05-Without You
Aroma tanah yang basah terkena guyuran hujan berkali-kali Yasna hirup. Ia suka, apalagi ketika melihat butiran air dari balik jendela. Bukan berlari-lari di tengah asrama sembari memandang ke langit gelap, fisiknya yang lemah tidak memungkinkan untuk itu.
Seperti sekarang, ia duduk di tepi jendela menghadap keluar. Genggaman di selimut di punggungnya semakin erat begitu embusan angin menerpa permukaan kulit. Dingin.
"Yasna!" panggil Salwa pelan. Tak ada jawaban, fokus Yasna masih pada hujan di luar sana.
Jari telunjuknya mengukir satu nama di kaca. Ia tersenyum tipis. "Aku rindu!" Itu yang Yasna katakan. Pelan tapi masih bisa didengar oleh Salwa, yang terduduk bersandar di lemari.
"Yasna!" panggil Salwa lagi. Ia mendesah pelan ketika gadis itu masih terdiam dengan dunianya sendiri.
"Ck, kebiasaan. Ada hujan, pasti anteng di deket jendela."
Ia melirik jam dinding, berganti ke punggung Yasna lagi. Salwa geleng-geleng kepala, lalu beranjak dari duduk mendekati Yasna.
"Yasna." Salwa menepuk pundak Yasna pelan, membuat si pemilik tersentak, lalu menoleh. Sebelah alis Yasna terangkat.
"Ada apa?" tanya Yasna.
"Kata Umi Dair, nanti kamu mulai masak ke ndalem Umi Azri."
Kening Yasna mengerut. "Lho, kenapa? Bukannya jadwal masak di ndalem Umi Azri itu Mbak Dida, ya."
Salwa menggelengkan kepala pelan. Tatapan matanya ikut terfokus pada air hujan yang semakin deras. Bahkan, sesekali terlihat petir di langit, membuat matanya memejam sesaat.
Bersandar pada bahu Salwa, Yasna menghirup napas panjang. Ia merasakan jiga yang terasa kosong. Bahkan, sedari tadi cincin yang melingkar di jari manis terus Yasna putar. Entahlah. Agak sedikit asing dengan aksesoris itu karena belum terbiasa.
"Kangen Gus Fahad, ya?" Tebakan Salwa benar. Yasna mengangguk lemah. Ia rindu serindu-rindunya. Padahal dulu, sewaktu gus muda itu masih kuliah di Depok, belum pernah merasakan seperti ini. Apa mungkin karena status mereka sekarang yang berbeda?
"Kamu ndak coba minta kontaknya ke Umi?"
"Mana berani, malu."
Salwa berdecak. "Terus kalian mau telepati gitu?"
"Apa, Wa? Tele apa? Kalau ngomong, ya, pakai bahasa kita aja biar aku ngerti."
"Telepati itu ...." Salwa menjeda. Ia mencari-cari istilah telepati di kamus otaknya, tapi nihil. Entah ke mana perginya kata itu sampai lupa.
"Ye, lupa? Makanya, jangan aneh-aneh. Nilai Ipa Madrasah Aliyah aja pas-pasan." Yasna terkikik melihat ekspresi kecut Salwa. Bibir bawah tebal sedangkan atas tipis monyong seperti ikan.
"Emang telepati istilah Ipa?"
Yasna menyeringai menampilkan deretan gigisnya sembari menggaruk tengkuk belakang. "Mana aku tahu, asal jawab aja."
Untung saja Allah menciptakan mata dengan begitu sempurna sampai Yasna bisa mendelik tajam. Bahkan, Salwa merasa merinding.
Tak lama, Yasna menunduk. Menenggelamkan kepala di antara siku yang ia angkat dan dipeluk. Dadanya begitu bergemuruh begitu rasa rindu semakin memuncak.
"Apa selama dia pergi, aku terus gini?" tanya Yasna frustrasi. Pasalnya, yang ia rasakan Justru membuat semua aktivitas Yasna kacau, terganggu. Kadang, gadis itu melamun atau pun tidak fokus.
"Ndak tahu menahu, karena aku belum pernah ngerasain. Mending sekarang, kamu ganti baju terus ke dapur. Udah jam dua tahu."
Dengan setengah pasrah, Yasna bangkit untuk pergi ke ndalem Umi Azri sesuai perintah calon mertuanya. Entah apa alasan Umi Dair, padahal di sana biasanya sudah ada yang pegang.
***
Keberuntungan berpihak pada Yasna. Hujan mendadak berhenti saat dirinya pergi dari Asrama menuju rumah Umi Azri, tetapi begitu sampai hujan langsung turun lagi.
Begitu masuk dapur, keadaan begitu asing untuk Yasna. Ia yang sudah lama sering keluar masuk dapur Umi Dair, dan untuk pertama kalinya ke mari.
"Assalamualaikum?" Ia mengucapkan salam begitu membuka pintu yang menghubungkan dapur dan ruang tv.
"Waalaikum sallam. Eh, Mbak Yasna." Umi Azri, ia langsung mengenakan penutup kepala asal.
"Mbak, masak ayam kecap aja sore ini, ya. Semuanya ada di kulkas, termasuk daging, bumbu," terang Umi Azri.
Yasna mengangguk pelan, ia pun menutup kembali pintu dengan rapat-rapat. Setelah itu, dirinya langsung mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan. Daging ayam mentah, jahe, bawang bombay, bawang putih, cabai dan tomat.
Sesekali, ia menggumamkan salawatan untuk mengusir rasa hening di dapun ndalem. Berbeda dengan dapur santri di belakang yang mulai terdengar berisik.
Gerakan tangan mengiris bawang bombay terhenti begitu teringat Yasna belum memasak nasi di rice cooker.
"Biasanya satu atau dua kilo, ya?"
Daripada menebak takut salah nantinya, dan berujung Umi Azri marah-marah. Emosinya kan mudah meletup-letup kalau ada satu orang santri yang melakukan kesalahan.
Hendak menekan knop pintu, tetapi pintu itu terlebih dahulu terbuka. Yasna langsung menunduk dan menutup mata. "Umi, takaran berasnya berapa?"
"Umi lagi di ruang tamu, Mbak," jawab seseorang dengan suara bass, tapi cukup asing di telinga Yasna.
Ia membuka mata dan mendapati seseorang bersarung di depannya. "Siapa?" tanya Yasna pada pria dengan mata bulat, hidung mancung. Intinya, wajah seperti orang arab.
"Saya? Mbak Yasna yakin ndak kenal saya?" tanyanya lagi dengan wajah datar.
Yasna menelisik setiap lekuk wajah tanpa senyum itu dengan seksama. Ia langsung membekap mulut dan mundur dua langkah menjauh.
"Gus Syafiq? Ini Gus Syafiq?"
Pria itu, Gus Syafiq melewati Yasna begitu saja. Lalu, mengambil setu gelas minum untuk melegakan dahaga.
"Pangling banget, Gus. Terakhir saya lihat kan, wajah Gus Syafiq itu bersih ndak jerawatan kayak sekarang." Yasna terkekeh sembari membuka penutup ember beras.
Syafiq menoleh dan berdecak. "Itu sebelum aku berperang sama skripsi tahu."
"Udah luluskan?" tanya Yasna.
"Iya. Eh, itu satu kilo aja masak nasinya," peringat Syafiq begitu melihat Yasna mengambil beras terlalu banyak.
Yasna mengangguk lalu mengembalikan separuh ke dalam ember beras merah di bawah meja.
"Terus, sekarang udah jadi Dokter, dong?"
"Belum, harus koas dulu."
Sembari mencuci beras, kening Yasna mengerut. Bukannya kalau sudah wisuda baru bisa kerja? Gus Syafiq kan kuliah jurusan kedokteran berarti sekarang sudah jadi dokter. "Lha, kok? Apalagi itu koas. Ndak ngerti aku, Gus."
"Jadi, kalo pas kuliah aku itu belajar teori kalau sekarang belajar di lapangan gitu, Mbak Yasna. Ya, Dokter muda tapi belum bisa buka praktik atau kerja tetap di rumah sakit. Panjang banget kalau jadi Dokter prosesnya," terang Syafiq yang langsung diangguki Yasna.
Ia kurang mengerti masalah seperti itu, apalagi sekolahnya hanya sampai Madrasah Aliyah atau sederajat dengan SMA.
"Umi minta masakin ayam kecap, kan?"
Pertanyaan Syafiq langsung diangguki Yasna.
"Kalau gitu sekalian Sa ...."
"Sayur sop, kan? Suka banget sama itu masakan," sela Yasna.
"Itu sehat, ya. Ada sayuran sama dagingnya."
"Iya, Pak Dokter." Yasna terkekeh.
Gadis itu cukup dekat dengan Syafiq sampai melontarkan guyonan pun tidak begitu canggung ketimbang dengan Arfan. Meskipun pada awalnya Yasna juga agak sungkan.
Seperti satu tahun lalu saat Yasna menjadi panitia di acara alumni tahunan pesantren, ia sering berbicara dengan Syafiq selaku ketua panitia acara. Dengan wajah datar Syafiq dan sifat cueknya, Yasna sering mengelus dada agar bisa sabar. Tetapi, lama kelamaan ia bisa tahu karakter asli dari Syafiq yang justru hangat dan enak diajak ngobrol.
"Gus," panggil Yasna.
Langkah Syafiq terhenti lalu menoleh ke arah Yasna. "Apa, Mbak?"
Jari telunjuk Yasna sudah bermain di ujung kerudung. Ia ragu untuk meminta bantuan pada Syafiq, tapi kalau tidak padanya Yasna tidak tahu harus pada siapa lagi.
"Mbak?" ulang Syafiq.
"Gus punya kontak Gus Arfan, kan? Kalau punya, tolong sampaikan salamku padanya."
Syafiq terdiam beberapa detik sampai ia menyadari kalau gadis di hadapannya adalah calon istri dari Arfan, kakak sepupunya.
Ia tersenyum simpul. "Ok."
Setelah menghilangnya Syafiq di balik pintu, Yasna langsung mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. Pipinya mendadak terasa panas padahal udara sore ini dingin. Apalagi di luar sana masih hujan, deras pula.
"Ah, apa ini yang orang bilang jatuh cinta? Malu gitu nitip salam." Ia tersenyum sembari menangkup pipinya.
***
Alhamdulillah, bisa update lagi. Entah apa yang ditulis, tapi itu maksimal yang aku bisa. 😊
Selamat membaca, jangan lupa vote dan komennya, ya. Syukron 😊🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top