Hujan 12
Siang ini matahari bersinar dengan teriknya yang menyengat, menembus halus ke dalam lapisan kulit. Menaburkan seribu cahaya dengan kilauan keemasannya.
Menembus dahan-dahan pepohonan untuk membantu berfotosintesis. Hingga perlahan sehelai daun kecoklatan terjatuh dari tangkainya, menimpa seorang gadis berseragam putih abu-abu yang kebetulan duduk di kursi memanjang di bawah pohon itu.
Tanggannya terulur menggambil daun itu kemudian menjatuhkannya ke bawah, persis dimana ada rumput yang tertanam disana. Lalu tangannya kembali ke asalnya semula menggenggam erat segelas jus jeruk yang terlihat menyegarkan dahaga. Dengan tatapan penuh, mengarah pada lawan bicaranya. Sahabatnya. Fitri
"Lo beneran gak suka sama Dhika?" tanya Fitri menyelidik. Mengenggam sebutir apel merah. Terlihat di sana ada bekas gigitannya membentuk pola melingkar tak beraturan.
"Ya ampun, bosen gue denger pertanyaan lo, dari tadi itu-itu mulu aja yang dibahas," Hana memutar bola matanya untuk ke sekian kalinya. Sedari awal bel istirahat berbunyi hanya topik ini yang di bahas sahabatnya. Sungguh menyebalkan.
"Udah jawab ajah!" tegas Fitri.
Lama Hana terdiam, kemudian ia mengeluarkan suaranya.
"Dhika seru seru sih, orangnya asik. Gue nyaman sama dia. Yah meskipun rada jail."
Fitri menggigit apelnya lagi.
"Gue gak nanya dia kek gimana. Gue tanya lo suka dia kagak? Aduuh Hanaaa lo itu pinter tapi bego yah!" dengan wajah kesal, Fitri mengunyah asal apelnya. Alhasil beberapa bagian berhasil keluar dari mulutnya. Sontak membuat Hana menutup mulutnya menahan tawa.
"Hehe."
"Satu lagi, jawaban hehe gak ada di dalam opsi Hanaku!! Adanya iya atau enggak!" Fitri menatap lawan bicaranya sengit. Pasalnya ia sudah mengulang-ulang pertanyaan itu dan hanya dijawab asal-asalan oleh Hana sedari tadi. Siapa juga yang gak kesel.
"Gue pilih atau."
"HANAA KU SAYANG!! Please deh tinggal jawab iya ajah apa susahnya sih! gue gak mau denger jawaban enggak!" Fitri beranjak dari duduknya, sebal.
Membuang apelnya yang tinggal tangkai dan biji di tengah itu ke tong sampah yang berada di balik pohon besar yang berada di taman sekolah itu. Kemudian ia berbalik lagi menuju Hana dengan tatapan mata seolah ingin menelan Hana bulat-bulat.
Sedangkan Hana hanya menanggapi dengan kekehan yang makin membuat Fitri kesal. Dia sudah sangat penasaran dengan sahabatnya ini.
"Hahaha.. Lagian elo juga, apa permasalahan dari gue suka atau tidaknya sama Dhika? Gua gak terlalu mikirin hal begituan Fit." Hana hanya tersenyum mengakhiri kalimat-kalimatnya.
"Yah siapa tau gitu, feeling gue bilang kalo Dhika tuh suka sama lo Han." Fitri merebut asal jus jeruk yang berada di tangan Hana. Perlu digaris bawahi kebiasaan buruknya adalah suka merebut makanan yang ada di depan matanya.
"Mana ada? Kita cuma temenan! Walaupun mungkin dia suka gue, gue yakin itu anak cuma mainin gue doang, Fit. Hmm, Malah gue lebih tertarik sama si Gilang."
"Siapa lagi itu?"
"Sahabatnya Reyga." Hana menjawab tenang, dengan pikiran yang sudah melayang entah kemana. Memikirkan Gilang dengan senyum manisnya. Apalagi lesung pipinya. Sumpah gak nahan buat megang. Sayang, orangnya cuek. Susah dideketin. Huh.
"Enggak! Lo harus suka Dhika gak ada gelang-gelangan, eh maksud gue Gilang!" Fitri masih saja mengotot dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tangan Hana terulur mendiamkan kepala Fitri yang sedari tadi bergerak itu.
"Gilang tuh, dingin-dingin ngangenin. Apa lagi lesung pipinya. Kalo dia senyum tuh beeuuuh! Menentramkan jiwa. Kayak ada api di siram, apinya padam dinginnya tuh meresap gitu. Terus nih-"
"Lo ngomong apaan sih Hanaku?!! Helloooo?"
"Kok gue jadi gila yah Fit?" ucap Hana, tak percaya dengan ucapannya tadi.
"Dari dulu lo udah gila kali Han!"
"Kampret."
"Btt, lo pokoknya harus suka sama Dhika, gak boleh Gilang! Mana tau Gilang udah punya pacar? Mana tau Gilang itu player? Mana tau si Gilang itu Psychopath?! Sekarangkan jamannya kek gitu." Fitri menatap mata Hana dengan serius. Ini adalah efek terlalu menghawatirkan sahabat.
"Eh, tunggu-tunggu ngapain kita ngomongin ginian sih? Enggak! gue gak boleh suka sama cowok! bisa mati gue." ujar Hana setelah tadi sedikit terkejut dengan ucapan Fitri, ralat kata suka yang di ucapkan Fitri radi. Dia teringat larangan papanya.
"Hah? Larangan apaan tuh?" tanya Fitri dengan ekspresi bodohnya.
"Gue gak boleh suka sama cowok selama masih SMA, gak ada suka-sukaan. Gak ada pacar-pacaran. Inget janji manismu Hanaa!" ucap Hana heboh. Beginilah kebiasaan buruknya jika kelupaan sesuatu. Akan heboh dengan sendirinya hingga sanggup bertingkah memalukan.
"Hari gini gak suka cowok, mana ada!? Gue yakin mau cewek sealim mungkin diluar sana pasti suka sama cowok juga," ucap Fitri tersenyum miring. Teringat teman sekelasnya, Zahra yang katanya 'alim' menyukai teman seorganisasinya.
"Enggak, enggak!"
Gue kagak dibolehin bokap pacaran Fit! ngenes amat nasib gue, kan tai. :(
"Please deh! Kita masih muda, masa cunta-cintaan tuh yang paling istimewa Hanaku sayaaaaaang!"
Setelahnya Fitri tersenyum lebar menunggu respon dari Hana.
"Gue lebih milih si Kuki, doi yang selalu di hati gue." ujar Hana tanpa beban. Seketika membuat Fitri di sampingnya memanyunkan bibirnya.
"Najisun! lo ituh antik banget deh. Pingin gue musiumin rasanya!"
"ASTATANK!! Lo tega banget sama makhluk manis ini Fit?!" Hana menutupkan komik Last Game yang semula di sampingnya beralih ke mukanya.
Tiba-tiba, sosok perempuan datang. Berbaju putih dengan rambut panjang yang di gerai. Menyahuti percakapan dua sahabat itu.
Shinta. Bukan setan.
"Martabak manis? Mau dong gue."
"Eh elu Shin, apa? gue manis? Yaiya dong! Fitri yang selalu manis gitu lho! Haha." Fitripun senyam-senyum kepedean, padahal dia seratus persen dalam keadaan sadar.
"Ember mana ember?!" ujar Hana, sambil menunjukkan raut wajah termenjujikkan. Dengan lubang hidung di besarkan, mata bulatnya di lebarkan, juga bibir yang di tekuk kebawah seperti melongo.
"Huft, kirain ada makanan." Shinta berucap tak semangat, tak sesuai prasangkanya.
"Lo tuh mamam aja yg di pikirin Shin." sahut Hana.
"Tau! Giliran ada makanan paporit, lu nya kagak ada." Fitri pun menimpali, di hadapan mereka Shinta hanya nyengir tak berdosa di balik meja duduk bersebrangan dengan mereka.
Tersadar akan makanan favorit, Shinta refleks berucap.
"Mana bebek?"
"Hahaha, noh diempang!" jawab Hana di ikuti tawa Fitri yang cempreng. Terlalu cempreng hingga mungkin mampu merusak pendengaran.
"Sialan!" umpat Shinta.
"Kemarin, ada bebek. Beeuuuh!! wenak tenan Shin. Apalagi kita yang masak sendiri, ya gak Han?" ujar Fitri, bermaksut pamer sekaligus membuat Shinta iri.
"Sip sip, kemana sih kemarin?" tanya Hana pada Shinta dengan mata bulatnya yang seratus persen membulat.
"Oh, itu.. Gue, gue di ajak mama ke butik. Biasalah nemenin ibu-ibu rempong belanja." jawab Shinta.
Berbohong. Shinta menyadarinya bahwa ia memang berbohong, dan memang berniat berbohong. Ia tak ingin berucap yang sebenarnya pada Hana dan juga Fitri. Hanya karena sebuah alasan yang ia sembunyikan.
Untuk mengalihkan perhatian kemudian Shinta mengambil topik lain.
"Eh, iya lo tau Angel anak kelas sebelah?"
"Siapa sih yang kagak tau Angel, malaikatnya anak IPA gitu loh. Kategori 3C..." Sahut Fitri dengan gaya mirip bu Linda. Guru yang kerap di panggil princess nya Prasada.
"Sebutkan!" sahut Hana dengan nada tegas.
"Cantik, Centil, Cerewet." lanjut Fitri.
"Iya itu lah, tau gak sih? Gue tadi dapet gosip di grup anak hits Prasada, katanya nih ya si Angel itu abis jadian sama mantan ketos- si Galih- anak IPS. Dan, lo tahu? momen nembaknya tuh, sweet banget. Nah dia tuh...."
Dan percakapan ketiga sahabat itu berlanjut hingga gosip-gosip terbaru di sekolah mereka.
Baru ketika bel masuk berbunyi mengakhiri masa istirahat, mereka beranjak dari kursi menuju kelas. Melanjutkan mata pelajaran, berkutat dengan materi-materi dan juga latihan soal.
Namun satu, ada yang tak menyadari. Bahwa, salah satu dari mereka ada yang telah berbohong. Sebuah kebohongan yang mampu menimbulkan kesalahpahaman. Kebohongan dari sebuah persahabatan.
*****
Lapangan itu terkena sinar oranye. Atau biasa di sebut dengan jinga. Jinga yang menandakan senja. Senja yang berada di ufuk barat, pertanda sang raja siang akan bertukar tempat dengan sang dewi malam. Menggantikan posisinya untuk memperlihatkan keelokannya agar dinikmati oleh penduduk bumi. Rutinitas itu adalah sebuah bukti Maha Agung Tuhan telah menciptakan semesta alam.
Terlihat beberapa anak muda meluruskan kaki, menandakan kelelahan yang maksimal. Hingga kaki kuat itu tak mampu menopang beban tubuh karena kelelahan. Beberapa peluh menghiasi pelipis mereka. Belum lagi, bau badan yang tercium indra pembau. Bersatunya bakteri dan juga keringat menimbulkan bau yang tidak sedap.
Sesekali salah satu diantaranya mengipas-ngipas dengan tangan, dan yah, tak akan menimbulkan efek apa-apa. Tak tahan lagi salah satu dari mereka menggelindingkan bola yang berada di tangannya, kemudian dia melepas kaos putih tak berlengan itu. Bertelanjang dada demi merasakan semilir angin yang berhembus pelan sore itu.
Dhika dan teman-temannya baru saja menyelesaikan permainan futsal. Olahraga yang entah mengapa sangat menyenangkan jika dimainkan. Atau karena sebuah kerja sama tim, untuk menjalin keakraban? Entahlah, dibenak mereka hanya ada satu pemikiran, mereka memaikan dengan nyaman dan juga mereka merasa senang. Sederhana. Namun sebenarnya tak sesederhan itu. Tak jarang, terkadang terjadi perselisihan antara pemain. Bahkan, bisa berakhir dengan adu jotos.
Lama, setelah mereka terdiam. Menetralkan nafas. Juga setelah meminum beberapa air kemasan botolan, yang saat ini telah kosong. Salah satu dari mereka berucap, menyadari hari yang sudah mulai gelap.
"Yok, cabut. Udah mulai gelap!"
"Yoi."
"Cepet pulang woy! mana tau lo ntar dikarungin sama pocong." Suara temannya yang sudah berdiri menjauh menuju parkiran mengingatkan Dhika dkk.
"Di bawa pulang, di mamam deh sama si pocong. Haha" celetuk yang lain, yang kini sedang menekuk kakinya.
"Tenang aja, gue pernah jadi pocong, pasti gak bakal berani pocong gangguin pocong," ujar Dhika tersenyum tipis, kemudian disusul suara tawa oleh teman-temannya. Teringat pertolongannya membantu Reyga teman sebimbelnya merayakan kejutan untuk Andhin. Dan apa imbalannya? Dhika akan mendapatkan tiket pertandingan bola gratis.
Gratis man! yah meskipun gue bisa beli sendiri, tapi kan sayang dilewatin.
Setelah beberapa anak meninggalkan lapangan, kini hanya tersisa empat pemuda. termasuk Dhika.
"Oiya, gue nebeng lu yah nyet. sampe rumah," ucap Rival, teman sekelas Hana yang juga anak futsal.
"Lu bawa mobil?" tanya pemuda yang tadi menekuk kakinya.
Dhika hanya menaikkan kedua alis tebalnya itu sebagai jawaban.
"Gue juga, deh!" sahut yang lain dengan cengiran khasnya, yang sedari tadi hanya mendengarkan ketiga temannya berucap.
"Beres, ongkos nya jangan lupa. Satu orang satu id line cewek," ujar Dhika cengengesan. Bersemangat! Oh, lihatlah bahkan dia terlihat seperti predator yang ingin memangsa buruannya!
"Hahaha"
"Kaga jadi, deh! dari pada fans gue berkurang satu. Bahayaa!" sahut Rival dengan pedenya. Kemudian dia beranjak dari duduknya.
"Ya elah, sekali-kali aja Pal. Gue udah lama jomblo, bahaya kalo ntar gue jadi bringas saking jonesnya!" sahut Dhika dengan raut wajah sedihnya yang sangat terlihat aneh di mata teman-temannya. Mereka hanya tertawa menanggapi kekonyolan Dhika. Atau prihatin?
"Bukannya, lo udah pepet si Hana yah? kemaren lo tanya-tanya Hana ke gue?" ucap Rival membereskan ranselnya yang berada di lantai lapangan.
"Diem cocor bebek!"
"Haha."
"Hana yang mana?" tanya pemuda yang masih menekuk kakinya.
"Temen sekelas gua," jawab Rival tenang.
"Sekelas sama Shinta dong?" ujar yang satu lagi sedang berdiri. Mereka berempat.
"Loh? Shinta kelas IPA 2 juga?" tanya Dhika dengan ekspresi terkejutnya. Dhika masih saja duduk tenang bersila. Hanya raut wajahnya yang sedari tadi berubah-ubah.
"Kemana aja lu nyet? Malah dua orang itu deket gitu. Gak tau lah gue! Cewek-cewek di kelas gue kagak ada yang asik! kagak ada yang bisa ditoel-toel," ujar Rival malas, mengingat penghuni kelasnya.
"Gitu yah," balas Dhika lemah. Entah apa yang berkecamuk di benaknya.
"Lo mah maunya yang enak-enak aja pal!"
"Orang ganteng mah bebes," kata Ipal dengan pedenya.
"Kenapa lagi lo Al? Muka lesu kayak gak makan dua tahun nyet!" ucap Rival bertanya pada pemuda yang bernama Al itu, yang sedari tadi berdiri.
"Sembarangan! Emang lo pernah liat orang kek gitu?"
"Di khayalan gue sih gitu... " jawab Rival memperlihatkan senyum lebarnya.
"Cewek gue ngambek." Singkat, padat, jelas. Al selalu identik dengan ucapannya yang pendek-pendek.
"Terus?" tanya Dhika, menunggu kelanjutan cerita dari Al.
"Yah gue bingung lah, gimana caranya biar dia gak ngambek lagi ke gua."
"Cewek ngambek-ngambekan tuh ribet! Tinggalin ajah, deh. Mending cari yang lain, cewek tuh banyak, tinggal pilih-pilih, cocok? Tancap gas deh," ujar Dhika.
Terbilang asal-asalan atau memang sudah terpatri prinsip seperti itu di otaknya?
"Weiits... Omongan lo nusuk nyet!" ujar pemuda yang masih menekuk kakinya, kini ia beranjak menuju parkiran. Menuju mobil merah Dhika.
"Lo kira jarum! maen tusuk-tusuk?"
"Hahaha."
"Yok, cabut. Berempat? Jadi tiga id line nanti, okeh?" Dhika menunggu kesepakatan.
"Serah deh, yang penting gue sampe rumah dengan selamat sehat sentosaah," seru Rival.
Begitulah teman, bukan tentang siapa yang di untungkan. Tetapi memaknai arti sebuah pertolongan, yang akan mengeratkan persahabatan. Itu adalah prinsip Dhika dalam berteman.
*****
*puvy
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top