Hujan 15
Sekarang pupus sudah harap yang terlalu jauh itu. Hatinya benar-benar bimbang. Menentukan kemana arah sebenarnya yang dituju keinginan hati.
Satu sisi ia merasa kecewa dan satu lagi ia merasa berbunga. Setitik harapan itu muncul membayangi pikiran Hana, menawarkan rasa bahagia tentang rasa kagumnya pada Gilang. Berharap jika kekagumannya akan tersampaikan.
Namun kembali, rasa lain datang menghampiri. Bertubi-tubi kenyataan itu menampar Hana bahwasannya sikap yang ditujukan Gilang padanya sangatlah keterlaluan. Egonya tak terima, kecwa, bagaimana bisa Gilang hanya mendiaminya saja. Apa sebenarnya Gilang tak menyukai keberadaannya?
Hana seakan dihempaskan begitu saja. Memang saat itu mereka berasama, namun hal itu benar-benar tak seperti yang diharapkan Hana. Di benak Hana, terpikir bahwa Gilang adalah sosok yang sangat sempurna.
Pertama kalinya ia bersama laki-laki yang dikagumi. Apa bayangan terindahnya? tentu saja orang itu akan memenuhi segala daftar ceklist yang dibuat otak Hana. Namun, yah, tak ada manusia yang sempurna bukan?
Walaupun mereka sempat bercanda. Tapi tetap saja! Rasa kesal masih bersarang dalam hatinya. Keputusan Hana bulat. Bahwa secepatnya ia harus menghilangkan rasa kagumnya.
Karena Hana sadar betul tatanan hatinya yang semula tertata rapih kini sudah mulai bergeser. Berulang kali nama Gilang muncul dibenaknya meminta untuk di pikirkan. Namun Hana yakin peasaan ini hanya kagum semata. Mengagumi ciptaan Tuhan sebagai bentuk kesyukurannya sehingga ia bisa menikmati wajah Gilang yang memang menarik hati Hana.
Okey! Abaikan alasan Hana yang ini.
Bimbang, Hana bimbang menerka sikap Gilang yang penuh kejutan. Pusing memikirkan bermacam perasaan yang menyebalkan itu. Hana tengkurap menutup kepalanya dengan boneka beruang putih miliknya.
Daniel, andai lo di sini, gue gak akan menyedihkan kayak gini! Lo akan selalu ada buat gue.
Kedua kakinya berulangkali bergantian memukul ranjang tidurnya hingga menimbulkan suara yang berirama. Ponselnya ia buang ke sembarang arah. Mengetahui pesan terakhir dari Dhika, membuatnya sedikit merasa.. entahlah perasaannya sulit didefinisikan.
Ia tengah bimbang memikirkan kondisi hatinya. Bagaimanapun juga Dhika itu sangat menyebalkan bagi Hana. Tapi di sisi lain ia juga sedikit senang. Dhika menyenangkan untuk Hana, mereka terbilang dekat.
Terbukti Hana yang sudah mengetahui beberapa hal tentang Dhika. Dhika adalah mantan ketua futsal di sekolahnya, Dhika juga anak band, dia selalu berada dibalik drum ketika ada pensi di sekolahnya. Anak itu mempelihara kucing persia bernama Emon yang sering membuat Hana tertawa geli. Dhika juga teman bimbel Reyga. Entahlah..
Tapi tetap saja, menurut hatinya yang terdalam Dhika masih kalah dengan Gilang.
Hana berbalik, terlentang matanya lurus menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan satu hal,
kenapa gue sebel?
Inilah akibatnya jika terlalu berharap pada seseorang. Hana memenjamkan matanya, menghalau segala perasaan kesal itu yang jelas kini ia harus benar-benar tertidur jika tak ingin besok terlambat dan mendengar omelan Reyga.
*****
"Ga,"
Ucapan Hana membuat Reyga yang sedang menyetir menyahut pelan, "Apa?" pemuda itu masih memfokuskan matanya pada jalanan. Mereka dalam perjalanan menuju sekolah. Terbukti dengan pakaian putih-abu yang mereka kenakan. Namun tetap saja, ada perbedaan yang sangat mencolok diantara mereka.
Hana dengan seragam rapinya. Sedangkan Reyga dengan baju khas anak bandelnya. Baju dikeluarkan. Dua kancing atasnya terbuka menampilkan kaos putihnya. Serta lengan seragamnya yang ditekuk sedikit ke atas Entah apa isi dari tasnya yang terlihat kempes itu.
"Ajarin gue nyetir mobil dong." Suara yang keluar dari mulut Hana membuat Reyga mengernyit, sepupunya ini hampir tak pernah meminta hal seperti ini padanya.
"Males ah, gue sibuk!"
"Ayolah Ga, gue cepet ngerti kok. Gue kan pinter!" rayu Hana, berharap Reyga mau membantunya.
Hana sudah bosan dijemput supir. Apalagi jika supirnya sering mengancam. Macam Reyga gini.. Yah, walaupun kece sih, kebanyakan temannya mengira Reyga itu pacarnya.
Reyga terkekeh pelan.
"Busseett, ngakunya pinter tapi gak pernah peringkat atas!"
"Tapikan gue masuk lima besar," bela Hana. Bibirnya mengerucut sehingga pipinya terlihat lebih mengembang.
"Sama aja."
Mencoba sekali lagi, Hana kembali berucap, "Ya Ga, ajarin gue yah kalo misal gue bisa nyetir kan lo gak perlu anter jemput gue. Lo bisa kencan sama Andhin sepulang sekolah. Atau kalo nggak, lo bisa antar jemput Andhin, kan biasanya cewek suka digituin." Kali ini ia memasukkan alasan-alasan yang mungkin dirasa masuk akal.
"Andhin itu mandiri. Mana mau dia gue jemput!" Ucap Reyga pandangannya lurus. Dia berucap dengan nada yang datar. Sedikit ketus. Apa si kutu kupret Reyga lagi badmood?
Tak mau mengalah Hana menunjukkan raut wajah memohonnya, "Ayolah Ga, gue tuh pingin kemana-mana sendiri. Mobil juga ada di rumah masa dianggurin sih."
Sebuah umpatan terucap di bibir Reyga, kemudian menghentikan mobilnya. Mereka berada di perempatan lampu merah. Reyga menolehkan wajahnya pada Hana, "Ikut kursus lah, gitu aja ribet."
"Gak dibolehin bokap. Kalo kuliah, gue baru bisa pegang mobil. Kan kelamaan Ga! Tinggal tujuh bulan lagi."
"Lo curhat nih ceritanya?" Tanya Reyga dengan wajah menyebalkan. Senyum sinis tercipta di bibirnya. Membuat Hana tak tahan dengan sikap manisnya merayu Reyga.
"Rese lo! Mana gambaran gue waktu itu. Capek-capek gue gambar bagus gak dikasih apa-apa. Album bts kek! Balikin gambaran gue kalo gitu!?" Ucap Hana ketus. Menatap Reyga sengit. Tangannya terlipat rapih di dadanya.
"Enak aja! kalo mau bantu itu harus ikhlas Han. Dari hati gak boleh di ungkit-ungkit," tutur Reyga. Ia melajukan mobil dengan pelan karena gerbang sekolah Hana sudah terlihat.
"Tumben omongan lo bener?"
"Sekali-kali jadi anak baik-baik kayak si Gilang."
*****
Tangan mungil itu bergerak cepat. Bolpoin tinta itu menari-nari dengan liahai di atas buku. Kuku cantik itu tampak indah dengan berbagai paduan warna. Jelas sekali si pemilik tangan itu baru ke salon kecantikan untuk manicure padicure Karena Hana yakin minggu lalu motif kutek di kuku Shinta tak seperti hari ini.
Shinta duduk di bangku Fitri, menyalin tugas dari buku Hana. Sedangkan Hana berada di sampingnya memainkan smartphone-nya untuk streaming menyaksikan berbagai video tentang bts, boyband asal korea yang sangat digilainya.
Suara musik hip hop memenuhi indra pendengaran Shinta. Yang memang duduk di dekat Hana dan Hana mengeraskan volume suara. Membuat Shinta mendengus. Berdecak pelan namun jelas tak akan di dengar Hana. Shinta sangat tak menyukai korea! Berusaha tak memperdulikan Hana, Shinta fokus menyalin tugas akhir sebelum minggu depan ujian semester ganjil. Tugas Fisika yang seabrek.
"Kukiku kamu kiyowo sekali sih nak."
"Anak siapa sih? Suami sapa sih? Aaaa.. kampret lo ganteng banget anjir!!" Suara Hana terdengar hingga penjuru kelas membuat Shinta sedikit membentak Hana.
"Han diem bisa napa!"
Hana hanya menampilkan cengiran tak bersalahnya.
"Hehe, sorry, khilaf."
Namun tiba-tiba bangku di depan Hana bergerak. Menandakan ada yang akan menghuni kursi itu. Fitri menghadap ke arah Hana dan Shinta dengan ekspresi yang aneh. Matanya menerawang. Tangannya menangkup pipi tirusnya.
"Ini lagi, ada apaan muka lo kok gitu?" Tanya Shinta menatap Fitri aneh. Ia berhenti menulis sejenak, mengistirahatkan tangannya yang sedikit kesemutan akibat menyalin tulisan yang begitu banyak.
"Kenapa Fit?" tanya Hana, mengecilkan volume suara di ponselnya.
Sebelum berbicara, Fitri menampilkan senyuman manisnya. Memejamkan matanya sejenak, telapak tangannya saling bersentuhan. Masih saja tersenyum hingga membuat kedua temannya bertanya-tanya ada apa dengan Fitri. Dan ketika Fitri membuka mata, ia berteriak histeris,
"Lo tau?! gue gak akan cuci baju gue!"
"Dih jorok!" Ujar Hana menanggapi ucapan Fitri sembari menutup kedua lubang hidungnya.
"Yee, gak gitu maksudnya! Pokoknya gue gak akan cuci seragam gue. Bakal gue pajang di kamar, gue peluk sampe gue tidur!" bela Fitri yang sedang senyam-senyum nggak jelas.
"Lebay! Apaan sih Fit?" Sahut Shinta setelah mengghapus beberapa tulisan di kertasnya. Salah nyalin. Dan ini adalah kampret momen. Hampir setengah halaman sudah penuh, dan harus dihapus.
"Segitu berharaganya yah sebuah seragam sekolah," ucap Hana. Fix, dia salah pengartian!
"Yah, lo gak tau ajah emang!"
"Lah iya, apaan Fit, gue buang juga lo yah! jan bikin prnasaran napa."
"Sembarangan maen buang anak orang lu Shin," Sahut Hana, kini ia benar-benar memfokuskan pandangannya pada sahabatnya.
Sama halnya dengan Shinta, ia mengacuhkan kertas di hadapannya. Ia benar-benar sudah muak melihat deretan bilangan yang memusingkan itu.
"Dedeq gak mau dibuang. Tega yah kalian sama akuuhh!"
"Iya iya, duh alaynya kumat. Dah buruan tau apaan? asal usul bu Linda gendut?" ucap Hana
"Sembarangan lo Han!"
"Oke, oke. Jadi gini, tadi itu baju gue abis kesenggol si Arkan. Tadi ada yang dorong gue waktu di kantin. Sumpah yah gue bertarimakasih banget sama itu orang. Dan kalian tau? baunya tuh, beeuuh, wangiiii banget! Gila, semalem mimpi apa gue? bisa nempel ke Arkan!" Fitri berucap tanpa jeda. Terbukti, setelah menyelesaikan kalimatnya ia sedikit terengah seperti berlari.
"Yaelah, kirain apaan Fit! Lo kayaknya beneran jatuh cinta ke dia deh," ujar Hana. Mengerutkan keningnya, pertanda ia sedang berfikir.
"Kayaknya lo perlu priksa deh Fit! Sadar Fit, si Arkan adek kelas!" Sahut Shinta, mengetuk kepala Fitri dengan pensil isi berwarna biru itu.
Menanggapi Shinta, Fitri hanya mendengus kesal sebelum berkata, "Hemm, cinta gak bisa dipaksa Shin! Gue suka sama Arkan."
Hana yang sedari tadi tidak berkedip kini mengelurkan suara, "Yaudah, nyatain. Beres. Fitri bahagia. Masalah selesai, horee.." Ia mengakhiri dengan tepuk tangan sendiri. Hingga menjadi bahan perhatian sebagian isi kelas.
Bangku Hana berada di baris ketiga, lurus dengan meja guru. di depannya ada bangku milik Shinta. Mereka sering berganti posisi.
"Gak semudah itu kali Han!" ucap Shinta. Dan dibalas senyum tak berdosa Hana.
*****
Langit cerah menghiasi pemandangan sore hari ini. Sedikit warna jingga yang bersarang di samping awan memadukan keindahan ciptaan Tuhan. Awan putih kebiruan itu bagai hamparan permadani yang menyejukkan hati. Seperti Hana kini yang tengah memandang langit dengan senyuman. Jika hari akan selalu cerah seperti ini, tak ada hujan dan tak ada mendung pasti menyenangkan pikirnya.
Namun, bahagia tanpa ada susah bukanlah hal yang indah. Masalah datang sebagai harmoni penyempurna untuk menjalani hidup. Bagaimanapun tak boleh menjadi egois hanya menginginkan bahagia saja. Seperti langit yang diinginkan Hana untuk selalu cerah.
Pemuda itu berhenti di hadapan Hana yang kini berdiri di samping gerbang sekolah. Berjaket merah dan sedang berada di atas ninja merah. Helmnya ia buka menampilkan wajah yang tegas. Lesung pipinya perlahan muncul seiring tersunggingnya senyum itu. Ia lemparkan senyuman untuk Hana sebagai sapaan.
Dereran gigi rapih itu terlihat, kemudian sapaan formal pun terucap dari mulutnya untuk Hana,"Hai."
Hana masih mematung. Ia hanya mampu mengedipkan matanya beberapa kali. Sebelum berucap, "Eh, Gilang. Reyga mana?" Hana celingukan, karena biasanya Reyga yang datang bukan Gilang.
"Naik buruan, ikut gue sekarang."
Hana masih belum bergerak, terlalu bosan menunggu reaksi Hana yang sedari tadi terkejut, Gilang pun menarik tangan Hana mendekat. Memakaikan helm pada Hana yang sengaja tadi ia bawa.
"Kita mau kemana?" Ucap Hana setelah berada di balik punggung Gilang. Ia masih bingung dengan Gilang yang tiba-tiba datang.
"Nanti juga lo tau."
Motor itu melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan kota yang sesak. Mengemudi menggunakan motor lebih leluasa menurut Gilang karena terhindar dari kemacetan.
Setelah hampir lima belas menit di perjalanan, Gilang membelokkan motornya di sebuah gedung.
"Perpustakaan? Kali ini apalagi Lang?" tanya Hana yang masih kebingungan dengan maksud tujuan Gilang membawanya ke perpustakaan kota.
Mereka berdua turun dari motor. Melepaskan helm masing-masing. Gilang menghadapkan tubuhnya mengarah Hana berucap pada Hana "Gue cuma pingin lo temenin gue doang, sih."
"Oh, mau cari buku apaan Lang?" tanya Hana. Kakinya melangkah pelan menuju pintu perpustakaan. Beriringan dengan Gilang.
"Buku tentang taekwondo," jawab Gilang singkat.
"Lo anak taekwondo?" Tanya Hana singkat, hatinya mengingatkan untuk tidak terlalu jauh mengenal Gilang. Ia teringat janjinya untuk menghilangkan kekagumannya pada Gilang. Bagaimanapun juga ia harus benar-benar menjaga hati.
"Hemm."
Mendengar jawaban Gilang yang singkat Hana sudah tak kaget lagi. Hana sudah menyiapkan hatinya untuk tidak terlalu berharap lebih. Manusia yang tengah memilah-milah buku itu terlihat serius mencari buku tujuannya. Membuat Hana menjadi canggung lagi karena ia tak melakukan apapun selain memandangi Gilang dari belakang.
Akhirnya Hana memutuskan membantu Gilang, "Emm, gue bantu cari yah."
"Okey."
Setelah lama akhirnya mendapat buku panduan taekwondo yang dicarinya, Gilang berbalik menghadap Hana, menyandar pada rak yang berisi penuh dengan buku, sehingga tak perlu khawatir akan roboh dengan disandar oleh Gilang.
"Lo kenal Shinta?"
Hana terkejut dengan Gilang yang tiba-tiba berada di sampingnya. Sedikit memekik pelan, hingga membuat Gilang tersenyum tipis memperlihatkan lesung pipinya.
"Iya, temen sekelas gue. Shinta Fransiska Aditya kan?" tanya Hana memastikan. Tak lucu jika yang di maksud Gilang buka Shinta temannya itu.
"Iya. Sebenarnya gue kenal Shinta udah lama, dia anaknya temen nyokap gue. Kita dekat, malah gue udah anggep dia kayak adek gue."
rentetan kata itu adalah kalimat terpanjang yang diucapkan oleh Gilang sejauh ini.
"DEMI AP-"
"Sssttttt" Gilang menutup mulut Hana yang melongo, terkejut akan kenyataan yang baru saja didengarnya.
"Maaf, hehe..." cengiran malu itu tergambar di wajah Hana, kmudian dia melanjutkan, ".. lo beneran deket sama Shinta? Sejak kapan?" tanya Hana, telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya berulang kali.
Kok Shinta gak pernah bilang ke gue sama Fitri sih? Kan makin gampang gue cari tahu tentang si Gilang.
"Dari kecil."
Hana mengernyit, sesuatu di pikirannya tampak ganjil,
"Kok lo tiba-tiba bilang ke gue?" Tanya Hana lagi, ia masih tak percaya dengan hal ini.
"Gue pingin, kita gak canggung buat temenan, yah gue tahu, gue rada ngebosenin sih."
Lo gak ngebosenin kok, gue malah suka deket sama lo terus!
"Oh, iya," ujar Hana pelan. Apa yang diharapkannya sebanarnya?
Sadar Han, dia cuma pingin temenan. Cuma teman! dan lo gak usah berharap lebih!
*****
*puvy
Makasih buat yang udah baca sejauh ini :)
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top