3. Roh Jenis Lain

Kematian Bu Wira mengejutkan banyak orang di rumah sakit ini. Terutama, mengejutkan Suster Diana.

Sejak kemarin suster itu mendiamkan Violet. Hari ini mereka kembali mendapat giliran jaga malam. Dan Suster Diana masih diam tak mengajak Violet bicara.

Sedangkan Violet cukup tahu diri. Dia bisa merasakan Suster Diana sedang menghindarinya. Karena itu dia tak mau mengganggu dengan menegurnya.

"Dari mana kamu tahu Bu Wira akan meninggal? Padahal kamu nggak menyentuhnya sama sekali. Apa maksudmu sebelumnya, kamu bilang, kamu lihat rohnya lewat di depan meja jaga?"

Violet tertegun mendengar pertanyaan beruntun Suster Diana. Seolah sejak kemarin suster itu menahan segala keingintahuannya dan baru sekarang dia tumpahkan.

Violet terdiam. Dia tak tahu harus menjawab apa. Jika dia jujur, belum tentu Suster Diana percaya.

"Kamu bikin ngeri. Bilang Bu Wira akan meninggal dan nggak lama dia beneran meninggal. Kamu bisa meramal?" Suster Diana mendesak Violet yang masih tak bersuara.

"Bukan, Sus. Saya bukan peramal. Saya cuma bilang apa yang saya lihat."

"Apa yang kamu lihat?"

"Yaaa, seperti yang sudah saya bilang. Saya lihat Bu Wira berjalan dan melambaikan tangan."

"Tapi kamu bilang itu bukan tubuh Bu Wira? Kamu bilang itu rohnya?"

"Sepertinya begitu. Karena Bu Wira nggak bisa jalan, kan? Dan waktu itu saya belum pernah ketemu Bu Wira."

"Kenapa kamu bisa melihat hal kayak gitu? Kenapa kamu nggak ketakutan? Apa kamu sudah biasa melihat yang gaib-gaib?"

Suster Diana semakin mendesak dan terdengar sangat penasaran. Violet berpikir, sepertinya dia harus bercerita dengan jujur. Suster Diana sudah menceritakan tentang dirinya. Sekarang giliran dia juga bercerita tentang kehidupannya.

Tak lama meluncur cerita Violet tentang kemampuannya itu dan asal muasal dia bisa melihat hal-hal gaib.

Sepanjang Violet bercerita, Suster Diana hanya diam dan ternganga saking tak menyangka semua itu dialami Violet.

"Jadi, kamu bisa lihat hantu juga?"

"Sampai saat ini yang saya lihat cuma roh orang yang akan meninggal. Akhirnya saya berkesimpulan, kalau saya melihat roh seseorang padahal orangnya masih hidup, itu pertanda orang itu nggak lama lagi akan meninggal."

Ekspresi kengerian muncul di wajah Suster Diana mendengar jawaban Violet itu.

"Kok ngeri banget sih hidup kamu, bisa melihat hal-hal kayak gitu. Dan kamu tetap nekat jadi perawat yang kerja di rumah sakit. Kamu bakal makin sering melihat pertanda nyeremin begitu."

"Nggak cuma di rumah sakit. Di perjalanan juga saya sering lihat. Orang yang akan kecelakaan, orang akan kena serangan jantung, dan lain-lain yang nggak terduga. Pernah saat menunggu bus, di seberang jalan, saya melihat seseorang dan di sebelahnya sosok yang persis orang itu. Nggak lama orang itu melangkah mau menyeberang, tapi tiba-tiba saja lewat mobil berkecepatan maksimum. Tubuhnya terpental dan dia mati seketika."

Suster Diana mengerjap beberapa kali. Lalu menelan ludah. Dia bergidik ngeri. Dia mengernyit heran melihat ekspresi wajah Violet yang biasa-biasa saja saat menceritakan kejadian mengerikan yang pernah dilihatnya itu. Seolah-olah itu hal biasa yang tidak membuatnya takut.

Obrolan mereka terhenti saat lampu pertanda ada pasien yang kondisinya menurun drastis. Saat ini mereka bertugas di ruang PICU. Suster Diana sudah berpengalaman bertugas di ruang ini. Ruang PICU adalah ruang khusus untuk merawat anak-anak yang dalam keadaan kritis. Hanya ada empat kamar di ruang ini. Tiap kamar dijaga oleh perawat yang berpengalaman bertugas di ruang PICU. Suster Diana dan Violet mendapat tugas menjaga kamar nomor 4. Violet belum berpengalaman tapi dia ditugaskan di ruang ini untuk belajar dengan mendampingi Suster Diana.

"Pasien di kamar 04! Ayo, cepat Vio!" kata Suster Diana. Dia bergegas menuju kamar pasien yang menjadi tanggungjawabnya. Violet mengikutinya.

Kamar itu berisi pasien bernama Rendi. Anak lelaki berusia lima belas tahun. Mengalami kecelakaan hebat, mobil yang dia kemudikan menabrak mobil lain. Kecelakaan yang terjadi karena kesalahannya sendiri. Tidak seharusnya anak yang belum memiliki SIM mengendarai mobil.

Di mobil itu dia bersama seorang gadis yang menurut temannya adalah kekasihnya. Bukan main anak zaman sekarang. Di usia sebelia itu sudah berhubungan lebih dari sekadar teman dengan lawan jenis dan sudah bebas menyetir mobil.

Tak bisa dipungkiri, orang tuanya ikut bersalah karena lalai mengawasi anaknya yang masih di bawah umur. Akibatnya fatal. Anak itu koma, sekujur tubuhnya luka. Tulangnya patah di beberapa bagian. Ada pendarahan di otaknya yang membuatnya tak sadar.

Gadis yang bersamanya di mobil itu tewas. Bukan itu saja, dua orang penumpang mobil yang dia tabrak juga tewas.

Andaikan anak ini sadar dari komanya, dia masih harus menghadapi trauma berat. Menjadi penyebab tiga orang kehilangan nyawa. Dan salah satunya adalah orang yang dia sayangi.

Suster Diana dan Violet masuk ke kamar itu. Rendi masih berbaring tak bergerak di tempat tidur.

Suster Diana diikuti Violet mendekati Rendi. Dia mengecek keadaan remaja belia itu. Semua alat penopang kehidupan Rendi berfungsi baik. Monitor yang memantau kondisi organ vitalnya juga menunjukkan grafik stabil.

"Aneh. Ternyata keadaannya stabil. Tadi kenapa ada tanda darurat ya?" tanya Suster Diana.

Mendadak Violet merinding. Kamar ini memang dingin karena dilengkapi AC. Tapi barusan dia merasakan ada embusan angin di tengkuknya.

Dia mengelus tengkuknya. Lalu perlahan dia menoleh ke belakang. Matanya membelalak melihat di belakangnya sudah berdiri Rendi menatapnya tajam!

Buru-buru Violet kembali menghadap ranjang pasien dan Rendi masih terbaring tak sadar di sana. Violet segera sadar, yang tampak berdiri di belakangnya adalah roh Rendi. Apakah anak ini sebentar lagi akan mati?

Violet tersentak menyadari roh Rendi berpindah ke sampingnya. Masih menatapnya. Kali ini dengan tatapan sendu. Lalu ekspresinya berubah sedih. Kemudian berubah lagi seperti ketakutan.

Violet mundur perlahan. Suster Diana mengernyit heran melihat sikap aneh Violet.

"Ada apa Vio? Tampang kamu kok kaya kaget gitu?" tanyanya. Kemudian matanya membelalak menyadari sesuatu. "Jangan bilang kamu melihat roh Rendi," katanya.

Violet tak menyahut. Dia hanya membalas tatapan Suster Diana dan mengangguk perlahan.

"Vio, jangan nakut-nakutin ya. Dia baik-baik saja kok. Lihat, semua data menunjukkan keadaannya stabil."

Violet hanya tersenyum tipis dengan bibir bergetar.

"Kita bisa nunggu dia di luar kan, Suster Diana?" tanya Violet.

Suster Diana tak menyahut. Dia menjawab dengan langsung bertindak melangkah menuju pintu. Violet mengikutinya. Namun belum sampai di dekat pintu, roh Rendi menghadang Violet. Sepertinya roh itu sadar, Violet bisa melihatnya. Ekspresi wajah roh Rendi bagai berteriak kesakitan.

Violet terkesiap saat di sekeliling roh Rendi, muncul tiga sosok dalam keadaan terluka parah. Ketiganya menyerang Rendi.

Jantung Violet berdebar keras. Belum pernah dia melihat hal seperti ini. Siapa tiga roh lainnya yang juga terlihat olehnya itu?

"Suster Vio? Kamu mau nunggu di dalam?"

Violet terkesiap mendengar teguran Suster Diana yang sudah membuka pintu dan siap keluar.

Dia melangkah cepat menghindari roh-roh itu, bergegas menuju pintu. Dia masih sempat melihat roh Rendi menangis sedih. Tapi tiga sosok yang tadi menyerang Rendi sudah tak terlihat.

Violet benar-benar penasaran. Kenapa dia melihat sosok-sosok gaib lainnya?

"Vio, aku mau melapor keadaan pasien ke dokter dulu. Awasi terus alarm dari kamar pasien. Kalau ada tanda darurat, segera panggil aku," kata Suster Diana.

Violet mengangguk. Sepeninggal Suster Diana, dia berdiri mematung menatap kosong ke depan. Dia masih syok teringat roh-roh yang dilihatnya tadi.

"Suster Vio?"

Violet menoleh, terkejut sesaat melihat sosok dokter muda sudah berdiri di dekatnya. Dokter itu yang tadi memanggilnya.

"Eh, Dokter Bian," sahut Violet terdengar canggung.

"Ada apa? Kenapa Suster melamun tapi ekspresinya seperti ketakutan? Ada masalah dengan pasien?" tanya lelaki muda yang biasa dipanggil Dokter Bian oleh para suster dan pasien itu.

Nama panjangnya Sabian Alano. Dia dokter magang yang sudah delapan bulan bertugas di rumah sakit ini. Sebagai sarjana kedokteran yang belum lama lulus, dia harus magang dulu di rumah sakit selama setahun. Setelah itu barulah dia mendapat izin menjalankan profesinya sebagai dokter secara resmi. Namun, walau hanya bertugas sebagai dokter magang, dia sudah layak dipanggil "Dokter".

"Tadi saya dan Suster Diana mengecek pasien korban tabrakan mobil yang masih remaja itu. Rendi."

"Gimana keadaannya?"

"Monitor pemantau menunjukkan keadaannya stabil. Tapi ...."

"Tapi kenapa?" tanya Bian tak sabar menunggu Violet meneruskan ucapannya.

"Saya punya firasat sebenarnya keadaannya gawat dan mungkin dia nggak akan tertolong."

"Firasat gimana maksud kamu? Firasat itu muncul dari tanda-tanda fisik yang kamu lihat di pasien itu, atau cuma perasaan kamu saja?"

Violet terdiam. Tak mungkin dia mengatakan mendapat firasat dari tanda-tanda gaib.

"Tubuhnya memang terlihat tenang, tapi sepertinya dalam tubuhnya gelisah," kata Violet.

Maksudku, rohnya, lanjut Violet dalam hati.

Bian tersenyum. "Mungkin kamu terlalu cemas. Cidera anak itu memang parah sekali. Tapi dia sudah melewati masa kritis. Supaya kamu nggak cemas, saya akan periksa dia."

Setelah berkata begitu, Bian melangkah cepat menuju kamar Rendi.

Violet duduk di kursi di balik meja jaga. Dia masih penasaran dengan tiga sosok yang tadi dia lihat menyerang roh Rendi.

Sosok itu berwujud seorang perempuan muda dan laki-laki muda berusia dua puluh tahunan, serta satu gadis yang menurut perkiraannya masih awal belasan.

Mata Violet membelalak. Buru-buru dia mencari berita tentang kecelakaan mobil yang dialami remaja berusia 15 tahun di internet.

Mulutnya ternganga saat akhirnya menemukan satu berita dan melihat foto para korban kecelakaan itu. Foto-foto itu adalah Rendi dan tiga sosok yang tadi menyerangnya!

"Tiga korban yang tewas. Gadis yang lebih kecil. Prisila namanya. Juga lima belas tahun. Katanya dia kekasih Rendi. Ini sosok yang tadi kulihat menyerang roh Rendi."

Jantung Violet berdegup lebih kencang.

"Wajah mereka yang tadi aku lihat!Cewek dan cowok muda ini pasangan kekasih yang akan menikah dua bulan lagi. Tapi Rendi merenggut impian mereka. Pantas saja mereka terlihat marah pada Rendi."

Suara Violet hampir memekik. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Untunglah tak ada siapa-siapa di sekitarnya yang bisa mendengar ucapannya tadi.

Keningnya berkernyit. Hari ini aneh sekali. Dia mulai melihat lagi jenis roh yang lain. Bukan hanya roh dari orang yang sudah mendekati ajal, tapi juga roh orang yang telah meninggal.

Lamunannya terhenti saat melihat tanda keadaan darurat di kamar 04. Bergegas Violet bangkit berdiri. Lalu setengah berlari menuju kamar itu. Sesampai di kamar itu, tampak Bian sedang kerepotan mengembalikan detak jantung Rendi.

"Suster! Bantu saya!" teriak Bian.

Buru-buru Violet mendekat. Cukup lama Bian dan Violet berusaha menstabilkan kembali kondisi Rendi. Tapi mereka tak berhasil. Lima belas menit kemudian, Dokter Bian menyatakan jam kematian Rendi.

Lalu Violet melihat tiga roh yang tadi menyerang Rendi tersenyum senang. Dan roh Rendi berdiri di samping mereka dengan wajah kesakitan.

**=================**

Jumpa lagi dengan lanjutan cerita ini.

Gimana teman-teman? Makin penasaran dengan cerita ini nggak? 😉

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top