2.1 Turok: keep alive!
SUARA bising ibukota negeri gingseng tidak ramai seperti biasa. Desingan peluru menggema di seluruh jalan, meninggalkan jasad tak bernyawa bergelimpangan di sepanjang trotoar. Aroma mesiu melayang menusuk hidung. Di manakah tempat 'tuk berlindung?
Setiap orang berlarian tak mempedulikan apa yang sedang mereka pijak. Entah kepala atau tangan seseorang. Hal yang mereka pikirkan adalah keluar dari negeri yang dulu bernama Korea, Turok—tempat Ming melakukan kolonialisasi.
"Ayah, jangan pergi!"
Seorang remaja laki-laki berambut belah tengah berkata kepada ayahnya.
"Baek tetap di sini! Ayah mohon kepada Baek," ucap ayah remaja itu, memasang wajah pasrah.
"Tapi Ayah! Di luar sana orang-orang berteriak kencang!" seru Baek bernada polos.
Ayah Baek seketika tersenyum sendu. Pria berambut kecokelatan itu menatap hangat sang putra, seakan tidak akan bisa bertemu lagi.
Tanpa terasa, air mata berlinang dari pelupuk yang hangat. Perlahan, pria itu mengelus pipi sang putra. Ia mengingat kenangan indah yang sudah terajut di benak, termasuk rajutan yang sudah tidak bisa disambung, yang akan rusak hari ini.
"Baek, Ayah menyayangimu," ucap pria itu lirih. "Ayah tidak bisa hidup tanpa kalian berdua, dua manusia yang sudah membuat hidup ayah semakin berharga."
Pria itu mengecupkan bibir lembutnya ke kening remaja yang saat ini mulai menangis deras. Dengan kesedihan yang sama, ia menghadapkan mata kepada wanita yang ada di samping sang putra.
"Sayang, tetaplah hidup. Aku mencintaimu."
Pria itu berucap sendu kepada wanita yang saat ini menangis sama derasnya dengan Baek. Dalam tangisnya, sang pria langsung mencium wanita yang ada di pelukan, kecupan terakhir sebelum mimpi buruk menghampiri—dan tak kan pergi lagi.
Di tengah hujan air mata, tiba-tiba suara derap langkah kaki yang membuat setiap orang ngeri, menyeruak. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pria yang tenggelam dalam kesedihan ini bergegas meninggalkan dua orang yang sangat ia cintai di dalam lemari tua, pergi untuk mempertaruhkan segalanya—
"Tetap di sana!"
Seorang tentara berteriak ketika menemukan ayah Baek.
Ayah Baek pun berdiri mematung tanpa perlawanan. Kedua tangannya ia letakkan di atas kepala. Bahkan darah yang mengucur dari sana, tak bisa ia bendung. Dengan setengah bergetar, pria itu berkata,
"Jangan bunuh aku—!"
Sang tentara melepaskan tembakan tepat ke kepala pria yang sudah memohon kepadanya.
Baek pun menangis sejadi-jadinya. Dia sampai harus menggigit lidah merah mudanya kuat-kuat untuk menahan suara. Entah warna merah muda itu adalah warna papila atau warna darah, yang pasti Baek kini hanya bisa memegang erat sang ibu.
Wanita yang saat ini sama-sama berada dalam tangisan itu hanya bisa memeluk putranya erat-erat. Tangan putihnya menahan gemetar sang putra, sedangkan tangan yang satunya menahan mulut dari segala teriakan.
Tentara-tentara yang memasuki gedung tempat tinggalnya masih menelusuri setiap sudut. Tanpa puas dengan satu kepala berlubang, sekumpulan pria tegap itu terus mengacak-acak seisi rumah.
Sadar bahwa kesempatan untuk bertahan hidup semakin menipis, wanita yang mendekap Baek dengan erat itu berbisik kepada sang putra,
"Baek, ibu tidak bisa menemani Baek lebih lama lagi."
"Ibu!" seru Baek berbisik kepada ibunya. "Jangan bilang Ibu akan menyerahkan diri juga!"
Ibu Baek hanya bisa terdiam sembari mengisak air mata. Dirinya tidak bisa berkata apa pun. Wanita lembut itu tidak pernah menginginkan kematian. Dia ingin hidup bersama dengan dua laki-laki yang sangat ia cintai, suami dan putra semata wayangnya.
"Ibu, Baek lebih baik ikut mati bersama Ibu," ucap Baek tiba-tiba. "Untuk apa Baek hidup di dunia yang dipenuhi orang jahat? Pada akhirnya Baek akan mati juga."
"Baek harus tetap hidup!" seru ibunya memotong ucapan pasrah Baek. "Di dunia ini, masih ada orang baik, Baek!"
"Tidak mungkin, Ibu! Dunia ini sudah gila—"
"Dengarkan Ibu, Baek! Orang baik itu ada! Mereka bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, melainkan adalah orang yang tidak tinggal diam jika melihat sebuah kesalahan.
"Orang baik akan bertobat. Orang baik akan berjuang. Orang baik ... akan berkorban."
"Ibu, Ayah adalah orang baik." Baek mulai menangis kembali. "Ibu juga orang baik. Jadi, jangan tinggalkan Baek."
Ibu Baek tidak dapat menahan air mata. Tangisan sang putra membuat hatinya semakin remuk. Meski demikian, wanita itu menyadari pengorbanan harus segera dilakukan. Dengan suara bergetar, wanita berambut hitam ini mencium sang putra, lalu berkata,
"Baek, ibu menyayangimu."
Ibu Baek sontak melompat keluar dari tempat ia bersembunyi. Melihat Baek untuk terakhir kali, mata wanita itu berlinang, lalu menggunakan tenaga yang tersisa untuk melindungi Baek.
"Baek, pergi dari sini!" seru wanita itu, mengeluarkan teriakan terkencang yang ia bisa.
"Wahai gedung dan semua benda!
"Mencairlah dan hancurkan orang-orang jahat ini!"
Semua benda yang ada di sekitar ibu Baek meleleh bagaikan lilin yang terbakar.
Sembar menahan tangisan, Baek bergegas melompat dari lantai dua gedung yang mereka tinggali. Batinnya berteriak. Tak kuasa melihat wanita yang ia sayangi ditodongi senapan oleh belasan pria.
"Tembak dia!"
Para tentara bergegas bersiap menembak ibu Baek di kesempatan terakhir, memanfaatkan nyawa mereka sebelum meregang ditimpa bangunan. Sementara itu, ibu Baek memilih menghadap sang putra untuk terakhir kali. Dengan suara lirih, wanita itu berkata,
"Baek, teruslah hidup—!"
Sebuah peluru melubangi kepala ibu Baek, tepat di hadapan Baek.
"IBU!" teriak Baek hingga membuat pita suaranya terluka.
Batin remaja itu bergejolak. Kemarahan memuncak di ubun-ubun. Rasa putus asa membanjiri jiwanya. Tulang-tulang yang tergeser dari tubuh tidak diindahkan olehnya. Kini, Baek hanya bisa menangis kencang. Ia tidak mau menggerakkan kaki. Dia tahu tidak ada gunanya untuk bernapas lagi.
Dunia sialan! Tentara sialan!
Baek terus-menerus mengutuk segala hal dalam batin.
Tanpa bisa berpikir jernih, remaja itu hanya bisa memukul-mukul tanah yang ada di bawah. Tangisannya semakin menjadi-jadi hingga seorang pria muncul berdiri di depannya.
Tiba-tiba berhenti. Tangisan Baek seketika kering ketika melihat sepasang sepatu boot tebal di hadapannya karena ... alas kaki itu adalah sepatu yang hanya digunakan sang penembak, seorang tentara Ming.
Baek menaikkan pandangan untuk menyambut sang malaikat maut. Seorang pria dengan peralatan tembak yang lengkap adalah pencabut nyawa Baek.
Dengan tatapan kosong, Baek membuka lengan. Remaja itu menyambut kematian tanpa ada keraguan. Seakan lelah dengan dunia, Baek tidak mempedulikan pesan dari ayah-ibunya. Baek yakin, hanya orang gila yang percaya orang baik itu ada. Apalagi, di dunia yang busuk seperti ini.
"Bunuh aku!"
Baek berseru dengan suara bergetar. Tatapannya kosong melihat tentara yang ada di depan. Bulir air mata masih bertengger di ujung pelupuk. Tanpa takut, remaja itu mengarahkan kepalanya ke mulut senapan. Dengan tangan yang masih membuka, Baek menyambut kematian. Namun ...,
"Naiklah ke punggungku!" ucap sang tentara.
Perkataan tentara itu langsung memecah tatapan kosong Baek. Dia enggan untuk melubangi kepala remaja yang ada di depannya. Dengan rasa tidak percaya, Baek bertanya kepada tentara itu,
"Mengapa kau tidak membunuhku sama seperti teman-temanmu?"
"Aku minta maaf atas apa yang telah kami lakukan. Itu semua tidak benar," jawab sang tentara.
Orang baik akan bertobat. Suara ibu Baek terdengar di benak.
"Lantas buat apa kau menyelamatkanku?" balas Baek tidak percaya.
"Aku ingin melawan perintah bosku. Bahwa ini semua tidak boleh dilakukan," jawab tentara itu tegas.
Orang baik akan berjuang. Suara ibu Baek kembali terdengar di benak. Membuat batin semakin bergetar.
"Tapi aku adalah seorang MESS! Kau jelas akan dibunuh jika menyelamatkan seorang MESS!" bentak Baek sembari menolak perasaan bahwa tentara di depannya adalah orang baik.
Tetap bergeming, tentara itu tidak menggubris bentakan Baek. Dia sontak mengangkat Baek. Meski Baek masih melawan, tentara itu tetap terus berlari menerjang seluruh desing tembakan.
Baek semakin menangis kencang. Remaja itu tidak kuasa menyaksikan tentara yang menggendongnya terus-menerus—orang baik yang berkorban untuk menyelamatkan kebenaran.
"Hentikan!" Baek meneteskan air mata. "Aku tidak bisa melihatmu mati karena diriku!"
"Kau malah mengkhawatirkanku, Nak? Aku menjadi semakin rela mati untukmu. Kau bahkan rela mati juga untukku," balas tentara itu tanpa keraguan.
Baek malah tidak bisa berhenti menangis. Melihat orang baik yang tidak pernah ia percaya, ternyata malah rela mati hanya untuk seorang MESS yang tidak dikenal, Baek pun sadar akan suatu hal.
Ayah, Ibu, aku akan terus hidup.
Ayah, Ibu, orang baik masih ada di dunia yang gila ini—
"Berhenti kau!"
Suara lantang tiba-tiba memutuskan pikiran Baek.
Baek dan tentara itu seketika berdiri membeku. Tak ada yang bisa bergerak sebab suara mengerikan tadi. Perlahan, Baek dan tentara itu membalikkan badan. Kedua laki-laki ini sangat terkejut ketika melihat apa yang ada di hadapan mereka.
Di depan, jalan raya sudah dipenuhi serdadu berseragam coklat kehijauan yang menodongkan senjata. Sementara di tangan kiri mereka, menggelantung sekumpulan kepala dengan raut putus asa. Mereka adalah tentara Ming—barikade yang akan mengakhiri pelarian Baek.
"Nak, maafkan aku. Aku tidak bisa menemanimu lebih jauh lagi," ucap tentara itu, memasang wajah teduh kepada Baek.
"Tidak, Pak! Jangan berkata begitu!"
"Nak, dengarkan aku! Kau adalah seorang MESS, kan? Kau pasti bisa selamat dari barikade ini, berbeda denganku."
"Pak, jangan katakan itu! Kita bisa keluar dari sini bersama!"
"Dengarkan aku, Nak! Aku menyelamatkanmu karena masih ada jalan keluar dari kiamat ini. Turok tidak diserang semua bagiannya oleh Ming. Pergilah ke Turok bagian utara! Di sana, para tentara Ming tidak akan berani menjamah."
"Turok Utara? Tidak mungkin! Di sana wilayah Korea Utara! Itu sama saja dengan membunuh diriku perlahan! Lebih baik aku mati di sini!"
"Nak, temukan orang baik di sana!"
Orang baik itu ada. Suara ibu Baek terdengar di benak. Suara itu membuat tubuh bergetar setelah mendengar perkataan sang tentara.
Baek menangis sekali lagi. Ia tidak percaya akan melihat tiga orang baik mati di depan mata kepala sendiri, bahkan Baek sudah tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya sanggup menurut ketika tentara itu menurunkannya perlahan.
Sang tentara pun maju selangkah demi selangkah mendekati barikade di depan. Pria itu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, tapi barikade di depannya malah memasang mulut senapan ke arah tentara yang sudah menyerah.
Pria yang mengangkat tangan ini tersadar bahwa ajal akan menemuinya sebentar lagi. Dengan menguatkan diri, pria itu membalikkan kepala kepada Baek. Masih dalam senyuman, dia berkata.
"Nak, teruslah hidup—!"
Ribuan peluru menghujani tentara yang sudah menyelamatkan Baek.
Baek yang melihat orang-orang baik dibunuh di hadapannya dalam sehari, mulai menjadi muak kepada tentara-tentara yang menghancurkan kampung halaman. Menggunakan tenaga yang terakhir, Baek berdiri sempoyongan dengan kaki yang sudah tidak gemetar lagi. Ketakutan sudah hilang dari mata remaja ini, hilang berganti amarah.
"Orang baik akan berjuang!" teriak Baek, menggemakan lolongan amarah ke seluruh penjuru ibukota negeri gingseng.
"Wahai tanah yang menopang pijakan kami!
"Melelehlah dan tenggelamkanlah para orang-orang jahat!"
Bumi bergolak sehebat-hebatnya. Tanah-tanah yang menopang ibukota negeri gingseng sekejap meleleh memakan semua yang ada di atas.
Barikade yang panik mulai melepaskan tembakan kepada Baek. Namun, Baek malah melangkah maju. Remaja itu tak gentar melawan barikade yang sebentar lagi menemui ajal.
"Udara yang tipis!
"Lindungi aku dari tembakan para penghuni neraka itu!"
Sekumpulan dinding tebal muncul dari udara yang tipis. Peluru-peluru itu terpental oleh dinding-dinding ajaib yang berjejer.
Seraya menyorotkan tatapan penuh amarah, Baek berdiri mematung melirik para penghuni neraka di depannya tenggelam ditelan tanah. Bersama kota kelahirannya yang perlahan terbenam, Baek menunduk murung. Remaja itu membiarkan air mata jatuh bersama runtuhnya tempat ia dilahirkan.
Belum kembali dari kesedihan, sebuah suara menggetarkan gendang telinga sang remaja yang mulai berhenti menangis.
"Itu dia!" Seseorang menunjuk Baek.
Baek pun mau tak mau membalikkan badan. Namun, mata remaja itu terbelalak ketika melihat apa yang ada di depan.
Remaja itu menemui barikade yang lain. Deretan pria berseragam coklat kehijauan. Aneh. Barikade ini malah tidak membuat Baek menangis. Secercah mukjizat telah datang atau ... sebuah kesialan yang bertumpuk. Barikade itu ternyata adalah orang-orang Turok Utara, mimpi terburuk Baek, para tentara Korea Utara.
"Bawa laki-laki itu! Dia akan berguna!" seru sang pemimpin barikade.
"Dia adalah Baek. Kepalanya seharga 500 ribu dolar [berkisar 700 miliar rupiah]," sambung sang pemimpin sekali lagi. "Dia adalah MESS yang menenggelamkan kota ini!"
Baek tidak menggubris perkataan sang pemimpin barikade. Tubuhnya yang mulai diangkat oleh tentara-tentara itu, tetap bergeming. Matanya masih abu-abu, tidak mempedulikan apa pun yang ada di hadapan.
Sementara itu, bibir Baek tersenyum heran. Tangannya menutupi tatapan yang perlahan memudar kosong. Dengan kesadaran yang mulai menghilang, remaja itu refleks kembali menitikkan air mata.
Apa yang bisa aku harapkan dari dunia ini?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top