3.2 Efrat: the land of God
SINAR hangat mentari semakin merambat ke dalam kabin kapal tua. Di dalamnya, Taiga tengah memandang bola panas yang beranjak naik. Ketika melihat keluar dari jendela kaca, dia melakukan hal yang sama. Lagi.
Sebelum memakai baju di pagi hari, Taiga selalu meminum sebuah kapsul transparan. Tanpa meneguk segelas air, pil bening itu ia telan walau menyakiti kerongkongan.
Berbeda dari biasa, senyum Taiga tidak lagi lebar. Belakangan ini, dirinya cemas. Keringat mengucur deras dari tubuh kerasnya. Napasnya tersengal-sengal dan tatapannya dipenuhi ketakutan.
Sudah belasan kali Taiga seperti ini, terutama setelah ia bangkit dari tidur. Makka yang ada di samping selalu dibuat terkejut oleh tingkah anehnya. Beruntung, laki-laki dari A-Capital ini sudah bercerita kepada Makka. Karena itu, Makka tidak sempat hati untuk menarik pelatuk shotgun yang selalu ada dalam pelukan.
"Aku harus minum obat ini setiap hari," ujar Taiga kepada Makka. "Aku tidak mau termakan kabut delusi yang ada di otakku. Kabut itu dapat membuatku lepas kendali."
Makka tidak mau mengambil pusing dengan masa lalu sang teman. Jika Taiga lupa meminum obat, Makka akan mengingatkannya. Walaupun merepotkan,dia tetap melakukannya dengan tekun karena ia sudah tahu sebuah rahasia. Taiga adalah putra dari Leviathan, MESS-03.
"Makka, apakah obat bisa tidak manjur setelah semakin lama?" tanya Taiga tiba-tiba.
"Aku tidak tahu. Aku bukan dokter," jawab Makka datar. Walaupun bernada tenang, di dalam diri sang sahabat itu, terbangun gejolak kekhawatiran yang besar. Hanya saja, dia ingin menutupinya dari Taiga. Makka tidak mau sang teman semakin cepat-tidak-waras sebab stres memikirkan sebuah kapsul bodoh. "Tapi aku yakin pada satu hal. Delusimu semakin parah semenjak mendekati Efrat."
Taiga tertegun setelah mendengar perkataan Makka. Mata hijaunya hanya bisa menatap netra biru Makka. Tanpa ada sepatah kata, bersama tatapannya yang lebar, Taiga seakan berkata, "Bagaimana bisa? Namun, mungkin ...."
Dengan tatapan yang sama, penuh tanda tanya, dua laki-laki itu tenggelam dalam keheningan. Namun, kesenyapan itu tiba-tiba pecah ketika keduanya mendengar suara keramaian yang menyeruak, suara manusia bersahutan layaknya sebuah pasar.
Tanpa menunggu lama, kedua laki-laki itu langsung berlomba ke atas geladak. Dengan dua pasang mata, kedua laki-laki itu tersenyum bahagia. Mereka sampai di Efrat, benua ketiga yang harus mereka singgahi.
"Makka, setengah jalan lagi," ucap Taiga dengan binar terang terpancar dari kedua bola mata hijaunya.
Kedua laki-laki itu melihat daratan hijau yang dipenuhi oleh rimbunan pohon. Sebuah mulut sungai terbuka lebar di tengah. Seakan menyambut kapal tua yang bergerak maju, ayunan dahan melambai menyambut kedatangan Makka dan Taiga.
"Ini ... Sungai Nil?" tanya Makka bernada polos. "Besar sekali!"
"Kita akan menembus sungai ini, Makka," balas laki-laki yang ada di sampingnya.
Kapal tua Taiga terus melaju melalui muara Sungai Nil. Nama ini tidak pernah berubah walaupun telah dilanda kiamat lima puluh tahun lalu.
Sungai itu dipenuhi kapal yang ramai berlalu lalang. Bagai antrean di jalanan perkotaan, kapal-kapal berjejer rapi melewati Benua Efrat. Kau tahu, para kapten kapal tidak mau gila dengan melalui sisi selatan Efrat. Di sana, segitiga bermuda Efrat terlahir. Makam kapal-kapal karam berhamburan disebabkan pertengkaran Warm Sea dan Cold Sea, berada di situ.
Tak mau terlambat, Makka dan Taiga bergegas menyembunyikan muka mereka. Di Efrat yang damai, mereka enggan untuk menghancurkan negeri ini.
Bunyi gesekan ranting pohon terdengar halus di rongga telinga. Begitu pula dengan ramai sahutan satwa, membuat hati yang lelah, sirna ditenggelamkan alam. Namun, di tengah suara-suara indah itu, sebuah bunyi yang kontras terlintas,
Taiga, ayo pulang!
Taiga langsung melompat mundur. Tangannya menyumpal daun telinga, sementara tangan yang satunya memegangi dinding kapal penuh gemetar. Sebab diliputi ketakutan, laki-laki yang histeri itu pun bertanya,
"Makka, kau dengar suara itu?"
Makka yang diajak Taiga berbicara hanya menatap linglung. Perlahan kehilangan senyum, Makka berangsur khawatir. Dirinya sadar, ada yang salah dengan MESS otot di depannya. Kewarasannya semakin sakit.
"Taiga, tidak ada suara," ucap Makka, menyembunyikan kekhawatiran.
Ketika mendengar jawaban dari laki-laki yang ada di sampingnya, Taiga mulai memukul-mukul telinga. Dengan mata hijau lebar seakan melihat hantu, Taiga sangat kebingungan dengan dirinya.
Semakin putus asa atas apa yang menimpa diri sendiri, Taiga bergegas berlari menuju kamar. Spontan ia mengacak-acak laci meja untuk mencari kapsul transparan agar penderitaan lekas berakhir. Sementara itu, Makka yang melihat sang teman mulai memakan kapsul transparan lagi, turut berlari mengejarnya. Dia menarik Taiga sembari berkata,
"Taiga, aku tahu kau bodoh, tapi hentikan itu!" bentak Makka sembari merebut wadah kapsul transparan. "Bukan seperti itu cara kerjanya!"
Muka laki-laki berdarah A-Capital itu tertunduk. Ia tenggelam dalam putus asa. Wajah berserinya kini berubah menjadi kelabu. Tekanan berat jelas terpatri di dalam benak. Selalu dihantui bisikan bodoh berkali-kali, siapa yang pernah meminta?
Sementara Taiga terpuruk dalam rasa putus asa, Makka tak akan tinggal diam. Sahabatnya itu sudah bersumpah untuk melindungi diri Makka. Jelas, pemuda dari Midas ini tidak akan membiarkan Taiga terpuruk sampai tak waras.
"Taiga, dengarkan aku! Anggap itu hanya bisikan! Bisikan tidak akan bisa membunuh siapa pun!" seru Makka, memegang kedua pipi laki-laki yang saat ini sedang gemetar hebat. "Jangan hiraukan semua bisikan itu! Kita akan terus melaju, lalu keluar dari sini!"
Taiga berpura-pura tegar. Walaupun butir keringat terjun bebas sejelas matahari pagi, kepalanya mengangguk. Ia setuju dengan tawaran sang sahabat.
MESS air itu mulai mengarahkan kapal tua Taiga maju. Meski tidak bisa melaju secepat deru ombak di laut, Makka dengan sabar terus memajukan kapal yang sedang ia naiki. Entah itu hanya sejengkal, perhatian MESS air ini tidak berkurang demi kewarasan Taiga.
Ketika melihat Makka berdiri di depan jendela sungguh-sungguh, Taiga mulai tenang kembali. Senyum pun terukir di wajah. Dirinya tidak menyangka bahwa Makka akan berbuat sejauh ini. Namun, senyuman itu tidak bertahan lama.
"Taiga, ayo pulang!"
Suara itu terdengar kembali. Laki-laki yang sudah mulai tenang itu, menjadi ketakutan lagi. Dirinya berlari untuk mengambil kapsul transparan. Namun, Makka melompat ke arah Taiga, lalu menahannya.
Dengan sekuat tenaga, pemuda Arab itu merangkul pundak Taiga. Lelaki yang sudah tenggelam dalam panik ini ingin memarahi Makka. Namun, walau dalam gemetar, Taiga tak sanggup bersuara ketika melihat wajah Makka. Mukanya berubah menjadi seperti raut yang tergurat pada Taiga, ekspresi yang diliputi ketakutan.
"Taiga, aku mendengarnya." Makka membeku dengan sedikit gemetar.
Taiga kini bisa sedikit bernapas lega. Dia sadar, obatnya masih bekerja. Keringat mulai berhenti keluar dari kulit. Namun, ia mulai bertanya-tanya, Bagaimana bisa orang lain mendengarnya?
Taiga kini berbalik menarik tangan Makka. Dirinya membawa Makka ke dek kapal. Tanpa ada perlawanan, Makka ikut berlari mengikuti gandengan Taiga.
Tak perlu terlalu lama, laki-laki berdarah A-Capital itu sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang meliputinya. Mata hijaunya kini terbelalak lebar dengan apa yang ada di pelupuk mata. Begitu pula dengan Makka, kedua laki-laki itu tertegun membeku di balik pagar kapal tua.
Makka dan Taiga melihat semua pemilik kapal bersujud takut.
Sebab menyaksikan hal yang sama seperti di Turok, Makka mulai sakit menyaksikan kelakuan semua kepala. Setelah satu negeri ditenggelamkan, apakah harus menjadi dua? Karena itu, dengan emosi memuncak di kepala, Makka berteriak,
"Kalian ini kenapa!?"
Setelah mendengar teriakan Makka, semua orang berdiri memandang mata biru Makka. Bagai sudah melakukan dosa besar, semua netra melihat Makka dengan tatapan sinis. Masih merasa kesal, seseorang dari kapal depan berkata,
"Dewa Efrat sudah berbicara. Hormatlah!"
Kedua laki-laki yang ada di kapal tua itu saling menatap. Jawaban pemilik kapal yang ada di depan, membuat mereka teringat kepada kejadian saat keduanya menenggelamkan negeri busuk bernama Turok. Pikiran Makka dan Taiga terhubung lewat tatapan heran. Mereka yakin, Kaisar ada di balik ini semua.
"Pria itu ada di sini." Taiga menyorotkan mata yang tenggelam dalam dendam.
Makka yang sudah tahu pria yang dimaksud sang sahabat, mulai paham penyebab ketidakwarasan Taiga. Pria terkuat itu ada di sini. Orang yang bertanggung jawab atas berubahnya Taiga menjadi Leviathan, Saba, Kaisar bumi.
Tanpa rasa takut, Makka langsung mengambil shotgun. Ia bergegas sigap mengalungkannya. Dia pun menarik tangan Taiga. Tanpa ragu, dia menyeret sahabatnya untuk mencari sumber ketidakwarasan.
Semua pemilik kapal yang masih melihat mata biru Makka, seketika berteriak kencang, "Jangan! Orang asing dilarang menginjak Efrat!"
"Efrat punya telinga dan mulut!" sahut pemilik perahu yang ada di depan kapal tua Taiga. Matanya memperingatkan Makka dengan tatapam ngeri. Seakan maut berada di pelupuk mata, pria itu melarang Makka dengan sekuat tenaga. "Efrat bisa mendengarmu! Setelah itu, Efrat akan mengunyahmu!"
Meski ditakut-takuti dengan dongeng dewa Efrat, pemuda yang sudah mengalahkan Kaisar udara itu tetap bergeming. Kakinya terus ia langkahkan. Tangannya tetap menyeret laki-laki dari A-Capital, demi mencari sang pria kurang ajar. Makka akan mengakhiri penderitaan Taiga meski harus melawan seorang dewa.
"Makka, tunggu!" tahan Taiga menghentikan langkah. Dia tiba-tiba menyetop langkah orang yang sedang menarik tangannya.
"Apa? Kau percaya dengan orang-orang bodoh itu?" jawab Makka dongkol. "Itu semua jelas ulah MESS! Tidak ada yang namanya dewa Efrat!"
"Aku sudah tahu," jawab laki-laki berambut emas kecokelatan dengan nada enteng. Taiga seketika malah tersenyum. Seakan sudah tahu dengan perkataan yang dilontarkan sang pemilik mata biru, Taiga masih menahan tangan. "Lihatlah apa yang ada di belakangmu!"
Makka langsung membalikkan badan. Mata birunya terbelalak lebar ketika melihat apa yang ada di belakangnya, sebuah persatuan orang keras kepala. Bersatu hendak menghentikan kesucian tanah Efrat.
Para pemilik kapal itu mengacungkan senjata ke arah Makka. Senapan, panah, dan tombak diarahkan tepat ke kepala Makka. Berdosa atau mati. Itulah pilihan yang diberikan oleh orang-orang keras kepala.
"Kami tidak akan membiarkanmu menodai kesucian tanah dewa!" teriak salah satu orang yang ada di kapal sebelah samping. "Bergerak atau kepalamu berlubang!"
Makka mulai muak. Mereka tahu orang-orang yang bersujud tadi adalah sampah. Namun, dia tak habis pikir, apakah sesampah itu orang-orang keras kepala yang ada di hadapannya?
Mata biru yang terbelalak itu mulai mereda. Bukannya rasa takut yang dikeluarkan, senyuman lebar malah terpatri di bibir merah sang pemuda Arab. Dengan derap jengkel, Makka melangkah maju.
"Kalian takut dengan orang yang bisa membuat tanah berbicara, huh?" tantang Makka bernada kesal. "Tapi kalian tidak takut dengan orang yang memegang nyawa kalian!"
"Air sungai yang tawar dan asin, bertanyalah kepada mereka apakah hidup mereka masih berharga!?"
Sungai Nil yang menahan antrean lambung kapal yang mengular, tiba-tiba membeku. Stalakmit tajam mencuat dari air sungai yang membeku. Sampai menembus semua kapal, lalu membekukan seluruh badan, Makka mengancam semua antrean kapal dengan kepala mereka.
"Lantas, apakah kalian tidak mau bersujud kepada dewa yang ada di depan kalian?" ucap Makka meremehkan.
Para pemilik kapal itu sadar, pemuda yang mereka ancam bukanlah manusia. Dia tentu tidak berbeda dengan pemilik tanah dewa. Seraya mengeluarkan keringat beku dan napas yang berembun, semua orang keras kepala itu hanya menunduk malu, dipenuhi ketakutan yang berbeda.
"Makka, ayo pergi!" seru Taiga yang kini malah menarik tangan Makka.
Kedua laki-laki ini memiliki keputusan yang sama. Tanpa rasa takut, keduanya turun dari kapal tua mereka. Dengan langkah kaki mereka, kesucian Efrat akan menghilang. Tanah dewa akan menjadi kuburan pria itu: Saba, orang yang menghancurkan putra Leviathan.
Sebuah langkah yang mengotori kesucian tanah dewa terdengar selirih ranting patah. Derap itu membuat suara bisikan mengalun lagi. Lebih kencang. Lebih gila.
"Taiga, ayo pulang!"
"Taiga, ayo pulang!"
Kali ini, pemilik nama Taiga itu tidak ketakutan. Bersama dengan orang yang akan menjadi raja MESS, laki-laki itu tersenyum lebar. Tanpa ada rasa ngeri. Begitu pula dengan Makka, pemuda itu malah tertawa. "Mari akhiri ini!"
Sudah berakhir. Aku tidak takut lagi.
Taiga berdiri tanpa gemetar. Menatap rimbunan pohon rimba yang menjulang, mata hijaunya bersinar terang dipenuhi rasa dendam. Tanpa keraguan, akan mengembalikan kepala yang sudah ia ambil. Taiga akan melawan pemilik Efrat. Tanah dewa.
"Dengarkan aku!" Taiga berteriak kencang. Tanpa ada rasa takut, dia menantang bisikan-bisikan yang selalu menghantui. Akhirnya, sang MESS otot melawan ribuan mimpi buruk dengan satu teriakan.
"Taiga sudah pulang!"
Sekarang jemput aku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top