Hujan 2
"Ayo pulang gue anter," ucap orang itu. Aku mengernyit, ini suara cowok.
Aku mengintip sedikit. Sebelah mataku terbuka. Dan aku terkesiap.
Wajahnya tepat berada di depanku. Mataku sukses melotot. Dan dia perlahan menjauh. Sedari tadi aku menunduk. Bahkan rambut sebahuku sudah mencuat dari telinga. Sepertinya dia mengira kalau aku hantu.
Mungkin dia mendekat tadi bermaksud menyakinkan dirinya sendiri, kalau aku bukan hantu mungkin. Haha. Aku terbahak di dalam hati.
Aku memindai penampilannya lagi. Seragam sekolah yang sama denganku. Aku mengerutkan kening, sepertinya aku pernah melihat wajahnya.
"Gue Dhika, lo sepupu nya si Reyga kan?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Kubalas uluran tangannya. Dan seketika itu, rasa hangat melingkupi tanganku. "Um, gue Hana. Kenapa lo yang dateng? Mana Reyga?"
Dia mengernyit, sebelum melepas tanganku. Apa dia merasakan betapa dinginnya tanganku?
"Tadi mobilnya mogok di jalan. Ketemu gue, minta tolong sama gue buat jemput lo. Terus, gue sebagai pangeran berkuda putih, jemput tuan putri cantik. Gitu ceritanya."
Aku memutar bola mata, kenapa temen nya si Reyga modelnya kayak gini sih?
"Ya udah, mau pulang nggak?"dia menatap lurus hujan dengan senyuman.
"Terus si Reyga gimana?" tanyaku lagi.
"Dia dimakan kolor ijo, eh engga ding. Tadi dia nungguin abang bengkel," jelasnya lagi.
Duh, kasihan banget itu sepupu gue, apa gue temenin dia aja? Gimanapun juga gue kan ngerasa pingin tolongin dia.
"Ya elah, kelamaan mikir. Gue tinggal nih."
"Eh, tunggu dulu. Bentar ..." aku masih memikirlan si Reyga. Dia pasti ngedumel di sana. Huh, lagian salah dia sendiri sih. Udahlah biarin, sekalian impas. Kemarin dia kan asik kencan.
"Nih pake dulu, lo kedinginan kayaknya ... " Dhika Memberikan jaket yang semula di pakainya, disampirkan ke tubuhku. "Coba liat tangan lo, tuh kan dingin. Yuk buruan gue gak pingin lo beku jadi es di sini!" Kenapa nih cowok pegang-pegang tangan segala? Kenapa cowok selalu suka kontak fisik?
Ku tepis tangannya. "Gak usah pegang-pegan napa sih," aku melotot kesal pada Dhika. Yah, walaupun tangannya memang lumayan hangat.
"Dih, ditolongin juga malah marah. Gue cuma ngecek keadaan lo doang," ujarnya melipat tangan di dada.
"Gimana ke mobilnya?"
"Terbang. Ya jalan lah, gimana sih lo itu? Nih ada payung," Dhika menyerahkan payung yang tadi bersender di bangku halte. Kok aku tadi nggak lihat ya?
"Cuma satu?" tanyaku lagi. Okey, seharusnya aku tak boleh banyak tanya. Sukur-sukur ada yang nganterin pulang.
"Ya iyalah, lo kira gue pedagang payung gitu punya banyak? Udah jalan ajah."
Kita menuju mobil yang berada tak jauh dari halte. Sepayung berdua! Jujur sebenarnya risi, tapi mau gimana lagi? Yang penting nyampe rumah.
Setelah di dalam, ku tatap tajam dia.
"Kenapa?" Tanyanya dengan santai. Samar kulihat, dia menarik bibirnya. Tersenyum tipis padaku.
Okey, keren sih! Gak munafik, dia memang menarik. Makhluk di sampingku ini mampu membuat hatiku merasa sedikit ...
Lupakan, mikir apa sih Han! Kutatap tajam dia, "Lo beneran nganterin gue sampe rumah kan?"
"Ya ampun tuan puteri, lo gak percayaan banget dah. Gue cuma mau nolongin elo! Gak ada maksud apa-apa, lagian. Gak terimakasih, malah nuduh yang iya-iya." Dhika melajukan mobilnya sambil menggerutu pelan.
Aku menghela nafas, benar juga ucapannya. "Ya udah, makasih."
"Gitu dong, by the way rumah lo di mana?"
"Sebelah rumah si Reyga,"
Ucapku mengeratkan jaket hitam milik Dhika di tubuhku. Hawa dingin masih sangat terasa. Aroma parfum maskulin khas cowok menusuk indera penciumanku. Entah kenapa aku nyaman, merasakan aroma ini.
"Kok, gue gak pernah liat elo sih?"
"Lah, ngapain lo mau lihat-lihat gue?" Ku lirik dia, dia malah senyam-senyum gak jelas.
"Masa liat tuan puteri gak boleh sih, si pangerankan pingin kenalan neng," godanya menaik turunkan alis tebal yang menaungi matanya.
Aku hanya memutar bola mata menanggapi ocehannya. Kenapa lama sekali sampai rumah sih? Aku kurang nyaman, mengingat kita baru saja kenal. Aku juga nggak tahan lama-lama sama cowok tengil ini. Dia susah berhenti kalau bicara, sejenis Reyga. Apa jangan-jangan mereka spesies yang sama?
*****
Makan malam kali ini begitu mencekam. Sedari tadi, bapak Bayu Aditya Wijaya yang merupakan bokap gue diam seribu bahasa. Berkali gue dan Deny saling lirik. Kondisinya benar-benar tak nyaman. Nyonya Fara Larasati juga tak memunculkan pergerakan untuk berbicara.
Ada apa ini?
Baru kali ini, makan malam hanya berupa dentingan pelan sendok dan piring yang beradu.
Aku meneguk air putih dalam gelas di depanku. Tenggorokanku tiba-tiba kering. Tak lama, ku dengar papa berdehem.
Aku mengalihkan perhatian, fokus untuk melihat papa. "Kamu pulang tadi bersama Reyga?"
Aku terdiam sejenak, kemudian menggeleng, "Tadi mobil Reyga mogok pa."
Tumben sekali papa menanyakan siapa teman pulang sekolahku. Rileks Han! Denger kelanjutannya.
"Lalu yang nganter kamu tadi siapa?" tanya papa, sedikit melirik mama.
Apa papa tau? Apa papa sudah pulang dari kantor tadi? Mampus gue!
"Oh, itu tadi Dhika. Temennya Reyga. Katanya tadi, Dhika ketemu Reyga di jalan. Terus Reyga minta tolong buat jemput aku di sekolah. Gitu ..."
"Baiklah, papa percaya. Lain kali kalo Reyga nggak keburu datang kamu telepon taksi aja, lebih aman." papa mengakhiri ucapannya dengan senyuman.
"Iya pa."
Papa adalah lelaki yang selalu khawatir padaku. Lelaki pertama yang aku cintai dan aku sayangi.
"Jangan pacaran dulu selama kamu masih SMA."
Setelah mendengar kalimat itu, aku langsung meringis. Kulirik Deny, dia tersenyum puas. Benar-benar adik yang sangat manis.
*****
Aku sedang mencuci piring bekas makan malam tadi. Tinggal mengguyur satu piring lagi pekerjaanku selesai. Setelah piring terakhir tertuntaskan aku membasuh tanganku lagi.
Aku suka bermain air. Aku suka berlama-lama dengan air. Air bukan sesuatu yang mengganggu untukku. Kecuali hujan. Bolehkah aku berkata bahwa aku membenci hujan?
Samar kudengar langkah kaki. Aku buru-buru mematikan aliran air. Sebelum terkena semprot dari mama karena membuang-buang air.
"Kamu tau kan papa kamu kayak gimana?" mama membuka lemari es, mengambil beberapa potong puding, "papa cuma khawatir sama kamu sayang."
Aku mengernyit, menimbang, sedari tadi aku memikirkan hal ini, "Iya ma, tapi kenapa papa kayak nggak suka gitu, aku dianter Dhika?"
Wanita berhijab di depanku ini tersenyum cantik. Ah, mama, kenapa mama selalu anggun? "Papa khawatir sama anak gadisnya yang mulai dewasa. Kamu itu anak mama yang paling cantik."
"Apaan sih ma," aku tersipu, kemudian kucium pipi kiri mama. Berlalu menuju kamar.
Kukiii I'm coming! Saatnya berduaan sama kuki. Menatap wajah tampannya. Membelai wajahnya. Menciumi wajahnya. Tapi sayang ... cuma layar laptop. Aku tersenyum kecut.
*****
*puvy
Ini udah aku edit, gimana? Lebih enak sekarang apa yang dulu? Sekarang lah ya pasti.
Happy reading 😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top