#12. Spidol Hitam
“Suara apa itu?” tanya seseorang sambil celingukan.
Bokong Asa sontak terangkat saat sebuah dentum tak terlalu keras terdengar dari balik tas selempangnya yang selalu tampak kosong tersebut. Tangannya pun membuka resleting dengan santai, meski matanya tampak sedikit risau. Asa mendesis, ia memerhatikan ada bercak hitam menodai ujung jarinya.
Asa memekik kesal, matanya mengamati nyalang anak-anak yang berkumpul dengan pembicaraannya masing-masing walau sebagian justru mengarah pada sosok Asa yang terlihat kesal. “Siapa yang simpan gembungan plastik isi tinta spidol di dalam tas milikku?” teriak Asa sambil membuka lebar-lebar isi tas selempangnya yang dipenuhi tinta hitam bahkan saking banyaknya ada yang menetes ke lantai.
Seisi kelas tidak ada yang berani menjawab, pasalnya Asa mengumpat bahasa kasar dan anak-anak baru tahu akan hal itu. Sosok yang biasanya senyam-senyum manis dengan tutur kata santun itu kini seperti seorang preman.
“Ckk, buku kumpulan melodi dan lirik dari semua lagu yang kutulis menghitam semua!” bentak Asa sambil menatap marah besar. Suaranya terdengar seperti aungan singa jantan.
Andra mendekati Asa, ia membawa tas selempang itu ke tong sampah. Dimasukannya benda itu tanpa permisi. “Jangan khawatir, nanti aku bicarakan ke wali kelas, maaf aku akan simpan di sini!” kata Andra dengan senyum getir.
“Bukan perihal tasnya, tapi buku milikku! Siapa juga yang melakukan hal bodoh seperti ini?!” Asa bersungut-sungut seraya menggebrak meja hingga timbuh gaduh anak-anak silih berbisik menanyai siapa gerangan yang mengganggu Asa.
Sebagaian anak laki-laki mendekati meja Asa, mematikan bahwa mungkin masih ada sisa kertas putih di sana, sayangnya tidak ada. Seperti satu atau dua botol tinta baru saja sengaja dituang ke dalam tas selempang Asa. Adiyatma menatap wajah Asa dengan lembut. Tangannya sontak mengusap punggung Asa. Namun, Asa hanya ingin mencoba untuk bersikap sewajarnya. Ia pun tersenyum pada Adiyatma.
“Sorry!” kata Asa ringkas sambil tersenyum kecil.
Sebagai seorang ketua kelas, Andra memastikan bahwa sebelum istirahat, ia sudah mengunci pintu kelas dan tak ada satu orang pun yang tinggal. Sebelum bel masuk semua baik-baik saja, bahkan Asa sendiri yang justru telat masuk kelas, ia dan Adiyatma datang terlambat bersama dua anak lainnya.
“Perlu aku panggilkan bu guru untuk masalah ini?” tawar Andra sambil melirik lembut pada Asa yang masih ditenangkan oleh Adiyatma.
“Tidak usah. Aku akan ke koperasi beli buku baru, toh, buku materi ada di loker, jadi tidak perlu repot!” jawab Asa sebelum ia melangkahkan kakinya keluar dari kelas.
“Bodoh, kalau akhirnya bilang tidak, kenapa harus teriak-teriak dan membuat gaduh? You're so silly, bad intruder!” cicit Meta saat Asa hendak melangkahi pintu kelas.
Asa menolehkan kepala bersama setengah badannya mengarah kepada Meta. Asa menyahut, “Apa? Kamu bilang sesuatu?”
“Iya, kamu merusak mood anak-anak satu kelas!” jawab Meta kelas.
“Maaf, ya, teman-teman. Sebagai gantinya nanti pulang sekolah aku akan traktir makan es kepal cokelat. Kuharap kita bisa berdamai soal ini!” tutur Asa menatap ketus kedua iris Meta yang tajam.
“Bukumu?” lontar anak-anak dengan perasaan campur aduk, antara mengiyakan atau menolak.
“Aku lupa, baru saja ingat, aku masuk punya kopiannya di laptop,” kata Asa dengan tawa sumbang.
Pernyataannya sontak berbuah seruan bahagia dari anak-anak satu kelas, tetapi tidak dengan Meta yang menatapnya dongkol.
Hih, memalukan sekali! Meta bodoh! Kurasa Asa tau siapa yang menyimpannya di dalam situ! Meta membual dalam benaknya, gadis itu berusaha untuk tidak berekspresi beda. Setidaknya, jika Asa tahu, ia tidak akan berbicara pada siapa pun termasuk pak Kanto.
Saat suasana mulai membaik, tatkala Asa memutuskan untuk pergi ke koperasi guna membeli buku. Andra menyadari sesuatu tampak aneh di sepatu Meta. Andra mendesis pelan, katanya, “Meta tanganmu?”
“Hah?”
“Tangan juga sepatumu?”
Meta membelalak.
*****
Kaki Asa ditendang Meta sekuat tenaga saat remaja laki-laki itu hendak membantu Meta melepaskan diri dari kotoran cicak. Meta mendengkus seraya mendorong tubuh Asa menghantam pilar aula lama. “Aku tidak butuh bantuanmu!” hardik Meta dengan tatapan menerkam. Iris hitamnya yang pekat, semakin saja terlihat sempurna.
“Aku tidak membantumu, aku hanya mengarahkan cicak untuk tidak membuang hajatnya di atas rambutmu,” ucap Asa dengan santai.
“Ckk, dasar pendusta!” desis Meta benar-benar kesal.
Asa menarik tangan Meta dengan lembut, meronta Meta sehingga untuk kedua kalinya ia menendang kaki Asa sekuat tenaga. Asa menertawakan sikap Meta, berserta kegagalannya dalam mengambil sikap. Meta yang malu lekas menarik balik tangan Asa, kini malah remaja laki-laki itu yang terkesiap sampai tumbang.
“Rasakan itu dasar cowok tolol! Kuharap gigimu patah mencium lantai!” pekik Meta dengan tatapan puas. Senyumnya merebah semringah.
“Huh, menyenangkan sekali. Cewek kalem, berprestasi dan kandidat terbaik CC membawa nama sekolah bisa mengumpat juga,” sindir Asa masih menertawakan Meta.
Meta sendiri malah memalingkan wajahnya dengan tangan bersidekap di dada. Asa memirsa saksama wajah Meta yang merah, kukungan amarah gadis itu menawan hati Asa. Sepinya bergemuruh saat Meta memutuskan untuk kembali ke gedung baru sekolah, tidak lagi berpikir akan ke ruangan tempat anak-anak tari berkumpul. Asa menghela napasnya dengan lembut sambil sedikit mengusap-usap seragamnya.
“Jika alasannya kamu tidak suka, kenapa sampai sebenci ini? Tolak saja, tetapi aku tetap tidak akan menyerah.” Asa membusungkan dadanya.
“Aku hanya tidak suka seseorang membuat jarak antara aku dan Ayas!” bentak Meta sambil membalik tubuhnya menghadap kepada Asa dengan tatapan mata berang yang lagi-lagi justru membuat Asa merasa lebih kompleks.
“Ayas atau Ayas, Meta?” tanya Asa sedikit sensitif.
“Kenapa kamu harus hadir dalam hidupku yang sulit? Kenapa juga kamu harus memperkeruh apa yang aku jernihkan dengan susah payah? Kenapa pula kamu datang dan mengatakan kebodohanmu dan bersikuku menjadi laki-laki tolol selama enam bulan terakhir ini? Bahkan sampai saat ini! Sial, persetan dengan semuanya. Aku tidak mau, aku tidak mau mencintai siapa pun! Tidak penting, tidak menarik!” cecar Meta sambil berteriak histeris, tubuhnya gemetaran, sorot mayanua penuh luka sayat, guncangan batin yang begitu hebat dapat Asa rasakan.
Tangan Asa sontak mendarat di puncak kepala Meta. “Kelak, aku akan pergi dengan caraku sendiri, tapi saat ini aku ingin mengagumimu dulu.”
“Kalau begitu buktikan padaku, pergi ke Renjana Laksono. Jika lukisanmu bisa menjadi satu dari belasan kanvas yang diterimanya, aku akan menjadi orang pertama yang mengacungkan kedua ibu jariku untukmu!” ujar Meta sambil meninggalkan Asa. Namun, embusan napas Asa menawannya sejenak.
“Baiklah siapa takut, itu bukan hal yang perlu aku khawatirkan. Karena ketika kita bertakdir untuk selalu seperti ini, kalah atau menang, aku akan tetap dekat denganmu!” ucap Asa sedikit bumbu penegasan dalam senyum juga pertanyaan santainya.
Meta menatap sendu, riak kelabu dalam sorot mata hitamnya yang bening tiba-tiba membuat Asa terbanting, ada rasa dibombardir sakit. Aroma rinai di atas dahan pohon mangga menguar kuat, menyentuh hati Asa. Remaja laki-laki itu kontak tersenyum manis.
“Kenapa kamu tersenyum? Kamu selalu memikirkan hal aneh tentang aku, ya?” Meta menunjuk wajah Asa dengan telunjuknya yang lentik.
Asa mengangguk. “Memikirkan betapa beruntungnya aku bisa satu kelas dengan seorang ratu Bengawan Sasmita,” jawab remaja laki-laki itu ringkas zebekun pergi dari halaman gedung lama beranjak ke gedung baru. Asa pikir kelas saat ini lebih baik daripada harus ke tempat anak-anak musik kumpul.
Sementara Meta mendaratkan punggungnya di dinding sambil meremas serat seragamnya kuat-kuat. “Aku tidak boleh gagal! Kuharap karyanya tidak diterima Renjana Laksono! Bodoh Meta, kenapa kamu memberikan tangangan segampang membalikkan tangan bagi Asa? Asal kamu ingat, dua bulan lalu dia baru saja memenangkan penghargaan pelukis muda bertalenta dalam semarak hari sumpah pemuda!” Meta mengacak-acak wajah juga rambutnya.
Di kejauhan dua sepasang mata yang menatap sambil tersenyum kecil. “Aku tau kebencianmu mungkin akan semakin membesar. Keisenganmu pasti akan berlanjut lebih parah dari ini. Tapi, akan aku pastikan, cintaku bukan hal yang main-main!”
“Kenapa kamu ngebet ingin mendapatkan Meta, Asa?” tanya seorang remaja laki-laki yang mencoba mengatur kacamatanya agar tidak merosot dari pangkal hidungnya.
“Lalu kenapa kamu suka padanya?”
“Karena dia istimewa.”
“Kalau kamu tanya aku, jawabannya karena aku banyak kekurangan, Ayas. Meta melengkapi kekurangan itu dengan tariannya bersama Simfoni Hitam.“
“Kenapa?”
“Ada yang tak bisa lagi kugapai dengan tanganku, Yas!” jawab Asa lembut.
♬
Bab 12. Lanjut apa lanjut? Aku nggak sabar nunggu ini tamat ehehe;)
.publikasi 14 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top