3.5 Efrat: my sacrifice

MATAHARI turun perlahan ke tempat persemayaman. Warna oranye berganti mewarnai angkasa. Rona hangat itu mengubah pertarungan yang ada di atas awan, menjadi pertanda akhir dunia. Jatuh tepat menyinari tubuh Makka, dia benar-benar akan menghukum seorang dewa.

Gunung-gunung bergelimpangan runtuh. Saba mencerai beraikan kumpulan batu yang menembus awan dengan bergantian. Dewa bumi itu terus menembakkan peluru raksasa ke kapal tua yang lincah, semakin mendekat.

Bagai selancar yang memecah ombak, kapal tua itu meliuk-liuk bermanuver di antara gempuran ombak. Ajaib. Makka menjadikan samudra yang melayang di langit Efrat seakan menjadi tangan ketiga. Dengan sepasang mata biru yang tak berkedip, MESS air itu sungguh akan mencapai sang dewa.

"Jagra, segera jemput adikmu!" ucap Makka, mengeraskan suara. Menundukkan samudra sudah banyak membuat repot, dia meminta Jagra untuk mempermudah tugas. "Gunakan mulut ajaibmu!"

"Kau gila! Aku tidak bisa menembus ruang!" bentak sang pria Mesir, mengguratkan kepanikan yang semakin tergambar jelas di wajah.

"Bukan begitu maksudku, Pak Tua!" Makka menggelengkan kepala. "Kau itu MESS mulut, bukan MESS gastrovaskular! Kau punya banyak mulut, tapi punya satu lambung! Gunakan itu!"

Benar juga! Kepala Jagra seakan terpukul dengan perkataan Makka. Dia akui, pemuda di depannya memiliki otak yang tak beres. Gila. Namun, patut dicoba. Jagra hanya bisa menatap ngeri Makka. Apakah dia adalah dewa?

"Jangan melamun! Segera lakukan!" bentak sang MESS air, menyorotkan muka memburu. Pikiran Jagra harus terputus. Kepanikannya kemudian berganti dengan ambisi yang kuat.

Jagra memunculkan sebuah mulut besar di hadapannya. Ketika melepaskan pegangan pada seutas tali layar, MESS mulut itu memberikan salam penghormatan kepada Makka. Tentu, bukan sebuah perpisahan.

Jagra bersiap melompat masuk ke dalam rongga mulut yang menganga. Namun, langkahnya terhenti sesaat.

"Makka, ada satu hal yang ingin kukatakan kepadamu," ucap sang pria Mesir bernada lebih lembut daripada sebelumnya. Tubuhnya ia hentikan meski sudah siap terjun ke dalam rongga mulut di bawah kaki. "Kau orang Arab. Jadi, aku mohon. Panggil aku Jaghro, bukan Jagra."

Makka terdiam. Setelah itu, dirinya mengangguk seraya masih memasang tatapan serius. Tanpa melontarkan sepatah kata, pemuda Arab itu mengamini maksud pria Mesir di belakangnya. Sebuah kepercayaan. Senyum hangat akhirnya tergambar di bibir merah Makka. Untuk Jaghro.

"Terima kasih, Makka." Pria Mesir itu membalas senyuman hangat Makka. Jaghro akhirnya tersenyum setelah sekian lama. Dengan hati penuh keyakinan, tanpa rasa takut, MESS mulut itu melompat pergi ke dalam rongga mulut di bawahnya, lalu menghilang, meninggalkan Makka melawan dewa bumi seorang diri.

Tak apa.

Karena aku enggan pulang sendiri.

***

TIDAK!"

Sebuah teriakan samar menghentikan langkah Taiga dalam pelarian. Bukan delusi. Teriakan itu nyata walau pelan. Suara seorang wanita. Rintih yang bergetar, dibubuhi rasa panik.

Taiga membatalkan niat untuk kabur dari kastel yang sudah diliputi air. Taiga melupakan kehadiran dewa bumi di depannya untuk sejenak. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat, lalu bersiap menghantam dinding demi menuju sumber teriakan yang ia dengar.

Taiga melubangi tanah berbata di bawahnya. Dengan sekali hantaman, pijakannya berjatuhan, menerjunkan dirinya ke dalam sebuah ruangan.

Tak perlu waktu lama, MESS otot ini sudah berada tepat di depan sumber teriakan yang ia dengar. Seorang wanita cantik yang memakai gaun putih tipis bak Kleopatra, dia adalah wanita Mesir.

Wanita itu menangis seraya memasang tubuh yang gemetar. Dia bergidik takut sebab dinding-dinding bata di samping akan menguburnya, namun enggan 'tuk berlari. Setelah melihat wanita itu berada dalam keadaan tak wajar, Taiga mendekatinya.

"Kau kenapa?" Taiga mendekati wanita yang ada di pojok ruangan.

"Pergilah!" bentak wanita itu kencang. Tubuhnya ikut ia tolak seakan benar-benar enggan keluar dari tempat yang akan runtuh ini.

Taiga menjadi masam mendengar bentakan wanita itu. Meski dia bisa dibilang rupawan bagai dewi, laki-laki berambut coklat keemasan ini malah menjadi tak segan untuk meninggalkan wanita yang membentaknya mati seorang diri. 

Walaupun dia terus menangis, apa gunanya memaksa? Namun, apa kata Makka jika dia melihatnya?

Dinding-dinding yang ada di ruangan itu tiba-tiba bergerak menutup seluruh ruang. Bersama mengimpit segala pengganggu di dalam kastel, Taiga menyadari sesuatu. Saba sudah tahu.

Taiga segera melesat ke depan wanita itu. Meski melawan otak, Taiga malah berlari melindungi wanita tadi. Kedua tangan kokohnya menahan dinding yang terus mengimpit.

Dengan air mata yang terlihat jelas, wanita itu menatap mata hijau Taiga takut. Rambut hitam lurusnya ia singkirkan dari depan muka, mempersilakan wajah putihnya terlihat oleh Taiga, laki-laki yang melindunginya. Tepat di depan, menahan sakit tanpa ragu.

"Wanita Bodoh! Jangan hanya menatapku dengan wajah memelas!" bentak Taiga yang semakin berkeringat menahan kuatnya impitan dinding. "Cepat keluar dari sini!"

Wanita itu masih tetap bergeming. Matanya menatap laki-laki yang berkeringat deras di depannya. Netra wanita itu seakan berbinar. Ia menatap heran, tak mengetahui alasan kenekatan Taiga.

"Mengapa kau melakukan ini? Aku sudah hancur," ucap si wanita sembari memeluk tubuh. Dengan malu, dirinya seakan enggan untuk melanjutkan hidup. "Dewa sudah memberikanku hukuman! Suntikan itu—"

"Dia bukan Dewa!" bentak Taiga yang persis sama dengan apa yang akan Makka katakan. Masih melawan keras impitan dinding-dinding di samping, dia itu tetap mau membalas perkataan wanita di depannya. "Aku sudah menggunakan suntikan itu. Sebanyak ratusan kali!

"Saba itu pria gila! Dia memanfaatkan kita untuk menemani candu. Pria itu mengaku menyukaimu, kan? Hah, begitu pula kepada diriku! Dia berkata menyukaiku. Namun, dia tidak pernah menyukaiku, juga dirimu.

"Kau bertanya mengapa aku keras kepala?

"Karena aku bodoh! Aku tidak pernah membaca buku-buku yang biasa Makka baca. Aku muak dengan dunia, termasuk teori di dalamnya.

"Ketika orang-orang berkata obat yang dimasukkan ke dalam diriku akan menyebabkan candu, aku tidak peduli. Masa bodoh! Aku peduli kepada masa depanku! Aku hanya ingin cahaya menyinari masa depanku!

"Karena itu, aku akan terus mencoba!

"Bukan karena kata orang! Bukan karena kata buku sains! Aku butuh bukti! Maka lakukanlah!"

Wanita itu membeku diam setelah mendengar perkataan panjang Taiga. Bagai sajak yang dibaca terburu-buru, mata wanita ini terbelalak lebar. Dia memikirkan betapa bodoh dirinya. Pantas, laki-laki di depannya masih kuat menahan dinding yang mengimpit.

Laki-laki itu sudah memakan banyak kotoran dunia.

"Cukup!" Taiga membentak. Matanya melotot dan wajahnya dipenuhi keringat. Urat-urat mencuat di kepala. Dia sudah tidak ingin membuang tenaga. "Aku akan mengeluarkanmu dari sini!"

Taiga melepaskan dorongan tangan kanan. Dia mengangkat tubuh wanita yang ada di hadapannya. MESS otot itu meletakkannya di pundak kekar. Tanpa ada aba-aba, Taiga langsung melompat ke atas, menembus langit-langit yang terus bergoyang.

Ruangan yang tadi Taiga dan wanita Mesir itu tempati sekejap menutup diimpit dinding-dinding. Tanpa protes, wanita yang kini ada di gendongan Taiga hanya terdiam. Dirinya hanya bisa menatap mata hijau Taiga seraya menyorotkan rasa kagum. Bahkan, lebih.

Sementara itu, ketika melihat seorang laki-laki kekar melompat keluar menggendong seorang wanita, Jaghro yang baru keluar dari mulut besar menjadi tertegun. Dia tiba di saat yang tepat. Pria Mesir itu menemukan wanita yang ia cari, adiknya, sosok yang harus ia lindungi.

"Adikku!" seru Jaghro memanggil perlahan. Perlahan memastikan, dirinya mencoba meruntuhkan keraguan. Matanya menatap sang adik sendu. Meski senang, pria Mesir itu sadar, dirinya bukan seseorang yang diberi tatapan itu oleh sang adik, sorot terima kasih.

Itu karena aku pengecut. Jaghro menatap nanar sang adik. Dia hanya bisa menyesali keputusannya. Menjadi ketua suku, kemudian berubah ke utusan dewa. Apa yang ia dapat? Hanya ratusan kepala yang sudah terpisah dari badan, disebabkan tumbal untuk pelindung Efrat. Apa ganjaranku?

Mata adik Jaghro tidak berpaling dari mata hijau Taiga. Tatapannya lebih ingin melekat ke laki-laki yang tubuhnya dibanjiri keringat itu. Jaghro hanya bisa tersenyum dalam sesal. Ia merelakan sang adik untuk Taiga.

Namun, kegalauan Jaghro tidak bertahan lama. Walau mata tidak berpaling, kedua manusia di depannya tentu memiliki sepasang telinga. Suara Jaghro membuat Taiga dan sang adik menoleh kepadanya.

Dengan senyum yang berbeda, pria Mesir itu menyembunyikan penyesalan. Sudah ikhlas. Jaghro bergegas menarik Taiga dan sang adik, menuju rongga mulut raksasa yang sudah menunggu. Meski demikian, senyum kali ini bukan pura-pura. Jaghro akan tersenyum seperti ini. Selamanya. Berjuang tanpa kenal takut. Untuk adiknya. Untuk Efrat.

Untuk MESS.

***

SEBUAH RONGGA MULUT RAKSASA kembali muncul di kapal tua. Namun, kali ini terasa berbeda. Mengapa arus laut tidak seganas sebelumnya? Tidak ada liukkan ombak yang mendorong sebuah kapal tua layaknya selancar. Hingga tiga orang yang baru keluar dari rongga mulut raksasa itu sadar, kapal tua ini kosong—!

Dentuman keras tiba-tiba mengalun keras dari sisi kiri mereka. Jajaran pegunungan yang tangguh mulai berguguran. Tiga orang yang berada di kapal tua  itu heran. Mereka menengok ke arah puncak gunung di kanan-kiri.

Mereka dikejutkan oleh kumpulan raksasa bumi bagai legenda Yunani, Kronos. Belasan raksasa bumi mengamuk mencuat dari gunung-gunung. Namun, target dari para raksasa itu malah menantang tak gemetar.

Makka berdiri tegak mengapung di atas samudra. Pijakannya menjadi es tebal, menatap raksasa-raksasa yang mengejarnya dengan sorot merendahkan. Dia berhasil menuntun Saba keluar dari bumi. Sebentar lagi.

"Putra Naru, aku tidak akan sebodoh kakak sepupumu yang satunya! Torue hanyalah anak cerewet! Angkasa hanya bisa dipandang, namun manusia tidak pernah menangis untuknya. Untuk siapa air mata mereka? Untuk bumi pertiwi!

"Demi kehormatanku, dewa bumi, aku akan menyeretmu ke neraka!"

Saba berteriak kencang. Kegilaan semakin menggurat di wajahnya. Entah kenapa, pria Afrika itu sudah melupakan Taiga. Sepertinya benar, Saba hanya sedang tak waras. Sialnya, Taiga berada di tempat yang salah. Dia adalah korban.

Tanpa mempedulikan teriakan Saba, begitu pula ketidakwarasannya, Makka mengatakan suatu hal kepada pria gila yang ada di depannya.

"Berhentilah memasukkan benda itu ke dalam tubuhmu!" seru Makka berwajah datar. Matanya menunjukkan sorot kebencian. "Kau sudah menjadi gila."

Tetap tidak dipedulikan, Saba malah tertawa lantang, penuh keangkuhan. Wajah gilanya sontak membuat Makka muak. Dia sudah tidak ingin bersikap lunak. Medan pertempuran sudah bersih, meninggalkan dua orang Kaisar. MESS air itu akan mengeluarkan tekniknya: penakluk bumi, lautan lepas.

Makka pun memejamkan mata. Dia mengembuskan napas perlahan. Tanpa terpecah, pemuda Arab itu perlahan berbisik,

"Air samudra yang ada di antara telapakku dan langit Efrat, dengarkan bisikanku!

"Aku bukanlah Dewa, begitu pula Saba. Kita takut kepada satu hal yang sama, satu Tuhan yang bersama kita sembah. Neraka adalah nyata, tapi surga sama nyatanya. Maka, tunjukan kepadaku kebesaranmu!

"Hamba Tuhan yang perkasa, bertarunglah bersamaku!"

Samudra membentuk sebuah raksasa air yang sangat besar. Sampai menjulang tinggi di angkasa, raksasa itu bak dewa yang membelah atmosfer bumi.

Dengan sebuah trisula perkasa, raksasa air itu menghancurkan para raksasa bumi yang murka kepada Makka. Mudah, raksasa air yang dimunculkan Makka besarnya sepuluh kali lipat raksasa bumi. Ia membanting dan mengurai tanah-tanah keras semudah memutar koin. Bahkan, sebuah serangan bak tembakan jet yang mampu memotong logam tebal.

Ketika melihat serdadu raksasa bumi dibantai habis oleh raksasa perkasa Makka, jiwa rapuh Saba mulai bergetar. Ia tak kuasa melihat Makka berdiri tanpa takut memimpin raksasa air yang perkasa. Di depan amukan monster besar, Makka hanya menatap tajam Saba, meninggalkannya tenggelam dalam ketakutan.

Kejam! Air selalu memakan bumi! Menyisakan putus asa kepada manusia, dirinya malah terus dipuja. Itu bodoh! Namun, aku tidak!

"Aku akan menanamkan keputusasaan kepadamu, Putra Naru!" seru Saba, berwajah merah padam.

Segumpal cairan raksasa melayang keluar dari reruntuhan kastel yang sudah rata. Tidak ada seorang pun yang menyadari bergalon-galon senyawa cair itu terbang. Fluida tersebut bukan dari kekuatan MESS air Makka. Taiga yakin.

Warna cairan itu tak asing di mata hijau Taiga. Larutan tak berwarna, rona yang melekat di ingatan laki-laki A-Capital itu. Bening. Terlampau transparan hingga tak melawan cahaya yang menembusnya. Hingga Taiga sadar, Makka akan menjadi sepertinya.

Tak akan membiarkan sang teman hancur, Taiga sudah siap melakukan sebuah lompatan, perlindungan besar yang akan menyelamatkan sang teman, sebuah pengorbanan.

Saba yang hanya berfokus kepada Makka, tertawa keras tanpa henti. Dia tetap bergeming. Meski tawa pria berkulit gelap di depannya menyiratkan sesuatu, Makka enggan peduli hingga dirinya mendengar teriakan keras yang mengarah kepadanya.

"Makka!"

Taiga berteriak seraya meluncur keras, terbang untuk melindungi sang teman. Sampai seluruh tubuh Makka terlindungi dari cairan bening, Taiga tersenyum ikhlas. Dia terus membeku hingga cairan tadi meresap ke dalam tubuh.

Hingga meninggalkan kumpulan mata terbelalak lebar, Taiga terpejam. Ia terlelap dengan senyum yang sama. Membuat mendung semakin gelap. Membuat air mata semakin deras. 

Laki-laki bodoh itu menepati janji. Sebuah pengorbanan.

Dariku, untukmu.

Terima kasih.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top