0. Prologue: a year ago
HANCUR LEBUR ujung barat daya bumi-yang-baru. Suara ledakan berdentum di segala penjuru. Seisi kota yang sepi kini disesaki raungan. Dalam sekejap, langit malam berganti merah.
Debu-debu panas beterbangan di angkasa, membunuh setiap makhluk. Jalanan ditutupi abu, juga aroma mesiu yang menusuk hidung. Bahkan, erangan minta tolong tak henti bersahutan di mana-mana.
"Bapak!"
Sesosok bocah berteriak di antara bisingnya waktu itu. Amat kencang, tapi ada gemetar di ujung suaranya. Dia Makka, dan ia menangis—
"Tembak dia!"
Pria berseragam tentara tiba-tiba membalas teriakan Makka. Ia memerintahkan sekumpulan serdadu untuk menembak si pemilik suara yang memanggil bapaknya.
Nekat. Tak mungkin Makka bisa selamat, bahkan menghadapi segerombolan serdadu yang telah melakukan sebuah pembantaian. Namun, dia malah mengernyit.
"Sial!" seru Makka, mengambil shotgun yang (ternyata) melintang di punggung.
Lebih cepat daripada kedipan mata, ia menyiapkan shotgun ke depan muka. Tanpa menunggu lama, dia menarik pelatuk aluminium senapan, lalu—!
Tembakan keluar dari mulut shotgun bagai laser yang mengilat. Peluru panas yang melesat secepat kilat, mengenai kepala pria berbaju tentara yang berteriak tadi.
Langsung bergegas pergi, laki-laki yang berhasil menghabisi seorang serdadu ini tak mau membuang waktu. Dengan cepat, dirinya berlari ke tengah kota, mencari seseorang yang ia sayang.
Terus menerjang keras, wajahnya yang sedang mengamuk itu tertutup dengan abu yang beterbangan. Kulit putihnya mulai tergores puing-puing yang meradang termakan si jago merah. Keringat bercucuran dari setiap sudut, membanjiri sekujur tubuh.
Mengapa ini semua terjadi? Apa salahku? Bapak ... Bapak tidak boleh mati! Kita harus keluar dari sini! Apa pun risikonya!
Makka berteriak dalam batin. Air mata tak terasa keluar dari iris birunya. Giginya meringis menahan tangis, membobol kekuatan seorang lelaki. Tangannya ia kepalkan dengan erat, memendam amarah yang diderita.
Hampir sampai, laki-laki yang tenggelam dalam kepanikan itu mulai memelankan langkah. Di tengah kota, tepat di sebuah rumah yang megah, dia berhenti. Namun—!
Rumah besar itu meledak sehancur-hancurnya. Laki-laki yang tinggal di tempat ini harus terpelanting jauh meski tujuannya sudah di depan mata.
Sebuah rudal mendarat di atasnya. Benda eksplosif itu melontarkan berbagai materi ke segala arah, termasuk Makka yang mencari bapaknya.
Dia hanya bisa terbatuk, sempoyongan ia berdiri. Telinganya berdenging dan matanya memerah terkena abu.
Bapak, di mana Bapak!? seru Makka. Matanya terus menelisik rumah besar yang sudah luluh lantah. Sayang bangunan itu telah hangus dilalap api, tak ada harapan yang tersisa.
Sampai terlempar tinggi, sebuah benda seketika meluncur dari rumah besar yang sudah hangus. Objek itu terbang cepat tepat ke arah alun-alun yang ada di sebelah timur kota.
Bapak! Itu Bapak! seru Makka yakin.
Tatapannya berbinar, dibiaskan air mata yang membanjiri pelupuk. Tidak peduli segala hal, Makka hanya memikirkan sang bapak.
Apa pun yang terjadi saat ini. Kota itu benar-benar dalam kekacauan yang dahsyat. Seorang ibu meninggalkan anak yang disusuinya. Seorang penggembala juga akan meninggalkan domba-dombanya. Akan tetapi, laki-laki ini berpikir gila dengan mencari bapaknya.
Dengan semua dorongan terkumpul di kaki, Makka melesat kencang ke arah benda aneh yang meluncur.
"Bapak!"
Makka terus berteriak, berlari menembus kobaran api. Dia menembakkan shotgun berkali-kali ketika berpapasan dengan tentara yang membumihanguskan kampung halaman. Laki-laki yang sedang menembak tanpa ampun ini, sedang meradang merah menghabisi seluruh tentara penghancur.
Semarah banteng matador, dirinya menangis deras ditenggelamkan kekhawatiran. Tak lupa, dia terus meneriakkan bapaknya ke setiap penjuru kota.
"Bapak, di mana—"
Teriakan Makka sekejap terhenti saat sampai di alun-alun.
Ada sesosok pria bertubuh kekar berdiri. Baju putih yang pria itu kenakan sobek. Di tempatnya, tanah di sekeliling berlubang bak terkena hantaman meteor.
Melihat pria itu, bibir laki-laki yang mencari bapaknya ini mulai tersenyum. Matanya terbelalak lebar dipenuhi sinar harapan.
Makka mulai melangkah, berlari ke arah pria kekar di depannya.
"Itu Bapak!"
Makka kembali berteriak, tapi kini dengan senyum bahagia.
Pria kekar yang ada di hadapannya langsung berbalik ketika mendengar suara laki-laki yang ia sayangi. Sang putra menangis terus seraya memanggil dirinya. Seketika, mata pria itu berbinar walau bibirnya murung dihantui kekhawatiran.
"Bapak!"
"Makka!"
Kedua lelaki itu saling memanggil. Mereka pun berpelukan. Hangat. Rangkulan antara bapak-anak tersebut menguat erat.
Makka memeluk bapaknya dengan tenaga yang tersisa. Sama seperti sang putra, pria itu membalas pelukan Makka dengan sama erat.
"Bapak, ayo kita keluar dari sini!" seru Makka kepada bapaknya.
Sang bapak pun mulai melepas pelukan. Pria itu memegang pipi putranya, kemudian berkata seraya tersenyum,
"Makka, selamat ulang tahun yang ketujuh belas!"
"Bapak, iya, terima kasih, tapi sekarang itu tidak penting! Ayo kita pergi dari sini!" seru Makka sekali lagi dengan tergesa-gesa.
"Makka, coba lihat dagumu! Kamu sudah mulai punya berewok, sama seperti Bapak."
"Bapak, itu tidak penting! Ayo pergi!"
Makka tak tahan membendung air mata kali ini. Mendengar bapaknya yang membicarakan berewok, Makka semakin tak tega. Saat ini, bapaknya hampir tidak memiliki berewok karena terbakar oleh ledakan.
"Makka, dengarkan Bapak!" Sang bapak mendekap kedua pipi putranya. "Makka adalah laki-laki yang baik. Bapak sangat menyayangi Makka. Bapak ingin sekali pergi dan hidup bersama Makka. Bapak juga ingin melihat Makka tumbuh menjadi seorang laki-laki yang cerdas dan kuat. Bapak berharap bisa menggendong anak Makka nantinya dan kita bisa tertawa bersama."
"Kalau begitu, ayo pergi, Pak!"
"Makka, bapak mohon untuk patuh kepada bapak."
"Iya, Pak. Makka selalu patuh kepada Bapak. Makka selalu berlatih siang dan malam bersama guru yang Bapak utus. Makka juga bersekolah hingga berhasil lulus di usia semuda ini. Bahkan Makka tadi sudah berhasil menggunakan shotgun yang Bapak berikan sebulan lalu."
"Alhamdulillah! Bapak bangga kepada Makka." Sang bapak mengelus rambut putranya, bangga. "Tapi Makka, kali ini, bapak tidak bisa pergi bersama Makka. Seseorang yang datang kemari hari ini adalah sosok yang amat mematikan. Seorang MESS yang berbahaya, satu dari empat Kaisar. Bapak harus tinggal untuk menghadapinya. Untuk melindungi Makka."
"Tidak perlu, Pak! Kalau begitu, biarkan Makka di sini untuk membantu Bapak!"
"Makka masih belum siap untuk menghadapi seorang Kaisar—"
"Makka sudah kuat, Pak!"
"Belum!" sahut sang bapak. "Makka masih belum cukup kuat—"
Di tengah ketegangan antara bapak-anak itu, sebuah lubang raksasa tiba-tiba terbuka di ujung alun-alun.
Kemunculan portal itu membuat bapak Makka mengguratkan wajah panik. Sang bapak pun buru-buru berkata kepada Makka,
"Makka, sekarang waktu kita hampir habis! Jadi, dengarkan bapak! Kamu adalah harapan satu-satunya bagi bapak! Bagi MESS juga!
"Pergilah cari ibumu! Dia belum meninggal. Ibumu berada di Cycle Stream. Seekor MESS duyung bermata biru, sama sepertimu. Bapak menempatkan ibumu di sana untuk melindunginya dari para Kaisar. Setelah kau cari ibumu, dengarkan dia dan lindungilah dia! Ibumu akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan. Kau harus menyelamatkan para MESS!
"Dan ingatlah ini, Makka! Jangan percaya kepada siapa pun, terutama para Kaisar!"
"Iya, Pak! Tapi, ayo kita menemui ibu bersama—"
"Tidak ada tapi-tapian, Makka!"
Memotong perkataan bapak Makka, seorang pria berambut emas tiba-tiba mengeluarkan batang hidung dari portal.
Setelah melihat pria itu, bapak Makka melakukan suatu gerakan. Di setiap gerakannya, percikan api menyembur keluar. Sementara sambil mengusap air mata, Makka berusaha untuk menerima kenyataan bahwa sang bapak tidak bisa hidup lebih lama lagi. Makka pun menahan dirinya kuat-kuat.
Setiap air mata yang terjatuh, membuat sang bapak melakukan gerakan semakin cepat. Bunga api kebiruan terpercik semakin banyak. Sang bapak hanya bisa menatap mata biru Makka dengan sendu.
"Makka, jadilah kuat!"
"Bapak!"
"Makka, teruslah hidup!"
"Bapak!"
"Makka, Bapak ... menyayangimu!
"Api biru, aku memohon kepadamu ... bawa putraku pergi!"
Kilatan bunga api biru raksasa seketika muncul, menyambar Makka. Ia pun meluncur sangat jauh, terlempar disebabkan ledakan yang dibuat oleh sang bapak.
"BAPAK!"
Makka berteriak sekencang-kencangnya berharap sang bapak bisa mendengarnya. Air mata semakin terjatuh deras. Makka tak kuasa menahan kesedihan. Ia hanya bisa mengingat, pelukan tadi adalah pertemuan terakhir dengan sang bapak, pria yang sangat ia sayangi.
Sementara itu, laki-laki yang keluar dari portal kemudian berbicara kepada bapak Makka,
"Hah, perpisahan yang menyayat hati, ya?"
"Jangan sentuh putraku!"
"Tenang-tenang, putramu akan menyusulmu juga, kok!"
"Tidak akan! Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya walaupun aku harus mengorbankan nyawaku!"
Pria misterius berambut emas itu tertawa. "Boleh juga!" Dia memasang kuda-kuda dan menciptakan ratusan portal. "Kalau begitu, buktikanlah perkataanmu!"
Kedua pria itu saling melakukan serangan terdahsyat. Saking dahsyatnya, ledakan terjadi menghancurkan seisi kota seperti bom atom.
Sementara itu, Makka berhasil mendarat di suatu tempat yang dipenuhi tebing batu.
Walaupun Makka terluka karena harus jatuh dari ketinggian bermeter-meter, Makka masih sanggup berdiri. Ini menunjukkan bahwa Makka benar-benar kuat seperti perkataannya. Sementara itu, saat dia berbalik ke arah tempat tinggal, dia menyaksikan sebuah ledakan besar yang menghancurkan seisi kota.
Masih dalam usaha bangkit, angin pun terkena dampak dari ledakan tersebut.
Makka kembali menangis. Dirinya menunduk mengambil shotgun yang sedari tadi dibawa. Tenggelam dalam kekesalan, Makka mengutuk seluruh pendosa yang menyebabkan mimpi buruk malam ini.
Orang-orang brengsek! umpat Makka, Bapak harus mengorbankan nyawanya untuk mengalahkan kalian! Aku tidak akan membiarkan kalian tenang karena melakukan dosa ini, terutama kepada Bapak—
"Tembak laki-laki itu!"
Sesosok tentara tiba-tiba berteriak beberapa ratus meter dari tempat Makka.
Makka pun bergegas menyiapkan shotgun untuk menembak tentara itu. Akan tetapi, tentara yang keluar jumlahnya sangat banyak. Sekitar ribuan.
Melihat jumlahnya yang terlampau banyak, Makka memasang kembali shotgun ke punggung. Setelah itu, dia menjadikan sepatu yang ia kenakan menjadi mode ice skating.
Tidak, aku harus pergi dari sini! Jumlah mereka terlalu banyak! seru Makka sangat khawatir.
Makka mulai meluncur dengan kencang menggunakan sepatu ice skating. Ajaib. Tanah-tanah di bawahnya berubah menjadi es, mengikuti sepatunya bergerak.
Sementara terfokus dalam pengejaran, tentara-tentara itu mulai mengambil kendaraan untuk mengejar target buruan. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka dapat menyusul Makka, lalu bergegas menembakinya dengan ratusan timah panas.
Peluru-peluru melesat kencang ke arah Makka. Dengan keberuntungan yang tak tahu sampai kapan akan habis, Makka bisa menghindari semua tembakan.
Sial, mereka sudah menyusul! Makka menoleh berkali-kali.
Sebuah peluru tak terelakkan mengenai paha kiri Makka. Laki-laki itu merasakan sakit yang meradang di bagian kaki.
Makka terjatuh bergulingan. Dia mencoba merangkak untuk pergi menghindari tentara-tentara itu. Sayang, Makka tahu bahwa itu semua percuma. Dia pasti akan mati sebentar lagi. Makka pun menangis sembari menahan sesal.
Sial, bapak sudah mengorbankan diri untukku. Sekarang, aku malah akan mati! Tak sadar air mata meluncur dari pelupuk bersimbah sesal.Ya Allah, mengapa aku selemah ini? Mengapa hidupku seperti ini? Mengapa aku harus terlahir sebagai MESS?
Semakin deras. Tangisan menerjun kencang disebabkan nasihat bapak Makka yang terlintas di kepala laki-laki yang putus asa ini.
Kamu adalah harapan bagi bapak. Bagi para MESS.
Makka, jadilah kuat! Teruslah hidup! Bapak ... menyayangimu!
Seketika, darah Makka mendidih. Cahaya biru keluar dari tubuh. Sebuah eksitasi terjadi disebabkan besarnya energi yang dihasilkan. Pikiran Makka bergolak hebat hingga tidak ada yang bisa ia dengar. Hanya air laut yang ada di samping kanan-kiri menjadi sesuatu yang dapat didengar. Tak lama, mata Makka bersinar biru. Dengan suara yang berubah berat, Makka mengeluarkan teknik MESS-nya,
"Air-air yang mengisi semesta, aku memohon bantuanmu."
Tanah yang ada di hadapan Makka berubah menjadi lemah. Semakin rapuh, tanah-tanah itu jatuh ke lautan bawah.
Semua tanah yang kokoh berubah menjadi debu yang beterbangan.
Tentara-tentara yang mengejar Makka menjadi panik berbalik arah. Sayang larian mereka kalah cepat dengan kekuatan Makka, sebuah kemurkaan yang mengubah seisi pulau layaknya kapas yang tak bermassa. Tubuh tentara-tentara itu berubah menjadi debu yang diterbangkan angin. Kekuatan Makka terus menyebar hingga mencapai seisi pulau dan kota. Segala yang ada di hadapan Makka lenyap.
Kosong.
Hilang menyisakan lautan lepas.
Sudah berakhir. Kekuatan Makka padam. Sinar biru lenyap dari tubuhnya. Makka pun jatuh terkulai tak berdaya. Semua tenaganya habis dimakan kekuatan destruktif. Sekarang, Makka hanya bisa mengingat perkataan terakhir sang bapak. Dengan lirih, Makka berbisik,
Jangan percaya siapa pun!
Temukan ibumu!
Lindungi para MESS!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top