2. Empat Tahun Kemudian

"Violet Banyubening."

Lelaki muda itu membaca data perawat baru yang akan menemaninya bertugas jaga malam ini. Kemudian tatapannya beralih ke gadis belia berseragam perawat di depannya.

"Selamat bertugas, Suster Vio."

Dokter muda itu meletakkan kertas berisi data Violet di atas meja jaga.

"Kalau ada yang belum dimengerti, bisa tanya Suster Diana. Saya ngecek IGD dulu," katanya lagi sambil menoleh ke suster yang lebih senior dari Violet. Lalu dia berbalik melangkah menjauhi kedua suster itu.

"Jadi, ada yang mau kamu tanyain?" tanya Suster Diana.

"Untuk sementara ini nggak ada, Sus. Saya sudah paham," jawab Violet.

Suster Diana berusia tiga tahun lebih tua dari Violet. Sudah dua setengah tahun bekerja di rumah sakit ini.

Lampu penanda ada pasien yang memanggil menyala berkedip-kedip.

"Kamar 107. Biar aku yang ngecek," kata Suster Diana.

Violet mengangguk. Seketika dia disergap rasa sepi setelah suster seniornya itu meninggalkannya sendirian di meja jaga.

Ini adalah hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Dia langsung mendapat tugas jaga malam.

Dia sadar, bekerja di rumah sakit memberinya tantangan tersendiri. Tapi ini adalah pilihannya. Sejak lulus SMA tiga setengah tahun lalu, dia memutuskan ingin menjadi perawat. Dia ingin paham mengenai dunia kesehatan. Tapi dia tidak ingin menjadi dokter.

Dia belajar sangat giat hingga bisa memperoleh beasiswa dan mengenyam pendidikan perawat di salah satu akademi keperawatan di Bogor. Setelah lulus dan memperoleh STR, akhirnya dia diterima bekerja di sini. Di sebuah rumah sakit di Jakarta.

Ya, dia kembali tinggal di Jakarta. Tapi kini dia sendirian di kota ini tanpa ibunya yang masih tinggal di desa bersama kakeknya.

Rumah sakit adalah tempat di mana dia akan semakin sering melihat pertanda-pertanda itu. Roh-roh orang yang akan meninggal menampakkan diri padanya.

Kemampuannya melihat "hal gaib" itu bermula dari peristiwa yang dialaminya empat tahun lalu di desa kakeknya.

Ketika itu, dia dan ibunya terpaksa pindah dari Jakarta ke desa kakeknya di Sukabumi. Karena ibunya tak mampu membiayai kehidupan mereka berdua di Jakarta. Tahun itu bapaknya meninggal karena serangan jantung mendadak. Bapaknya yang hanya pegawai kecil tidak meninggalkan banyak uang. Rumah pun masih mengontrak.

Semenjak kepergian bapaknya, ibunya bekerja sebagai tukang cuci setrika di rumah-rumah orang. Namun bayarannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akhirnya ibunya memutuskan pulang ke desa kakeknya. Biaya hidup di desa jauh lebih murah. Ibunya bisa bekerja di perkebunan teh yang banyak terhampar di sekitar desa.

Violet pindah sekolah di desa itu di permulaan semester terakhir kelas dua belas. Baru seminggu dia berada di desa, dia sudah mengalami peristiwa mengerikan yang dampaknya tidak hilang hingga sekarang.

Itu terjadi karena dia tidak mematuhi larangan ibunya. Dia tak sabar menunggu kakeknya punya waktu menemaninya menjelajah desa. Juga akibat sifat sok tahunya dan sok berani menyusuri desa sendirian.

Air danau itu tak mau mengalir walau jalan air menuju persawahan sudah terbuka. Dibersihkan berapa kali pun pintu yang memisahkan danau dan saluran irigasi yang menyalurkan air ke sawah, pintu itu tetap tersumbat dan air tak mau mengalir.

Tempat di sekitar danau itu semakin dijauhi warga sejak beberapa penduduk mengaku pernah melihat sosok perempuan berambut panjang berdiri di permukaan danau. Hingga akhirnya warga desa diingatkan untuk menjauhi danau itu. Larangan yang terlambat diketahui Violet.

Dia terlanjur pergi ke danau itu. Sesuatu menyeretnya hampir ke dasar danau. Tapi dia beruntung ada yang menyelamatkannya. Roh tetangganya yang sedang koma.

Sejak itu, entah sudah berapa roh yang dilihat Violet. Roh-roh orang yang hampir mati. Ada yang koma, ada yang sakit panjang.

Sreet!

Violet mengangkat wajahnya yang semula tertunduk menghadap layar ponsel. Dia menatap ke depan. Dia mendengar suara itu. Suara seperti sesuatu berkelebat lewat di depannya. Tapi sekarang tak terlihat apa-apa.

Dia menoleh ke kanan. Lorong dengan kamar-kamar berjajar itu kosong. Dia menoleh ke kiri. Pintu lift menuju lantai atas tertutup.

Namun saat dia memalingkan wajah ke depan, dia terperenyak. Ponsel dalam genggamannya jatuh ke atas meja.

Di depannya berdiri menyamping seorang perempuan setengah baya. Rambutnya bergelombang melebihi bahu dengan warna putih lebih dominan. Perempuan itu menatap lorong di depan jajaran kamar-kamar rawat inap.

Violet kembali terkesiap saat tiba-tiba sosok itu menoleh ke arahnya. Tak bicara. Hanya memandangi Violet.

"Bu, Ibu kok keluar kamar?" tanya Violet. Dia menebak perempuan itu salah satu pasien yang dirawat inap di sini.

Perempuan itu hanya diam. Dia melambaikan tangan pada Violet. Lalu berjalan ke lorong menuju kamar pasien.

Violet terkesiap. Dia mulai menyadari satu pertanda. Lambaian tangan. Apakah itu pertanda ucapan selamat tinggal?

"Vio? Kamu ngapain bengong?"

Violet tersentak. Suster Diana sudah berada di depannya.

"Eh, sudah selesai ngeceknya, Sus?"

"Di sini jangan suka bengong lho. Nanti kesambet setan." Suster Diana malah menakut-nakuti.

"Kesambet? Kesurupan maksudnya? Memangnya ... di sini ada setan?

"Namanya aja rumah sakit. Banyak pasien koma, sekarat, ada yang baru meninggal." Suster Diana mengucapkan semua itu dengan ringan seolah semua itu bukan hal menakutkan baginya.

"Suster Diana pernah lihat ada yang kesurupan di rumah sakit ini? Atau Suster pernah lihat setan?"

Suster Diana tertawa kecil melihat wajah serius Violet.

"Aku bercanda. Di sini aman kok. Aku nggak pernah lihat yang aneh-aneh. Cuma ya tetap aja jangan melamun."

Violet mengangguk-angguk.

"Sus, apa di lantai ini ada pasien seorang ibu kira-kira lima puluhan lebih, agak kurus, kulitnya putih, rambutnya sudah banyak ubannya ...."

Belum selesai Violet bicara, Suster Diana langsung memotong.

"Bu Wira? Itu kan pasien yang tadi aku cek di kamar 107. Kenapa memangnya?" katanya.

Alis Violet terangkat. Takjub Suster Diana bisa langsung menyimpulkan dari ciri-ciri yang dia sebutkan.

"Bu Wira? Dia sakit apa?" tanyanya .

"Pembuluh darah di otaknya ada yang pecah. Baru dioperasi enam hari lalu. Dia jadi lumpuh dan nggak bisa bicara. Biasanya ada anak laki-lakinya yang jagain dia kalau malam. Tapi hari ini anaknya nggak datang. Mungkin kecapean sudah seminggu tiap malam jagain ibunya terus."

Violet menelan ludah. Entah apakah yang tadi dilihatnya itu benar Bu Wira. Tapi Bu Wira lumpuh dan tak mungkin bisa berjalan keluar kamarnya.

"Memangnya kenapa dengan Bu Wira? Eh, benar Bu Wira bukan yang kamu tanyain tadi? Ciri-ciri yang kamu sebutin sih seperti Bu Wira."

"Nggak ada apa-apa, Sus. Eh iya, kalau saya ngecek ke kamar pasien satu per satu boleh nggak? Supaya saya tahu pasien-pasien di sini siapa aja."

"Besok pagi aja kalau kamu mau kenalan sama pasien. Ini sudah tengah malam. Kalau kamu datangi mereka sekarang, nanti malah mengganggu. Dini hari begini, kita datang cuma kalau ada yang manggil."

"Tapi, Sus. Kalau pasiennya kesulitan neken bel, gimana? Kita nggak tahu dia butuh kita."

Suster Diana menghela napas.

"Di lantai ini cuma ada dua pasien yang sulit bergerak. Untuk malam ini, biar aku yang sesekali mengecek mereka. Besok kalau kamu sudah kenal mereka, kamu boleh mengecek mereka juga."

"Oh, baik, Sus," sahut Violet.

Kemudian, keduanya menghabiskan malam berjaga sambil mengobrol.

Tugas jaga itu selesai pukul tujuh pagi. Sebelum pergi dari tempat tugasnya dan digantikan suster jaga pagi, Suster Diana mengajak Violet mengunjungi satu per satu pasien di ruang rawat inap lantai satu itu.

Hingga sampai di kamar 107, Violet sadar, perempuan setengah baya yang dia lihat semalam memang Bu Wira. Ibu itu terbaring di tempat tidurnya. Masih terlelap. Semua tampak biasa.

Tapi hanya Violet yang tahu ada yang tidak beres dengan Bu Wira. Dia melihat roh Bu Wira berdiri di samping tempat tidur. Menatapnya tanpa ekspresi.

"Ini yang namanya Bu Wira. Ibu yang kamu maksud semalam ini, kan?" tanya Suster Diana.

Violet mengangguk. Dia mengalihkan pandangan dari roh Bu Wira yang masih berdiri kaku memandanginya.

"Kamu ketemu Bu Wira di mana?" tanya Suster Diana sambil mengecek denyut nadi Bu Wira.

Violet terdiam sesaat. Haruskah dia menjawab dengan jujur?

Suster Diana menoleh padanya setelah sekian lama tak mendengar jawaban Violet.

"Mm ... dia ... lewat di depan meja jaga semalam." Akhirnya Violet memutuskan untuk jujur.

Mata Suster Diana berkernyit.

"Mana mungkin. Bu Wira lumpuh dan semalam aku cek ke kamarnya dia masih berbaring di tempat tidur," bantahnya.

Violet kembali ragu untuk menyahut. Tapi Suster Diana memandanginya seolah menunggu dia bicara.

"Yang saya lihat semalam bukan tubuh Bu Wira. Tapi, rohnya. Bu Wira sebentar lagi akan meninggal," sahut Violet akhirnya.

Ucapannya itu sukses membuat Suster Diana ternganga.

"Kamu ngomong jangan sembarangan. Kalau bercanda jangan kelewatan! " tegur Suster Diana.

Dia mendahului keluar kamar itu.

Violet buru-buru mengikuti Suster Diana. Dia masih sempat menoleh sebelum keluar.

Roh Bu Wira terlihat masih berdiri di samping tubuhnya yang terbaring di tempat tidur. Wajahnya masih tanpa ekspresi, hanya menatap Violet.

Dan dua jam kemudian, Bu Wira meninggal.

**=======================**

Hai teman-teman.

Terima kasih ya buat yang baru baca. Buat yang udah baca sejak lama, tungguin novelnya terbit ya. Maaf, judulnya berubah-ubah mulu 😊

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top