#10. Dua Pusat Perhatian
Meta diperbincangkan saat namanya tiba-tiba melambung di berbagai majalah musik. Bagaimana tidak, ia berhasil menjadi penari untuk klip terbaru solois terkenal bernama Randitya. Meski wajahnya tidak tampak semua—hanya sebelah kanan wajahnya—Meta tetap mengguncang seluruh penjuru sekolah. Terutama para siswi yang notabene sama-sama merupakan anak tari, dan para fanboy Randitya garis keras.
Meta hanya tersenyum saat anak-anak memuji penampilannya. Bahkan views MV yang baru diunggah sekitar pukul sepuluh malam itu sudah tembus satu juta tontonan dalam waktu lima jam. Penampilan anggun tetapi strong, Meta yang berperan sebagai seorang anak broken home yang berusaha menjadi anak emas di keluarganya bertemu anak laki-laki yang sama sepertinya.
Semua memuji, tak melewatkan satu detail pun. Terutama saat adegan dimana hujan menjadi payung bagi keduanya, klip itu menjadi highlight dan masterpiece terindah yang pernah Randitya konsepkan dalam MV-nya.
“Biarkan aku mendengar suara tangismu yang lirih, di bawah hujan kota Jakarta,” Fraela menatap penuh binar, “Itu lirik paling the best!”
“Aku juga suka, apalagi di bagian, sebab seberapa rapat disembunyikan, tangismu tetap menyentuh hatiku. Senyum rapuhmu menguatkanku tuk selalu mengukir bahagiamu,” timpal Layung yang disetujui oleh Melly.
“Pemeran anak cowoknya ganteng banget, cocok sama Meta. Bikin baper, suwer! Dari sekolah mana?” tanya Irishea sambil memirsa kedua pipi Meta yang memerah pekat.
Meta menggelengkan kepalanya canggung. “Ih, apaan sih, kalian!” desis Meta tak mampu menyembunyikan perasaan salah tingkahnya yang manis. “Maleo, satu sekolah dengan kak Samudaya. Sekelas malah,” jawab Meta terlibat ragu.
“Wah, seru, dong bisa minta dicomblangin tuh, Meta!” Fraela menggoda hingga si empunya nama hanya terkikik geli.
“Tau ah, aku hanya profesional saja. Tidak ada cinta-cintaan antara kami.” Meta mengibaskan sedikit dari rambutnya yang hitam panjang.
“Kamu cantik banget tau, Meta! Benar kata Danang, pesonamu unreal!” Melly menatap dalam-dalam setiap inci wajah sahabatnya itu. Kulit putih bersih yang jika malu-malu seperti ini laksana kelopak bunga sakura, merah muda. Senyumnya dari bibir merah cerinya kecil menarik perhatian. Mata indahnya sayu, tetapi meruncing tegas, hidungnya mancung, proporsi rahangnya tirus dengan dahu lancip. Anak-anak rambut hitamnya membingkai wajah cantik Meta semakin sempurna.
“Pantas Ayas betah tinggal bersama Meta sejak anak-anak musik pindah haluan menjadi pengiring anak-anak tari,” imbuh Melly kemudian.
“Iya, Meta tuh sempurna banget. Pantas kak Samudaya sayang, so sweet banget waktu kak Samudaya jemput Meta sambil belai-belai pusat kepala Meta.” Fraela tertawa lembut.
“Iya, diam-diam kak Sanundera juga suka kirim pesan manja, jangan lupa minum, takut gepeng dehidrasi,” timpal Atisha baru saja bergabung dalam obrolan.
Meta hanya tersenyum tidak menanggapi. Rasanya malas saja kalau sudah membahas keduanya. Merusak suasana hati.
Bel berbunyi bertapatan kaki Asa mendarat di ambang pintu. Semua anak perempuan di kelas kompak berseru memanggil namanya.
“Asa! Kita nunggu kamu!” celetuk Fraela sambil mendekati remaja laki-laki itu disusul Layung, Melly dan anak lainnya.
“Nanti istirahat kita kumpul lagi, ya? Kemarin gambarnya baru sampai bikin kepala, belum dikasih pancainderanya!” rengek Chaca—teman sebangku Atisha.
Asa hanya menggulirkan mata lelah sambil menghalangi wajahnya dengan kedua tangannya. Namun, tangannya sontak ditangkap oleh Melly. Gadis blasteran itu menatap lembut. “Ya, ya! Nanti sekalian main piano bareng lagi seperti kemarin! Pak Seandhi suka permainan jarimu di atas tuts!” seru Melly membuntut Asa hingga ia duduk, tertunduk lesu dengan kepala ditutupi tas selempang yang terlihat kosong.
Melihat semua perhatian anak-anak tertuju pada Asa, Meta merasa hatinya panas. Ada selak yang membuat gadis itu akhirnya cengkat dari bangku dan meninggalkan kelas tanpa permisi. Ekor matanya mampu menangkap jika kini kepala Asa terangkat saat Adiyatma menawarkan sebuah pembicaraan.
*****
Lecutan jemari lentik dengan serat-serat otot tangannya yang cukup timbul membuat latihan yang hari ini dijadwal untuk evaluasi solo terasa penuh semangat. Mereka tak sanggup membendung kegembiraannya saat senyum Asa nyaris tak putus di sepanjang ia memainkan permainan pianonya.
“Meta, mau jadi orang pertama atau bagaimana?” tanya Seandhi seraya mengerling manis.
“Meta masih sedikit lelah. Boleh tesnya diganti jadi minggu depan? Aku rasa kakiku sakit bukan main,“ sahut Meta merintih, pandangan mata apa adanya itu membuat Seandhi alhasil mengangguk setuju.
“Nadira mau tampil lebih dulu?” lontar Seandhi pada siswi bertubuh agaknya mungil yang duduk tak jauh dari Melly. Anak kelas IPS Dua itu bangun langsung berdiri di tengah-tengah ruangan.
“Asa, Ayas, mainkan musiknya!”
Hati Meta bergetar, gemuruhnya melesak ke bilik paru-paru juga ke tenggorokannya. Rasa terbakar menjalar ke hidung juga matanya, merah bercampur lelehan cairan asin dari kedua manik hitam Meta menghantam permukaan punggung tangannya.
Nadira meletakkan tangannya di kedua kelopak mata beberapa saat. Tangannya terlihat seakan menggerakan kuas di atas kanvas, melukis bersama udara hampa. Gerakannya yang lembut, seirama alunan piano dari tangan Asa membuat semua orang terkesima, tak terkecuali Meta. Gerakan atraktifnya saat menyatakan kalimat, adakah aku di hatimu benar-benar membuat Meta kesal.
Bagus, indah, beautiful! Sialan! Asa menyebalkan! Dia berhasil membuat aku selalu terpaku! Bukan tentang Nadira yang tidak sebiasanya mencolok, tetapi kenapa justru permaian jemarinya Asa yang membuat Nadira tenggelam dalam melodinya! Sial, sial, sial, Asa menyebalkan!
Kepalan tangan Meta membulat sempurna, bangkit ia dari tempatnya duduk. “Aku akan ke kamar mandi,” ucap Meta lirih sambil berlalu.
Pandangan mata Asa samar-samar bergerak mengikuti langkah Meta keluar dari ruangan dengan kepala tertunduk, serta tangan yang mengepal erat. Kedua sudut bibir Asa melengkung tinggi saat Nadira menyudahi tariannya padahal musik masih bersenandung.
“Kenapa?” tanya anak-anak kompak.
Nadira menggigit bibirnya sambil tertawa malu, menutupi seluruh wajah dengan telapak tangan. “Aku tidak seperti kalian yang punya banyak ide untuk mengisi setiap musik yang aku dengar. Aku buta nada, bingung” ujar Nadira yang disetujui oleh beberapa orang termasuk Seandhi.
“Ayo, coba lagi, Na,” bujuk Seandhi dengan manis. Namun, Nadira sontak menggeleng pelan.
“Aku menyerah.”
“Baiklah, bapak akan evaluasi langsung. Sudah bagus, alangkah baiknya kamu mengeluarkan apa yang kamu punya. Jika teman-teman bisa menonjol, kamu pun bisa.”
“Ah, satu lagi, ke depannya perhatikan ketukannya dengan langkah kakimu.” Seandhi bertepuk tangan.
Acara evaluasi penampilan perorang itu pun berlanjut hingga pukul lima sore.
Meta diam-diam mengamati bagaimana Asa memainkan piano lagi setelah orang-orang pulang. Asa yang sadar Meta memandangnya dari jendela yang setengah bagiannya terbuka sontak terkekeh pelan.
“Masuk saja, jika ingin menari, maka menarilah!” ujar Asa dengan ringkas. Tangannya yang tanpa lelah berdansa di atas tuts sejanak terdiam dan berpangku di paha kurusnya.
Pandangan mata Meta berubah kacau, penuh gores berdarah. Asa yang sadar tatapan apa itu sontak melengos dari tempatnya duduk. Asa menatap dalam wajah Meta. “Aku tidak berniat jahat padamu. Jika mau, kamu bisa menggenggam tanganku,” tawar Asa penuh kasih.
“Aku tidak butuh perhatianmu. Aku tidak butuh apa yang dunia tawarkan padaku. Aku juga tidak akan pernah butuh tanganmu,” ucap Meta dengan tegas.
“Kenapa? Kamu menolak cintaku? Hanya karena aku anak baru? Atau karena aku lebih hebat darimu? Sang jenius seni?”
Pertanyaan sekaligus pernyataan Asa itu berbuah dua tamparan dari Meta. Namun, Asa tidak bersikap, ia hanya tersenyum manis pada Meta yang jelas-jelas memandang sikap perang.
“Marahlah, aku tidak keberatan,” bisik Asa dengan tangan masuk ke saku celananya.
Tamparan keras kembali mendarat di wajah Asa. Remaja laki-laki itu lekas menegakkan kembali wajahnya menghadap ke arah Meta.
“Ingat, kita masih akan satu kelas untuk dua tahun ke depan. Kuharap semoga setelah ini kamu tidak malu untuk berpapasan denganku!” tandas Asa sambil berlalu melirik wajah Meta dari sela-sela rambut panjangnya lagi.
“Dan ingat, aku tidak akan pernah berhenti jadi Meta meski kini orang-orang terus memanggil namamu, Asa!”
“Kenapa kamu berubah begini? Dulu baik-baik saja kurasa?” tanya Asa sambil menoleh dengan pandangan rendah.
“Kuharap kamu pergi dari klub! Atau pergi dari sekolah jauh lebih baik. Kembali ke SMK sana!”
Asa tersenyum.
“Kurasa aku paham maksudmu, Meta.”
Meta mendengkus kasar. Gadis itu berucap, “Nikmati semuanya, kamu akan kalah dengan cara yang kupastikan fantastis.”
“Benci aku semaumu, kalahkan aku sesuka hatimu. Tapi ingat, aku tidak pernah berniat mengalahkanmu. Aku hanya akan memenangkan hatimu, bukan yang lain!” ucap Asa dengan lembut.
♬
Bab 10. Nangis kejer karena ini novelet, novela sih harusnya, ya. Cuma aku bukan lebih pendek lagi, hanya akan sekian bab dengan jumlah kata sekian.
Aku nggak tau, ini sudah hampir klimaks atau belum. Apakah taktikal perpindahan emosi dan rasa marahnya Meta kecepatan atau justru molor. Aku nggak pernah punya outline, bikin sinopsis di awal untuk cerita ini sampai 10 kali ganti wkakak karena aku bisanya nulis beresin dulu, baru nulis sinopsis utuh, sampai detail banget wakakaka.
Segitu aja deh, komen, ya buat amunisi apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Honestly, aku amat sangat berharap ada yang mau kasih banyak masukan dan motivasi untuk aku kali ini. Owaaa nangis kejer.
Publikasi 11 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top