4. Roh Yang Berbicara
Bian mengamati Violet yang masih memandangi brankar (ranjang besi beroda) yang membawa jenazah Rendi keluar dari ruang PICU.
Mata perawat muda itu berkaca-kaca. Kegagalan mereka menyelamatkan Rendi membuatnya merasa bersalah.
"Kenapa nangis? Kamu sedih Rendi nggak selamat?" tanya Bian.
Violet tersentak. Buru-buru dia menghapus bulir-bulir air mata yang mulai turun ke pipinya dengan jari-jari tangannya.
"Eh, nggak, Dok. Cuma ... ya ... memang kasihan dia," jawabnya Sebenarnya yang membuatnya sedih ketika melihat orang tua Rendi yang menjaga semalaman di luar ruang PICU, menangisi kepergian anak mereka. Terutama ibunya yang sempat menangis meraung-raung ketika pertama kali melihat jenazah Rendi.
"Waktu belajar di Akper pasti sering praktik di rumah sakit, kan? Sekarang kamu sudah jadi perawat, lebih sering lagi ke rumah sakit. Malah tiap hari ke sini. Ketemu banyak pasien dengan beragam masalah. Banyak kisah sedih yang kamu lihat dan dengar. Kalau kamu nggak bisa nahan perasaan, kamu bakalan nangis setiap saat," kata Bian.
Violet terkesima sesaat mendengar ucapan Bian itu.
"Saya sedih bukan cuma karena Rendi. Tapi saya kepikiran korban-korban yang lain juga. Gadis yang katanya pacarnya, dan pasangan hampir menikah yang mobilnya tertabrak mobil Rendi."
Alis Bian terangkat. Kemudian dia tersenyum geli.
"Kamu tahu semua itu dari mana? Pasti baca artikel di internet ya?"
Violet tersipu malu. "Berita di internet itu benar, kan? Bukan hoax?"
"Mungkin memang benar. Tapi kamu nggak perlu menggali-gali informasi begitu. Fokus sama pasiennya saja. Nggak usah mikirin hal di luar pasien. Nanti kamu yang repot karena mikirin terlalu banyak hal."
Violet hanya diam. Dia tak mungkin mengatakan pada Bian, dia memikirkan korban lain dalam kecelakaan yang dialami Rendi karena dia melihat roh mereka. Dan itu tidak mudah diabaikan.
"Ya sudah. Ikhlaskan saja kepergian mereka. Semoga kejadian yang mereka alami bisa jadi pelajaran berharga buat masyarakat, supaya nggak membiarkan anak yang belum punya SIM nyetir mobil atau motor."
"Iya, Dok."
"Ngomong-ngomong, makasih ya tadi sudah bantuin. Walau usaha kita nggak berhasil, tapi kita sudah berusaha semaksimal mungkin."
"Nggak usah bilang makasih, Dok. Itu kan memang tugas saya bantuin dokter." Violet menjawab.
Bian melihat jam tangannya. Sudah pukul satu dini hari. Pagi masih lama, artinya jam akhir tugasnya juga masih lama. Padahal kejadian tadi cukup menguras tenaga mereka. Dia butuh asupan untuk menjaga staminanya sampai pagi.
"Kamu mau kopi? Biar saya belikan. Nanti saya bawain ke sini." Bian menawarkan pada Violet.
"Nggak usah, Dok. Nanti ngerepotin. Saya bawa minum kok."
Lagi-lagi alis Bian naik.
"Serius kamu bawa minum? Minum apa? Air putih?" tanyanya masih tak yakin
"Mm ... saya bawa termos air panas kecil. Lumayan bisa buat bikin dua cangkir kopi."
"Oh, itu ide bagus."
"Suster Diana yang ngajarin. Bisa hemat dan nggak perlu meninggalkan tempat tugas."
Bian mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu. Saya ngopi dulu. Setelah itu ngecek tempat lain. Sampai ketemu lagi," kata Bian.
Berganti Violet yang mengangguk. Dia masih berdiri di tempatnya sambil memandangi kepergian Bian.
"Suster Vio. Tadi saya sudah berpesan kan, kalau ada tanda darurat, panggil aku. Aku bisa datang bersama dokter ahli. Dokter Bian itu baru dokter magang," tegur Suster Diana yang tiba-tiba sudah berada di samping Violet.
"Maaf, Suster. Tadi saya tegang banget. Sampai nggak bisa mikir lagi. Saya cuma mikir Dokter Bian juga dokter. Dia pasti tahu apa yang harus dia lakukan."
"Tapi di sini dia cuma bertugas sebagai asisten dokter. Bukan dokter ahli."
"Tadi Dokter Bian minta saya membantunya. Saya nggak mungkin ninggalin Dokter Bian untuk manggil Suster Diana." Violet membela diri.
"Saya akan minta kepala perawat untuk sementara nggak menugaskan kamu di ruang PICU. Memang seharusnya kamu nggak bertugas di sini. Kamu perawat baru. Seharusnya kamu bertugas di ruang rawat umum saja dulu," kata Suster Diana lagi.
Kata-katanya cukup menohok. Tapi Violet mengakui itu benar. Dia masih suster baru. Perawat yang bertugas di ruang PICU biasanya sudah memiliki sertifikat bertugas di ruang PICU. Memang bertugas di ruang ini butuh keahlian khusus.
Esoknya, Violet ditugaskan kembali di ruang rawat inap umum. Kali ini dia bertugas bersama perawat senior lain bernama Suster Meta.
Violet mengalihkan pandangannya ke lampu yang berkedip-kedip tanda ada pasien yang memanggil.
"Biar saya yang ngecek, Sus," kata Violet secepatnya. Dia ingin menunjukkan kesigapan dalam bertugas walau dia masih suster baru.
Suster Meta mengangguk. Violet bergegas menuju kamar 117.
Dia masuk ke kamar VIP yang hanya diisi satu orang itu. Dia ingat nama pasien kamar ini. Biasa dipanggil Pak Teguh.
Pak Teguh tampak tertidur dengan tenang ketika Violet sampai di kamarnya. Aneh, kalau bapak itu tidur, kenapa tadi memanggil suster?
"Suster, tolong sampaikan maaf saya pada anak dan istri saya."
Violet menoleh cepat ke sumber suara berbisik itu berasal. Dia terkejut melihat sosok persis Pak Teguh sudah berdiri di sampingnya dan menatapnya pilu.
Violet kembali menoleh ke arah tempat tidur. Masih terlihat tubuh Pak Teguh tertidur tenang di tempat tidurnya.
Keningnya berkernyit. Jantungnya berdebar menyadari sesuatu. Roh mirip Pak Teguh itu berbicara padanya!
Ini baru pertama kalinya. Selama ini Violet hanya bisa melihat roh-roh itu tapi tidak pernah berkomunikasi. Dan sekarang, dia mendengar roh Pak Teguh berbicara padanya.
Tapi dia harus bersikap profesional. Dia seorang suster yang punya rasa tanggungjawab atas keselamatan pasien yang dia rawat. Dia harus sanggup melawan rasa takut.
Ah, Pak Teguh nggak sakit parah. Cuma gangguan pencernaan biasa. Pasti nggak akan terjadi apa-apa dengan Pak Teguh, batinnya tetap optimistis.
Dengan mengumpulkan segala keberanian, dia meraba nadi Pak Teguh. Masih terasa denyut yang teratur. Napasnya pun teratur.
Apa maksud semua ini? Pak Teguh masih hidup dan kondisinya terlihat membaik. Penyakitnya juga bukan penyakit berat. Tapi kenapa dia melihat roh Pak Teguh? Bukankah itu artinya sebentar lagi Pak Teguh akan wafat?
Violet memberanikan diri kembali menoleh ke samping kirinya. Roh Pak Teguh masih berada di sampingnya. Menatapnya penuh harap.
Violet tak tahu harus berkata apa. Haruskah dia menyahuti ucapan roh Pak Teguh itu?
"Sebentar lagi Bapak sembuh. Nanti Bapak bisa minta maaf langsung ke istri dan anak Bapak," kata Violet akhirnya.
Roh Pak Teguh tak menyahut. Dia hanya memandangi Violet. Makin lama tatapannya semakin tajam. Membuat Violet bergidik ngeri.
Dia berbalik bermaksud keluar dari kamar itu. Karena kondisi Pak Teguh baik-baik saja.
Tapi dia hampir memekik, seketika menghentikan langkah. Pak Teguh mendadak muncul di depannya menghadang langkahnya. Violet menoleh pelan ke arah tempat tidur. Tubuh Pak Teguh masih terbaring di sana.
"Nggak ada waktu! Cepat kasih tahu keluarga saya!" kata roh Pak Teguh mendesak Violet menuruti kemauannya.
Ekspresi wajah Pak Teguh yang berubah marah membuat Violet merasa ngeri.
Violet memalingkan muka, dia melanjutkan langkah melewati samping roh Pak Teguh. Lalu berlari menuju pintu.
Dia keluar dari kamar itu dan buru-buru menutup kembali pintunya. Napasnya terengah-engah.
"Kamu kenapa? Kok kayak habis lihat hantu?"
Violet membelalak mendengar teguran itu. Tapi dia menghela napas lega melihat sosok di depannya yang tadi menyapanya.
"Dokter Bian lagi," ucap Violet refleks.
"Lagi?" tanya Bian heran.
"Eh, maksud saya, karena beberapa hari ini saya ketemu Dokter Bian terus."
"Hm, iya juga ya. Kita bisa kebetulan sering ketemu. Hari ini saya bertugas di sini," sahut Bian. Emudian matanya menyipit menatap Violet, menyadari perawat baru itu tersengal-sengal.
"Kamu kenapa? Kok ngos-ngosan gitu kayak habis lari marathon."
"Eh, nggak ada apa-apa. Cuma lega bisa keluar kamar ini." Violet menunjuk kamar 117 di belakanganya.
Bian melirik pintu kamar di belakang Violet, lalu kembali menatap wajah Violet.
"Ada apa di kamar itu? Ada masalah sama pasiennya?" tanyanya.
"Nama pasien Pak Teguh. Umurnya lima puluh tujuh tahun. Cuma masalah pencernaan. Tapi dia terlalu cemas. Maksa saya ngasih tahu keluarganya secepatnya, menyampaikan permintaan maafnya. Saya bilang, dia pasti sembuh dan bisa minta maaf sendiri ke keluarganya. Tapi dia ngotot bilang nggak ada waktu."
Tentu saja Violet tidak mengatakan pada Bian bahwa yang bicara padanya itu bukan Pak Teguh aslinya, tapi rohnya.
"Hm, ya sudah. Saya cek dulu pasien di kamar 118. Setelah itu saya cek Pak Teguh."
Violet sedikit terbelalak.
"Nanti saya nggak perlu ikut masuk lagi ke kamar ini kan, Dok?"
Mata Bian menyipit masih menatap Violet.
"Kamu takut ketemu Pak Teguh lagi?"
"Saya cuma ... ngeri. Dia sepertinya marah."
Bian tersenyum. "Kita harus siap menghadapi kemarahan pasien. Terkadang mereka marah karena kecewa dengan sakit yang mereka alami. Mereka jadi nggak bisa mengendalikan emosi. Kita sebagai orang medis yang harus tetap tenang menghadapi mereka."
Violet menelan ludah. Sudah dua kali Bian menyampaikan kata-kata bijaknya pada Violet. Apakah benar dokter muda ini sebijak itu?
"Baik, Dokter. Saya paham," sahut Violet singkat.
"Oke, saya ke kamar 118 dulu," kata Bian.
Violet mengangguk. Lalu dia segera kembali ke meja jaga.
"Suster Meta, tahu pasien kamar 117?" tanya Violet tanpa basa basi setelah dia sampai di meja jaga.
"Iya, tahu. Pak Teguh, kan? Ada apa sama dia? Tadi kamu cek keadaannya baik-baik aja, kan? "
"Dia tidur nyenyak. Apa keluarganya nggak pernah jenguk dia?"
"Dia sudah dua hari dirawat di sini. Sepertinya memang nggak pernah lihat ada orang di kamarnya yang jenguk dia."
Suster Meta mengecek catatan tentang Pak Teguh.
"Keadaannya sudah membaik. Kemungkinan besok sudah bisa pulang. Ada apa sih dengan Pak Teguh?"
"Pak Teguh minta saya menyampaikan permintaan maafnya ke anak dan istrinya. Katanya nggak ada waktu lagi. Dia memaksa saya menyampaikan secepatnya," jawab Violet. Tentu saja dia tidak mengatakan pada Suster Meta bahwa yang mengatakan itu adalah roh Pak Teguh, bukan Pak Teguh aslinya.
"Sekarang masih gelap. Subuh saja belum. Nggak mungkin menelepon keluarganya di jam segini. Kecuali ada hal yang memang mendesak. Kondisi Pak Teguh nggak kritis. Besok pagi saja kamu cari nomor kontak keluarganya yang bisa dihubungi," sahut Suster Meta.
"Iya, Suster."
Tapi, Pak Teguh benar. Dia tak punya waktu lagi. Dua jam kemudian dia wafat tanpa sempat dikunjungi keluarganya.
Violet menyesal. Benar-benar menyesal.
**===================**
Halo teman-teman.
Update lagi nih. Makasih udah terus baca 😊
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top