandu tersenyum cermat, mendapati anak gadisnya tampil begitu percaya diri.

"Meta, sudah bisa membuat Papa tersenyum," ucap Sanundera menatap penuh canda.

"Iya, adikmu tampil sangat baik. Lihat awak media Negeri Kincir Angin itu, ia benar-benar mengarahkan lensa kameranya ke wajah Meta."

Samudaya mendatatkan tangannya di pundak Pandu. "Papa, jika ada yang mengatakan Meta tidak membanggakanmu hanya karena bukan pemegang sabuk hitam," Samudaya menarik napasnya sejenak, "Mereka belum melihat surat bakar mingguan, kalau setiap minggunya nama Meta selalu hadir di sana. Tidak seperti aku atau Sanu, yang hadir kalau ada kejuaraan."

Sejenak Pandu terdiam mendengarkan ucapan anak sulungnya.

"Prestasi Meta lebih banyak dari kami. Tanpa Papa sadar, orang-orang mengenal sosok Pandugo Neswara bukan karena dua anaknya seorang karateka bukan pula sebagai generasi ke sembilan yang mengelola dojo terbaik. Justru karena dari cucu dan cicit yang ada, hanya Meta satu-satunya yang memilih menjadi penari. Bahkan koreografi pembukaan kejurnas tahun lalu itu ide Meta."

"Ah, benar juga sampai masuk media Jepang!" Sanundera berseru, menyadari bahwa tahun lalu Meta merancang konsep koreografi tari kecak dengan ornamen gerakan karate-pukulan, tendangan dan putaran badan di udara.

"Iya, kita terlambat menyadari bahwa Meta telah mengubah kehidupan di dojo lebih hangat dengan tarian dan gerakan bela diri yang dikuasainya."

Di balik panggung, saat Asa menawarkan sebuah minuman pada Meta gadis itu hanya menatap judes seperti biasa. Hati kecil Meta mengakui kalau Asa telah mengubah setiap langkahnya, jauh dari ide yang dirancang bersama-sama. Namun, semua kesalahannya justru membuahkan banyak pujian, responsifnya yang luar biasa membuat Seandhi kagum pada kecerdikan Meta mengatasi masalah lupa alur cerita.

"Tidak usah sok perhatian!" ujar Meta sewot.

"Kamu masih berpikir aku akan merebut semua pujiannya, Meta? Semua orang menyukaimu."

"Tidak mau dengar!"

Tangan Asa mendarat di pusat kepala Meta. Remaja laki-laki itu menatap intens kedua manik mata Meta yang tajam, menyembulkan kilatan penuh sensi bercampur gengsi. Senyum manis Asa berangkat, ia pun berujar, "Ada aku atau tidak ada aku, Meta akan menjadi Meta. Selamat atas kerja kerasmu, kalau sekolah kita belum berhasil meraih gelar juara. Kamu sudah juara di hati semua orang!"

Meta menendang kaki Asa dengan ketus. Ia memalingkan wajahnya yang kepalang malu. Jantungnya tak berhenti berdegup cepat merasakan sesuatu yang semula asing berubah candu yang manis. "Tak perlu dekat-dekat denganku!" todongnya sambil bersidekap pongah.

"Meta!" Anak-anak perempuan menyerbu masuk ruang ganti sambil menarik tangan Meta untuk keluar dari tempat tersebut. "Media asal Singapura mau wawancara. Ayo, yang jago bahasa Inggris cuma kamu!" kata anak-anak dengan riang.

"Melly kan orang bule. Suruh dia saja ah!"

"Sudah buruan!"

Semua mendorong tubuh Meta dengan tawa ceria. Mendapati bahwa anak-anak memang sebetulnya tak mampu melepaskan atensinya dari Meta, Asa tersenyum sederhana. Cintanya mungkin tak akan pernah berlabuh sejauh angkasawan menjelajah semesta. Asa sadar, Kanto ada benarmya, Meta memperlakukan dirinya tak lebih tak kurang sebagai saingan. Kata wajar, akan selalu Asa sematkan pada sikap judes Meta hingga satu tahun ke depan rasanya.

"Kamu semesta yang sebenaranya."

*****

Menjadi satu-satunya SMA dalam sepuluh besar SNP, dan kembali menjadi role mode sekolah basis IPA-IPS untuk tetap mencatatkan nama mereka dalam berbagai kompetisi seni, tak kalah dengan SMK seni yang ada. Nama Meta menjadi bahan perbincangan, tak sedikit disebut sebagai awak media setelah dirinya kembali tampil pada klip musik Randitya featuring Arja Arespati dalam lagu bertajuk Malarindu. Selain itu, ia juga banyak mengisi talkshow bersama sederet anak-anak berprestasi, dari yang juara olimpiade matematika di Vancouver, peraih medali emas wushu di kejuaraan Beijing dan lain sebagainya.

Di depan televisi, Pandu hanya tersenyum ringkas. Ia menyadari bahwa anak perempuan yang biasa diacuhkannya itu telah membuat banyak orang bahagia, termasuk semua anak didiknya di dojo. Pandu baru menyadari bahwa Meta telah mengubah mimpinya menjadi ayah yang tegas, menjadi ayah yang lebih bijaksana. Pandu sadar, jangankan satu mimpi dengan orang tua, satu anak yang lahir tak selamanya punya presisi wajah yang sama dengan orang tuanya. Soal fisik saja bisa beda, apalagi perihal pikiran dan views mereka tentang masa depan.

Sebuah tamparan mendarat di pipi Asa, Meta menatap marah saat Asa memberinya selamat dilengkapi buket bunga dan cokelat. Meta mendorong tubuh Asa dengan sekuat tenaga.

"Bodoh! Sudah aku katakan aku tidak akan pernah menyukaimu! Dan ingat satu hal, hanya satu banding seribu penggemar bisa berlabuh dengan idolanya. Kalau tidak karena mujur, karena takdir!" bentak Meta setelah mendengarkan ajakan Asa untuk menjadi partner latihannya.

"Aku tidak menembakmu jadi kekasihku! Aku hanya bilang kalau aku ingin jadi partner latihanmu. Dengan artian, aku ingin kembali ke klub!" Asa menatap lebih pongah dari sebelumnya.

Meta hanya membelalak.

"Iya, kembali ke klub. Mari batalkan perjanjian itu! Lagi pula, kita sama-sama menang di SNP!" Wajah negosiasi Asa ditolak mentah oleh Meta.

"Tidak mau, tidak mau! Susah payah kukembalikan semua perhatian orang-orang padaku, seenak jidat kamu mau masuk klub lagi! Kalau orang-orang kembali memujamu, bisa gawat hidupku! Papa bisa tak jadi menyayangiku lagi seperti hari lalu," sungut Meta sambil menatap tidak kompromi.

"Kamu masih berpikiran bahwa aku akan merebut mimpimu, Meta? Sungguh, aku tidak pernah berpikir begitu!" Asa menilik penuh yakin.

"Aku lelah, Asa. Selama ini, aku merasa baik-baik saja karena tak ada yang benar-benar berbakat di antara anak tari dan musik. Ayas juga tidak hebat-hebat banget dalam bermain piano. Tapi saat kamu datang, yang aku takutkan malah menjadi kenyataan."

"Kenapa kamu takut dengan apa yang aku punya? Aku pianis, kamu balerina. Aku violis, kamu karateka. Aku Asa, kamu Meta. Kita beda, bakat kita beda, misi dan visi kita di ekstrakurikuler beda. Kamu datang karena ingin bersinar sebagai bintang, aku datang karena aku butuh tempat untuk membagi kisahku. Kamu pikir senang dan mudah untukku meninggalkan Jogjakarta? Aku berusaha membuat Jakarta dan Jogjakarta terasa sama. Sayangnya, aku gagal. Ketika Jogjakarta mampu menghargai mimpi kecilku menjadi musisi. Di sini, di Jakarta ini aku malah dituduh sebagai perampas mimpi orang."

Tamparan keras kembali mendarat di pipi Asa.

"Itu lah kenapa aku benci kamu. Karena diam-diam kamu punya mimpi yang terarah!"

"Setiap orang punya mimpi yang terarah. Tapi, tak semua orang punya mimpi yang sejalan dengan arahnya!"

Meta menatap gamang.

"Baik kalau kamu menolakku di klub karena takut tersaingi. Aku akan pastikan, kamu mendapatkan mimpimu!"

Asa berlalu dari Meta, sayangnya sebuah dekapan hangat menahannya. Tangis penuh rasa sakit itu membuat Asa terpukul. Ia mampu mendengarkan tangis Meta secara langsung, mengiris jiwanya menghantam warasnya. Asa meneguk ludahnya kasar.

"Meta, jangan mendekapku seperti ini." Asa mencoba membalik tubuhnya, sayang Meta tetap bersikeras mempertahankan dekapan juga tangisnya. "Meta, aku akan pergi. Akan kutepati semua janjiku, sebagai pembuktian bahwa aku tak butuh label bintang sekolah."

"Aku tidak tau cara membalasnya. Aku tak tau cara membalas perasaanmu yang lembut! Aku tidak tau caranya menjadi anak perempuan yang membanggakan kedua orang tuanya selain lewat prestasi tertulis, Asa!"

Ingatan Asa beberapa tahun silam membuatnya rapuh, ia tiba-tiba saja menitikan air mata.

"Jangan Asa, jangan gila!" bentak Tanti sambil melayangkan sebuah pukulan di kepalanya. "Mama tidak butuh ginjalmu, tidak butuh sumsum tulang belakangmu! Mama tidak butuh apa yang kamu tawarkan dengan senang hati!"

"Kenapa? Asa sayang Mama, Asa ingin Mama kembali tersenyum. Asa ingin Mama bahagia."

"Terkadang tidak semua orang membutuhkan kita untuk berjuang dan berhasil. Terkadang pula tidak semua masalah dapat diselesaikan bersama orang lain. Mama ingin Asa lebih bahagia hidup dengan dua ginjal, juga sumsum tulang belakang yang utuh, bersama segudang mimpi jadi roket terbaik mama."

Asa mengerjapkan kedua bola matanya. Remaja laki-laki itu mendaratkan tangannya di kepala Meta. "Lagi-lagi kusadari, caraku melindungi orang salah dan tak tepat. Mulai besok, aku akan menjadi fanboy garis keras Meta."

Meta menatap sendu.

"Terima kasih karena telah menyadarkan aku, bahwa mengejar mimpi itu tugas diri kita sendiri, Meta!"

TAMAT.

UDAH, YA. SEBENARNYA MIMPI META SUDAH TERCAPAI, Pandu udah mulai menyadari kalau Meta tuh sebenarnya istimewa cuma masih agak gengsi aja wkwkwkw.

Aku nggak kasih epilog, karena aku pikir prolognya cukup membuktikan bahwa akhir cerita ini bagaimana;)

Salam.

Publikasi 20 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top