6. Gadis Kecil Berkepang Dua

Violet baru bisa merebahkan tubuhnya pukul dua siang. Sesampai di kamar kosnya dia harus membereskan banyak hal. Termasuk memasak makan siang untuk dirinya sendiri. Tempat indekos khusus perempuan itu menyediakan dapur kecil hingga penghuninya bisa memasak makanan sendiri.

Tempat indekos ini tidak mewah. Kamarnya kecil. Hanya cukup diisi kasur yang digelar langsung di lantai dan sebuah lemari lipat. Namun itu tak masalah baginya. Yang penting harga sewa kamarnya ini terjangkau dan dia masih bisa ke rumah sakit tempatnya bekerja hanya dengan berjalan kaki.

Tak lama dia terlelap setelah semalaman terjaga. Hari ini dia bertugas jaga malam lagi. Jam kerjanya mulai pukul sembilan malam sampai pukul tujuh pagi. Selama enam hari dia harus bertugas shift malam. Setelah itu dia mendapat libur sehari. Seminggu berikutnya barulah dia bertugas di shift pagi.

Pukul delapan malam dia sudah berangkat ke rumah sakit. Membawa bekal secukupnya untuk membuatnya tetap terjaga semalaman.

Malam ini dia mendapat tugas berjaga di IGD. Sebagai suster baru, Violet harus tahu cara menangani pasien gawat darurat. Dia bisa belajar dari rekan bertugasnya kali ini, Suster Erna yang sudah bekerja lima tahun di rumah sakit ini dan sudah berpengalaman bertugas di IGD

Sejak sebelum jam kerjanya dimulai, ruang IGD sudah sibuk. Dokter dan suster yang bertugas sebelumnya baru selesai menangani pasien gawat darurat.

Ruang IGD memang tidak pernah menganggur. Selalu saja ada pasien yang datang dalam keadaan parah dan butuh penanganan secepatnya.

Keadaan ruang ini baru saja tenang sejenak setelah pasien dipindahkan ke ruang ICU. Violet menunggu di meja jaga, sementara Suster Erna mengecek kesiapan ruang penanganan pasien.

Suasana hening, Violet hanya sendirian. Namun matanya menyipit saat melihat gadis kecil berdiri di ambang pintu ruang IGD.

Tak seharusnya ada anak kecil berada di tempat ini sendirian di waktu malam. Violet mengerjap beberapa kali, mengira dia hanya berhalusinasi. Tapi gadis kecil itu tetap terlihat berdiri di ambang pintu.

Violet bangun dari duduknya. Dia melangkah mendekat. Dia menebak usia gadis itu sekitar sepuluh tahun. Rambutnya melebihi bahu dan dikepang dua, mengenakan gaun putih sepanjang lutut dengan bagian bawah lebar dan mekar.

Gadis kecil itu melangkah mundur seiring Violet yang melangkah maju. Hingga Violet berada di teras ruang IGD, barulah gadis kecil itu berhenti mundur.

"Kamu siapa? Kenapa di sini? Ayah dan Ibu kamu di mana?" tanya Violet sambil membungkuk agar kepalanya sejajar dengan kepala gadis kecil itu.

Gadis kecil itu tetap diam hanya menatap Violet.

"Suster Vio? Kamu tugas di sini juga? Kamu ngomong sama siapa?"

Violet tersentak mendengar sapaan itu. Dia menoleh perlahan. Di sampingnya sudah berdiri Bian sedang memandanginya dengan tatapan heran.

"Eh, Dokter Bian. Saya ...." Violet tidak meneruskan ucapannya. Dia menoleh ke depan lagi. Tapi gadis kecil tadi sudah tak ada di hadapannya.

Violet baru sadar. Bian tidak melihat gadis kecil yang tadi dia ajak bicara. Itu artinya gadis kecil itu tak kasat mata. Tapi mengapa dalam penglihatan Violet gadis kecil itu tampak nyata seperti benar-benar manusia?

"Kamu membungkuk, menatap ke depan seolah sedang ngobrol dengan seseorang yang lebih pendek dari kamu. Jujur saja, itu terlihat aneh. Untung cuma saya yang melihat kamu seperti itu."

Violet masih diam, tapi otaknya sedang berpikir mencari alasan.

"Saya tadi sedang latihan," jawab Violet akhirnya, walau dia tidak yakin dengan alasan bohong yang dia rencanakan.

"Latihan? Latihan apa?"

"Ada pasien anak-anak yang agak bandel. Susah dibilangin. Selalu membantah. Diminta makan, nggak mau. Minum obat, nggak mau. Sudah saatnya tidur, nggak mau tidur juga. Saya tadi sedang memikirkan gimana menghadapinya supaya dia mau nurut."

"Pasien anak-anak? Siapa namanya? Dirawat di kamar berapa? Apa penyakitnya?"

Pertanyaan beruntun Bian itu makin membingungkan Violet.

"Ah, Dokter Bian nggak usah mikirin dia. Saya pasti bisa mengatasinya."

"Perlu saya pikirkan juga. Saya bisa membujuknya dengan cara saya. Saya sudah biasa menghadapi anak-anak. Saya punya dua keponakan, sembilan tahun dan lima tahun. Saya pernah memeriksa pasien ruang rawat inap anak. Menghadapi pasien anak-anak memang harus sabar. Mungkin saya tahu pasien anak yang merepotkan kamu itu."

"Biarkan saya mengatasinya sendiri, Dokter. Saya harus bisa menghadapi pasien seperti apa pun." Violet masih berusaha mengelak.

"Dokter Bian, siap-siap. Sebentar lagi ada pasien gawat darurat yang akan datang." Suara itu membuat Bian urung menyahuti Violet.

Bian dan Violet kompak menoleh ke sumber suara itu. Seorang perempuan muda cantik mengenakan jubah dokter menatap Bian.

"Oh, Dokter Maura. Baiklah," sahut Bian, lalu dia mendekati dokter cantik yang dipanggilnya Dokter Maura itu.

Violet ditinggalkan tanpa pamit. Tapi dia malah menghela napas lega.

Beberapa menit kemudian ambulans datang ke IGD. Petugas medis mengeluarkan pasien gawat darurat dan membawanya masuk ruang IGD. Bian dan Maura segera mengecek keadaan pasien yang tak sadarkan diri itu. Pasien datang sudah dipasangi oksigen dan infus. Violet dan Suster Erna ikut masuk ke ruang IGD.

Pasien mengalami kesulitan bernapas. Bian segera mendeteksi masalah di paru-paru pasien. Dia meminta Violet memanggil Dokter spesialis penyakit dalam yang berjaga.

Penanganan pasien dilakukan dengan sangat cepat. Suster Erna yang sudah berpengalaman bertugas di IGD bergerak cekatan. Violet berusaha mengikuti kesigapan geraknya. Tiap kali diperintahkan menyiapkan sesuatu, Violet bergerak cepat.

Violet yakin, pasien yang sudah tak sadar itu akan selamat. Karena dia tidak melihat ada roh pasien itu berkeliaran di dekat tubuhnya.

Ternyata paru-paru pasien separuhnya dipenuhi air. Itu yang membuatnya sulit bernapas hingga mendadak tak sadarkan diri.

Segala usaha penyelamatannya berlangsung hampir satu jam. Tepat seperti yang diduga Violet, kondisi pasien itu akhirnya bisa stabil, lalu pasien dipindahkan ke ruang ICU.

"Bagaimana rasanya pertama kali bertugas di ruang IGD?" tanya Bian pada Violet setelah tugas berat mereka selesai.

"Saya harus membiasakan diri bergerak cepat. Waktu sangat berharga. Terlambat sedikit saja, nyawa pasien taruhannya," jawab Violet.

Bian mengangguk. "Bertugas di IGD memang butuh energi lebih besar dan harus benar-benar fokus dengan keadaan pasien. Nggak boleh memikirkan hal lain."

"Mm, apa Dokter Maura dokter magang juga di sini?" Violet terkejut dengan kata-katanya sendiri. Rasa penasaran membuatnya spontan melontarkan pertanyaan itu.

"Kamu belum kenal Dokter Maura?"

"Belum. Saya baru ketemu sekarang."

"Iya, dia dokter magang juga. Tapi dia lebih dulu bertugas di sini. Tiga bulan lagi tugas magangnya selesai. Katanya dia sudah mengajukan proposal untuk bekerja di rumah sakit ini."

Violet mengangguk-angguk. "Oh," sahutnya singkat.

"Dokter Bian! Ada yang mau aku omongin soal penyakit pasien." Maura muncul lagi. Dia mendekati Bian yang sedang bicara dengan Violet.

"Dokter Maura, apa sudah kenal dengan Suster Violet? Dia suster baru di sini. Tapi aku lihat tadi hasil kerjanya bagus. Dia bisa cepat beradaptasi dengan kecepatan kerja di IGD," sahut Bian langsung mengenalkan Violet pada Maura.

Maura memandang Violet sebentar. "Oh, Oke," katanya singkat. Lalu dia beralih kembali ke Bian.

"Aku mau ngomongin kasus penyakit salah satu pasien. Kita ngobrol di ruang dokter aja," kata Maura.

Bian mengangguk. Kali ini dia ingat untuk permisi pada Violet. Lalu kedua dokter muda itu berjalan bersisian menuju ruang jaga dokter.

Violet memandangi keduanya. Entah mengapa dia merasa tadi dia dipandang sebelah mata oleh Maura.

"Jangan sedih. Memang ada dokter yang seperti itu. Baru jadi dokter magang, tapi lagaknya sudah seperti dokter spesialis top."

Violet menoleh dan mengernyit menatap Suster Erna yang sudah berada di sampingnya.

"Maksud Suster, Dokter yang mana? Tadi itu ada dua dokter magang," sahut Violet.

"Siapa lagi kalau bukan Dokter Maura. Saya lihat cara dia menanggapi kamu tadi. Sikapnya ke saya yang sudah jauh lebih lama kerja di sini juga seperti itu. Jadi, kamu nggak usah sedih," kata Suster Erna.

"Saya nggak sedih, Sus. Sejak awal berniat jadi perawat, saya sudah sadar, perawat akan dianggap lebih rendah daripada dokter."

"Padahal, apalah arti dokter tanpa bantuan perawat," sahut Suster Erna.

Violet tersenyum lebar. "Betul sekali!"

"Kita nggak lebih rendah dari dokter. Buang pikiran itu dari kepala kamu. Suster juga punya tugas penting. Kita sama-sama membantu menyembuhkan orang sakit."

Violet mengangguk. "Baik, Sus."

Kemudian Violet teringat sesuatu.

"Oh iya, Sus. Apa Suster tahu dokter muda, orangnya tinggi. Mm ... "

"Ganteng?" sambar Suster Erna tak sabar menunggu Violet yang ragu melanjutkan kalimatnya.

Violet terbelalak, lalu mengangguk malu-malu.

"Ciri-ciri yang kamu sebutkan tadi umum banget, kurang spesifik. Di rumah sakit ini ada beberapa dokter muda, tinggi dan ganteng. Kenapa? Ada yang kamu suka?"

Violet baru membuka mulut, belum sempat bicara, Suster Erna sudah menyambar lagi.

"Agak susah lho ngincer dokter. Selama ini dokter-dokter yang saya kenal, nggak ada yang nikah sama suster. Rata-rata ya istrinya dokter juga. Tapi saya nggak bilang nggak mungkin. Cuma susah. Ngomong-ngomong, Dokter Bian kayaknya suka sama kamu. Tapi sayangnya, sepertinya Dokter Maura suka sama Dokter Bian."

Violet terpana mendengar ucapan Suster Erna.

"Kok Suster bisa tahu? Apa Suster bisa baca pikiran orang? Atau itu cuma dugaan Suster aja?" Violet bertanya beruntun.

"Nggak perlu bisa baca pikiran orang buat tahu seseorang yang sedang naksir seseorang. Dari cara menatap dan ngomong sudah ketahuan."

Violet tersenyum kecil. Ternyata itu hanya dugaan Suster Erna. Belum tentu benar. Dan dia tak mau besar kepala mengira Bian menyukainya. Dia belum mengenal lama dokter magang itu. Mungkin saja Bian hanya bersikap ramah padanya agar sebagai suster baru dia merasa diterima.

Tak lama mereka harus menghadapi pasien gawat darurat lain. Violet mulai merasakan keuntungan bisa melihat roh orang yang akan mati. Jika dia tidak melihat roh pasien yang dalam keadaan kritis, berarti pasien itu akan selamat melewati masa kritisnya.

Menjelang pukul tujuh pagi, Violet bersiap-siap meninggalkan tempat tugasnya. Suster yang akan menggantikannya jaga pagi sudah datang.

Dia ingin mampir ke ruang rawat inap anak. Dia masih penasaran dengan gadis kecil yang dia lihat semalam. Apakah gadis itu pasien yang sedang koma, atau roh orang yang sudah meninggal.

Setelah pukul tujuh, dia menuju ruang rawat inap pasien anak-anak. Kepada perawat yang berjaga, dia minta izin melihat ruang itu dengan alasan dia suster baru yang ingin mengetahui semua bagian di rumah sakit ini.

Dia masuk ke tiap ruang mengecek masing-masing pasien. Tapi setelah memeriksa semuanya, tak ada anak yang seperti gadis kecil yang dia lihat semalam.

Dia baru saja meninggalkan ruang rawat pasien, saat akhirnya gadis kecil semalam muncul lagi. Pakaiannya masih tetap sama dan masih berkepang dua.

Violet terbelalak melihatnya. Gadis kecil itu menatapnya. Lalu tiba-tiba menunjuk dan menoleh ke arah kanan. Violet ikut menoleh ke arah yang ditunjukkan gadis itu.

Gadis kecil itu berjalan menuju arah yang dia tunjuk. Violet mengikutinya. Sampai di ujung selasar, gadis kecil itu menunjuk dan menoleh lagi ke arah kanan. Lalu berjalan ke arah yang dia tunjuk. Violet terus mengikutinya.

Di ujung selasar berikutnya, gadis kecil itu menunjuk dan menoleh ke arah kiri, lalu berjalan ke arah yang dia tunjuk. Violet masih mengikutinya. Dia semakin penasaran.

Hingga mereka sampai di bagian paling belakang dari rumah sakit itu. Gadis kecil itu menunjuk ke ruang paling ujung. Violet menoleh ke arah yang ditunjuk gadis itu. Matanya terbelalak melihat tulisan yang tertera di pintu ruang itu.

KAMAR JENAZAH

Tentu saja dia tahu ruang itu ada di sini. Sebelum dia bekerja di sini, dia sudah berkeliling rumah sakit ini. Tapi dia baru sadar gadis kecil itu menuntunnya ke sini.

Violet menoleh ke gadis kecil itu.

"Kamu ...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

Gadis kecil itu sudah mati? batinnya.

Gadis kecil itu memandangi Violet dengan wajah pilu. Lalu berubah menatap tajam.

Violet menoleh ke kiri dan ke kanan. Di sekelilingnya masih sepi. Tak ada petugas medis yang terlihat lewat. Walau saat ini sudah pagi, tetap saja melihat roh gadis kecil menatapnya tajam membuat bulu kuduknya meremang.

Gadis kecil itu berbalik, kemudian melangkah menuju ruang yang tadi ditunjuknya. Kali ini Violet tidak mengikutinya. Dia hanya memandangi roh itu terus bergerak hingga menghilang menembus pintu ruang itu.

Violet menelan ludah. Dia masih tak mengerti mengapa dia bisa melihat roh gadis kecil yang sudah mati. Apa maksud roh itu menuntunnya ke sini?

Violet buru-buru berlari menjauhi tempat itu. Lebih baik dia pulang sekarang. Secepatnya. Sebelum roh gadis kecil itu muncul lagi.

Sesampai di pintu utama gedung rumah sakit, dia kembali melihat dokter menawan yang kemarin baru saja melangkah masuk. Lagi-lagi dokter itu menoleh padanya dan memberinya seulas senyum, tapi tetap melanjutnya langkahnya.

Violet bergegas keluar dari rumah sakit itu. Dia menghela napas lega setelah berada di luar.

Entah mengapa semangatnya menurun. Roh gadis kecil tadi seolah mengisap semua energi positifnya. Bahkan senyum sang dokter menawan tak sanggup mengembalikan semangatnya.

Tiba-tiba saja dia ingin gilirannya berjaga malam segera berakhir.

**====================**

Hai teman-teman. Ketemu lagi dalam lanjutan kisah ini.

Ada yang ingat dengan gadis kecil yang dilihat Siena saat dia menjenguk Brama di rumah sakit dalam cerita "Aku Tahu Kapan Kamu Mati"?  Yup, ini gadis kecil yang sama. Ini memang rumah sakit yang sama dengan tempat Brama dirawat.

Kebayang nggak gimana jadinya kalau Violet bertemu Siena? Keduanya sama-sama bisa melihat mahluk tak kasat mata. Apakah suatu saat keduanya akan bertemu? Bisa jadi.

Dan siapakah gadis kecil itu? Apa penyebab kematiannya? Tunggu part selanjutnya. Tapi aku nggak janji ya, kapan update nya, hehe. Pokoke kalo aku ada waktu langsung aku ketik di sini part selanjutnya.

Jangan lupa vote dan komen ya untuk mendukung cerita ini. Masukim aja cerita ini ke daftar perpustakaan supaya kalo update dapat notifikasi.

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top