Hujan 18
Suara tawa itu menggema, terpancar kebahagiaan di masing-masing wajah yang kini saling menatap itu. Entah apa yang dilontarkan oleh Dhika hingga sanggup membuat Hana tertawa hingga menyipitkan mata bulatnya.
Begitu juga dengan Dhika, bibirnya tertarik lebar memperlihatkan gigi rapihnya. Siapapun yang melihatnya pasti ingin sekali bergabung bersama mereka. Serasi.
Duduk di halte sekolah. Dhika mengenakan kaos putih setelah tadi ia melepas kemejanya. Dhika salah satu pengisi acara pensi akhir tahun di SMA Prasada bersama bandnya. Sedangkan Hana masih berseragam rapih. Acara pensi tadi sekaligus penutup hari sekolah. Libur akhir tahun akan menyambut para siswa Prasada.
Mereka masih tersenyum ceria dengan Dhika yang selalu melontarkan candaan tak berguna.
Entah Hana yang sesekali mendorong lengan Dhika, atau Dhika yang selalu menunjukkan cengiran anehnya.
Tak sadar, dua remaja itu hanyut dalam obrolan. Ketika laingit cerah berubah menjadi gelap. Daun-daun di pinggiran jalan jatuh berguguran. Seakan pasrah oleh angin yang akan menerbangkannya.
Seketika, mendung di atas pun memuntahkan buliran air yang begitu deras. Membuat Dhika terlonjak.
"Eh hujan Han, buruan masuk mobil gue," ajak Dhika menarik Hana, menuju ke mobilnya yang berada tak jauh dari tempat mereka semula.
"Iya nih ujannya gede, gue nebeng lo ya Dhik? Nunggu Reyga kayaknya gak mungkin," ucap Hana setelah ia berada di dalam mobil. Tergesa memasuki mobil. Seragamnya sedikit basah. Hujan datang tanpa aba-aba.
"Okee ntar kita ke rumah gue dulu ya." Dhika melajukan mobilnya menjauhi area sekolah. Akan ada teman-teman bandnya yang berkumpul di rumahnya. Itung-itung perayaan suksenya acara pensi tadi siang. Atau sekedar kumpul buat menyambut liburan.
"Ngapain?" tanya Hana mengerutkan alisnya.
"Maen lah," jawab Dhika santai. Memberikan senyum tulus pada Hana, seketika membuat degub jantung Hana berirama cepat.
Beberapa daun juga ranting pohon terjatuh sedemikian rupa. Tak perduli makhluk apa di bawahnya. Membuat hawa semakin dingin..
Hana memeluk dirinya sendiri, kemudian menormalkan jantungnya.
"Ogah, nanti kan ada temen-temen lo. Gue kacang ntar."
Hana sadar betul jika ia bukan bagian band Dhika. Perasaan tak enak menyusup dalam benaknya.
Lalu tiba-tiba kilauan putih di langit tergambar jelas. Sekali. Seketika suara petir mengguncang kota itu. Yang mendengarnya pasti akan ketakutan dan merasakan kengerian. Tak luput juga Hana.
Dadanya bergemuruh. Di sana jantungnya berdetak lebih kencang. Aliran darahnya terpompa lebih cepat. Terkejut, emosi yang sekarang di rasakan Hana. Belum lagi tangannya yang mulai bergetar.
"Gila, petirnya kenceng amat!" ucap Dhika setelah menormalkan keterkejutannya. Mobilnya sempat oleng. Setelahnya ia menoleh pada Hana, mengecek kondisi Hana. Yang ternyata keterkejutan juga masih jelas terlihat di sana.
"Lo, kenapa Han?"
"Huh? Eng-engak. Gak papah. Gue gak jadi ikut elo deh Dhik," ucap Hana dengan bibir yang sedikit bergetar.
"Yah-" belum selesai Dhika berucap petir kembali menyambar, seakan menghadang perjalanan mereka. Kali ini suaranya lebih kencang juga kilatan cahaya itu terlihat lebih jelas. Berkali-kali.
Semakin membuat Hana ketakutan. Ia meremas ujung roknya. Perlahan kenangan itu muncul. Kenangannya dulu dengan sahabat kecilnya.
Dhika memutuskan meminggirkan mobilnya di bahu jalan, untung jalanan terbilang sepi. Melihat Hana yang tertunduk sambil meremas rok sekolahnya pelan. Sesekali Hana menggigit bibir bagian dalamnya juga memejamkan mata. Membuat Dhika khawatir dengan cewek di sampingnya kini.
"Lo gak papa beneran?" tanya Dhika pelan pada Hana, menumpukan jemari tangannya di atas tangan Hana yang masih meremas ujung roknya. Berniat menengkan Hana.
Lama Hana terdiam. Ia berusaha menghalau kenangan itu masuk ke pikirannya. Saat ini ada Dhika. Tak mungkin Hana memperlihatkan kelemahannya pada Dhika. Selama ini tak ada yang tahu ketakutan Hana akan hal ini. Haruskah Dhika mengetahuinya?
Akhirnya Hana memutuskan untuk mengangkat kepalanya menatap Dhika. Mata merah Hana terlihat jelas di hadapan Dhika yang saat ini tengah memfokuskan pandangannya pada Hana.
"Gue takut ..." cicit Hana.
"Lo takut petir?" tanya Dhika menaikkan sebelah alisnya. Ia pun sama terkejutnya, tapi tak separah Hana kadar keterkejutannya.
Hana menatap Dhika dengan pandangan sendunya. Matanya berkaca-kaca. Dan tak di duga setitik berlian mata itu terjatuh dari mata kirinya. Menetes, menimpa pipi chubby Hana.
"Duh, jangan nangis dong Han. Ntar petirnya gue suruh pergi deh," ucap Dhika menggenggam tangan Hana. Mencoba menenangkan Hana lewat genggaman tangan itu.
Gemuruh masih terdengar samar. Hujan pun masih setia untuk menjatuhkan tetes-tetes air itu. Angin pun tak mau kalah, ia ikut serta memperkeruh suasana dengan kencangnya tiupan udara.
Dhika sama sekali tak tahu bagaimana membujuk cewek yang menangis kerena petir. Jadi jangan salahkan Dhika kalau Hana masih tak menghentikan tangisannya.
Bukan keinginan Hana tentu saja. Air mata itu lolos dengan sendirinya. Kini buliran air mata berulang kali jatuh. Bukan! Ia menangis bukan karena suara petir yang keras. Namun, karena petir yang datang dengan iringan hujan yang mengingatkan Hana akan kenangannya. Hana merunduk sedikit sesenggukan.
"Lo beneran nangis?" sadar jika cewek di hadapannya memang nangis. Bukan karena tangisan yang di buat-buat. Dhika semakin panik.
Hana menggertakkan giginya. Emosinya terkumpul. Mata merah itu melukiskan kesedihan yang mendalam. Sedih yang terlalu berlebihan hingga menciptakan setitik amarah di sana.
Di hati Hana bergejolak. Rasa tak adil yang menimpanya. Waktu yang egois merenggut semua kebahagiaan bersama sahabat kecilnya. Hingga kini Hana sendiri. Menutupi semua masalahnya sendiri. Mengenang semuanya sendirian. Tak ada lagi teman yang setia mendengarkan keluh kesahnya.
Tak terima, kenapa Tuhan begitu kejam padanya hingga tak dibeeri kesempatan untuk bersama sahabatnya. Hingga kini sahabatnya telah menghilang. Entah kemana keberadaannya Hana tak tau. Entah hidup atau tiada Hana tak tau. Hanya karena sebuah penyakit mematikan yang selalu disembunyikan sahabatnya dulu.
"Gue benci hujan!" ucap Hana pelan, namun jelas Dhika mampu menangkap sebuah emosi tersirat dari ucapan Hana.
Dhika terdiam. Hana terlihat seperti sosok perempuan yang sangat rapuh. Emosi itu tak mampu mengelabui Dhika untuk percaya jika Hana sedang marah.
Sebagai seorang lelaki. Jiwa pelindung Dhika terketuk. Entah apa yang dirasakan Dhika, ia turut mengerti posisi Hana.
Dhika menghela nafas. Akhirnya, Dhika memutuskan menggapai bahu Hana. Menyadarkan kepala Hana pada dada Dhika. Mendekap. Menenangkan Hana. Terbukti dengan tangan Dhika yang berulang kali mengusap bahu Hana.
Hana balas memeluk Dhika. Menenggelamkan kepalanya di dada Dhika. Bahunya berguncang, tangis masih Setia menemani Hana.
"Dia.. Pergi Dhik! Hiks... Dia ninggalin gue. Dia sakit. Dan gue gak tau, dia sembunyiin kenyataan itu dari gue," ucap Hana pelan terbata-bata. Sesekali isakan menyela ucapannya tadi.
Dhika hanya terdiam. Kali ini Dhika berusaha menjadi pendengar yang baik bagi Hana. Mencoba menelisik apa yang membuat Hana menangis pilu seperti saat ini.
"Dia berharga buat gue. Dia yang ngertiin gue. Dia yang selalu ada buat gue. Gue gak pingin dia ninggalin gue. Gue butuh dia...." rentetan kata itu akhirnya bisa keluar dari mulut Hana. Ia masih sesenggukan dipelukan Dhika.
Dhika melonggarkan pelukannya. Mencoba menatap mata Hana. Seakan ia pun turut merasakan kesedihan Hana. "Gue di sini Han. Jangan dipendem sendiri, apa gunanya gue jadi temen lo di sini."
Hana balas menatap Dhika. Ia sudah terlanjur menunjukkan kelemahannya. Wajahnya sudah tak karuan, bekas ingus, mata merah, wajah mewek. Lupakan tentang rasa malu. Emosi sudah menguasai Hana saat ini.
"Lo nggak ngerti Dhik! Dia pergi gitu aja, dan sialnya hujan datang seakan tertawa bahagia, ketika gue kehilangan dia." Hana menatap hujan dengan penuh kebencian. Seolah semua masalahnya hanya bersumber pada hujan.
"Siapa dia?" tanya Dhika pelan.
"Daniel..." lalu Hana melanjutkan, "sahabat kecil gue."
"Dan hujan?" ucapan Dhika menggantung.
"Daniel ninggalin gue dengan surat juga boneka beruang putih. Setelah mengucap selamat tinggal dan setelah kami bermain hujan." pandangan Hana menerawang. Ingatan yang selalu ia halau itu datang menyerangnya.
"Sejak kapan lo pendam semua ini?"
"Gue gak tau. Gue berusaha ngehindar dari kenyataan kalau Daniel pernah ada dalam kehidupan gue, please gue mohon, jangan ingetin gue tentang dia." Hana memejamkan matanya. Sungguh kenangan yang memilukan.
"Gue akan mencoba menghapus semua kenang menyakitkan tentang Daniel. Semua akan tergantikan dengan lo yang akan selalu menyukai hujan. Sampai kapanpun," ucap Dhika tegas. Seakan ia menjanjikan sesuatu yang memang Hana butuhkan.
"Enggak! Hujan cuma pembawa sial buat gue. Cuma hujan yang mengiringi kepergian Daniel. Seakan mentertawakan gue gitu aja Dhik!" Hana masih keukeuh dengan argumen-argumennya. Membuat Dhika berdecak pelan. "Hujan gak akan pernah datang buat ngetawain lo Han. Hujan datang buat ngehapus semua kenangan buruk lo. Karunia Tuhan yang besar. Lo harus bersyukur karena dengan adanya hujan kita bisa pelukan kayak gini."
Hana membeku.
Senyuman lebar mengakhiri ucapan Dhika yang membuat Hana malu seketika. Dhika berniat menghibur Hana. Hanya itu.
*****
*puvy
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top