5.3 Quartz: orphans
LANGIT berkabut mulai meneruskan rona kuning sinar mentari. Hamburan cahaya mulai menyelimuti kekacauan yang ada di daratan berbatu. Makka dan Inoe berdiri menentang seorang gadis kecil.
"Inoe, aku mulai," kata Makka sedikit berbisik. MESS air ini memegangi belenggu yang ada di leher. Seperti sebuah aba-aba, lepasnya belenggu itu akan memulai pergerakan.
Makka melelehkan belenggu yang menempel di lehernya dan leher Inoe. Air sontak tumbuh dari dalam tanah, melelehkan tanah keras menjadi lumpur.
"Inoe, lari!" seru Makka memulai perlawanan.
Dia langsung melesat kencang. Lariannya lebih cepat daripada Inoe. Jangan tanyakan kemampuan fisik Makka. Dia tak ada bedanya dengan seorang tentara.
Belenggu tanah bermunculan kembali dari bawah. Kali ini lebih banyak. Lebih agresif. Gadis kecil itu tidak menginginkan Makka dan Inoe mendekatinya.
Kurang ajar! Makka berseru dalam batin penuh kesal. Dia tak ingin lajunya terhambat disebabkan setumpuk belenggu rongsokan. Terus mencuat dari tanah, kemunculannya tak ada habis. Sudah cukup!
Makka mulai berhenti bermain manis. Gadis kecil yang menjadi dalang ini tak sepantasnya dikasihani. Dia harus dihukum akibat perbuatannya. Makka sampai tak segan untuk menggunakan kekuatan.
"Ombak-ombak yang terus menghantam daratan, teruslah berdebur dan tutupi tanah berbatu ini!"
Ombak laut yang mulanya berdebur perlahan, kini melaju kencang ke daratan. Bagai ombak di pantai yang mendorong semua orang, batas laut seakan bergeser hingga seluruh daratan tertutup.
Banjir rob menyelimuti pantai.
Saat air laut mulai meninggi, Makka melompat. MESS air itu hendak menghindari basahnya air laut. Dia akan melakukan sesuatu.
"Beku!"
Permukaan air setinggi mata kaki sekejap membeku. Bermula dari bawah telapak kaki Makka, menjalar ke seluruh muka air. Dingin. Kabut yang menyelimuti mereka semakin tebal sebab embun dari es. Permainan semakin memanas.
Belenggu tanah yang mencuat tak lagi mengganggu mereka. Lapisan es adalah milik Makka. Tanpa ragu, dia melanjutkan lari.
Sementara di balik kabut, suara gemuruh yang bergolak menggelegar kencang. Bersama dengan kepulan debu yang membumbung, suara bising itu terdengar sangat jelas, seperti bebatuan yang runtuh.
Inoe sedang melakukan sesuatu di belakang sana.
Para raksasa-indah roboh satu per satu. Mereka jatuh kehilangan keseimbangan. Inoe menghancurkan satu per satu tumpuan para gunung berjalan itu.
Dasar anak kecil! Membuat raksasa yang indah hanya akan melemahkan pijakannya. Inoe bergumam dalam batin. Laki-laki berambut pirang itu kini tersenyum percaya diri. Gadis kecil yang mengendalikan para raksasa-indah ini jelas tidak bisa melihatnya. Berterima kasihlah kepada kabut tebal. Seorang MESS gaib akan mengamuk.
Inoe tiba-tiba dilindungi oleh sesuatu yang tak terlihat. Serangan raksasa-indah itu ditepis amat mudah. Seperti sebuah tangan monster tak terlihat, MESS gaib ini memiliki makhluk-raksasa-tak-kasatmata yang menjaga.
Hancurkan! seru Inoe, yang mengarahkan lengan kiri ke raksasa-indah lain yang ada di depan. Senyum percaya diri masih ia miliki. Tanpa melakukan upaya yang berat, laki-laki berambut pirang ini dapat menangani para raksasa-indah.
Sesuatu yang tak terlihat mendorong kuat kaki kiri raksasa-indah yang berbentuk seperti Dewi Athena. Sampai menjadikannya bergelimpangan tak karuan, raksasa-indah itu kembali menjadi seonggok gunung yang membatu. Inoe menghabisi satu per satu raksasa. MESS gaib ini orang yang andal.
Makka dan Inoe sudah menguasai permainan.
Gadis kecil itu bergetar ketakutan. Di atas pundak seorang raksasa, dirinya tak kuasa menahan panik. Keadaan tidak sesuai dengan perkiraan. Dia tak menyangka kedua laki-laki yang ia jebak adalah MESS. Bahkan, mereka petarung yang hebat. "Apa-apaan kedua laki-laki itu!"
Dengan mata coklatnya, gadis itu melihat kekalahan. Dirinya dalam bahaya.
Pemuda di hadapannya semakin mendekat. Tiga raksasa-indah ia kerahkan untuk menghentikan seorang MESS air yang murka sebab dipermainkan. "Remukkan dia!"
Makka tak ketakutan sedikit pun. Tatapan itu kembali tersorot dari mata birunya, seakan melampiaskan amarah yang meluap. Seorang gadis kecil yang kurang ajar telah membuat gara-gara dengan orang yang salah. Emosi Makka kian memuncak ketika melihat senyum sombong dari bocah di atasnya.
Makka akan mengakhiri permainan.
Tiga raksasa-indah mulai mendekat, tapi Makka malah berlari lebih cepat. Dia merencanakan sesuatu.
"Ombak yang telah menyelimuti daratan, bergulung dan hantam!"
Air laut yang naik-turun di belakang gunung tiba-tiba bangkit, lalu menjulang tinggi. Sampai menutupi kepala raksasa-raksasa setinggi lima puluh meter, mereka harus bersiap ditenggelamkan. "Game over."
Air laut menerjang keras hingga mengurai semua susunan batu. Tak hanya didorong, para raksasa sampai tenggelam. Saking kuatnya. Semua raksasa yang ada di hadapan Makka, terseret deras ke laut lepas.
Permainan selesai.
Gadis kecil yang tadi tersenyum angkuh, kini tergeletak tak berdaya. Makka bergegas mendekati wajah bocah yang sudah membuatnya emosi hingga terlihat jelas rupa si gadis.
Seorang gadis kecil berdarah Latin. Masih kecil, seperti baru lulus SD. Usianya sekitar tiga belas tahun. Gaya rambutnya sangat lugu. Helaian coklatnya ia ikatkan kepang-dua-ke-belakang. Pantas, gadis ini bisa kalah semudah itu. Dia masih belum berpengalaman.
Akan tetapi, seorang gadis kecil yang hendak melakukan pembunuhan, tetaplah berdosa. Makka menodongkan shotgun ke kepala gadis itu. Dengan nada sedikit membentak, dia membangunkan gadis di depannya, "Kau, bangunlah!"
Gadis kecil itu perlahan membuka mata. Ketika melihat sebuah senapan diarahkan kepadanya, gadis kecil itu gemetar hebat. Hingga dia teringat, ia telah dikalahkan. Dengan polos, gadis itu mengangkat kedua tangan. Dia menyerah.
Makka masih menodongnya dengan senjata api. Dia itu tidak akan melepaskan senjata sampai gadis kecil di depannya benar-benar mengatakan dirinya bukan orang jahat. "Katakan siapa namamu—"
Perkataan Makka tiba-tiba terpotong. Dia merasakan sebuah cakar tajam mencengkeram leher.
Ternyata benar, seorang bocah laki-laki berperawakan burung, kini mengancam Makka. Entah muncul dari mana, bocah itu seakan sedang menolong kawan. "Kau yang katakan namamu!"
Keadaan berbalik. Makka menjadi sandera. Ini sangat mengerikan, tapi tidak untuk Makka.
Dia hanya tertawa ketika disandera oleh bocah burung di belakangnya. Makka bisa keluar dari cengkeraman sebuah cakar tajam, sangat mudah. "Jujur saja, aku bisa saja melepaskan diri. Namun, coba lihat belakangmu, Bocah Burung!"
Inoe ternyata sudah berdiri mengancam bocah burung itu. Sebuah pisau diarahkan tepat ke perut bocah burung ini. Bagus. Keadaan kembali unggul.
Si gadis kecil masih berada dalam todongan Makka. Sementara Makka masih dicengkeram oleh cakar sang bocah burung. Namun, bocah burung itu sendiri tertawan oleh Inoe.
Anak-anak kecil itu sebaiknya menyerah.
"Kalian ini bodoh! Sok menjadi jagoan, huh?" bentak Makka kepada kedua anak yang ada di sampingnya. Dia seperti orang tua yang menghukum kedua anaknya. Rela memarahi dengan sungguh-sungguh, dirinya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran untuk kedua anak ini. "Kalian itu anak kecil! Sekolah yang benar! Lihat sekarang! Karena kebodohan kalian, kalian hampir mati konyol!"
Keheningan menyelimuti keempat orang yang saling menyandera itu. Hawa dingin es di bawah mereka mulai terasa menusuk. Namun, tidak akan ada yang bergerak sebelum ada yang menyerah. Tidak, hingga Makka tiba-tiba menyambung bentakannya. Lagi.
"Dasar anak-anak nakal!"
Kedua anak itu seketika tersentak. Matanya berkaca-kaca, sementara mulutnya murung. Mereka menangis.
Kedua anak itu menangis kencang. Dengan rengek yang keras, keduanya tenggelam dalam air mata deras. Napas mereka terengah-engah. Mereka menangis disebabkan bentakan Makka.
Pemuda yang telah membentak mereka itu hanya bisa membelalakkan mata biru. Dia menatap Inoe bingung. Apa yang harus kulakukan?
Inoe tak mau ambil pusing. Dengan wajah malas, laki-laki berambut pirang itu sangat benci kebisingan. Apalagi, itu dari anak-anak. Inoe tidak suka. "Aku tidak ikut-ikutan."
Makka mulai bingung. Dia tidak menyangka akan membuat dua bocah menangis. Jika bapaknya tahu, pasti dia akan memarahi Makka. "Sudah, jangan menangis!"
Tangisan kedua anak itu semakin kencang. Napasnya terisak kencang. Makka semakin dibuat bersalah, sementara Inoe hanya bisa menyembunyikan tawa.
Makka tak pernah menyangka anak-anak kecil yang berniat membunuh, malah punya hati sekecil ini. Mereka sangat cengeng. Namun, bagaimana pun juga, Makka harus bertanggung jawab.
Pemuda Arab itu akhirnya menarik kembali shotgun. Dia pun mendudukkan badan. Makka menarik kedua anak itu ke dalam pelukan. Dengan kasih sayang, Makka mengecup kedua kening dua anak itu. "Maafkan aku. Aku tidak seharusnya membentak kalian."
Kedua anak itu sontak berhenti menangis. Wajah mereka seketika memerah ketika Makka mengecupnya. Mereka merasakan kasih sayang darinya. Meski tubuh Makka sangat keras, kedua anak yang ada di pelukannya merasa nyaman. Mereka tahu, Makka adalah orang baik.
Alhamdulillah! Mereka akhirnya diam. Makka berucap dalam batin. Dia lega. Selain bisa menjinakkan kedua anak itu, dirinya sudah mendapatkan kepercayaan mereka.
Kedua anak itu tiba-tiba menceritakan semua hal tentang diri mereka.
Deli. Itu adalah nama gadis kecil yang menciptakan kumpulan raksasa-indah. Selain itu, dia juga yang memunculkan belenggu-belenggu dari tanah. Gadis itu adalah seorang MESS. Kekuatannya aneh. Dia seorang arsitek. Gadis berambut coklat itu bisa membangun apa pun. Sayang, dia hanya bisa melakukannya dengan perfeksionis. Harus estetik.
Aqso. Bocah laki-laki berperawakan burung itu akhirnya mengatakan nama. Dia adalah teman sepermainan MESS arsitek yang ada di samping. Bocah berdarah Pakistan-India ini seumur dengan Deli. Kulitnya coklat. Rambutnya ikal dengan warna hitam yang pekat.
Mereka adalah yatim-piatu dari Benua Hispan, tempat yang dulunya dinamai Amerika Selatan. Deli dan Aqso berasal dari panti asuhan yang sama. Keduanya diculik oleh seorang wanita berpakaian merah-ketat dan laki-laki bertato burung. Mereka dipanggil Red Bull dan Blue Bird.
"Kami dibeli oleh sepasang suami-istri tua yang tidak memiliki keturunan. Beruntung, kami tidak diperbudak. Kami disekolahkan hingga lulus SD. Namun, setahun lalu mereka berdua tewas saat berlibur di pantai. Keduanya berubah menjadi perabotan," tutur Deli.
Semua orang di Negeri Jonah menuduh Deli dan Aqso membunuh pasangan suami-istri itu. Mereka berdua hampir dihukum mati oleh penduduk Negeri Jonah. Tidak perlu heran. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak yatim ketika ia dihardik?
Untuk melindungi Deli, Aqso menunjukkan kekuatan, sesosok MESS rajawali. Bulu coklat kemerahan pun menghiasi tubuh. Wajahnya memiliki paruh tajam. Pada kala itu, Aqso ditakuti oleh semua orang.
Penduduk Negeri Jonah tidak mau membunuh Deli dan Aqso. Mereka menganggap keduanya adalah keturunan Dewa. Deli dan Aqso mungkin tidak dibunuh, tapi mereka diusir dari Negeri Jonah.
Bagai buah simalakama, Deli dan Aqso tidak bisa pergi ke mana-mana. Mereka tahu ada medan aneh yang menutupi Negeri Jonah. Tidak ada seorang pun yang bisa memasukinya. Namun, mereka juga tidak bisa kembali.
Mereka memutuskan menetap di pantai berbatu. Mereka hidup dari perburuan Aqso dengan kemampuan rajawali. Setiap hari, mereka melakukan itu hingga Makka dan Inoe datang ke hadapan mereka.
"Aku mengira Makka dan Inoe adalah orang jahat," ucap Deli seraya menundukkan kepala. "Kalian bisa melewati medan Negeri Jonah hidup-hidup."
Makka dan Inoe serentak menggeleng. Mereka pun menceritakan semua kisah. Mengapa dia datang kemari, termasuk alasan memasuki Negeri Jonah.
Setelah mendengar kisah Makka dan Inoe, kedua anak yatim itu bersorak gembira. Deli dan Aqso akhirnya bisa keluar dari Negeri Jonah. Mereka tidak memiliki harapan hidup di sini.
Paling tidak, Deli dan Aqso ingin pulang ke Benua Hispan. Mereka ingin bertemu teman-teman mereka. Bermain bersama. Menimba ilmu lebih dalam, kemudian membangun keluarga baru dari awal.
Makka dan Inoe tersenyum haru. Kedua anak yatim ini sudah mengalami penindasan setahun ini. Padahal, seorang anak seharusnya bersungguh-sungguh mempersiapkan masa depan. Tak terasa, air mata keluar dari kedua laki-laki tangguh ini.
"Kalian ingin keluar, kan?" Makka mengguratkan senyum hangat. Deli dan Aqso mengangguk kencang. Makka sampai gemas dibuatnya. Mereka sangat manis. "Kalau begitu, apa kalian tahu letak benda aneh yang menyebabkan medan kekuatan ini?"
"Sebuah gagang pintu ... dari kristal." Inoe menyunggingkan sedikit senyum malu.
Deli dan Aqso langsung menunjuk ke arah sebuah gunung di dekat mereka. Mungkin, itu bukan gunung. Itu salah satu raksasa-indah milik Deli. Makhluk besar itu melingkupinya. Deli dan Aqso berusaha melindungi penduduk Negeri Jonah dari gagang pintu itu.
Sangat miris. Penduduk Negeri Jonah berbuat jahat kepada Deli dan Aqso. Namun, kedua anak yatim itu malah melindungi mereka. Sungguh bersih hati anak-anak ini.
Makka sekali lagi tersenyum dibuatnya. Kali ini, Makka merangkul Deli dan Aqso sambil menghadap ke arah gagang pintu yang mereka cari. Dengan yakin, Makka menghibur kedua anak yatim itu. "Ayo kita pergi dari sini!"
Inoe mengambil gagang pintu yang sudah ditunjukan keberadaannya.
Bersama, mereka keluar dari penjara yang tak berjeruji.
Negeri Jonah sudah terbuka.
***
NEGERI JONAH kehilangan medan pelindung."
Seorang wanita bergaun merah berucap kepada dua orang yang ada di sampingnya. Bersama, mereka berdiri tegap menghadap Negeri Jonah sembari menyorotkan tatapan angkuh.
"Aku melihat empat orang keluar dari sini!" seru seekor siluman burung dari ketinggian. Burung itu berwarna biru. Perlahan, dia mendarat dan berubah menjadi manusia. Laki-laki berambut biru itu kemudian ikut berdiri tegap, mengikuti tiga orang di sampingnya. "Mereka mengarah ke Benua Hispan."
Keempat orang itu hanya tertawa. Tidak ada kepanikan di dalam benak mereka. Padahal, rencana mereka tak berjalan semestinya. Tujuan mereka bukanlah Negeri Jonah.
"Blue Bird, Black Mamba, Gold Fish ..., persiapkan diri kalian!" seru wanita bergaun merah itu sekali lagi. "Mereka sudah membuat banteng-merah mengamuk."
Inilah saatnya.
Konvergen sudah datang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top