Fanfic: Taiga dan "Leluconnya"

Oleh Serenade33  

Disclaimer: MESS milik rizkywahyufir

Rate: T semi M (nyari aman)

Genre: Romance – Yaoi

WARNING!

· Mengandung unsur BL (Boys Love)/ Yaoi/ Shounen Ai/ BoyxBoy/ Gay atau apapun namanya, jadi yang merasa HOMOPHOBIC, mending menjauh atau saya gigit!

· Semi Canon

· Pair/ OTP: Taiga x Makka

· DON'T LIKE? DON'T READ!

· A/N : Ini adalah fanfiction hasil request pemilik MESS-nya sendiri. Jadi, tidak ada niatan dari saya untuk menistakan tokoh di dalamnya. Genre yaoi juga atas persetujuan author rizkywahyufir dan tidak pernah saya paksa untuk mengizinkan saya membuatnya, malah sebaliknya, dia yang dengan 'binal'nya membujuk saya untuk membuatkan FF Yaoi ini :v

Blurb:

Ini adalah investasi yang Taiga lakukan dengan bermodalkan nyawa dan kepercayaan. Makka akan menjadi raja yang akan memperbaiki dunia yang sudah membusuk ini dan Taiga akan memahatkan singgasana termegah untuknya kelak. Tetapi siapa sangka, jika lambat laun, Makka tidak hanya akan menjadi raja dunia yang baru, tetapi juga merajai sesuatu yang tidak pernah terjamah sebelumnya. Hal ini seperti sebuah lelucon bagi Taiga, yang hanya bisa menggelitiknya sendiri.

Serenade33

.

.

.

Taiga tidak pernah membayangkan akan berakhir menghadiri sebuah pelelangan manusia. Dia bukan orang yang suka membeli budak, bahkan membenci perdagangan yang menginjak-injak hak asasi manusia—yang zaman dahulu menjadi sesuatu yang selalu diperjuangkan oleh umat manusia. Awalnya ia hanya ingin melihat sebentar, berpikir jika ada kesempatan, maka akan mencoba mengacau di sana. Namun, alih-alih mengacau, Taiga malah berakhir dengan mengeluarkan 105.000 USD dalam semalam, untuk mendapatkan seorang pemuda delapan belas tahun bermata biru yang menjadi primadona malam itu.

Lelaki bertubuh tinggi dengan rambut coklat keemasan itu membeli Makka bukan karena menginginkannya menjadi miliknya, tetapi ia tahu siapa sebenarnya pemuda itu, dia adalah orang yang kelak akan menjadi raja dan menciptakan harapan baru pada dunia yang sudah sekarat. Anggap saja ia sedang berinvestasi untuk masa depan. Tetapi sayangnya, untuk mencapai semua tujuan itu, Taiga harus menjinakkannya terlebih dahulu.

Makka, terlalu liar untuk diajak bekerja sama. Jangankan untuk bekerja sama, di pertemuan pertama mereka saja, Taiga harus mengeluarkan banyak tenaga untuk melumpuhkannya dan membawanya pergi mengarungi lautan bersama kapal tua kesayangannya.

Setelah mengobatinya, Taiga mengistirahatkan tubuhnya seraya bersenandung, menikmati angin malam yang membelai wajah putihnya. Tidak lama berselang, pemuda bermata biru itu sudah terbangun dan menatap tajam ke arahnya. Persis seperti anjing yang tengah terpojok, Makka mundur dan memasang kuda-kuda—waspada.

"Siapa kau?" bentak Makka.

Taiga ikut berdiri dan mendekat, seakan tidak terpengaruh oleh delikan berbahaya dari pemuda di depannya. "Tenangkan dirimu, kau masih terluka!"

"Katakan saja, siapa kau dan ke mana kau akan membawaku?"

"Aku Taiga, berasal dari A-Capital, dan aku adalah MESS. Aku akan membawamu ke singgasana!"

Jawaban Taiga membuat Makka terkejut, ini pertama kalinya ia bertemu MESS lain selain dirinya. Tetapi hal itu belum dapat meluluhkannya, ia sudah berjanji untuk tidak akan semudah itu percaya kepada orang lain. Di dunia yang sudah kacau ini, jika kau lengah, kau akan mati. Jika kau salah menempatkan kepercayaan, kau akan dikhianati. Itulah aturannya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Makka setelah terdiam beberapa saat.

"Bisakah kita duduk dan membicarakannya baik-baik?" usul Taiga.

Makka menggeleng, "Katakan saja, apa maumu dariku?"

"Dengar, kau masih terluka, jadi bersikaplah seperti anak baik dan duduklah!" Taiga mulai kesal, Makka terlalu keras kepala. "Ingat, kau itu milikku, aku sudah membelimu dengan harga yang sangat mahal, jadi menurutlah padaku!"

"Menjijikkan!" decih Makka.

Sebelah alis Taiga terangkat dan ia mengambil langkah lebar untuk semakin memojokkan Makka dan meraih rahang pemuda yang lebih pendek darinya itu. "Dengar, Makka! Apakah kau mau mengubah dunia ini menjadi lebih layak?"

"D-dari mana kau tahu namaku?"

"Mau atau tidak?" Iris hijau Taiga berkilat tajam. Membuat nyali Makka sedikit menciut, ia sadar bahwa keadaannya saat ini tidak akan mampu melawan laki-laki di hadapannya itu.

"Tentu saja aku mau!" jawab Makka dengan penuh tekad. Mencoba menatap balik, manik hijau di hadapannya.

"Bagus!" Taiga tersenyum—menampilkan baris giginya yang putih, lalu melepas rahang Makka, walau tidak memberi jarak lebih, membiarkan tubuh Makka masih terapit di antara dirinya dan dinding kapal. "Aku akan membantumu mewujudkannya, maka dari itu, jadilah rajaku. Raja dunia yang baru!"

Mau tidak mau, Makka tertegun. Laki-laki yang baru saja ia temui itu berkata akan menjadikannya raja, entah bercanda atau tidak, tetapi rasa haru mulai meluap naik, hingga membuat wajahnya memerah menahan mata yang hampir berlinang. Ini juga pertama kalinya ada orang yang berkata akan membantunya mewujudkan keinginannya. Apakah sekarang Makka berani bertaruh untuk menaruh kepercayaan pada Taiga?

Melihat Makka yang sudah berkaca-kaca dengan wajah merah, membuat Taiga tersentak dan segera mengambil jarak. Ia berdehem dan memalingkan pandangannya ke samping—menatap asal ke lautan lepas. Baginya, pemandangan Makka barusan adalah hal yang teramat manis hingga, membuatnya takut pada pikirannya sendiri. Ini aneh.

"Kenapa ... kau ingin membantuku?" tanya Makka, memecah keheningan yang tiba-tiba.

"Karena aku tahu siapa kau. Kau adalah putra Naru. Satu-satunya kandidat paling cocok untuk menjadi seorang raja."

"Tapi aku tidak sehebat itu. Bahkan aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika bapak dibunuh di depan mataku," lirih Makka. Kali ini ia memilih duduk dengan sebuah ringisan ketika tidak sengaja menekan perutnya.

Taiga yang menyadarinya, segera mendekat dan hendak membantunya tetapi dicegah oleh Makka. Kali ini, mereka duduk berhadapan. Menikmati angin malam yang semakin larut.

"Aku percaya kau pasti bisa. Makanya, percayakan juga dirimu padaku. Aku akan merawat milikku dengan sangat baik!" Taiga tergelak karena kata-katanya sendiri.

"Berhenti mengatakan kalau aku adalah milikmu. Itu menjijikkan!" keluh Makka.

"Tapi kau memang milikku, aku membelimu 105.000 USD. Bayangkan! Itu adalah jumlah semua tabunganku!"

"Jadi, setelah berkata akan menjadikanku raja, sekarang kau mulai perhitungan?!"

"Aku bercanda!" Taiga kembali tergelak.

Awalnya, Makka pikir Taiga adalah orang yang kasar dan dingin, tapi ternyata dia sangat mudah tertawa bahkan oleh leluconnya sendiri—yang sama sekali tidak lucu. Tapi setidaknya Makka tahu kalau lelaki itu bukan orang jahat—untuk saat ini.

**

Setelah pertemuan penuh paksaan di Midas, Taiga dan Makka memulai perjalan mereka, mengarungi lautan, mengelilingi berbagai tempat di dunia baru yang letak geografisnya sudah berubah drastis dari yang dulu tergambar di peta dunia. Dengan kemampuan navigasi Taiga dan bantuan dari kekuatan air Makka, perjalanan mereka menjadi semakin cepat dan mudah.

Berbagai tempat mereka lalui, tentu dengan bermacam bahayanya juga. Tetapi seperti yang Taiga pikirkan sedari awal, Makka memang memiliki potensi yang besar untuk menjadi seorang penguasa. Ini bukan tentang takdir dan ramalan, ini tentang bagaimana beberapa bulan ini Taiga mengamati pemuda yang lebih muda darinya itu. Makka memiliki kemampuan dan tekad, serta hati yang murni. Walau, terkadang dia masih bersikap egois layaknya remaja yang baru beranjak dewasa.

Tetapi, ada hal lain yang tiba-tiba mempengaruhi pikiran Taiga. Kebersamaannya selama ini, menciptakan perasaan lain di hatinya. Entah mengapa, memperhatikan Makka menjadi sesuatu yang sangat ia senangi. Apalagi, setelah kejadian di Efrat, ketika pemuda bermata biru itu berusaha keras menenangkannya dari gangguan suara biadab yang merusak pikirannya.

Semakin banyaknya perjalanan yang mereka lalui bersama, semakin berharga pemuda itu di mata Taiga. Seolah Makka telah mendapat singgasana lain di hatinya. Terkadang hal itu membuatnya ingin membawa Makka kabur dari segala mara bahaya—mengikatnya di tempat yang aman dan menciptakan dunia yang damai hanya berdua. Tetapi Taiga paham, bahwa semua itu hanya keegoisan yang tidak akan pernah terwujud, sebab apa yang dimulai, tidak boleh ditinggalkan begitu saja.

Taiga pikir, biarlah ia simpan rapat sebuah perasaan yang membuncah. Hal terpenting yang harus ia lakukan adalah memastikan Makka tetap hidup dan duduk di singgasana yang kelak akan ia bantu memahatnya. Itulah hal yang menguatkan perasaannya hingga, ketika mereka bertemu dengan wanita Asia yang membuat perdamaiannya dengan hatinya menjadi kacau.

Iky, Mess waktu—putri Asar. Dia hadir di antara mereka dan dengan sekejap mata membuat Makka menyatakan cinta padanya. Terkadang Taiga meragu, jangan-jangan dia bukan MESS waktu, tapi seorang penyihir yang telah memberikan ramuan pemikat pada pemuda kesayangannya. Tetapi pikiran itu hanya menjadi lelucon lain—yang masih tidak lucu—yang bisa ia lontarkan. Pada kenyataannya, Makka memang pemuda yang terlalu polos hingga, mudah sekali terbawa suasana hanya atas dasar ramalan masa depan.

Ah, tidak. Taiga mulai berpikiran jahat. Gadis itu tidak salah. Dirinyalah yang salah dalam menambatkan hati.

Hanya sebentar rasanya Taiga memejamkan mata, tetapi ketika terbangun, Makka telah menjadi milik orang lain. Tetapi ia tidak bisa protes ketika Iky mengambil kepunyaannya, karena ketika Makka telah menjadi raja, ia memang harus melepas lelaki itu untuk dimiliki oleh orang lain. Sebab Taiga, tidak mau mengekang kesayangannya hanya untuk memuaskan perasaannya.

Semua ini, hanya tentang waktu. Lepaskan sekarang atau nanti.

**

Setelah berpisah beberapa hari dengan Makka, akhirnya mereka kembali bertemu di teluk Timur. Taiga menunggunya dengan harap cemas, berdoa semoga pemuda itu pulang tanpa luka sedikit pun. Ah, tidak. Makka boleh terluka asalkan dia benar-benar kembali. Taiga akan ikut mati jika terjadi sesuatu pada kesayangannya itu. Iky bilang, Makka akan baik-baik saja, tapi Taiga tidak akan percaya begitu saja pada wanita yang menjadikan ramalan sebagai cara untuk membuat Makka menyatakan cinta padanya.

Tetapi ketika pemuda manis itu datang dengan senyum sumringah, Taiga tidak bisa untuk menyembunyikan perasaannya yang membuncah. Ia berlari menyambutnya dan memeluknya dengan begitu erat, seraya berdoa agar waktu berhenti aja. Sehingga, semua kebahagiaan yang ia rasakan menjadi se-abadi perasaannya terhadap Makka.

Taiga menarik Makka menuju kapal pesiar kecil yang telah ia sediakan. Kali ini mereka akan kembali berlayar berdua. Hanya ada dia dan Makka, menuju sebuah tempat di mana ibu berada. Baginya, Ini seperti perjalanan menuju rumah mertua—sekali lagi ini lelucon yang tidak lucu. Tapi Taiga akan selalu tergelak jika memikirkannya.

Sepanjang perjalanan ke Cycle Stream, Taiga tidak bisa berhenti tersenyum dan menatap Makka, apalagi ketika pemuda bermata biru itu juga membalas tatapannya dengan wajah yang begitu damai. Dalam keheningan malam, Taiga mendekat dan berlutut tepat di hadapan Makka yang duduk menyandar di kapal pesiar putih yang kini berlayar dengan tenang.

"Lihatlah, wajahmu sudah tidak terawat!" ujar Taiga seraya mengeluarkan pencukur kumis dari dalam sakunya.

"Namanya juga pulang berperang," kekeh Makka.

Taiga meraih rahangnya dan memulai mencukur brewokan Makka yang berantakan dalam keheningan. Makka membiarkannya, ini memang sudah kesepakatan mereka sejak awal, kalau dia akan membiarkan Taiga merawatnya. Sebab ia adalah anjingnya, anjing yang akan ia jadikan seorang raja yang akan menghancurkan kedurhakaan manusia pada alam semesta.

"Selesai!" ucap Taiga. Ia tersenyum puas. "Sekarang kau terlihat semakin manis!"

Taiga segera mengatupkan mulutnya, sepertinya ia mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya. Terbukti dengan pukulan kecil dari Makka yang bersarang telak di perut berototnya.

"Jangan mengataiku manis!"

Tapi bukannya meminta maaf, Taiga mendekat dan meraih rahang Makka. Kali ini, mereka bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Lalu, ia berkata dengan pelan dan lembut, "Kau memang manis. Ini bukan cemoohan, tapi pujian!"

"T-taiga-" Perkataan Makka langsung terpotong tatkala Taiga mendaratkan bibirnya ke bibir Makka tanpa aba-aba.

Pemuda bermanik biru itu terbeliak. Taiga menciumnya—tepat di bibir. Ia tidak ahu harus melakukan apa, ini pertama kalinya Makka berada di situasi itu. Otaknya seolah berhenti bekerja. Membuatnya membiarkan Taiga menempelkan bibirnya dengan cukup lama. Hingga, tangan putih pemuda di hadapannya itu bergerak untuk membelai tengkuknya, Makka merinding dan tersadar. Ia mendorong Taiga sehingga ciumannya terlepas.

"A-apa yang kau ... kau gila?" Makka menutup mulutnya dengan punggung tangan. Wajahnya sudah memerah karena malu. Ia ingin marah, tetapi perasaan aneh yang membuat jantungnya bergemuruh cepat membuatnya tidak bisa melakukan apapun selain diam dengan tubuh memanas.

"Makka!" Taiga kembali mendekat. Ia menjauhkan tangan Makka yang menutupi sebagian wajahnya. Taiga suka ekspresi Makka kali ini, sangat manis. Sesuatu yang baru pertama kali ia lihat dari calon rajanya itu. Setelah beberapa detik, ia kembali berkata dengan mantap, "Aku mencintaimu."

Makka terbeliak. Ia mendorong Taiga, berharap diberi jarak yang lebih, lalu berkata dengan memalingkan tatapan ke samping, "I-ini leluconmu yang paling buruk dari yang terburuk!"

Taiga tersenyum dan terkekeh. "Aku tidak bercanda. Aku serius. Mungkin setelah ini kau akan jijik dan menjauh dariku, tapi ... aku tidak bisa menahannya lebih lama. Kuharap, setelah menyampaikan perasaanku padamu, aku bisa belajar untuk ikhlas dan menguburnya dalam."

Makka harusnya marah. Seharusnya ia menonjok lelaki bermanik hijau itu agar sadar dengan ucupannya yang aneh itu, tetapi sayangnya malah Makka yang merasa dirinya yang aneh. Jantungnya berdegup semakin kencang. Matanya tidak bisa berfokus, ia gelagapan, dan Taiga yang menyadarinya, sekali lagi menariknya dalam sebuah rengkuhan dan menciumnya. Kali ini, ciuman yang lebih menuntut.

Pemuda yang lebih kecil darinya itu mencoba mendorongnya, tetapi Taiga menahannya dan membuka belahan bibir Makka dengan ibu jarinya, lalu menelusupkan lidahnya ke dalam, sana. Makka kembali terbeliak, tetapi kemudian menutup mata—pasrah. Taiga semakin mengapitnya di antara tubuhnya dan dinding kapal. Tangannya merengkuh tengkuk Makka untuk memperdalam ciuman dan tangan yang satu lagi mulai membelai punggung Makka, membuat pemuda itu merinding dan tanpa sengaja melenguh di sela ciuman mereka.

Taiga sontak melepas sejenak bibirnya untuk sekedar melihat ekspresi Makka yang kini sudah sangat merah dan terengah dengan bibir basah.

"Ah, sial!" Taiga segera berdiri membuat jarak yang cukup jauh. Ia kelepasan, Makka yang pasrah membuatnya jadi tidak tahu diri. Jika tidak dihentikan sekarang, ia bisa saja menjadi bajingan yang akan dibenci Makka seumur hidup. "M-maafkan aku!"

Taiga segera masuk ke dalam kapal, meninggalkan Makka yang terdiam dengan perasaan tidak karuan.

**

Setelah kejadian malam itu, tidak ada di antara mereka yang mau memulai pembicaraan, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga, akhirnya sampai di Cycle Stream dan Makka, bertemu dengan ibunya untuk pertama kalinya. Taiga dapat merasakan kebahagiaan itu dari kejauhan, membuatnya tidak dapat menahan senyum haru dari atas kapal. Kebahagiaan Makka, kebahagiaannya juga. Hal selanjutnya yang ia sadari.

Ibu Makka adalah putri duyung yang sangat cantik, membuat Taiga mulai mengerti dari mana wajah rupawan itu diwarisi oleh lelaki kesayangannya. Taiga ikut berlonjak senang melihat kehadiran putri duyung itu, selain membuat Makka bahagia, kehadirannya juga menghancurkan kecanggungan di antara mereka.

Usai reuni yang membahagiakan sekaligus haru, mereka berlabuh di A-Capital. Perperangan yang sebenarnya akan dimulai di sana. Setelah turun dari kapal, Makka memanggilnya. Taiga berbalik dengan senyum yang masih melekat pada bibirnya.

"Tentang pernyataanmu malam itu ...," ujar Makka, agak ragu.

Taiga mendekat dan menaruh telunjuknya di depan bibir Makka. "Tidak perlu menjawabnya. Ada hal yang lebih penting dan berfokuslah pada hal itu. Selamatkan dunia yang sudah diujung tanduk ini, Makka!"

Makka menarik napas dalam dan tersenyum. "Baiklah. Kita selamatkan dunia ini bersama!"

"Tentu, Rajaku."

Taiga tersenyum, mempersilahkan Makka berjalan di depannya. Tatapannya perlahan sendu. Dia memang tidak butuh jawaban Makka, tapi bukan karena hal itu tidak penting, tetapi ini adalah caranya untuk berhenti menyakiti perasaannya sendiri. Setidaknya, Taiga tahu bahwa Makka tidak mungkin membalas perasaannya. Pemuda itu sudah memiliki orang lain untuk menjalani masa depannya. Seorang Hawa yang memang ditakdirkan untuk sang Adam.

Bicara tentang Hawa, Taiga jadi kepikiran. Apakah Iky sudah tahu tentang ciumannya dengan Makka malam itu? Kira-kira apakah ia akan dicap sebagai selingkuhan atau lebih parahnya tukang tikung, ketika mereka bertemu nanti? Ah, lagi-lagi Taiga tertawa dengan leluconnya sendiri—lelucon yang tidak akan pernah lucu.

Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top