#11. Metaforasa

Kenaikan kelas membawa Asa terdiam, selepas liburan cukup panjang hampir tiga minggu lebih-penampilan Meta semakin sempurna, bersama perubahan sikapnya yang begitu menarik. Semakin judes pada Asa.

Duduk berhadapan di kantin sambil menikmati semangkuk bakso, keduanya tidak banyak bicara. Jelas Meta terlihat ingin melemparkan mangkuk yang masih berasap itu pada Asa. Sayangnya, kantin hari ini cukup ramai sebab pelebaran area makan dan penambahan meja serta bangku juga wastafel.

"Aku rindu kamu, Meta," ucap Asa sambil menyuapkan sepotong tahu goreng ke mulutnya. Sayangnya, Meta tidak bereaksi.

"Aku menonton MV Randitya setiap waktu demi melihat wajahmu, karena semua sosial mediamu tertutup untukku," kata Asa dengan pandangan mata agak cekungnya. Senyum ringkas itu membuat Meta mendesis.

"Aku tidak suka sikapmu. Pergilah sebelum aku marah! Lagi pula, aku tidak suka kita duduk bersama seperti ini!" ancam Meta dengan sudut sendok mengarah pada senyum Asa.

"Silakan, kalau bisa. Aku tetap menyukaimu dan akan tetap di sini sampai kamu menyelesaikan makan siangmu."

Meta menggulirkan kedua bola matanya jemu. Ia ingin menyudahi makanannya, sayang bakso di mangkuknya masih sangat panas.

"Kenapa memangnya jika aku suka padamu? Ibarat kata, kamu itu bintangnya, aku ini penggemarnya. Kamu Semestara, aku Angkasawana. Akan karungi semuanya untuk melihat bintang dari titik terdekatnya."

Meta tak mampu mengelak, sebab apa yang Asa utarakan ada benarnya. Selain jenius dalam seni, pandai mengolah senyum manis, ternyata sosok remaja laki-laki di depannya ternyata hebat dalam mengontak-atik mood. Bahaya! batin Meta.

Desah napas panjang Meta membuat Asa tertegun. Meta punya segudang pesona ketika tengah diam. Matanya lembut, senyum dari bibirnya menenangkan hati, meski sedikit dibuat-buat. Asa mengembuskan napasnya. Bangkit dari kursi sambil membawa mangkuk baksonya yang hanya tersisa kuah dan beberapa lembar bihun juga toge.

"Selamat menghabiskan makananmu, Meta," tandas Asa dengan lembut. Kerling mata remaja laki-laki itu membuat Meta termangu sejenak sebelum akhirnya mendengkus. "Aku tidak bisa membuatmu cemberut seperti itu," goda Asa dengan senyum tipis.

"Lagian kenapa kamu menyukai aku, Asa? Apa istimewanya aku, jika hanya karena aku piawai dalam menari, anak ekskul banyak, Melly lebih cantik, Nadira juga, Khalisa lebih gemoy dari aku. Layung, bukannya kamu bilang Layung mungkin akan lebih menghargaimu?" todong Meta dengan tatapan mendesak. Alis mata kanannya yang terangkat dengan pongah itu membuat Asa tersenyum kecil.

"Sudah takdir, Meta." Asa menjawab dengan ringkas, suara hangat dengan kikik renyah yang sialnya membuat bibir Meta tiba-tiba bergetar.

"Kalau begitu, rasa risi dan tak suka aku padamu juga takdir. Harusnya kamu sadar," tegur Meta dengan lirikan mata percaya diri. Dadanya membusung congkak, dengan senyum puas.

"Itu pilihan. Kalau ke depannya kamu menyukaiku baru kusebut itu takdir jalur menelan ludah sendiri," jawab Asa lebih pongah dengan senyum seribu kali lebih puas.

Meta melotot, liurnya bergumul dalam rongga mulut hingga mendesak untuk ditelan mentah-mentah. Tangannya meremas sendok dengan kuat-kuat, sekuat ia menekan gerahamnya.

"Jika ketidaksukaanmu bertambah, kusebut itu takdir yang melenceng jauh dari harapan," imbuh Asa dengan tatapan mata licik, senyum rubahnya benar-benar membuat Meta geram.

"Sebenarnya pertanyaan aku hanya satu, secepat itukah seseorang bisa jatuh cinta? Omong kosong rasanya!" ucap Meta dengan tawa menghina.

"Jawabannya, apa saat kamu jatuh cinta pada dunia tari butuh waktu berabad-abad, Meta?"

Ludah Meta kembali terteguk dengan cepat.

*****

Meta tak mampu menghentikan seluruh responsif tubuhnya terhadap permainan musik medley lagu nusantara yang dilakoni si kembar Danang dan Lanang, Anggoro, Tarisa, Sabrina dan Gurnadi juga tim klub musik lainnya. Latihan hari ini dilakukan untuk pembukaan demo ekstrakulikuler tari dan musik yang akan digelar pada Senin mendatang selepas upacara penutupan MOS. Meta terengah-engah di sela-sela tari Jaipongan. Padahal masih ada latihan untuk tari daerah lainnya.

"Meta kamu capek?" tanya Lanang dengan wajah terkesiap.

Meta menepuk dahinya sambil tersenyum asam. Helaan napasnya bergejolak, berdiri tegak Meta sambil menatap sederhana. Gadis itu menggulirkan matanya celih ke arah pintu. "Aku pamit sebentar, aku lupa kalau hari ini bu Zulfa meminta aku menemuinya di ruang kepala sekolah, untuk persiapan cerdas cermat Matematika. Aku lupa kalau hari ini aku dan Hilmi juga Ardiansya ada belajar tambahan," ungkap Meta menyesal.

"Begitu, ya?" Anak-anak kompak menyahut.

"Baiklah, aku titip latihannya pada kalian. Ingat catatan yang aku berikan pada kalian. Nadira, evaluasi nanti kamu yang catat, laporannya kirim ke Line, ya?" Meta mengedarkan tatapan tegasnya sebagai ketua klub tari; yang dituju sontak melongo, ia tampak seperti baru saja disambar petir siang bolong. Nadira mendesah pelan.

"Pak Seandhi pun mengatakan hal itu," jawab Nadira dengan senyuman lirih.

"Tidak apa, kamu juga anak tari," ujar Meta dengan senyum kecut yang dipoles sedikit biang gula. Padahal jelas-jelas ia mendesis kesal.

Berjalan Meta meninggalkan semua teman-temannya. Sayup terdengar suara senandung penuh rintih di balik sebuah dinding biru, ruang logam-kelas cadangan. Seorang remaja laki-laki asyik menghentakkan kaki juga kepalanya secara bersamaan. Mata cekung itu tampak gelap, senyumnya tidak lagi semenyebalkan itu. Bergidik Meta dengan pandangan sebal, sadari bahwa lagi-lagi mood swing yang dialaminya disebabkan oleh remaja laki-laki yang terlihat sok asyik tersebut.

"Kenapa juga merasa kalau aku akan kalah dari Asa! Aku akan buktikan bahwa aku mampu memperjuangkan apa yang pernah aku miliki sebelum ia datang ke tempat ini!" Meta merintih pilu.

Semester satu menjadi panggung Meta, saat ia menginjakkan kakinya sebagai murid baru sekaligus sebagai juara pertama ajang Mandala Sasmita sebagai seorang Lyrical Dance, nama Meta dicari entah sebagai bintang panggung tari, ia juga dikenal sebagai murid MOS tercantik di antara semua siswi yang ada, banyak dicemcemi kakak Osis, Meta juga kerap disapa dalam setiap amanat upacara, namanya dicatut sana-sini dalam berbagai informasi mading juga koran harian terkini bilik serba-serbi seni, prestasi muda mudi dan lain sebagainya.

Namun, tatkala seorang murid baru bernama Angkasawana Wrhaspati Rugandi datang di awal semester dua, semua perhatian terpusat padanya-seakan tak pernah ada Meta yang sebelumnya selalu dipuja-sosok murid baru yang penuh pesona dalam diamnya itu mampu meningkatkan mode kepo dan mode sksd anak-anak. Senyum jelemaan rubahnya yang manis membuat banyak siswi jatuh cinta, bukan hanya perihal ia sosok yang good looking semata, ia piawai dalam bersenandika, ia jenius musik, bahkan ia juga seorang seniman dengan banyak kanvas yang sialnya sudah melanglang Buana ke Narasi Prosodi dalam festival Gugur Bunga.

Langkah Meta dengan kukungan amarah itu mampu Asa tangkap dalam nyanyiannya di ruang logam. Gadis itu baru saja melewatinya dengan sebuah umpatan yang manis. Sumpah sepinya selalu membuat Asa tersentuh.

"Dasar laki-laki tolol. Kenapa juga dia harus nyasar ke sekolah ini?" Asa menggerakkan bibirnya sambil tersenyum manis.

"Sampai kapan pun aku akan tetap mengejarmu, meski aku terus diteriaki si tolol dalam setiap sepimu!" bisik Asa tertawa renyah.

Meta sempat menoleh, ia mendapati Asa sedang menatap ke arahnya dengan senyum intens. Buru-buru kaki gadis itu melangkah bahkan sampai-sampai tak sadar bahwa ruang kepala sekolah sudah dilaluinya. Di ruang logam, Asa menerawang langit. Sore itu ia ingat saat suara tangis mengetuk pintu hatinya yang sepi.

"Aku benci papa, sampai kapan pun aku tidak bisa menemukan siapa aku sebenarnya!" Ucapan dari bibir seorang gadis di dalam temaram membuat dada Asa bergemuruh. Mellifluous, batin Asa sambil tersenyum samar.

Dering telepon membuat Asa bangkit. Sopir pribadi keluarga Rugandi sudah menunggunya di depan gerbang, seperti beberapa waktu ke belakang, sejak ibunya aktif di bidang kemanusiaan juga kesehatan, Asa seringkali ditinggal sendirian. Namun, bukan masalah besar, Asa sudah kelas dua SMA, sudah tidak perlu lagi mengekor ibunya. Seharian di sekolah sibuk dengan anak-anak yang ingin mulai belajar memoles kanvas, Asa lelah. Belum lagi Ayas meminta Asa untuk mengajarinya bermain harmonika, plus minta pinjam alat musik tiup itu dibawa pulang ke rumah. Sekarang waktunya istirahat dan membiarkan Meta menikmati waktunya sendiri.

Di sepanjang langkah, yang Asa ingat hanyalah sebuah cicit kecil dari bibir merah ceri milik seseorang. Hal itu membuat Asa tertawa kecil.

"Suatu saat kamu akan tau alasan aku menaruh hati dan jatuh cinta padamu, Meta," bisik Asa dengan semangat. "Saat aku sudah melakukannya menurut hatiku," imbuhnya dengan lebih semangat.

Bab 11. Bab 12 nyusul. Karena akhir-akhir ini sibuk, aku ga sempat nulis dan unggah cerita. Hari ini ada waktu kosong sebentar aku sempatkan update satu bab.

Publikasi 14 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top