Hujan 23
Bunyi detak jam dinding yang kini menemani Hana. Malam terasa semakin sunyi, namun matanya belum mampu terpejam. Ia kini terbaring di ranjang rumah sakit. Teman-temannya tadi sudah pulang.
Hana kini tengah menunggu Reyga yang tadi mengantar Andhin pulang. Sepi. Ruangan yang tadi ramai sekarang hanya hening yang menyelimuti.
Hana masih termenung. Memikirkan ucapan Shinta tadi. Bahwa Gilang telah mengorbankan pertandingan demi dirinya.
Hana benar-benar merasa bodoh sekarang. Akibat tindakan nekatnya, impian Gilang menjadi korban. Bahkan, Hana masih mengingat betapa antusiasnya Gilang menceritakan segala persiapannya. Padahal ia tahu sendiri jika Gilang termasuk cowok yang cukup dingin juga pendiam.
Semua salahnya. Jika saja ia menuruti perkataan mamanya. Jika saja ia di antar supir. Jika saja keinginannya tak seperti ini.. Dan masih banyak jika dan seandainya lagi di kepala Hana.
Kepalanya pusing memikirkan kejadian beruntun yang serba mendadak ini. Ia merasa bersalah pada Gilang. Tak seharusnya Gilang menerima kekalahan yang belum terjadi padahal dia punya potensi.
Sedangkan Gilang sendiri merasa tak ada apa-apa. Bersikap biasa saja. Hal itu semakin membuat Hana merasa seperti orang yang jahat. Dengan ketidaktahuan Hana, ia seperti seseorang yang tidak tahu diri.
Hana mengambil apel di meja kecil di samping ranjangnya. Menggigit kecil. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Pahit. Lidahnya mati rasa. Bersusah payah Hana menelah gigitannya. Rasa pahit itu mengiringnya mengingat kepahitan yang lain.
Bukannya pikiran itu tenang, malah semakin menjadi. Di pikirannya berkeliaran beragam tanda tanya.
Apa dia gak tau kondisi gue sekarang?
Apa dia gak tau gue abis kecelakaan?
Kenapa sekarang dia gak pernah ada lagi?
Kemana perginya Dhika? Apa sekarang Hana boleh berkata bahwa ia merindukannya?
Menghela nafas kasar. Kenapa di saat seperti ini ia masih sempat memikirkan Dhika. Bahkan bisa saja Dhika sudah melupakannya. Atau mungkin Dhika sudah bersama pacarnya. Bukankah cowok itu selalu mencari objek baru?
Memikirkan Dhika yang sudah punya pacar. Kepala Hana kembali pusing. Pusing memikirkan semua yang sudah terjadi padanya akhir-akhir ini. Benar-benar di luar dugaannya.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Membuat Hana kelabakan. Ia berusaha menggapai novel di samping bantalnya. Menutupkan di atas wajahnya.
Reyga. Dia tengah berjalan santai menuju Hana.
"Udah, mending lo istirahat aja Han," kata Reyga menuju ranjang, menghampiri Hana kemudian mengambil novel yang ada di atas wajah Hana.
Hana sengaja. Berpura-pura tidur.
Hana mendengus. Usahanya gagal. "Ah, pusing gue Ga!"
"Makanya tidur, biar cepet sembuh," tutur Reyga. Bagaimapun juga ia ingin melihat kesembuhan Hana.
Hana termenung lagi, membisu, membuat Reyga bertanya-tanya. Ada apa dengan sepupunya ini. Tak biasanya Hana menjadi sosok pendiam di dekatnya. Hana adalah cewek yang cukup cerewet jika sudah lama mengenalnya.
"Masa sih dia gak tau gue kayak gini?" Hana berguman, bertanya pada dirinya sendiri. Yang sayangnya terdengar oleh Reyga.
"Siapa?"
Hana mengambil nafas dalam. Kelepasan. Kenapa sedari tadi ia terus-terusan memikirkan hal ini sih?
"Enggak, Gak penting juga kok."
Reyga memutar otaknya. Mencari siapa yang dimaksud Hana.
"Siapa? Dhika? Cuma dia yang belum jengukin elo kayaknya. Lo ada masalah sama dia?" ucap Reyga telak. Hana membulatkan matanya. Tangannya bergerak, sebagai kode menolak dugaan Reyga.
"Hah? Eng-enggk kok! Siapa juga yang nungguin dia. Malesin!"
Melihat reaksi Hana yang berlebihan membuat Reyga tersenyum sinis, "Kayaknya ada yang gak beres nih."
"Apa? Jangan ngaco deh Ga!" sungut Hana kesal.
"Cerita! Lo kenapa sama Dhika? Kenapa dia jadi jarang kumpul, padahal itu anak paling semangat kalo ketemu elo."
Hana membelalakkan matanya.
"Beneran?! Kenapa lo gak pernah cerita ke gue! Ah, kutu kupret lo dasar!"
Reyga tersenyum tipis, dugaannya benar, "Tuh kan, baru di pancing gini doang udah heboh. Berani taruhan, lo suka sama dia ya?"
"Reyga gila!" Hana cemberut mendengar ledekan Reyga.
"Hwahaha,"
Hana malu bukan main. Siap-siap saja telinganya akan panas oleh godaan Reyga.
"Tau gini, mending gue tidur beneran tadi."
"Tunggu, jadi... Lo beneran suka sama si monyet satu itu?"
"Apaan sih?! Enggak!" tapi rona merah di wajah Hana membuktikan segalanya. Reyga menghela nafas.
Parah! kenapa pake salah target segala. Gue kan comblangin si Gilang bukan Dhika!
"Lo beneran suka dia?" tanya Reyga serius. Bersandar pada kursi yang di dudukinya dengan tangan terlipat.
Hana terdiam, memikirkan ucapan Reyga. Rasa panas menyerang pipinya hingga terlihat sedikit merah. Tapi buru-buru dia menangkup wajahnya. Cukup! Bisa-bisa dia akan diledekin Reyga terus menerus.
Reyga terkekeh pelan, baru kali ini dia melihat sepupunya yang malu-malu. Padahal biasanya Hana lebih sering bersikap malu-maluin.
"Ck! Gue gak nyangka pesona si Dhika dahsyat amat ya, padahal gue kira lo suka sama Gilang."
Hana terdiam. Benar. Dulu, memang ia sempat mengagumi Gilang. Namun sekarang... Perasaan itu sedikit berubah.
"Gue dulu suka dia, tapi enggak!" Hana terdiam sejenak, kemudian melanjutkan lagi, "Gilang terlalu sempurna, gue sadar gue gak bisa jadi diri gue sendiri di hadapan dia."
Reyga tersenyum tipis. Kemudian mengacak pelan rambut Hana yang tidak tertutupi perban. Baru kali ini Hana curhat padanya. Reyga geli sendiri. Curhat? Ia seperti cewek-cewek di kelasnya saja.
Beranjak, Reyga keluar menuju pintu. "Udah, jangan dipikirin terus. Saatnya lo tidur Han!"
Reyga khawatir tentu saja. Bagaimanapun juga Hana baru jatuh cinta. Dan Dhika.. Ia masih belum terlalu yakin dengan cowok itu untuk menjaga Hana. Jika di suruh memilih, Reyga lebih mempercayakan Hana pada Gilang dari pada Dhika..
*****
Kamar itu terlihat rapi, kamar yang di dominasi warna biru ke abuan itu adalah milik Gilang. Di sana terpajang beberapa actiom figure super hero, koleksi Gilang sedari kecil.
Tak berada jauh, Gilang terduduk di ranjang single bad nya. Menunduk. Malam ini ia tak bisa memejamkan matanya. Teringat pertengkarannya tadi dengan Shinta. Juga kekecewaan mamanya.
Gilang menelan ludah dengan susah payah. Memikirkan besok, bagaimana ia akan bertemu pelatihnya. Bisa di pastikan akan ada lahar panas yang keluar. Karena pelatihnya sangat galak.
Ia berdecak pelan. Teringat Shinta lagi. Gilang jarang bertengkar dengan Shinta, hampir tidak pernah. Karena mereka adalah sahabat yang saling mengerti. Tapi tadi..
Terputarlah kejadian itu di kepala Gilang tadi sore..
"Huh temen? Gue temennya? Ya sih, dia selau bantuin gue. Yah, walaupun sebenernya gue cuma manfaatin dia..."
"Apa?!" Gilang membeo, bagai mana mungkin Shinta tega?
"Kenapa? Lo mau bela dia lagi?" cecar Shinta.
"Gak gitu!..." Gilang mengambil nafas dalam
"Lo temenan cuma manfaatin dia doang? Sejak kapan lo kayak gini Shinta?! Lo gak ngehargain temen lo sendiri."
"Sejak semua orang gak pernah ada yang tulus temenan sama gue! Mereka deketin gue cuma karena pingin tenar doang. Gak ada yang bener-bener tulus temenan sama gue! termasuk Hana!" mata Shinta mengkilat pancarkan kemarahan.
"Jadi, kenapa lo manfaatin Hana? Apa gak ada cara lain selain hal itu?"
"Dengan manfaatin mereka, itu adalah imbalannya. Satu lagi! Gue gak cuma manfaatin gebetan lo, tapi semua orang yang pingin temenan sama gue!"
Gilang terkejut, sejak kapan Shinta seperti ini?
Gilang menunduk, berkata pelan, "Gue gak habis pikir, bahkan gue nggak ngenali sahabat gue sendiri!"
"Lo yang berubah, bukan gue! Lo sekarang selalu manatap Hana! padahal Hana hanya cewek manja dengan segala kelemahannya. Dan ada impian lo yang lebih besar dari pada Hana!"
Shinta menunjuk dada Gilang, mencoba menyadarkan Gilang. "Gue berhak demi masa depan lo! Kita udah sama-sama sejauh ini. Kita saling menguatkan. Lalu apa sekarang... "
Gue cuma suka dia, apa gue salah dengan menyukainya Shin?
"Gue gak suka aja, lo terlalu menjelek-jelekkan Hana di hadapan gue."
"Lo gak terima? Bela aja Hana terus, gue gak butuh elo lagi mulai sekarang!" setelahnya Shinta pergi menjauh. Berlari meninggalkan Gilang yang masih mematung.
Apa yang lo rasain ketika semua berputar mengelilingi lo dengan kekaguman, tapi senyum mereka palsu! Kebohongan, senyum itu hanya topeng yang menyembunyikan rasa iri yang begitu besar. Lo gak akan pernah tau apa yang gue rasain saat itu Gilang...
"Dan sekarang lo pergi dari gue Shin.." kata Gilang lemah, ia duduk di bangu yang tak jauh darinya. Gilang masih sempat melihat air mata Shinta sebelum akhirnya pergi.
*****
*puvy
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top