Hujan 25
Happy reading guys 😊
Vote komen jangan lupa 😙
**
"Gue..."
Gilang menanti ucapan Hana selanjutnya. Senyumnya merekah. Tenang, Gilang adalah pendengar yang baik.
Hana menunduk, menyeka isakannya. Hana terharu tentu saja. Tak ada kata yang mampu terucap oleh Hana. Ia tak sanggup membalas tatapan Gilang. Dadanya sesak, ia tak sanggup mengatakan perasaannya yang sebenarnya. Bahwa.. Bahwa hatinya sudah terisi dengan nama yang lain..
Hana memeluk Gilang erat. Tak berucap, hanya isakan yang keluar dari bibirnya. Tak ada jawaban atas ungkapan cinta Gilang.
Hana menarik pelan sisi samping jaket Gilang. Meremasnya pelan. Ia tak sanggup menyakiti hati pemuda ini. Gilang begitu baik padanya.
Gilang sedari tadi selalu menampilkan senyum. Tak sanggup rasanya Hana berkata yang sebenarnya.
Setelah isakannya berhenti, Hana berkata pelan, "Gu-gue gak bisa.."
Gilang melonggarkan pelukannya. Ditatapnya mata bulat Hana. Mencari jawaban, benarkah ucapnnya tadi?
Dan di sana hanya ada air mata dan juga rasa bersalah.
Cintanya tak berbalas.
Gilang mengurai pelukannya. Pandangannya kosong. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Apa pengorbanannya masih belum cukup? Apa perlakuan manisnya selama ini belum cukup? Apa yang belum Gilang lakukan untuk Hana?
Gilang sudah melakukan apapun. Mengabaikan semua mimpinya. Meninggalkan pertandingan hanya untuk Hana. Mengorbankan segala prestasinya hanya untuk Hana. Bertengkar dengan Shinta demi rasa cintanya pada Hana. Mengecewakan mamanya karena ia tak mendapat kemenangan.
Sakit. Perasaannya hanya ia yang merasakan. Namun, Gilang menyadarinya, pasti ada nama lain di hati Hana. Hana tak akan menolak siapapun jika hatinya belum terisi.
Memikirkan siapa nama itu. Mengingat perlakuan Hana setelah bertemu Shinta dan Dhika tadi yang lebih sering melamun.
Setelah lama, terdiam, semenjak ungkapan cintanya Gilang baru bersuara, "Siapa dia?" ada jeda sedikit sebelum ia melanjutkan "Orang yang kamu cinta?"
Hana hanya terisak pelan. Terdiam, tak sampai hati harus mengatakannya pada Gilang.
Ia kembali menatap Gilang bersalah. Wajahnya penuh air mata. Mata bulatnya merah juga hidungnya.
"Dia.. Dhikaa," kata Hana pelan.
Hana melepas kacamatanya. Mengusap air matanya pelan.
Memberanikan diri. Hana menatap Gilang, yang hanya menunduk. Bersandar pada mobilnya. "Maksih lo udah cinta ke gue."
Gilang mendongak, pandang terluka menghunus manik mata Hana. Gilang hanya terdiam, membuat Hana semakin meras bersalah.
"Makasih buat semuanya. Tapi... tapi gue bener-bener gak bisa Gilang," ucap Hana pelan.
"Tak adakah tempat untukku di hati kamu Han?" tanya Gilang, menatap Hana dengan tulus meski ada sedikit luka di sana.
Hana semakin merasa bersalah.
"Apa aku sudah terlambat Han? Apa semua pengorbananku untuk kamu selama ini kurang?" ucapnya lagi.
Hana menggeleng berulang kali.
"Gue bener-bener gak bisa Gilang. Sorry..."
Hana berbalik. Berlari, mendorong gerbang rumahnya. Ia sudah tak kuasa, tak tega melihat wajah tulus Gilang. Ia telah menyakiti hati pemuda itu. Ia merasa menjadi gadis yang jahat. Pemuda yang sempat dikaguminya dulu...
Matanya berurai air mata. Berkali ia usap kasar. Hana berlari, memasuki rumah menuju kamarnya. Tak memperdulikan tatapan bingung Deny yang sedang minum kalengan soda di ruang tamu.
Ia berlari menuju kamarnya. Perasaan bersalah itu kembali muncul. Berkembang menjadi rutukan mengatakan bahwa dirinya jahat.
*****
Hana terbangun dengan wajah sembabnya. Hampir semalaman ia merutuki dirinya sendiri. Mengutarakan betapa bodoh dirinya. Menolak cowok sebaik dan setulus Gilang.
Malam sebelumnya, Hana memang menangis. Tapi tangisan itu di tujukan untuk rasa kesalnya pada Dhika karena jalan bersama Shinta.
Namun, malam setelahnya ia benar-benar merasa menjadi orang yang jahat. Menolak Gilang yang begitu baik padanya. Penyesalan selalu datang di akhir.
Semalaman ia menangis, mengingat semua yang Gilang lakukan padanya akhir-akhir ini. Terkadang ia berpikir, kenapa ia tak mencintai Gilang saja. Gilang adalah sosok yang banyak di idam-idamkan kebanyakan cewek.
Kenapa di hatinya harus Dhika? Cowok itu bahkan tidak lebih baik dari Gilang. Gilang selalu lebih unggul di banding Dhika.
Tapi untuk masalah hati? Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta tidak bisa memilih. Cinta tidak bisa mengarah pada seseorang sesuka hati kita.
Rasa itu alamiah. Rasa itu muncul dikala hati merasa nyaman, bahagia, bahkan sekalipun terlindungi. Kita tidak bisa mendikte cinta. Biarlah cinta mengarah pada orang semestinya.
Kembali pada Hana yang kini tengah mematut dirinya di cermin. Kacamata hitam lagi-lagi menghiasi kelopak matanya yang bengkak.
Ia tak peduli.
Bagaimanapun, ia harus menjalani harinya. Meskipun dengan kondisi seperti patah hati begini.
*
Di sekolah, Hana tengah berjalan menelusuri koridor menuju kelas.
"Hana, tungguin gue!" sapa Fitri, sedikit berlari mengejar Hana di depannya.
Tangannya menggapai bahu Hana, membuat Han menoleh pada Fitri.
Mereka berjalan beriringan, menuju kelas.
Menyadari Hana yang memakai kacamata, Fitri langsung bertanya.
"Lo abis nangis?"
"Ehm, yah, lo satu-satunya temen yang paling ngerti gue," kata Hana dengan suara sedikit serak. Berani bertaruh jika sedari tadi Hana belum membuka suara.
"Kenapa? Si Dhika lagi? Galau lagi? Seberapa parah, sampe nangis gitu?" tanya Fitri sedikit terkekeh. Biasanya Hana akan langsung ngambek.
"Bukan Dhika. Tapi.. Gilang. Gue kemarin..ditembak sama dia."
Fitri membelalakkan matanya.
"Demi apa?! Gila, si Gilang gas pol aja. Diem tapi menghanyutkan cuy," komentar Fitri.
Tapi buru-buru Fitri mengernyit. Lalu apa masalahnya? Bukankah Bagus? Hana pernah berkata jika dia mengagumi Gilang'kan?
"Terus, kenapa lo nangis?"
Hana menunduk, "Bodohnya gue, gue nolak dia," katanya lemah.
Di sampingnya Fitri sudah seperti cacing kepanasan. "Sumpah? Gila! Goblok, cowok cakep kayak Gilang dibuang. Aduuuh Hana, otak kamu nyangkut di mana sih?"
"Entahlah Fit, gue gak nyaman sama Gilang. Dan..."
"Dan lo masih suka dhika?" tanya Fitri telak.
Hana mengangguk lemah. Sepertinya hari ini benar-benar berat baginya.
**
Pulang sekolah kali ini, Hana memutuskan untuk berdiam di kelas dulu. Jemputan kali ini giliran Reyga, jadi ia tak perlu buru-buru ke pintu gerbang. Kecuali, jika ia di jemput Gilang. Beda ceritanya.
Gilang.
Hana kembali teringat dengan Gilang. Ia menghela nafas berat. Rasa bersalah kembali menyelimutinya.
Sudah dua hari sejak sabtu kala itu, Gilang belum menghubunginya. Mungkin Gilang marah, Hana tak ambil pusing. Gilang memang berhak marah. Tapi cinta tak bisa di paksa.
"Gilang, pliss maafin gue. Gue gak mau lo hantui terus-terusan," Hana bergumam sendiri.
Kelas sudah mulai sepi. Hana memutuskan untuk beranjak dari duduknya. Reyga sudah di depan mungkin.
Melangkah pelan. Di kepalanya masih terputar kejadian sabtu kala itu. Sepertinya Gilang benar-benar menghantui Hana. Efek Gilang begitu dahsyat.
Bisa saja setelah ini Hana jatuh cinta pada Gilang. Siapa yang tahu. Toh, perasaan seseorang bisa berubah seiring waktu.
"Kenapa gue jadi gini sih?" Hana mengeluh pelan. Pundaknya terkulai lemas. Ia benar-benar tak bersemangat.
"Han, Hana!"
Suara itu? Suara yang menghilang selama dua bulan semenjak tahun baru. Suara yang sangat dirindukan Hana. Hati Hana menghangat. Jantungnya memompa lebih cepat. Perutnya sedikit mulas. Reaksi tubuhnya benar-benar berlebihan. Payah!
Hana berbalik. Di sana, Dhika sedikit terengah. Senyumnya merekah, lebar hingga memperlihatkan deretan gigi rapinya. Membuat Hana melongo. Terpana, itu adalah senyum terindah yang pernah dia lihat. Bahkan mengalahkan senyum manis Gilang. Ah, Hana merindukan senyum itu. Senyum yang mampu menggetarkan hati Hana. Ternyata, hingga saat ini hatinya pun maaib sama, berdegub lebih kencang jika melihat Dhika semenjak pelukan mereka waktu itu.
Tersadar setelah lama terpesona, Hana buru-buru membuka mulutnya.
"Eh, uhm Dhika?" tanya nya ragu.
Dhika berjalan pelan ke arah Hana. Koridor sekolah mulai sepi, hanya ada beberapa siswa yang masih berlalu lalang.
"Bisa kita bicara dulu."
Mampus gue! Astaga, gue harus gimana ini. Kabur, kabur Han!!
*
*puvy
Jangan lupa likenya wkwk
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top