Hujan 22
Author Pov
Terbaring di ranjang rumah sakit. Perban tengah melilit kepalanya. Juga ada selang yang menjulur menusuk tangan kirinya, mengalirkan cairan. Gadis itu masih belum sadar. Ia tengah menyelami mimpi yang indah. Hingga lupa jika ia harus segera bangun. Karena pemuda yang sedang terduduk di sampingnya kini tengah merenung gelisah.
Gilang.
Dalam hati berkecamuk segala rasa sesal. Sesal karena ia tak bisa menjaga gadis pujaannya. Juga di samping itu, ia telah mengecewakan semua orang. Dia meninggalkan pertandingannya.
Betapa gadis yang terbaring ini sangat berpengaruh untuk hariannya.
Gilang menggenggam erat tangan Hana, diusapnya pelan. Teriring doa untuk kesadaran Hana. Tatapan matanya terlihat jelas bahwa ia sangat menghawatirkan keselamatan Hana.
Pintu terkuak, di sana mama Hana tergopoh melangkah menuju ranjang. Wajahnya terlihat cemas.
"Sayang, ya ampun.. Udah di bilangin juga jangan nyetir dulu.." mama Hana membelai lembut rambut anaknya. Mata Hana masih setia untuk terpejam.
"Dia bela-belain dateng buat kamu Gilang. Nggak taunya dia malah kecelakaan. Makasih yah, kamu sudah tolongin Hana," mama Hana menoleh pada Gilang, tersenyum penuh arti.
Dan di balas dengan senyum singkat oleh Gilang, ia tak menyangka jika Hana benar-benar datang untuk dirinya.
"Emm, tante.. Gilang keluar dulu ya," pamit Gilang pada mama Hana. Ia ingin memberikan privasi.
Juga disamping itu, Gilang harus mengganti bajunya. Melepas Dobok juga sabuk hitamnya. Ia yakin gilirannya untuk tanding sudah berlalu. Namanya sudah didiskualifikasi. Ia tak menghadiri pertandingan.
Entah bagaimana nasib Gilang selanjutnya di hadapan sabeum nya, selama ini ia terus berlatih. Ada sedikit sesal ia tak hadir di sana. Penyesalan memang selalu datang di akhir.
Gilang sudah berganti baju, setelah tadi ia mengambil di mobil. Hanya celana jeans dan kaos polos warna putih. Itu persediaan seadanya.
Ranselnya tertinggal. Ia berniat meminta tolong Shinta untuk mengambilnya.
Gilang melangkahkan kakinya, lurus menuju Masjid Al-Falah. Masjid rumah sakit. Sekarang bukan waktunya bergelung dengan segala sesal. Akan ada kesempatan lain, untuk kemenangannya. Ia menenangkan diri dengan sholat dhuha.
Berharap kesadaran Hana, juga meminta ketenangan hati sebagai obat. Mengobati kekecewaannya karena ia sendiri yang memutuskan meninggalkan arena pertandingan. Dan menguatkan mental menghadapi semua yang akan terjadi nanti. Amukan pelatihnya, kekecewaan Shinta, serta senyum prihatin mamanya. Dan ia sama sekali membenci semua hal di atas.
*****
Suasana ruang VVIP Melati nomor 154 itu terlihat gaduh. Bagaimana tidak gaduh jika bermacam model remaja berkumpul di sana. Ada sekitar enam orang termasuk Hana, berada di sana untuk menghibur Hana. Hana sudah sadar tadi, tak lama setelah kepergian Gilang.
"Eh nyet, siniin kacang gue," ucap Andra pada Gilang dengan tangannya yang tengah melingkari toples.
"Kagak ini punya gue," jawab Gilang dingin. Gilang terus memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Tak menghiraukan Andra.
"Elah, lemparin atu bisa kali," gumam Andra, ia sangat sebal pada Gilang. Sesuatu yang sudah diklaim kepemilikan oleh Gilang akan susah di rebut.
Lalu datang Reyga dengan santainya, duduk di sofa panjang itu. Berada di antara Andra dan Gilang.
"Hoy! abisin aja semuanya gue gak kebagiaan."
Dua cewek yang duduk di dekat ranjang Hana menghela nafas, Fitri dan Andhin.
"Itu cuma kacang, gue gedein KACANG noh kalian rebutannya gak selesai-selesai," ucap Fitri, dan tentu saja di balas dengan berbagai bentuk verbal oleh mereka.
"Yang penting gue makan." ujar Andra
"Bocah! diem aja lo!" Sahut Reyga, dan di balas pelototan oleh Fitri.
Melihat hal itu Hana terkekeh, menikmati pemandangan di hadapannya.
"Udah biasa kayak gitu Fit, kerjaan mereka cuma rebutin sesuatu yang gak jelas. Lo gak tau ajah mereka kalo di kelas.."
"Rebutan yah Ndhin, untung aja gak rebutan cewek. Haha."
Tiga cowok itu melirik Fitri sengit. Rupanya suaranya terlalu keras hingga terdengar oleh mereka.
"Ahahaha, ngapain kalian liatin gue kayak gitu?" tanya Fitri dengan ekspresi bodohnya.
Tak tahu saja bahwa dulu Reyga dan Andra sempat memperebutkan Andin. Yang hampir merusak persahabatan mereka.
"Eh iya, lagian kok bisa sih Han?" tanya Andhin pada Hana yang sedang memainkan ponsel. Mengalihkan perhatian. Andhin sudah tak mau mengungkit persoalan dahulu.
"Gue gak tau, waktu itu gue lagi telpon Gilang. Eh ada kucing lari, gue takut dia ketabrak. Jadilah gue banting stir, taunya nabrak pohon," jelas Hana, menutup matanya dengankedua tangannya. Hingga menutupi sebagian wajahnya. Ia tak habis pikir bisa sampai seperti ini.
Andra terkikik geli. Cuma gegara begituan jadi masuk rumah sakit, lebay juga si Hana. Pikir Andra.
Andhin dan Fitri sukses melongo. Tak percaya.
"Lagian lo juga bego! Udah tau nyetir baru sebulan, gaya-gayaan pake teleponan segala!" omel Reyga, mulutnya penuh oleh kunyahan kacang tapi masih sempat berbicara. Padahal jelas, berbicara sambil makan itu tidak baik.
"Iya kalo nyetirnya bener, baru belajar juga!" tambah Reyga lagi. Hana merutuk dalam hati. Mulut lo perlu disekolahin Ga! Stop ceramahin gue! Jangan malu-maluin gue lebih banyak Ga, kampret banget lo!
Seisi ruangan diam, termasuk Gilang. Ia belum tahu bagian cerita yang ini.
"Yah kan, waktu itu gue pingin kabarin Gilang," cicit Hana, ia berusaha membela diri. Yah walaupun akhirnya, sia-sia. Bagaimanapun juga, Hana memang salah. Menelepon pada kondisi yang kurang tepat.
"Hadeuuuuh, gara-gara kucing jadi kek gini. Kenapa gak lo tabrak aja sih Han, sekalian," ucap Fitri asal-asalan. Meraih remote TV, bersiap menyalakan TV.
"Kan katanya kalo tabrak kucing pamali Fit, gue kaget ya udah gerakan refleks gitu." Ia benar-benar ketakutan waktu itu. Apalagi, fokusnya terbagi antara telepon dan jalan. Walaupun kondisi jalan saat itu tak seramai biasanya.
Tapi yang namanya takdir, suatu ketetapan pasti juga akan terjadi. Tak ada yang mampu menolak sebuah takdir. Kecuali dengan sebuah doa. Mendekatkan diri pada Tuhan.
Pintu ruangan itu terbuka, setelah terdengar suara ketukan pintu. Menampilkan sosok Shinta dengan balutan dress simple berwarna peach. Lalu di belakangnya ada Rival a.k.a Ipal yang mengekor.
Setelah mengucap salam, Shinta dan Rival menuju Hana. Menyalami, mendoakan kesembuhan. Sekiranya seperti layaknya menjenguk.
"Eh apaan tuh? mau dong gue," ucap Reyga melirik bingkisan buah di tangan Shinta.
"Yaelah Ga, belom juga duduk," ucap Andra menyela, sedang Gilang hanya geleng-geleng kepala.
Gilang tak terkejut lagi melihat Shinta yang datang bersama cowok. Ia sudah biasa melihat pemandangan seperti ini.
Reyga tersenyum tak bersalah. Sudah kebiasaan bersikap memalukan seperti itu.
Rival menuju para cowok, menyapa Andra. Andra adalah teman futsal Rival. Andra cukup terkenal di kalangan anak futsal.
"Hoy sob!"
Mereka bersalaman dengan gaya cowok.
"Yoi Pal, kapan futsal bareng nih?" ucap Andra berbasa-basi.
Ipal menyalami Reyga dan Gilang juga.
"Ntar, nunggu yang laen bisa Dra, pada sibuk belajar."
Reyga melempar pandangan bertanya, mengerti. Andra langsung menjawab "Ipal temen futsal gue, lo temennya Dhika juga kan?"
"Yoi, dia kapten." jawab Rival
"Si monyet satu itu tumben gak kesini?" tanya Reyga pada dirinya sendiri.
Penasaran sejak dari awal, Gilang melontarkan pertanyaanya "Lo SMA Prasada?"
"Gue temen sekelas mereka," tunjuk Rival pada cewek-cewek yang sedang mengobrol.
Beralih dari para cowok yang kini tengah membahas tentang futsal. Para cewek kini lagi-lagi sedang membahas tentang kronologi Hana.
"Gimana keadaan lo sekarang Han?" tanya Shinta, tersenyum ala kadarnya.
"Mendingan, aduuuh gue malu sumpah Shin," Hana memejamkan matanya, menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Malu-malu kucing, keknya virus kucing masih nempel di elo deh Han," ucap Fitri diselingi kekehan.
Andhin hanya tertawa kecil, rambut pendeknya sedikit bergoyang. Sedangkan Shinta terdiam masih kebingungan.
"Apaan virus kucing?" tanyanya pada Fitri.
"Dia kek gini gegara kucing, menghindari kucing yang lewat di jalan tepatnya," jawab Fitri santai, namun reaksi Shinta cukup mengejutkan. Ia membelalakkan matanya.
"Lo nabrak kucing?"
Tanya Shinta pada Hana. Dia sanggat berharap pertanyaan itu tidak benar.
"Ehm, gitu deh."
Shinta mendengus frustasi. Tak habis pikir dengan kenyataan yang baru diterimanya kini.
"Kiraain lo nabrak orang, Han. Ya ampun, cuma karena kucing lo udah ambil kesempatan Gilang buat menang!"
"Emangnya Gilang kenapa?" tanya Hana polos, sepertinya efek terbentur stir mobil mebuat Hana menjadi sedikit lemot.
"Astagaa Hanaaa! Lo tau? Gilang gak jadi tanding, dia kabur buat nolongin elo!"
Mendengar nama Gilang di sebut oleh Shinta, langsung saja Gilang bangkit dari duduknya. Menarik lengan kiri Shinta, keluar. Mereka harus menyelesaikan ini tanpa harus melibatkan Hana.
*****
Gilang masih terus menarik Shinta, tak mempedulikan Shinta yang kini tengah meronta-ronta.
Gilang ingin berbicara empat mata dengan Shinta, menyelesaikan semuanya. Memang semenjak Shinta tahu jika Gilang mulai tak fokus pada pertandingan, Shinta sedikit berubah. Bersikap seperti layaknya musuh.
Shinta sudah mewanti-wanti Gilang, untuk serius. Tapi rupanya Gilang tak menepati janjinya kala itu. Jika Gilang tak akan mengecewakannya.
Mereka tiba di taman rumah sakit, hari yang memang sudah sore. Memperlihatkan warna kuning keemasan di atas langit. Senja. Pergantian siang dan malam.
Taman itu terlihat asri untuk kawasan rumah sakit. Ada beberapa ayunan. Juga tempat duduk yang terlihat nyaman mengarah pada kolam ikan.
Gilang menghempaskan tangan Shinta, ketika berada di dekat tempat duduk. "Lo gila yah!?"
"Apanya yang gila? Kenapa Hana gak boleh tau?" ucap Shinta penuh emosi.
"Astaga Shinta, Hana baru sadar dan lo langsung bilang kayak gitu ke dia!" Gilang membelakangi Shinta, mengacak pelan rambutnya sendiri, hingga terlihat sedikit berantakan.
"Terus apa masalahnya? Bukannya lebih baik dia tau, kalo lo gak jadi wujudin impian lo," ucap Shinta dengan nada menyebalkan, Shinta memilih duduk di bangku Taman.
"Udah, gue gak mau bahas ini lagi Shin." Gilang menyerah, ia lelah. Ia sama sekali tak mengerti Shinta kali ini. Bersiap melangkah, namun tangannya di cegah oleh Shinta.
"Lo tuh udah dibegoin sama rasa suka lo ke dia!" ucap Shinta, membuat Gilang sedikit tertegun.
Benarkah?
"Lo tuh sadar gak sih Gilaaaang? Ambisi lo! Impian lo! Apa yang udah lo tunggu! Sia-sia gitu ajah, cuma karena lo kabur pilih Hana yang gak sengaja nambrak kucing?!"
"Lo punya otak gak sih Gil?" tanya Shinta sedikit melembut melihat Gilang mulai rileks, walaupun matanya masih memancarkan ketidak sukaannya.
"Jadi, lo gak suka?" tanya Gilang dingin.
"Please deh, lo tuh gak pernah bego kayak gini cuma karena cewek! Mulai sekarang berhenti deketin Hana!" ucap Shinta pada akhirnya, dan sukses membuat Gilang menggertakkan giginya. Menahan amarah.
Ia tak ingin, meluapkan amarahnya pada Shinta. Yang merupakan sahabatnya.
"Bukannya lo dulu dukung gue?" tanya Gilang pelan, ia berusaha untuk tak menyakiti sahabatnya ini dengan kata-katanya.
"Enggak! Gue gak akan dukung elo lagi! Cari cewek yang lebih baik, lebih sempurna dari Hana!" bentak Shinta.
Sebagai seorang teman, Shinta tentu saja berhak memberikan nasehat pada Gilang. Bagaimanapun juga Shinta yang selama ini lebih mengenal Gilang.
"Jadi maksud lo Hana gak sempurna, gitu?"
"Hana gak boleh jadi batu krikil buat masa depan lo nantinya! Kali ini aja lo dengan entengnya pergi dari pertandingan!"
Gilang tak habis pikir! Bagaimana bisa Shinta berpikiran seperti itu?
"Lo temennya Hana kan? Kenapa sikap lo kayak gitu ke temen sendiri Shin?"
Seharusnya Shinta mendukung mereka, karena Gilang dan Hana adalah sama-sama temannya. Lalu kenapa saat ini Shinta bersikap seolah ia sangat membenci Hana? Pemikiran itu terus berkeliaran di otak Gilang.
"Huh temen? Gue temennya? Ya sih, dia selau bantuin gue. Yah, walaupun sebenernya gue cuma manfaatin dia..."
*****
*Dobok (seragam taekwondo)
*Sabeum (instruktur semacam pelatih)
CIMIIW
*puvy
Hai, dateng lagi. Gimana? Ini baru nyampe konflik, masih ada kejutan yang lebih hot dari ini. 😈😈👻👻 wkwkw *author somplak
😂
Maaf kalo ada yg salah, puvy minta koreksinya yah :)
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top