Hujan 17

Suara piano menggema memenuhi ruang musik. Jemari lentik itu terlihat liahi bermain di atas tuts piano. Di atas piano terletak buku berisi kunci nada dari lagu yang dimainkan.

Terdengar pula suara indah yang mengalir sempurna siring dengan tertekannya tuts piano itu. melantunkan lagu dari James Arthur - Say You Won't Let Go. Mata itu terpejam, seakan tenggelam oleh suasana yang diciptakannya.

Tak menyadari keberadaan  Dhika yang berdiri tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Dhika berdiri dengan beragam perasaan. Mantannya. Iya. Shinta di sana. Suaranya, wajahnya, senyum tipisnya, semuanya! diam-diam Dhika merekam segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh inderanya.

Tak terasa, hingga hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Lagu yang semula dinyanyikan Shinta sudah mencapai titik terakhir. Memecah keheningan, Dhika memutuskan untuk bersuara, melangkahkan kakinya mendekati Shinta yang masih memejamkan matanya.

"Shin?"

Shinta terperanjat. Refleks membuka kedua matanya. Mendapati Dhika di ruang musik ia hanya tersenyum canggung. "Eh, Dhika, Ngapain di sini?"

Dhika yang ditanya seperti itu pun tak kalah canggung. Pasalnya baru pertama ini mereka berkomunikasi lagi setelah putus. Menghindar? Mungkin iya. Musuh? Tidak, itu terlalu berlebihan.

"Mau ambil gitar," jawab Dhika singkat. Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Mencari alat musik yang akan dipakai untuk latihan bandnya, ia dan teman-teman bandnya akan mengisi acara pensi sekolah.

Dhika pemegang drum.

"Oh, itu di sana," tunjuk Shinta pada gitar yang bersandar di dinding ruang musik, bersebelahan dengan gitar elektrik dan kawan-kawannya.

Dhika melangkah mengambil gitar. Sedang di sana Shinta hanya terdiam mengamati Dhika. Canggung? Tentu saja! Kedekatan mereka tak seintens dulu.

"Suara lo makin Bagus Shin," ucap Dhika, mencoba menghilangkan kecanggungan. Bagaimanapun juga ia ingin menjalin pertemanan dengan mantannya. Yah, walaupun akan terasa sulit, apalagi jika ia sampai terbawa perasaan.

"Em, thanks," jawab Shinta singkat, senyum dibibirnya tak bisa ia sembunyikan.

Ia ingat betul bagaimana kebodohannya memutuskan Dhika secara sepihak. Dan membuat Dhika merasakan sakit hati yang mendalam.

"Gue cabut duluan."

Dhika memutuskan mengakhiri obrolan pertama mereka. Setelah ia menatap Shinta dengan pandangan yang sulit diartikan.

Baru dua langkah kakinya beranjak mendekati pintu, suara Shinta menghentikan gerakan kakinya. "Eh, tunggu! Lo bisa bantuin gue?"

"Apa?" Dhika berbalik menatap Shinta. Tak ada salahnya jika pertemanan itu dimulai dari pertolongan ini, hubungannya dengan Shinta akan perlahan membaik. Tidak saling menghindar.

Shinta beranjak dari duduknya. Berjalan pelan menghampiri Dhika, setelah tadi mencari sesuatu di dalam tasnya. Mengulurkan sebuah buku pada Dhika.

"Tolong Kasih buku ini ke bu Linda yah."

"Okey," Dhika tersenyum tipis sebelum berbalik, memutar kenop pintu sambil membawa gitar dan sebuah buku untuk bu Linda dari mantannya.

Bu Linda? Guru itu memang selalu seperti itu. Suka sekali menitipkan apapun pada muridnya.

                    *****

Lapangan itu benar-benar penuh akan murid SMA Prasada. Final pertandingan futsal kali ini memang menarik perhatian. Kelas Dhika XII-IPS 1 akan bertanding melawan kelas Arkan Xl-IPA 5.
Tentu mengundang perhatian para pencinta futsal. Kelas Xl melawan kelas XII? adek kelas dengan kakak kelas? Siapapun pasti penasaran dengan hasil akhir pertandingan nanti.

Saling berebut bangku penonton menjadi pemandangan utama saat ini. Tak luput dari perhatian, Hana pun menjadi korban penarikan paksa oleh Fitri. Alasannya hanya karena Fitri tak mau melewatkan menonton Arkan yang akan bertanding.

"Han, duduk sini yuk," ucap Fitri, setelah kakinya terhenti di bangku pertengahan. Tidak terlalu di depan juga tidak terlalu jauh di belakang.

"Okey, lokasinya strategis nih, keliatan semuanya," komentar Shinta. Ia berada di sebelah Fitri.

"Hahh, akhirnya, gak sabar gue liat yayang Arkan." Fitri celingukan mencari dimana keberadaan Arkan.

"Udahlah Han, biarin dedeq berimajinasi. Kita bicara yang lain aja. Jangan ganggu proses 'pengimajinasian' Arkan oleh Fitri." 

Pada akhirnya siapapun pasti jengah mendengarkan ucapan Fitri. Yang sedari tadi kalimat yang diucapkan Fitri hanya seputar Arkan.

Terkekeh pelan, Hana mengamati Fitri yang berkacak pinggang. Memanjangkan lehernya menengok ke kanan dan kiri. Dalam bayangan Hana, Fitri mirip sekali seperti jerapah yang ingin melahap daun.

Shinta hanya tersenyum simpul. Wajar, Fitri sedang jatuh cinta. Siapapun pasti pernah mengalami momen seperti itu bukan? mencari-cari pujaan hatinya. Kemudian, setelah menemukan kita akan terus memandang hingga akhirnya dia menatap balik lalu selanjutnya? bisa ditebak, rona merah akan menghiasi pipi.

Shinta menoleh pada Hana, mengabaikan Fitri. Melontarkan sebuah pertanyaan pada Hana.

"Oiya, lo ketemu Gilang yah?"

Hana menoleh seketika mendengar kata Gilang di sana. "Nah, ini nih! Kenapa lo punya temen kece badai gak pernah lo kenalin sama kita-kita!? Gue gak nyangka aja, temennya Reyga ternyata temen lo juga."

Shinta tersenyum tak berdosa. Ia merasa kali ini bukan pilihan yang tepat untuk mengungkapkan sebuah kenyataan itu. Namun, yah sudah terjadi.

"Hehe, Gilang tuh pendiem muka tembok. Selama ini kita emang merahasiakan persahabatan kita, ah kagak! Pertemanan kita. Gilang gak pingin temen-temennya tau. Yah, lo tau sendirikan gimana pola pikir cowok yang kek gitu? Mereka kan kadang nggak suka menggembar-gemborkan hal semacam itu. Nggak kayak cewek!"

"Iyaa juga sih, gue sering lihat dia sama si kutu kupret Reyga, yah gak nyangka aja dia ternyata temen lo," ucap Hana pelan.

Mengingat Gilang, ia harus benar-benar menghilangkan rasa kagumnya. Benar, Hana tak pernah cerita pada Shinta tentang ketertarikannya pada lawan jenis. Hanya pada Fitri ia mencurahkan semua isi hatinya tentang seorang cowok.

"Reyga cogan yang itu Han?" tiba-tiba Fitri duduk diantara mereka. Ia yang semula berdiri celingukan mencari Arkan sudah bosan mungkin menanti tanpa ada hasil.

"Lo punya Arkan Fit, elah. Semuanya diembat juga!" Shinta memutar bola matanya. Kenapa di fikiran Fitri hanya kata cogan, cogan dan cogan yang menarik baginya?

"Apanya cogan? Muka sangar gitu?! Oyaa malam tahun baru kalian diundang ke vila nya Reyga," Hana angkat bicara. Tak terima mendengar jika Reyga adalah seorang cogan. Bagaimanapun juga Reyga itu menyebalkan bagi Hana. Reyga lebih pantas di sebut badboy dari pada cogan. Yah, meskipun wajahnya memang memberi nilai plus sih.

"Gue ikut! Siapa tau koleksi cogan gue nambah. Pastilah banyak teman-teman Reyga di sana."

"Dasar! cogan mulu lo Fit, udah ah gue haus, kantin dulu kuy Fit."

"Elah, lo nyusahin amat deh Shin! Yadeh, yadeh, yayang Akan juga belom kelihatan tuh."

Shinta mendengus pelan mendengar ucapan Fitri. Kenapa selalu cowok yang selalu ada dipikirannya? Ada yah manusia model gini? Shinta memutar bola mata sejenak.

"Mau ikut gak Han?" tanya Shinta pada Hana yang kini bermain dengan ponselnya. Apa lagi jika streaming MV terbaru bts Spring Day.

Hana menggeleng."Enggak, gue udah mager. Tapi lo musti gercep ke sini lagi, ntar keburu didudukin orang lain."

"Iyaa, iya, lo bawel amat Han," ucap Fitri. Tentu tak akan di dengar Hana karena Hana langsung menyumpal telinganya dengan earphone.

Tak lama, baru menit ke dua Springday terputar ada suara teriakan untuk Hana. Di bawah sana seorang pemuda mendongak meneriaki nama Hana.

"Han!" teriak Dhika pada Hana. Namun Hana tak menyadarinya terlalu asik dengan dunianya sendiri. Telinganya tertutupi earphone, apalagi kondisi lapangan indoor yang ramai seakan mendukung Hana untuk mengabaikan sekitar.

"HANA!" teriak Dhika lagi. Namun, masih tetap sama tak ada balasan. Tak ingin mengulangi ke tiga kalinya. Dhika bergegas menghampiri Hana, menyelinap di balik gerombolan penonton dan berhasil menarik perhatian sebagian siswi di sana. Pakaian fulsal Dhika terlalu mencolok.

"Pinky, pinky, pinky!!" ucap Dhika pelan. Melepas earphone putih itu.

Terkejut dan kesal. Ada yang mengganggu kesenangannya. Hana menatap garang pada pelaku yang melepas benda putih itu dan ternyata Dhika. Ingat lagi, pemuda itu menyebut kata pinky membuat Hana ingin memuntahkan lahar dingin.

"Lo apa-apaan sih Dhik!? Gue malu bego! Sebut pinky segala lagi."

"Hehe, ayoo buruan!" Dhika menggapai tangan kosong Hana.

"Kemana? Ish gausah tarik-tarik malu diliatin anak-anak yang lain," ucap Hana melirik sebagian siswi Prasada yang mulai berbisik-bisik.

"Udah ikut ajah! Salah lo sendiri pilihin gue yang warna pink. Lo harus tanggung jawab!" ucap Dhika pelan. Seakan ucapan Hana tadi tak berarti apa-apa baginya.

"Terus apa hubungannya sama gue coba?" mengernyitkan dahi. Hana bingung.

"Waktu itu lo kan udah janji liatin gue tanding!"

"Iyaa ini, udah kan?"

"Di depan pinky. Ntar lo yang sorakin gue terus usapin keringet gue," ucap Dhika bersemangat seperti biasa. Senyum manis menghiasi bibirnya. Dhika gemas sendiri melihat Hana

"Males, keringet lo bau!" Hana mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya. Menunjukkan ekspresi ilfil nya.

Dhika membaui lipatan ketiaknya, mengeceknya.

"Etdah, kagak akan bau kali. Gue harum kinyis-kinyis gini loh! Pokoknya lo harus ikut gue, di depan."

"Yah, masa iya di depan banget sih Dhik. Gue di belakang ajah lah bareng sama temen-temen gue," elak Hana.

Duduk di depan tanpa ada teman dekat di saat kondisi ramai? Itu bukanlah hal yang menyenangkan!

"Ah, lama lo! Atau.. Lo mau gue seret? sekalian kita jadi pusat perhatian." Dhika mempererat menggenggaman tangannya dan Hana. Bersiap menarik tangan Hana.

"Eh, eh, iya sabar napa sih. Jangan tarik-tarik, gue bukan luffy yang tangannya lentur. Iya, iya gue duduk diem di sana," putus Hana pada akhirnya. Hana sangat tak menyukai sebuah paksaan.

"Salah sendiri pilihin warna pink." ucap Dhika cengengesan melirik sepatu futsalnya kini yang menempel sempurna di kalinya. Tentu saja malu. Ia sempat diejek teman-teman futsalnya. Apa lagi Ipal yang gencar melontarkan kalimat pembullyan. Tapi Dhika tak peduli, sama sekali.

"Lah elo lagian! Ngapain intipin gue coba!?"

"Salah gue gitu? Itu mah rejeki, rejeki gak boleh ditolak. Pamali. Mending dinikmati."

Dhiak hanya cengengesan menggoda Hana. Tak lama setelahnya, sepatu pink kebanggaan Dhika diinjak keras oleh Hana.

"Dasar kacang! COGAN KURANG BELAIAN!"

Dhika seketika mengaduh kesakitan. Apesnya dikau pinky! Abis dihina ipal diinjak Hana.
.
.

Tak ada yang menyadari, di sana sepasang mata itu terus memperhatikan Dhika dan juga Hana. Ada sebuah perasaan yang tak biasa berada di dalam hatinya. Sedikit marah dan kesal tapi kemudian dia tersenyum. Senyuman miring yang saat ini menghiasi bibirnya. Shinta.

                    *****

"Lo masih suka Hana?" tanya Shinta tanpa basa-basi pada Gilang yang duduk menghadapnya. Berada di Metilia café. Langanan Gilang juga Reyga.

"Iyaa, kenapa? Tumben lo tanya soal ginian?" tanya  Gilang, matanya memancarkan tanya yang begitu besar.

"Hana deket sama Dhika."

"Gue tau," ucap Gilang santai. Seakan ucapan Shinta tadi bukanlah apa-apa.

Shinta di hadapannya kini sedikit memajukan posisi tubuhnya. Sikunya menumpu meja di hadapannya. "Kok cuma gitu sih?"

"Apanya?"

"Tuh kan, gue ragu lo beneran suka sama si Hana," ucap Shinta. Masih tak percaya jika sahabatnya kini sedang seratus persen jatuh cinta. Masa iya, jatuh cinta sesantai itu melihat gebetannya deket cowok lain?

"Gue suka dia, tapi ini bukan waktu yang tepat buat gue nunjukin perasaan gue Shin."

Terus tepatnya kapan? Setelah si Dhika embat Hana gitu?

Shinta terdiam. Gilang memang bukan tipe cowok yang menunjukkan perasaannya terang-terangan. Tapi bagaimanapun Gilang tak boleh sesantai ini jika mengetahui Hana tengah dekat dengan Dhika. Siapa tahu tikungan akan terjadi nantinya.

Gilang meminum cappucino di hadapannya. Hanya cappucino yang mampu menenangkan hatinya. Setelahnya Gilang berkata pada Shinta. "Gimana perasaan lo? Sama Dhika? "

"Biasa aja, udah mantan juga," jawab Shinta memutar bola matanya.

Ia tak ingin menceritakan percakapan pertamanya setelah putus dengan Dhika pada Gilang. Biarlah Shinta sendiri yang menyimpannya. Semuanya masih terekam jelas di ingatan Shinta kejadian siang itu.

"Sukur deh, gue gak bisa bayangin, kalo lo cemburu lagi sama cewek-cewek di deket Dhika. Apalagi Hana temen lo kan?"

Benar. Hanya karena rasa cemburu. Shinta memutuskan Dhika sepihak. Dhika pun tak mencoba memperbaiki hubungan keduanya. Dhika sudah bosan dengan sikap cemburuan Shinta. Jelas, Dhika hanya bersikap sewajarnya sebagai cowok. Namun selalu dicurigai oleh Shinta. Bagaimana terjalin hubungan jika tak ada kepercayaan?

Hal itu membuat Dhika akhirnya menyerah. Menyerah pada semua keegoisan Shinta. Wajar jika Dhika selalu dekat dengan cewek. Dhika adalah seorang yang menyenangkan, selalu mampu mencairkan suasana.  Cewek mana yang tidak tertarik pada Dhika?

Hanya saja siap-siap hatinya akan tercampakkan. Karena Dhika adalah tipe cowok yang tak akan fokus pada satu tujuan saja.

                      *****
.

*puvy

Maaf buat segala typo 😘
Ada yang masih nungguin?
Apa makin bosenin?

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top