Hujan 24

Seminggu setelah kecelakaan.
Suasana kelas begitu kondusif. Saat ini sudah try out keberapa bagi para kelas dua belas. Yang jelas mereka sudah terbiasa dengan berbagai try out mendadak.

Bu Putri -guru matematika- sedang membagikan selebaran kertas soal juga lembar kunci jawaban. Di sebelah Hana, Shinta tengah sibuk dengan pensilnya yang kurang runcing. Ia meraih rautan.

Benar. Mereka bersebelahan. Meski hubungan keduanya tengah renggang, tapi untuk keadaan seperti ini Shinta lebih memilih duduk bersama Hana. Apa lagi, jika bukan untuk memanfaatkan Hana.

Hana sendiri pun masih bodoh untuk mengerti tindakan Shinta, yang sering berubah-ubah. Yang terkadang tersenyum meremehkan, atau bahkan memasang wajah permusuhan.

Namun, di saat seperti ini Shinta bersikap seperti seorang teman layaknya malaikat. Senyumnya berkembang. Berkata ramah pada Hana. Padahal, hal itu hanyalah kedok semata untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Nilai yang Bagus. Hana cukup diperhitungkan untuk mendapatkan nilai yang bagus. 

"Baik, waktu kalian dua jam. Silahkan mengerjakan. Tanpa ada suara."

Setelahnya, kelas benar-benar sayup. Sibuk mengerjakan. Kemudian, guru yang cantik dan ramah itu mulai berkeliling.

Melihat siswa yang duduk di pojok tembok tak fokus pada kertas di hadapannya, membuat guru itu sedikit menegur, "Raka, duduknya jangan menyamping. Hadap ke depan."

Raka yang di panggil sontak mendongak. Tubuhnya yang memang agak gendut rupanya membuat duduknya tak nyaman.

"Iyaa bu."

"Nando, jarak mejanya tolong sedikit di mundurin."

Bu Putri itu terkenal dengan kedisiplinan, wajar saja bersikap seperti itu. Seisi kelas juga nurut saja, kecuali satu dua anak. Termasuk Rival yang kini sedang memprotes.

"Alah, kenapa saya nggak ibu panggil. Yang lain aja di panggil. Saya kan pingin, nama saya di panggil ibu. Rival gitu.." gerutu Rival manja yang duduk di bangku belakang.

Sontak, seisi kelas menjadi gaduh. Bermacam ledekan dari murid sekelas untuk Rival kini terlontar. Modus. Rival selalu begitu pada bu Putri. Sedangkan, guru yang memang menarik hati itu hanya terkekeh cantik. Bisa-bisanya ia di goda oleh muridnya sendiri.

      
                   *****

Sudah sebulan semenjak kecelakaan Hana. Gadis itu lebih banyak termenung. Melamun. Segala rasa bersalah pada Gilang terus menghantuinya. Hingga ia memutuskan untuk menebus rasa itu dengan selalu berada di dekat Gilang. Karena disisi lain cowok itu juga yang memintanya.

Hubungan mereka semakin dekat seiring berjalannya waktu. Dan berbanding dengan terbalik dengan Dhika. Hampir dua bulan cowok itu seakan menghilang tertelan waktu. Seringkali Hana menerka-nerka kemana Dhika sebernarnya.

Di sekolah, Hana pun tak pernah menjumpainya. Seakan Dhika memang benar-benar tak ada. Padahal dulu sewaktu mereka dekat, cowok itu selalu berada di sekitar Hana. Entah mengganggunya dengan segala kejailannya. Atau menggombalinya hingga membuat Hana terbang sampai terbawa perasaan.

Hana saat ini sedang menunggu Gilang. Gilang memaksa menjemput, padahal Hana susah meronta-ronta menolak. Hana masih belum merasa nyaman dengan Gilang, ditambah kejadian kecelakaan waktu itu.

"Hanaaa kuu! Aduh, Hari gini masih murung aja. Gak jaman tau! Senyum Han, senyum!"

Fitri datang menghampiri Hana, yang sedang duduk di halte.

"Iiihh, apaan sih Fitrii! Iya, iya gue senyum." Hana memaksa senyum tipisnya, tapi kemudian wajahnya datar kembali.

"Galau lagi? Hadeuuh, bukannya lo udah sama  pangeran lo si Gilang itu. Apa lagi sekarang?"

"Gue lagi males ngomong! Jangan bicara! dari pada gue bentak, terus lo nangis lagi."

Fitri terkekeh pelan, "Gue udah kebal sama lo Han, Hahahah."

"Aha, gue tau. Lo pasti galau gak ditembak sama Gilang. Yakan? Emang cowok ganteng itu brengsek Han! Mereka cuma sukanya pdkt doang.. Lo tau si Arkan?  Cowok itu beneran php in gue. Gila! Gue diphpin adek kelas sendiri!"

Hana hanya menghela nafas malas. Dalam hati ia membenarkan ucapan Fitri.

"Eh, itu si Gilang. Buruan sana di jemput pangeran berlesung pipi jangan manyun kek gitu. Lo pikir imut? Kayak pantat kebo tau!"

"Diem gak!" gerutu Hana. Ia beranjak, menuju Gilang dengan matic putihnya. Sedangkan Fitri hanya tersenyum menggoda.

"Bwahaha."

                   *****

"Kenapa dari tadi kayak bete gitu?" tanya Gilang, sedikit menyampingkan kepalanya. Mereka sedang berkendara.

"Huh? Enggak, gue gak bete kok. Fitri aja tadi ngeselin."
Urung mengatakan yang sebenarnya, bahwa Hana memang dalam posisi mood yang kurang bagus.

"Hm, udah berapa lama kalian temenan?" tanya Gilang.

"Semenjak kelas sepuluh. Kenapa?" Hana sedikit berteriak, mereka menggunakan motor. Bisa saja suaranya tak terdengar. Dan mengulang lagi Hana terlalu malas.

"Gak papa."

Gilang melirik jalan sekelilingnya. Matanya tertuju pada rumah makan bebek. Bebek khas Madura yang membakar lidah. Entah mengapa ia teringat dengan Shinta.

Ia membelokkan matic nya.

"Yuk makan, gue laper."

Tidak, sebenarnya Gilang tidak selapar itu. Dia hanya sedikit merindukan sahabatnya. Shinta benar-benar memutus kontak.

                    *****

Sabtu malam minggu kini terasa berbeda. Kali ini Gilang mengajak Hana nonton di salah satu plaza di kota itu.

Ramai tentu saja. Antrian panjang sudah menanti mereka ketika memasuki area bioskop karena film yang akan mereka tonton memang bagus.

Akhirnya mereka memilih untuk berkeliling sebentar. Menunggu antrian panjang itu memendek.

Hana terlihat cantik dengan baju casual yang dipadukan dengan rok selutut juga balutan sneakers di kakinya. Ia kini mengenakan kacamata kucing nya, bukan untuk gaya. Hana memang minus tapi ia tak pernah memakainya.

Biasanya jarang sekali ia memakai kacamata ketika sedang  hang-out. Entah mengapa malam ini ia ingin memakainya.

Gilangpun terlihat keren, cool seperti biasa. Sepatu sneakers yang membalut kaki nya terlihat menarik, juga kaos yang terlapisi jaket bomber hitam. Terlihat sangat pas di tubuhnya.

Mereka terlihat serasi.

Lama mereka berkeliling, memutuskan untuk ke salah satu foodcourt, memesan dessert donat dengan toping yang menggoda mata.

Mereka menghabiskan makan dengan senyuman yang merekah.

Namun, semuanya sirna begitu saja. Senyum Hana menghilang.

Di sana.

"Eh, bukannya mereka... Shinta?" tunjuk Hana pada seorang gadis yang sedang tertawa lebar, gadis itu menghadap ke arah Hana, posisi mereka sejajar. Terhalang dua meja.

Gilang menoleh ke belakang. Sedikit terkejut. Ia tahu punggung siapa itu.

"Dan.. Dhika." ucap Gilang tak yakin. Mereka berada di foodcourt yang sama.

Hana membenarkan dalam hati. Entah mengapa dadanya sedikit sesak melihat mereka.

"Mereka ngapain yah kira-kira?" tanya Hana menyipitkan matanya. Mencoba menerka.

"Have fun. Kayak kita sekarang mungkin," ucap Gilang santai. Padahal di hatinya ia sangat tak nyaman dengan kondisi saat ini.

Ada Shinta. Dan dia belum berucap sapa dengan Shinta semenjak pertengkaran mereka.

"Coba ikutin yukk, gue penasaran sama mereka. Kayak deket banget gitu."

"Gak usah lah, biarin mereka jalan sendiri," jawab Gilang cuek.

Hana terdiam. Benar juga. Apa urusannya dengan dia? Suka-suka mereka dong!

"Bukannya lo sahabatnya Shinta, kenapa kalian hampir gak pernah bareng lagi?" tanya Hana penasaran. Ia menyadari hubungan Gilang dan Shinta yang sedikit renggang.

"Kita bareng, cuma lo gak tahu aja." Gilang meneguk minuman di hadapannya.

Hana mencicipi donat itu. Mengunyah pelan. Namun matanya masih menatap lurus meja Shinta.

"Apa gue aja yang ngerasa, kalo mereka mirip orang pacaran?"

"Yah, mereka emang deket dari dulu."

Seketika, mood Hana hancur. Ada sedikit rasa kesal di dadanya. Mendengar pernyataan Gilang, juga perlakuan Dhika yang sedang mengulurkan tangannya membersihkan sudut bibir Shinta.

                    *****

Gilang menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Hana. Setelah tadi melewati malam minggu dengan penuh senyum bersama cewek yang dia sukai.

Dadanya berdegub kencang.  Ia yakin akan mengutarakan perasaannya. Perasaan yang tiba-tiba muncul seiring berjalannya waktu. 

Gilang berdehem menghilangkan rasa groginya. Seakan suaranya tercekat di kerongkongan. Ia turun dari mobilnya, kemudian memutar membukakan pintu untuk Hana. 

Gilang Bersandar pada mobilnya. Menatap Hana yang terlihat begitu cantik di matanya.

"Thanks ya Lang," suara Hana terdengar begitu merdu di telinganya. Membuat dada Gilang berdetak dengan kencangnya.

Baru saja Hana akan berbalik, tangannya digapai oleh Gilang. Hana menoleh, ada sebuah tanya yang memenuhi kepalanya. Gilang menggenggam erat tangan Hana. Sedikit mengusapnya pelan. Membuat Hana terheran dengan perlakuan Gilang.

Gilang jarang sekali melakukan kontak fisik dengannya. Sesekali memang menggenggam, seperti tadi di bioskop.

"Gue sayang sama lo Han," ucap Gilang, menatap mata bulat Hana.

Hana tersenyum. Manis, hingga membuat jantung Gilang mulai berdebar. "Gue juga sayang sama lo Gilang."

Gilang menatap Hana lembut. Tangan Hana yang semula hanya digenggam, ditariknya pelan menuju bibirnya. Dikecup pelan, menyalurkan segala perasaannya lewat perlakuan tadi.

"Gue cinta sama lo."

Hana terdiam, mematung mendengar suara tulus Gilang. Terkesiap, Hana benar-benar tak menyangka. Bagaimana mungkin? Gilang menyukainya, menyatakan cinta padanya. Bahkan untuk membayangkan saja Hana tak pernah berani. Terlalu muluk.

Sayangnya, Hana sudah membuang rasa kagumnya. Kekagumannya hilang seiring waktu. Tak ada lagi getar di hatinya untuk Gilang. Hanya sebuah pertemanan.

Hana menelisik kedua mata Gilang. Di sana hanya ada harap juga ketulusan. Gilang tersenyum singkat. Balas menatap Hana, menunggu respon Hana. Hana hanya mematung.

Gilang mengungkapkan segala perasaan yang ada di dalam hatinya. Menyampaikannya lewat sorot matanya yang penuh cinta. Betapa Gilang sangat mencintai Hana tergambar jelas di sana. Hanya ada tatap mata lembut dan tulus.

Hana menunduk, matanya berkaca-kaca siap mengeluarkan buliran air mata. Hana tak berani menatap balik Gilang. Tak sanggup mematahkan harap juga tatapan penuh cinta Gilang.

Kenapa ini terjadi disaat yang tidak tepat. Jika saja Gilang berucap cinta tiga atau empat bulang yang lalu, maka Hana pasti akan menyambutnya. Hana tak tega pada Gilang. Haruskan ia mengatakan penolakan verbal? Ataukah menerima Gilang?

Hana terisak pelan.  Membuat Gilang mendongakkan wajah Hana.
Ia tak menyangka efeknya akan membuat Hana menangis.

"Gue..."

*
*Puvy

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top