Hujan 13

Gemercik air mengalir menimpa kedua tangan itu. Tangan mungil itu sibuk mencuci peralatan dapur. Gelang yang menempel di pergelangan tangannya basah. Padahal terlihat cantik di tangannya.

Gelang tali perpaduan warna ungu, putih, dan merah. Pemberian dari teman sebangkunya, Fitri. Sebenarnya ia bukanlah tipe perempuan yang menyukai pernak-pernik. Tapi sahabatnya itu memaksa. Jadilah, Hana hanya bisa menurutinya. Menghargai pemberian orang lain.

Hana masih saja sibuk dengan cucian piringnya. Tiba-tiba Reyga muncul, menghampiri kulkas. Tangannya terulur mengambil sebuah peer. Menggenggamnya kemudian menggigit buah itu. Hingga terdengar bunyi 'kriak'. Bagi Reyga rumah Hana juga rumahnya, begitu pula sebaliknya.

Hana menoleh, penasaran akan suara gigitan tersebut. Sedangkan Reyga hanya tersenyum nyengir, kemudian menghampiri Hana.

"Hoy! Ngapain Han?"

"Gak liat apah?" jawab Hana ketus.

Reyga hanya mengangkat bahu acuh. Kemudian mengitari meja makan.

"Tumben masak? Cih, mie instan? Gue juga bisa kali. Ketahuan nih kagak bisa masak!" Cibir Reyga.

Ini lah kealhlian Hana. Memasak mie instan juga telur mata sapi di atasnya. Yah, walaupun telurnya terlihat sedikit gosong.

"Brisik tau gak! mending lo pulang kalo mau ngerecoki!" sergah Hana. Ketus. Bola matanya menatap Reyga tajam.

Yang di tatap hanya melemparkan cengiran. Reyga tahu betul jika sepupunya ini dalam mode sensitif.

Kayaknya lagi pms nih anak!

"Okeh-okeh, damai. Hehe,"
Reyga mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

Setelahnya Reyga sudah ngacir entah kemana. Yang pasti ia tak mau membangunkan singa yang ada di dalam tubuh Hana. Yang siap menerkam siapa saja yang mengganggu Hana.
Reyga bergidik ngeri membayangkan.

Setelah memasak, membereskan dapur, dan menikmati masakannya. Kini Hana sedang terduduk di sofa ruang keluarga. Menikmati snack rasa rumput laut yang terbuat dari kentang yang di potong tipis-tipis itu.

Terlihat jelas jika Hana tengah kekenyangan, namun tangannya tak berhenti mengambil snack di pangkuannya. Televisi di hadapannya juga menyala menampilkan tayangan tentang berbagai macam makanan yang dikaitkan dengan gizi dan sebagainya.

Semakin lama, matanya mulai tidak kuat menahan rasa yang sedang bersarang di tubuhnya. Yah, mengantuk. Setelah kenyang, pasti akan mengantuk. Apalagi tanpa melakukan aktifitas apapun.

Lalu terdengar suara dari sofa sebelah, ada yang menghempaskan tubuhnya di sofa. Dan tersangkannya adalah Reyga.

Disangka Reyga aman untuk membuka suaranya. Kini ia benar-benar ingin mengutarakan keinginannya pada Hana.

"Han?"

"Hemm," jawab Hana. Baru saja ia akan kehilangan kesadaran jika tak ada yang memanggilnya.

"Eemm, lo suka gambar kan?"
Tanya Reyga hati-hati. Sekaligus mengambil hati Hana. Ini salah satu triknya untuk memohon pada seseorang. Baiklah, tak apa memohon demi tercapainya keinginan.

"Tentu," jawab Hana. Kemudian tangannya bergerak mengambil snack. Memasukkan ke mulutnya.

"Lo mau gak gambar buat gue?" tanya Reyga. Menampilkan wajah memelasnya.

Hana menoleh. Menatap Reyga yang duduk di sofa samping.

"Males." jawab Hana dengan muka menahan kantuknya. Kemudian tangannya terulur hendak mengambil remote dan mematikan televisi. Berniat ke kamar untuk tidur.

Ia tahu jika tidur setelah ini tidaklah baik. Akan menimbulkan berat badannya naik. Padahal Hana sudah sangat menjaga berat badannya itu dengan susah payah.

Hana kecil adalah anak yang lucu menggemaskan dengan pipi gembilnya. Sewaktu sd berat badannya sudah tak terkontrol. Hingga awal smp Hana memutuskan untuk menjalani diet sehat. Alhasil ketika sma Hana sudah mendapatkan tubuh ideal, berkat kerja keras dan disiplinnya.

Reyga menghalangi televisi yang hendak di matikan oleh Hana. "Ini buat tugas akhir gue Han," pinta Reyga memelas.

"Gak mau!" tolak Hana. Ia sudah malas dengan Reyga yang selalu mengganggu ketentraman hidupnya.

Urung mematikan televisi. Hana beranjak menuju tangga, berniat ke kamar. Kemudian Reyga bergegas mengikutinya.

"Ini hidup dan mati Han," kejar Reyga menahan tangan Hana.

"Bodo amat!"

Anak tangga pertama sudah di pijak Hana. Reyga makin kelabakan, masalahnya ia tak mampu mengerjakan tugas akhir itu, apalagi ia tak pernah mengumpulkan tugas-tugas sebelumnya. Dan hanya sepupunya ini yang punya keahlian dalam menggambar. Tentu saja ia harus memanfaatkan keadaan.

Reyga memutar otak, mencari cara agar sepupunya ini mengiyakan keinginannya. "Rencananya gue mau ajak Gilang sekalian sih," tawar Reyga, menunjukkan senyum miringnya.

Hana berhenti melangkah, berbalik menatap Reyga, "Oke mau!"

"Giliran Gilang aja semangat, Han, Han," gerutu Reyga. Sepertinya ada yang tidak beres dengan sepupunya ini. Okey, rencana berjalan mulus.

*****

Sore ini Hana sudah berada di rumah Reyga. Tepatnya di teras rumah Reyga. Di sana juga sudah ada Gilang. Mereka duduk di kursi yang memang di sediakan untuk bersantai.

"Udah siap nih?" mata Hana berpendar menanti jawaban dari kedua pemuda kece di hadapannya ini.

"Pertama siapin perlengkapannya, ada kertasnya nggak?"

Dan dijawab oleh gelengan kepala oleh kedua pemuda itu. Hana hanya menghela nafas.

Betapa menyebalkan sepupunya ini! Kenapa sebelumnya tidak menyiapkan segala keperluannya?

Tiba-tiba bunyi ponsel Reyga berbunyi. Reyga beranjak, menerima panggilan telfon. Mengacuhkan Hana dan Gilang.

Tinggallah Hana dan Gilang berdua. Mengatasi kecanggungan Hana hanya mampu bermain ponsel. Entahlah, gugup? salting? atau apapun namanya itu, sedang dirasakan Hana sekarang. Hana sempat mengagumi keindahan ciptaan Tuhan di hadapannya ini. Pernah menatap tanpa kedip. Pernah sedikit, hanya sedikit! berharap menaruh rasa pada pemuda ini.

Hanya keheningan. Hana masih belum berani mengawali pembicaraan. Apalagi pemuda di sampingnya ini adalah pemuda yang sudah terlabeli dengan sifat dingin dan cuek.

Setelah beberapa saat, Reyga datang menghampiri mereka. Terburu mengenakan hoodie hitamnya. Kemudian menyambar kunci mobilnya.

"Eh, kayaknya gue gak bisa ngerjain tugas sekarang, deh. Gue mau ke Andhin."

Sontak, kedua lawan bicaranya menatap Reyga tajam. Mata bulat Hana hampir saja keluar dari tempatnya.

"Serius nggak sih Ga?!" tanya Hana beranjak dari duduknya.

"Hehe. Emm, mending lo beli perlengkapannya sama Gilang, gue ke Andhin bentar. Tar, kasih kabar aja kalo udah selesai. Gimana?" Reyga membuat persetujuan. Inilah salah satu sebab, kenapa Hana yang tak ingin berurusan dengan Reyga. Menyebalkan! Merepotkan! Ujungnya kecewa. Dasar cowok!

"Oke deh," ucap Gilang menyetujui kesepakatan. Sedang Hana masih membeku di tempatnya setelah mendengar suara Gilang.

"Gimana Han? Gak ada tebengan buat seminggu kedepan kalo lo nolak!" Ancam Reyga, ia sedang memainkan kunci mobilnya. Menampilkan senyum termenyebalkan bagi Hana. Membuat Hana ingin sekali mencincang sepupunya ini.

Hana menghela nafas, "Huh, Selalu anceman. Yaudah serah lo aja Ga," putus Hana terpaksa. Tubuhnya sudah meluruh ke kursi, dia sekarang terlihat menjijikkan seperti tak bertulang.

Tak masalah bagi Hana jika membantu sepupunya itu. Hana mengerti betul jika tugas akhir sangat berarti bagi seorang siswa. Apalagi Reyga sudah kelas dua belas sama seperti dirinya. Walaupun Reyga bukan termasuk siswa rajin dan pandai, melainkan siswa yang sering melanggar peraturan. Juga tugas itu hanya sekedar menggambar. Menggambar adalah hal yang tentu menyenangkan bagi Hana.

Tapi permasalahannya adalah kini ia harus berdua dengan Gilang. Cowok baik-baik, yang akan memboncengnya menggunakan motor. Tak apa, bukan karena motor Gilang cuma matic atau apa, hanya saja ada sebuah rasa yang sulit dijelaskan akan keadaan Hana sekarang.

Hana sudah jauh-jauh hari memikirkan suatu kenyataan. Bahwa untuk pertama kalinya ia mengagumi seseorang dalam beberapa pertemuan. Tak ada yang istimewa dalam diri Gilang. Di mata Hana, Gilang adalah sosok pemuda baik-baik yang menghargai perempuan, dari cara bicaranya yang berbicara seperlunya saja itu adalah hal yang di kagumi Hana diam-diam. Dan itu hanya salah satu alasan saja. Masih banyak kelebiahan-kelebihan yang di kagumi Hana dari sosok Gilang.

Sebuah suara membuyarkan lamunan Hana.

"Udah? Ayo naik," ajak Gilang yang sudah siap dengan motor maticnya.

Motor warna putih itu melaju dengan perlahan menjauhi kawasan kompleks perumahan.

Hening. Tak ada yang berucap. Anggaplah Hana adalah cewek cuek atau acuh, karena ia jarang berdekatan dengan cowok. Namun sisi perempuannya akan perlahan muncul di kondisi seperti ini. Pipinya bersemu merah mengingat ini kali pertamanya ia dibonceng cowok. Tambahan, cowok yang dikaguminya.

Serba salah. Takut mengawali pembicaraan dan takut jika ucapannya tak dibalas Gilang. Juga egonya perlahan merasuki otaknya, membisikkan jika tak seharusnya perempuan yang mengawali pembicaraan.

Ya ampun Hana putar otakmu, kamu harus mencari ide untuk mengeluarkan suaramu. Bahkan Hana tak tahu arah tujuannya ke mana. Mendadak hilang semua ingatannya tentang tujuannya..

Tujuan? Toko peralatan gambar..

Hana memberanikan diri mendekatkan kepalanya ke sisi kiri Gilang. Takut jika Gilang tak mendengarkan suaranya karena terbawa angin. Okey itu hanya alibi saja. Okey, itu adalah modusan amatir Hana.

"Em, kita ke toko langganan gue ajah Lang," ucap Hana.

Sadar bahwa perempuan di belakangnya mengeluarkan suaranya, Gilang hanya melirik sekilas kemudian menjawab.

"Okey, nanti tunjukin arahnya aja," jawab Gilang singkat.

Padahal sudah semenjak tadi Gilang menunggu kata pertama yang akan diucapkan Hana. Gilang hanya tak tahu harus berucap apa, dan juga menurutnya hal remeh yang tidak merujuk ke inti pembicaraan adalah tidak penting. Dan inilah Gilang, Gilang dengan segala sifat dan sikapnya.

*****

"Kita ke masjid dulu yah, sekalian magrib," ucap Gilang memecah keheningan di antara mereka. Sekaligus pertama kalinya Gilang mengawali pembicaraan. Pertama kali, bayangkan betapa sedari tadi Hana menahan segala rasa dongkol di hatinya. Dari tadi jalan berduadan hanya saling diam.

"Iya, lagian gerimis juga ini," balas Hana mendongak ke atas. Helm yang di pakainya sedikit bergerak kerena kebesaran. Perjalanan pulang mereka kali ini terhambat oleh hujan.

Suasana senja masih sangat terasa. Warna jingga masih memenuhi langit. Namun, hujan tak ingin kalah, menggambil alih kuasa untuk sekedar mewarnai isi langit.

Bergejolak di dalam hati Hana perasaan dongkol yang kian melebar. Ditambah gerimis yang datang, kini lengkap sudah, hujan semakin merusak suasana hatinya. Apalagi sedari tadi teman bicaranya hanya mengeluarkan persetujuan dan penolakan saja. Hanya sekata dua kata.

Sejak di toko langganan Hana, Gilang hanya mengekori Hana. Berucap jika di tanya Hana saja. Dan membantu seperlunya. Bayangkan! Betapa tersiksanya posisi Hana. Hana adalah tipe cewek dengan gengsi yang tinggi. Sedangkan Gilang adalah mamusia yang tidak peka. Harus ada salah satu dari ego mereka yang mengalah.

"Lo suka hujan?" Tanya Hana yang kini sedang duduk di tingkatan teras masjid bersama Gilang. Menunggu hujan reda.

"Hmm." hanya gumaman yang di utarakan Gilang. Pikirannya berkecamuk memikirkan hujan yang tak kunjung reda.

"Apa yang lo sukai dari hujan?" tanya Hana.

"Suaranya," ucap Gilang mengambang.

"Berisik," balas Hana disertai senyum sinisnya. Kemudian disusul oleh Gilang. "Dan mengganggu."

"Dan lo suka?" tanya Hana lagi. Memastikan. Matanya memicing penuh keingin tahuan.

"Yeah, gimanapun hujan itu kenikmatan Tuhan, karunia Tuhan. Han.. lo gak suka hujan?" tanya Gilang. Kini pemuda bergaya rambut spike itu memfokuskan arah pandangnya pada Hana.

"Hemm," Hana hanya bergumam menunduk.

"Kenapa?" Tanya Gilang yang masih menggunakan nada datar.

"Bikin jalanan becek!" Jawab Hana menggigiti bibirnya. Kali ini ia tak mau membagi masa lalunya. Hanya karena tak ingin terlalu dalam, jatuh pada sebuah perasaan.

"Lo udah lama temenan sama Reyga?" Tanya Hana mengalihkan pembicaraan.

"Pertama masuk sma. Kenapa?" Ucap Gilang menaikkan sebelah alisnya.

Hana hanya terkekeh pelan,
"Enggak, tumben ajah Reyga ketemu temen yang lurus."

"Maksudnya?"

"Yeah, lo tau lah Reyga kayak gimana. Dia kan gak bener sekolahnya," ucap Hana teringat sepupunya yang masih saja bermain-main dengan kehidupannya.

"Oh."

'Oh' gila si Gilang! Tanggepannya cuma gitu doang!? Gue ngoceh cuma ditanggepin oh?

Semakin membuat Hana malas mengeluarkan suaranya. Hingga terjadi aksi saling diam-mendiamkan diantara mereka. Lagi.

Setelah beberapa lama, Gilang pun bersuara mengatasi kecanggungan.

"Lo sering di ancem Reyga?"

"Huh? Ancem apaan?" Tanya Hana. Keningnya berkerut menandakan ia sedang berpikir.

"Kayak tadi, gak dikasih tebengan," ujar Gilang pelan. Prihatin dengan kondisi cewek yang baru dikenalnya ini.

"Lo tau?! Reyga tuh makhluk yang pingin gue cekik!! gue mutilasi! gue cincang!!
Tapi sialnya dia sepupu gue. Yah mau gimana lagi ntar sekolahnya ga ada yg antar jemput gue. Terpaksa.." jelas Hana.

Dikasih umpan yang menggiurkan, Gilangpun tertarik. Terlukis jelas senyum tipis di bibirnya.

"Mau gue jemput?"

"Ah, enggak ah Lang. Gak enak guenya," ucap Hana. Malu-malu ia memeluk dirinya sendiri. Hawa dingin terasa membakar pipinya.

Di jemput Gilang?! Bahkan Hana tak pernah berani membayangkan hal seperti itu. Meskipun di dalam hati kecilnya terbersit keinginan itu.

Sadar akan cewek di sampingnya yang kedinginan, Gilang menyampirkan jaketnya ke bahu Hana.

"Kasih kucing ajah, biar enak," ucap Gilang.

"Maksu-- Ahaha lo bisa juga ngebanyol."

*puvy

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top