11. Menggali Informasi

Violet baru saja memasuki halaman rumah sakit, dia melihat seorang lelaki sedang merapikan tanaman. Dia menebak laki-laki itulah Pak Dibyo yang pernah diceritakan Lastri. Dia ingat ciri-ciri yang dulu disebutkan. Kurus, rambutnya sudah banyak yang beruban.

Dia mendekati lelaki itu.

"Selamat pagi, Pak," sapanya. Tapi lelaki itu tak bereaksi. Masih asyik menggunting dedaunan pohon perdu hingga menjadi rapi.

Violet juga ingat, Lastri bilang pendengaran Pak Dibyo agak kurang. Dia pun mengulangi sapaannya dengan suara lebih keras.

"Selamat pagi, Pak!"

Lelaki itu terlonjak. Dia menoleh ke Violet dan mengernyit sebal. Untunglah Violet sudah memakai seragam perawat sejak dari rumah. Melihat seragam Violet, membuat lelaki itu mengenali sebagai perawat rumah sakit ini.

"Aduh, Suster bikin kaget aja. Kenceng banget ngomongnya. Saya nggak budek, Suster," sahut laki-laki itu.

"Eh, maaf. Ini Pak Dibyo bukan?" tanya Violet merasa agak bersalah.

"Iya, saya Dibyo. Kok bisa tahu nama saya?"

"Mbak Lastri petugas dapur yang ngasih tahu saya. Maaf, waktu itu dia bilang ngomong dengan Pak Dibyo suaranya harus lebih keras," kata Violet.

Pak Dibyo mengernyit. "Apaan, Suster? Kurang kedengeran tadi ngomong apa," sahutnya.

Violet membelalak, lalu menghela napas. Dia mengulangi ucapannya tadi dengan suara lebih keras sedikit. Barulah Pak Dibyo mengangguk-angguk.

"Saya cuma kurang dengar, bukan budek. Kalo ngomong sama saya, suaranya kerasin dikit, tapi jangan keras-keras amat," kata Pak Dibyo.

Violet tersenyum geli. "Maaf ya, Pak."

"Ada apa Suster nyariin saya?"

Violet melihat jam tangannya. Sudah hampir pukul tujuh.

"Nanti setelah tugas saya selesai, bisa kita ngobrol lagi? Sesudah jam 2? Bapak masih di sini kan jam segitu?"

"Saya mah di sini sampai hampir magrib. Nggak kayak Suster. Cuma sampai jam dua tugasnya."

"Tapi seminggu kemarin saya tugas jaga malam lho, Pak. Bapak pernah tugas malam?"

"Ya nggak pernah lah, Suster. Tugas saya kan cuma beresin tanaman dan nyapu halaman. Yang suka tugas malam itu satpam."

Violet kembali tersenyum.

"Tapi bapak nggak tugas sendirian, kan? Dan tetap ada liburnya?"

"Ada dua orang lagi yang tugasnya ngerawat taman dan bersihin halaman. Nggak sanggup kalo sendirian, Suster. Rumah sakit luas begini. Halamannya ada di depan, di samping, di belakang, di dalam juga ada. Kami gantian liburnya, cuma sehari doang dalam seminggu."

"Baiklah, Pak. Kira-kira nanti jam duaan Bapak ada di sebelah mana? Kanan, kiri, depan, atau belakang?"

"Nggak tentu, Suster. Bisa di mana aja. Tiap pagi nyapu, ngerapihin, nyiramin taman sampai jam dua belas. Istirahat sampai jam satu. Habis itu bisa ngerjain yang lain sambil nunggu matahari agak adem sekitar jam tigaan. Baru deh nyapu halaman dan nyiramin tanaman lagi."

"Kalau nanti jam dua lewat kita ketemu di musola gimana, Pak? Saya sekalian salat zuhur."

"Ya silakan aja. Apa sih yang mau diomongin, Suster?"

"Nanti Bapak pasti tahu. Saya permisi dulu ya. Sudah hampir jam tujuh. Saya harus mulai kerja. Sampai ketemu nanti, Pak," kata Violet.

Kemudian dia berjalan cepat menuju ruang perawat. Pak Dibyo menggeleng-geleng beberapa kali melihatnya, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Setelah melaporkan kehadirannya di ruang perawat, Violet bergegas ke bagian rawat inap lantai dua yang biasa disebut RINA 2.

Kali ini dia bertugas bersama Suster Nadia yang baru bekerja satu tahun di rumah sakit ini. Usianya dua tahun lebih tua dari Violet.

RINA 2 ini khusus untuk pasien kelas satu. Ada dua tempat tidur di setiap kamar.

"Selama kamu kerja di sini pernah nggak bertugas ke kamar jenazah?" tanya Violet pada Nadia setelah tugas mengecek suhu semua pasien dan memberi obat sudah selesai.

"Semua suster pasti pernah tugas ke sana. Kalau ada pasien yang meninggal harus nganter keluarganya melihat ke sana. Tapi kita nggak jaga di sana. Yang jaga cuma petugas penjaga. Suster dan petugas medis masuk ke sana cuma kalau jenazah disiapkan mau dibawa pulang keluarganya."

"Jadi, ada yang tugasnya berjaga di sana?"

"Iya, tapi nggak jaga di dalam. Cuma jaga-jaga di luar aja. Biasanya dua orang dan selalu laki-laki."

Violet mengingat-ingat. Malam itu ketika dia masuk ke alam gaib, dia tidak bertemu siapa-siapa di sekitar tempat itu. Kecuali suster kepala dan pasien anak-anak yang ternyata hantu.

"Pernah bertugas di sana malam-malam?" tanya Violet lagi.

"Kenapa kamu nanyain tentang kamar jenazah terus sih? Takut ditugaskan di sana ya?" ledek Nadia sambil nyengir lebar.

"Memangnya kamu nggak takut?" Violet balik bertanya.

Berdasarkan pengalamannya dengan Suster Diana, dia tak mau lagi menceritakan tentang kemampuannya melihat hal gaib pada yang lain. Dia pernah bercerita pada Suster Diana. Dan akibatnya suster itu selalu tampak waspada tiap kali bertugas bersama Violet.

"Namanya kerja di rumah sakit. Udah biasa lihat orang meninggal. Biasa aja," jawab Nadia.

"Kamu nggak pernah lihat penampakan seram, atau suara seram?"

Nadia menggeleng. "Nggak pernah. Biasa aja semuanya. Makanya aku heran kalo lihat film-film horor. Lebay banget deh. Aku beberapa kali pernah kok harus ke kamar mayat malam-malam. Nggak ada apa-apa."

Mendengar cerita Nadia itu membuat Violet iri. Enaknya hidup tak bisa melihat yang gaib-gaib. Dia pun dulu seperti itu. Jika ingat masa lalu, dia kembali menyesal pernah mendatangi danau terlarang di kampung kakeknya.

"Kamu pernah lihat yang serem-serem di sini? Atau waktu dulu tugas praktik di rumah sakit lain?" tanya Nadia.

"Em ... perasaanku aja kali ya. Pengaruh nonton film horor," jawab Violet berbohong.

"Halah, nggak usah takut. Film horor itu kan cuma nakut-nakutin. Aslinya mana ada hantu. Dari zaman kuliah di akper sering tugas praktik di beberapa rumah sakit. Kebanyakan dikasih tugas jaga malam. Tapi aku nggak pernah lihat penampakan apa-apa." Nadia terdengar sangat yakin.

Violet hanya tersenyum miris tak ingin mendebat. Bukan salah Nadia jika dia yakin hantu tidak ada. Mata batin suster muda itu tertutup hingga tak bisa melihat hal-hal gaib. Tapi Violet benar-benar bisa melihat mahluk-mahluk gaib itu. Apakah itu semua hanya khayalannya?

Setelah tugasnya selesai tepat pukul dua siang, Violet mampir ke ruang rawat inap anak dulu sebelum ke musola untuk salat zuhur sekaligus bertemu Pak Dibyo.

Karena ruang rawat inap anak akan dia lewati bila dia ingin ke musola dari RINA 2. dia hanya ingin tahu bagaimana kabar Celia.

"Suster, saya mau izin ke kamar 013 boleh? Dua hari lalu saya bertugas di sini. Saya janji mau nengokin anak yang dirawat di kamar itu. Namanya Celia," sapa Violet pada suster yang bertugas jaga di ruang itu.

"Kamar 013 kosong kok. Nggak ada pasiennya," jawab suster itu.

Violet terbelalak.

"Celia sudah pulang?" tanyanya agak terkejut.

"Sebentar ... " kata suster itu sambil memeriksa daftar pasien di hari-hari sebelumnya.

"Pasien kamar 013 bernama Celia Mourina, umur sembilan tahun. Meninggal hari Minggu pagi ..."

"Apa!?" potong Violet dengan suara keras saking kagetnya. Membuat suster itu juga terkejut dan tubuhnya tersentak ke belakang.

"Eh, maaf, Suster. Saya kaget karena Sabtu pagi saya masih ketemu dan ngomong sama dia. Malah saya mandiin dia. Waktu itu dia kayaknya udah sehat. Saya benar-benar nggak sangka ..."

Violet tak meneruskan kata-katanya. Aneh sekali, baru kali ini dia merasa sangat terguncang mendengar kabar pasien yang pernah dirawatnya meninggal.

"Permisi, Suster. Terima kasih informasinya," ucap Violet masih dengan suara getir. Lalu dia berbalik dan berjalan cepat menuju musola.

Sepanjang melangkah perasaannya masih tak keruan. Teringat wajah Celia, lalu wajah dokter Tama dan ... gadis kecil berkepang dua. Dia belum sempat bertanya pada Celia seperti apa ciri-ciri temannya yang dia panggil Elsa. Apakah Elsa berkepang dua? Saat itu dia juga tidak melihat roh Celia. Biasanya dia bisa melihat roh seseorang yang akan meninggal.

Sesampai di musala, Violet segera salat. Dia berdoa cukup panjang. Termasuk mendoakan Celia.

Usai salat, dia melihat Pak Dibyo sudah duduk di tepi teras musola.

"Assalammualaikum, Pak Dibyo," sapa Violet dengan suara sedang sambil duduk di samping Pak Dibyo.

Lelaki kurus itu menoleh.

"Waalaikumussalam, Suster. Saya sekalian nunggu asar sebelum nyiramin pohon dan nyapu halaman," sahut Pak Dibyo.

"Sama, Pak. Saya juga sambil nunggu asar. Tanggung sebentar lagi."

"Suster mau ngomongin apa sama saya?" tanya Pak Dibyo.

Violet melirik dulu sekelilingnya. Karena dia tidak bisa bicara dengan volume pelan pada Pak Dibyo, dia khawatir suaranya akan didengar orang lainnya yang juga masih berada di sini menunggu waktu salat selanjutnya.

"Mbak Lastri bilang, Pak Dibyo pernah dengar suara-suara gaib waktu bersihin halaman di sekitar kamar jenazah. Apa benar, Pak?" Violet bicara dengan suara sedang agak dekat dengan telinga Pak Dibyo.

Pak Dibyo mengernyit heran.

"Kenapa Suster mau tahu tentang itu?"

"Karena ... saya juga pernah dengar dan ... lihat." Agak ragu Violet menjawab.

Pak Dibyo terbelalak. "Suster dengar juga suara anak kecil ketawa-ketawa? Padahal nggak ada anak-anak di sekitar sana."

Violet mengangguk.

"Suster lihat apa?"

"Beberapa anak-anak lari-larian, ketawa-ketawa. Padahal di sana nggak ada anak-anak. Pak Dibyo cuma dengar suara atau lihat juga?"

"Nggak baik kayaknya ngomongin soal itu di musola." Pak Dibyo masih saja belum mengiyakan pertanyaan Violet.

"Eh, benar juga."

"Banyak berdoa dan rajin solat aja, Suster. Supaya nggak bisa dengar dan lihat yang aneh-aneh lagi."

"Pak Dibyo sudah nggak dengar lagi suara-suara itu?"

"Saya nggak mau nginget-nginget lagi tentang itu, Suster. Makanya sekarang saya bersihin daerah sana dulu setelah salat asar. Mumpung masih terang dan masih ada yang lewat dekat-dekat sana."

Violet mengangguk-angguk paham. Tanpa mengiyakan pertanyaan Violet, kata-kata Pak Dibyo itu sudah menunjukkan bahwa dia memang pernah mendengar suara-suara tak semestinya.

"Saya cuma heran. Kenapa di sana bisa kedengeran suara anak-anak. Padahal ruang rawat inap anak bukan di sebelah sana."

**=======================**

Hai, ketemu lagi di lanjutan cerita ini.

Btw, ada yang kangen dokter Bian nggak? 😅

Terima kasih buat yang udah baca.

Sampai ketemu di part selanjutnya ya 😉

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top