Hujan 16

And maybe I will never feel
You gave me something so real
I’m running low
I’m sorry, but I have to go ~
Running Low-Shawn Mendes

*
*

Hana tengah berbaring memejamkan matanya, memikirkan perkataan Gilang tadi, Hana sudah memantapkan hatinya. Ia akan berhenti. Ia akan menyerah, menyerah untuk meneruskan perasaannya pada Gilang.

Gilang cuma menganggapnya teman, sedangkan hatinya berharap lebih. Jika dibiarkan, maka Hana akan semakin terjatuh pada ilusinya sendiri. Ilusi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.

Hana telah memutuskan. Ia berjanji pada hatinya sendiri. Menjaga perasaan pada Gilang. Berhenti memikirkan Gilang, berhenti berharap pada Gilang, dan mencoba untuk menghilangkan perasaan kagumnya. Yeah, meskipun memang sulit. Tapi kenyataan bahwa Gilang hanya ingin berteman dengannya, cukup menampar perasaan Hana.

Memulai dengan menyibukkan dirinya. Hingga perlahan ia akan lupa dengan perasaannya sendiri.

                      *****

Tapak kaki itu perlahan pergi menjauhi gerbang sekolah. Sinar mentari dengan hangatnya menerpa rambut sebahu gadis itu. Menyambut, melambai seakan menarik dirinya lebih dalam menuju area sekolah. Perlahan, derap kaki itu melangkah seiring tersunggingnya senyuman di bibir Hana.

Pagi ini adalah pagi yang sangat menyenangkan bagi Hana. Ujian akhir semester ganjil telah ia lewati. Artinya, liburan akan menantinya. Di otaknya sudah tersusun rapi semua kegiatan-kegiatan yang menyenangkan baginya. Entah mengapa, hatinya sekarang sedang berbahagia, seolah seluruh alam semesta berpihak padanya.

Hana masih menelusuri sepanjang koridor menuju kelasnya. Sudah banyak siswa yang berlalu lalang melewatinya. Entah dengan terburu ataupun dengan langkah pelan.

Ketika berada di persimpangan gedung, di dekat kamar mandi smartphonenya berbunyi, satu notivikasi muncul di layarnya. Berbagai postingan nilai kuki yang telah lulus di SMA membuat Hana senang bukan main.

Bahkan ia sampai memberhentikan langkahnya senjenak. Duduk di bangku yang memang berada di depan kamar mandi, sekitar enam langkah di depan kamar mandi. Bangku itu yang terdekat dengan posisinya sekarang.

Beranda twitternya dipenuhi postingan tentang Jungkook yang sedang memamerkan nilainya. Memakai seragam berwarna kuning, serta senyuman manis yang mampu membuat Hana histeris. Namun, tidak dengan kondisi saat ini. Ia mati-matian menahan segala teriakan hebohnya.

Sebuah kekehan keluar dari mulut Hana. Entah kekehan senang atau tak percaya. Betapa bahagianya dia bisa melihat prestasi idolanya. Walaupun di sana ada tercatat nilai bahasa inggris hanya angka 30. Benar, manusia tak ada yang sempurna. Tapi nilai kimianya 95. Dengan kelebihan yang menggunung harus di imbangi dengan secuil kekurangan.

Hana meletakkan smartphone nya di bangku. Tali sepatunya lepas. Ia menyilangkan kakinya, kemudian sedikit merunduk dan mulai mengikat tali sepatu di kaki kanannya.

Namun, terdengar bisikan suara lelaki yang membuat Hana bangkit seperti semula. Setelah ia menyelesaikan kegiatannya.

"Han!"

Hana celingukan, pasalnya di depannya hanya ada dua siswi kelas sebelas yang sedang berjalan. Hana menoleh ke belakang, di dapatinya cowok jangkung berdiri di di depan pintu tolilet cowok. Dhika.

"Apa?"

Dhika mendekati Hana dengan ekspresi yang aneh. Menggigit bibirnya juga berulang kali mengusap bagian belakang kepalanya. Berulangkali Dhika mengalihkan pandangannya. Ia terlihat seperti seseorang yang malu.

"Anu, em, itu.. itu lo kebuka..."

"Apa kebuka Dhik?" tanya Hana kebingungan. Kedua alisnya mengkerut.

"Em, resleting lo.. hehe, gue liat tadi ada warnanya pink gitu."

Dhika mendekati Hana, cengiran aneh sukses mengakhiri kalimatnya.

Sebenarnya bukan pink tapi lebih ke perpaduan antara ungu dan pink. Okey, abaikan masalah warna ini! Bukan, bukan celana dalam, tetapi celana ini semacam hot pants.

Setelah Hana berhasil mencerna kalimat Dhika tentang resleting, sontak ia membelalakkan mata bulatnya. Tangannya meraba bagian belakang tubuhnya.

Benar. Resletingnya terbuka. Dia lupa menarik resletingnya. Seketika ia menarik resletingnya. Bibirnya melengkung kebawah. Menggigit bagian dalam bibirnya. Ia melirik Dhika yang baru saja menghempaskan tubuhnya di bangku. Dhika hanya nyengir, oh bukan! tapi senyum meledek lebih tepatnya. Senyum kemenangan seolah dia habis mendapatkan hadiah.

"DHIIIIKKKAAAAA!!!! MAAATII LO SANA! BERHENTI KETAWA KAYAK GITU!!"

Dhika refleks melindungi tubuhnya ketika Hana menyerang. Beberapa gebugkan mendarat di punggungnya.

"Hehe. Eh Buseeet! AMPUUN OY! PINKY AMPUUN!!"

Mendengar kata pinky Hana semakin semangat mendaratkan kepalan tangannya di punggung Dhika.

"LO NGOMONG PINKY LAGI GUE COLOK MATA LO!"

"HAHA. Okey, damai Han, damai pisss.."
Dhika mengacungkan dua jarinya. Berusaha menghentikan tawanya. Pagi-pagi ia sudah disambut kejadian seperti ini, beruntung nya Dhika!

Dhika Khilaf.

"Lagian, ngapain sih lo di situ?" tanya Hana masih dengan ekspresi sebalnya. Tak terima Dhika melihat sesuatu yang terlarang bagi Hana. Tapi itu salah Hana juga sih yang kelupaan menarik resleting. Kan memalukan jadinya.

"Suka-suka gue dong! Mau gue nangkring di pohon juga bukan urusan lu. Tapi btw yah, untung ajah gue yang liat, kalo orang lain gimana? Mau lo kagak jadi kawin?"

"Ngomong apa sih! LO TUH YAAA, RASAIN NIH!"
Hana kembali memukuli Dhika. Berkali ringisan tergambar di wajah Dhika.
Tentu tak sakit. Hanya kekuatan perempuan tentu tak seberapa, ringisan itu tentu saja untuk mendramatis suasana.

"HAHAHA, OY PINKY STOP!! ancur tulang gue, pada remuk semua lo gebukin!"

"Bodo Amat!"

"Okey serius, gak bahas itu lagi janji!"

Hana beranjak dari duduknya, sebal! Hancur sudah moodnya tadi yang sempat berbunga. Namun, tiba-tiba Dhika menarik tangan Hana. Membuat Hana terjatuh duduk di bangku semula.

"Apa lagi? huh?"

"Lo harus liat gue tanding futsal. Minggu depan, claasmeeting." Dhika menatap Hana serius. Mata teduh Dhika menghunus mata bulat Hana.

Sejenak, Hana merasa terpaku. Mata Dhika seakan menarik Hana, menghipnotis Hana untuk terus menyelami mata itu. Apalagi tangan mereka masih bersentuhan. Hana merasa ada sedikit aliran listrik di tangan Hana. Entahlah..

Sadar, Hana segera melepas genggaman Dhika. Kemudian menjawab dengan ketus, "Males, mending gue bobo di rumah Dhik!"

"Ah elah, kebo amat. Jadi gendut baru tau rasa lo!"

Hana melotot.

"Lo ngomong gendut lagi gue sobek mulut lo."

Tak tahukah Dhika jika Hana sangat sensitif dengan kata gendut. Masalahnya dia pernah mengalami masa-masa gendut. Dan itu tidak selelalu menyenangkan.

"Sadis amat neng? makin cantik deh kalo marah. Ih pipinya juga, merah-merah gitu," Dhika menoel-noel pipi Hana.

Pipinya merah kerena kesal, Dhika menyebut kata gendut.
Bukan merah karena merona.
"Dhikaaaa!! stop godain gue!"

"Okey, okey. Nah, berhubung sepatu futsal gue udah gak berbentuk. Sabtu, ikut gue  beli sepatu. okey!"

Hana menimbang-nimbang ajakan Dhika. Nggak asik kalau hanya sekedar cari sepatu. Ia berfikir sejenak, lalu muncul lah sebuah ide di kepala Hana.

"Gue sering denger pepatah bilang, gak ada yang gratis di dunia ini-"

Sebelum ucapan Hana selesai, Dhika buruan menyela perkataan Hana. Sudah tau kemana arah yang di inginkan Hana "Gue traktir sepuasnya. Gak usah pake pepatah-pepatah segala! ngomong aja minta ditraktir kali."

Segaris senyum tak berdosa muncul di bibir Hana.

"Hehe."

Dhika bangkit dari duduknya, "Gue cabut, mau cari cewek! Siapa tau ada adek kelas bening."

Baru melangkah dua langkah, Dhika berbalik lagi, "Oh iya, satu lagi. Jangan lupa, udah ditutup belom resleting lo?"

Mendengar ucapan Dhika membuat Hana kembali kesal
"DHHIIIKAA!! KURANG AJAR LO YAH!"

"Bye PINKY!"

"DASAR KACANG! DHIKACANG GELO!"

"HAHAHA"

                     *****

Kaki itu perlahan memasuki rumah berdesain minimalis. Mobilnya ia parkir tepat di depan rumah. Setelah pintu gerbang dibuka dan dilanjutkan ke pintu utama rumah itu, lalu setelah mengetuk pintu, Dhika disambut oleh seorang wanita cantik dan anggun berjilbab navy. Sedikit kerutan di pelupuk matanya membuktikan jika wanita ini sudah berumur tentu saja. Mama Hana.

"Assalamualaikum tante, Hananya ada?" ucap Dhika sambil menyalami tangan mama Hana.

"Waalaikumsalam, temannya Hana? Yuk masuk," Mama Hana menyentuh bahu Dhika sekilas. Dhika seperti berhadapan dengan mamanya. Perlakuan mereka hampir sama. Senyuman tipis tersungging di bibir Dhika.

"Iyaa tante."

"Ngomong-ngomong nama kamu siapa?" tanya mama Hana, penasaran dengan pemuda di hadapannya. Hana jarang mengajak teman laki-lakinya ke rumah, hampir tidak pernah. Kecuali teman masa kecil Hana dulu.

Daftar nama teman Hana yang dihafal Fara-mama Hana hanya Shinta dan Fitri. Karena hanya mereka berdua yang sering ke rumah Hana.

"Dhika tante," ucap Dhika tersenyum lebar.

"Deny! panggilin kakak, ada bang Dhika temennya kakak,"
Ucap mama Hana pada Deny yang sedang bermain video game di ruang tengah.

"Iyaa mah."

Dengan sebal Deny beranjak. Kesenangannya terganggu, tapi ini mamahnya, ibu besar di rumah ini. Deny tak mungkin membantah.

Sesampainya di kamar Hana, Deny sengaja duduk di ranjang. Mengamati kakaknya yang sedang menyisir rambut.

"Ceilah kak, kak. Katanya aja jomblo ampe halal. Eh, ada yang ngajak malmingan."

"Berisik deh, anak kecil gak boleh komentar. Sana keluar," Hana meletakkan sisirnya. Memutar badannya lagi di depan cermin. Ia mengenakan dress bermotif bunga selutut, rambutnya ia cepol kuda. Ditambah bedak tipis juga lipblam rasa vanila. Perfect! Tinggal tas selempang juga flat shoes.

"Cepetan! jamuran nanti si bang Dhika nungguin lo dandan."

"Iyaa, iya, bocah!" Hana melangkah keluar dari kamarnya.

Di ruang tamu, Dhika tersenyum sekilas melihat foto kecil Hana yang terlihat lucu. Rmbutnya dikuncir dua. Pipinya gembil minta di cubit. Dhika jadi gemas sendiri.

Ketika Hana berjalan di ujung tangga, mama Hana mengintruksi Dhika yang semula memperhatikan foto kecil Hana. "Nah, Hana nya udah turun."

"Yuk, Dhik," ajak Hana

"Kalian hati-hati di jalan yah, jangan ngebut. Inget! sabtu itu jalanan penuh, jadi pelan-pelan aja," tutur mama Hana.

Mamanya selalu khawatir akan keselamatan Hana. Terbukti dengan tidak di ijinkannya Hana mengendara mobil sendiri.

"Siap tante," ujar Dhika menyanggupi, senyum lebar ia lemparkan pada mama Hana. Tanda ia siap diberi amanah untuk menjaga cewek di sampingnya kini.

"Iya ma, Hana pamit," Hana menyalami tangan mamanya. Kemudian mencium pipi kanan mamanya.

Disusul Dhika kini menyalami, "Dhika pamin te."

Setelahnya mereka mengucap salam bersamaan.

                      *****

Hana menatap jalanan dengan pandangan menerawang. Kemudian sebuah ucapan lolos dari bibirnya tanpa disadari olehnya.

"Dhik, ajarin gue nyetir dong."

"Lo belom bisa nyetir?" tanya Dhika, menoleh pada Hana yang sedang cemberut, masih memandangi jalanan yang terlihat ramai lancar.

Hana hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Gue bosen, diantar-jemput Reyga, apalagi si Reyga suka banget ngancem, mana nggak masuk akal banget lagi," ujar Hana pelan. Ia sudah menyerah dengan segala ancaman Reyga.

Mendengar ucapan Hana, Dhika tersenyum tipis, menoleh pada Hana kemudian berkata, "Mau gue jemput?"

"Enggak." balas Hana cepat.

Dhika mengernyitkan kening ketika mendengar jawaban Hana. "Lah apa bedanya?"

"Kalo lo macem-macem gimana? kalo tiba-tiba jiwa setan lo muncul gimana?"

"Yaelah, emang gue hantu gitu? Lo juga, aneh! kebanyakan cewek kalo gue tawarin jemput tuh pada seneng semua. Kapan lagi coba, berangkat bareng, semobil sama cogan Prasada. Nah ini.." Tidak terima. Dhika ditolak euy!

"Gue bukan kebanyakan cewek!" sergah Hana. Mengerucutkan bibirnya, bagaimana bisa Dhika menyamakan ia dengan cewek-cewek lain?

Setelah teringat pembicaraan inti, Hana langsung menanyakan tawarannya tadi
"Jadi.. mau nggak?"

"Ajarin lo nyetir?" ulang Dhika, kedua alisnya terangkat.

"Gue pikir-pikir dulu deh. Emangnya kenapa gak belajar dari dulu?" tanya Dhika.

"Gua gak di bolehin bokap! kuliah dulu baru boleh pegang mobil," Hana memanyunkan bibirnya.

"Ya udah nurut ajalah Han. Kan ridho orangtua ridho nya Allah. Mana tau emang gak baik buat lo, kalo lo nyetir sekarang. Yakan?" jawab Dhika. Ia berkata sambil memfokuskan arah pandang matanya pada jalan.

Speechless

Seorang Dhika bisa berkata bijak kek gini? Mimpi apa kemaren?

"Lo beneran Dhika? otak lo abis geser Dhik? bener gitu omongan lo!"

"Dasar, gue gak pingin lo kenapa-kenapa Pinky!" Dhika mengulurkan tangannya. Mengacak pelan rambut cepol Hana hingga terlihat sedikit berantakan.

Hana menepis tangan Dhika yang berada di kepalanya, "Ih, nyebelin. Kan rambut gue jadi berantakan!"

"Lo imut kalo marah."

                      *****

Hana memasuki toko buku ternama di salah satu plaza di kota itu. Ia menoleh sebentar pada Dhika di sampingnya. "Janji traktir yah! Apapun?"

"Iya, iya. Udah sepuasnya deh buat lo. emang mau beli apaan sih?" tanya Dhika menyapu pandang seluruh ruangan yang cukup besar itu.

"Komik."

Hana kemudian berjalan menuju stand komik. Bermacam judul komik menarik perhatiannya. Seakan melambai-lambai ingin bergelantungan di tangannya.

Hana berhenti melangkah. Matanya terpaku pada buku cetak di sana. Cover komik itu menarik.

"Ao Haru Ride? Blue Spring Ride? bagus kayaknya tuh, tapi romance gue lebih suka action," ucap Dhika mengomentari komik di genggaman Hana.

Mata Hana berbinar,
"Full series okey?"

"Iya, iya, apasih yang enggak buat tuan puteri."

Setelahnya mereka menuju kasir, menyelesaikan proses pembelian.

Betapa bahagianya hati Hana. Udah gratis banyak pula. Hana terbahak dalam hati.

"Okey! giliran gue sekarang. Yok cabut."

Dhika menarik pergelangan tangan Hana menuju salah satu tempat yang dipenuhi sepatu. Apalagi kalau bukan mencari pengganti sepatu futsalnya di rumah.

Sebenarnya ini hanya akal-akalan Dhika saja. Bisa saja Dhika membeli sendiri atau dengan teman-temannya. Namun sekali lagi, saat ini dia bosan di rumah, apalagi hari ini itu malam minggu. Meskipun ia jomblo tetap ada hak bagi remaja untuk bersenang-senang bukan? 

Setelah tiba di deretan sepatu-sepatu Hana terdiam sejenak, "Gue ngapain deh?"

"Pilihin sepatu lah, yang kece yang keren," ucap Dhika. Ia tertawa kecil melihat sikap Hana yang terlihat bingung saat ini, matanya membulat penuh. Dan itu lucu, membuat Dhika tak tahan untuk mencubit pipi Hana. Dan sontak membuat Hana melotot.

"Yaelah, gitu doang mah kecil. Tapi lo harus janji.."

"Kebanyakan janji lo! mau gue tinggal?" Dhika tersenyum cengengesan, setelahnya dia ngeloyor meninggalkan Hana.

"Lo tuh- kampret gue ditinggal beneran!"

Bukan ditinggal dalam arti sebenarnya, namun Dhika hanya menelusuri ruangan itu. Melihat mana kiranya yang cocok buat kakinya.

"Pilihin deh Han," pinta Dhika.

"Janji? lo harus pake dan harus beli apapun yang gue pilihin buat elo!" tantang Hana.

"Iya, iya, Hana bawel."

Hana memanggil pramuniaga yang kebetulan berada di dekat situ, "Mbak lihat yang itu dong." kemudian menunjuk sebuah sepatu,

"Yang ini?" tanya si embak dengan senyum lebarnya.

"Iya betul. Gimana? pilihan gue bagus kan?" Tanya Hana pada Dhika di sampingnya.

Dhika meringis. Bayangkan warnanya itu loh?
"Bagus sih bagus, masa harus pink Han?"

"Eits! gak boleh nolak loh Dhik. Lo harus pake ini sepatu buat tanding. okey!" ucap Hana tegas, tak terbantahkan. Itung-itung ini pembalasan dendamnya ketika Dhika melihat sesuatu yang terlarang bagi Hana. Hana tertawa setan dalam hati.

"Serius? lo gak kasian gitu sama gue Han?" Dhika mematung, tak kuasa membayangkan betapa malunya ia nanti akan memakai sepatu itu. Pink? Dhika adalah salah satu cogan di SMA Prasada. Haruskah cowok yang ngakunya kece ini memakai sepatu pink?

"Jadi bagaimana sepatunya mbak?" tanya mbak tadi, masih memegangi sepatu itu.
Ukurannya sudah pas jadi Hana sudah memutuskan.

"Jadi yang ini mbak."

Setelah menyelesaikan pembayaran, Hana menarik tangan Dhika. Hanya makanan yang membayangi langkah Hana kini.

"Yuk cari makan Dhik, gue laper." Hana tersenyum puas melihat Dhika yang terbengong.

Dhika hanya menatap punggung Hana yang berlalu mendahuluinya. Ia terheran, kenapa ia mau saja membeli sepatu pink itu? Bisa saja ia menolak bukan?

Sedang Hana hanya tersenyum puas, melihat wajah Dhika yang frustasi. Puas juga bahagia bisa mengerjai temannya ini.

                     *****

*puvy

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top