04-LDR

Seminggu waktu yang cukup untuk Yasna berdiam diri di rumah, melepas rindu setelah enam bulan hanya bisa merasakan udara pesantren. Rasanya, baru hari kemarin gadis itu tiba-tiba dipanggil ke ndalem untuk membicarakan masalah pertunangan, dan besok malamnya ia resmi jadi calon istri Muhammad Fahad Wafiq.

Ia termangu menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Embusan napasnya berulang kari terdengar kasar, matanya sendu. Ia sesekali menepuk dada ketika rasa sesak dirasakan.

"Kenapa harus hari ini?" gumamnya pelan.

"Yasna!" pekik seorang gadis yang baru saja masuk ke kamar Yasna. Ia langsung memeluk tubuh sahabatnya yang tengah terduduk di tepi di jendela menghadap keluar.

"Ya Allah, ini calon pengantin pangling banget, sih," canda Salwa. Ia terkekeh sembari mencolek ujung dagu Yasna.

Yasna hanya melirik sekilas tanpa minat, lalu memandangi pohon mangga di tengah-tengah asrama.

"Kenapa? Murung banget, Yasna."
"Ada sesuatu terjadi, kan?" tanya Salwa tidak menyerah.

Yasna mengangguk pelan, lalu menunduk. "Mas Fahad nanti malam berangkat ke Jakarta."

"Terus masalahnya apa? Di mana?" Salwa masih tidak mengerti titik permasalahan Yasna. Ia menatap kamar berukuran 3x4 meter hanya diisi olehnya dan Yasna.

"Mau kuliah ke Mesir, Wa. Aku ditinggal dua tahun baru nikah," ujar Yasna dengan nada putus asa.

Mata sipit Salwa terbelalak begitu mendengar berita dari Yasna. "Yang bener?"

"Iya," balas Yasna pasrah. Dadanya kembali sesak mengingat fakta ia harus jauh dengan sosok Fahad.

"Ini ndak bener, Yasna. Yang udah dilamar itu harusnya jangan nunggu lama lagi buat nikah, bagusnya langsung."

Gadis berjilbab putih hanya menggeleng kepala dengan pelan, ia lalu merebahkan diri di atas lantai tanpa alas apa pun. Jujur, Yasna ingin menangis, tapi hatinya bilang jangan. Hanya akan terlihat sosok Yasna lemah saja.

"Ih, Umi sama Abi gimana, sih? Masa harus LDR dulu gini. Ndak seru, tahu."

"LDR apa, Wa? Kalo ngomong pake bahasa Indonesia, deh."

Bola mata Salwa berotasi malas. "Ya Allah, Yasna. LDR itu long distance relationship atau hubungan jarak jauh gitu," terang Salwa. Ia lalu mengikuti Yasna, meletakkan punggungnya di lantai.

Yasna hanya ber-oh-ria menanggapi Salwa. Matanya memejam merasakan udara kamar yang begitu panas. Apalagi atap bangunan ini terbuat dari beton, bukan genteng.

"Eh, kamu bawa Hp emangnya?" tanya Salwa lagi.

"Punya aja ndak, gimana mau bawa, Salwa?"

Mata Salwa membulat lagi. Ia menatap wajah sahabatnya lamat-lamat, sedangkan Yasna hanya terdiam tanpa risih.

"Terus kalian komunikasi pake apa, Yasna? Hati?" Ia berujar dengan gemas.

Gelengan kepala Yasna sebagai jawaban. Ia sendiri pun tak tahu bagaimana kondisi mereka berdua selama jarak antara Semarang dan Mesir yang cukup jauh dan terpisahkan oleh berbagai negara. Hanya bermodal kepercayaan dan saling menjaga menjadi fondasi yang kuat dalam hubungan yang coba dibangun Yasna dan Fahad.

"Demi apa kalian LDR tanpa komunikasi? Yakin langgeng?"

Satu pukulan Yasna layangkan ke lengan Salwa, membuat si pemilik meringis. "Kalo ngomong, Wa, disaring dulu."

Bibir Salwa tertarik lebar, jari telunjuk dan tengah terangkat membuat huruf 'V'. " Lagian, aku greget aja gitu dengernya. Nih, Yasna."

Ia mengarahkan kepala Yasna agar menghadap ke arahnya. "Aku masih inget banget cerita sepupuku. Hampir ndak jadi nikah gara-gara ditunda satu tahun, lho. Cobaan orang yang mau nikah emang gede banget, lho."

Yasna tertarik dengan topik pembicaraan yang Salwa buka. Ia terduduk menghadap gadis itu." Terus?"

Salwa menarik napas dalam-dalam. "Tapi, ini bukan berarti bikin kamu takut, ya."

"Jadi, gini. Kata orang, yang udah tunangan belum tentu jadi menikah. Yang udah nikah juga belum tentu langgeng. Semua pasti ada cobaan. Rata-rata yang terjadi seudah tunangan itu biasanya salah satu ragu sama pasangan atau masa lalu datang dan seolah lebih indah."

Kening Yasna mengerut. "Gus Fahad ndak punya masa lalu," ujar Yasna.

"Yakin? Emangnya kamu tahu gimana kehidupan Gus Fahad sewaktu kuliah di Depok? Pergaulan anak mahasiswa, Yasna, berbeda sama kita yang hanya santri."

Deg.

Jantung Yasna serasa mau copot dari tempatnya. Demi apa pun, ia ingin sekali menutup mulut lemes Salwa rapat-rapat. Yang awalnya ucapan Salwa tidak berefek apa-apa dan hanya dianggap angin lalu, tapi sekarang membuat Yasna membeku di tempat. Pikirannya mulai negatif, membayangkan hal buruk.

"Tidak, tidak!" tepisnya.

"Bagaimanapun juga, Gus Fahad itu pria dewasa. Dan hal yang kamu pikir ndak mungkin terjadi, bisa aja, kan? Dia juga normal, pasti pernah ngerasain rasa suka, cinta sama wanita. Bisa ke kamu, bisa juga orang lain."

"Kok kamu bilang gitu? Nakutin, ah."

Salwa tersenyum lembut, ia membelai punggung Yasna. "Ini hanya pendapat aku aja, lho. Kalo hubungan udah menuju serius, setan yang godain juga makin gencar buat hasut. Intinya, saling percaya. Tapi ya, percaya banget juga jangan harus ada rasa curiga."

"Iya, iya. Jangan menanggapi semuanya berlebihan. Itu maksud kamu, kan?" Tebakan Yasna membuat Salwa merenggkuh tubuhnya erat. Ia menepuk-nepuk punggung Yasna.

"Oh, iya. Satu pesantren pada heboh banget pas ada kabar Gus Fahad mau lamar kamu. Habis, deh, aku kena wawancara fans Gusmu itu. Lah, aku ndak tahu apa-apa langsung cengo."

Yasna tertawa lepas. Ia sudah menduga tentang hal itu. Siap tidak siap berita pertunangan dirinya dengan Gus Fahad akan menjadi topik hangat selama seminggu ke depan.

"Assalamualaikum, Mbak?"

Seketika ruangan hening melihat seseorang masuk. Yasna menoleh, begitu juga dengan Salwa.

"Waalaikum sallam. Ada apa?" Yasna buka suara.

Terlihat ragu-ragu, gadis berjilbab ungu itu urung bicara.

"Dea, ada apa?" tanya Yasna lembut. Ia tahu, gadis itu masih tergolong baru di sini, tiga bulan. Dan watak Dea yang memiliki mata belo memang pemalu. Harus dipancing dulu baru bersuara.

"Anu, Mbak. Hmmm ... Umi Dair berpesan kalau Gus Fahad mau pergi sekarang."

Kalau digambarkan seperti komik, pasti ada kilatan yang masuk ke dalam hati Yasna. Atau batu besar menghantam jantungnya sehingga merasakan nyeri di sana. Eh, tapi nggak berdarah, ya.

Aliran darah disekujur tubuh Yasna seolah membeku. Saat Salwa memegang telapak tangannya pun terasa dingin.

"Yasna, kamu ndak baik-baik saja, kan?" tanya Salwa, melambaikan tangan ke kanan dan kiri di depan wajah Yasna.

Yasna mengerjap beberapa kali. "Ah, aku baik, kok. Ya udah, aku mau ke ndalem dulu," pamitnya yang diiringi tatapan khawatir Salwa.

Jemari lentik nan putih saling bertautan sembari memainkan ujung jilbab. Kepala menunduk sembari berusaha memendung air mata yang ingin terjun bebas membasahi pipi.

Aku ndak boleh nangis. Pokoknya jangan.

Semua mata langsung tertuju pada Yasna begitu ia masuk ke ruang tamu dan duduk di lantai dengan kepala masih menunduk. Ia tadi sempat melirik orang-orang di sana. Ada Ning Tsani-Adik Fahad-Umi Dair, Abi Rasyid dan tentunya Fahad.

"Duduk di sini, Mbak Yasna." Ning Tsani menepuk-nepuk kursi di pinggirnya yang kebetulan kosong.

Yasna patuh. Ia bangkit dan duduk berdampingan dengan Tsani.

Ah, sungguh. Ia merutuki isi pikirannya yang sempat berfantasi aneh, membayangkan yang duduk di sebelahnya itu bukan Tsani, melainkan Fahad. Itu pun bukan di ruang tamu, tetapi di pelaminan.

"Mbak, harus ikhlas lepasin Masku kuliah. Dijamin, deh. Mas Fahad ndak bakal nakal di Mesir. Kalau pun iya, aku pasti jewer telinganya sampe buntung." Tsani. Gadis yang usianya tiga tahun lebih muda dari Yasna memeragakan gelagat orang memelintir kuping dengan gemas.

Abi Rasyid dan Umi Dair tak kuasa menahan tawa melihat tingkah putri bungsunya yang terkadang aneh-aneh. Begitu juga dengan Yasna dan Fahad. Yasna tersenyum cantik tanpa suara dan menutup mulut.

"Dek, kamu kalau berani jewer telingaku, awas aja. Nama kamu langsung Mas coret, ya, dari daftar nama penerima oleh-oleh," ancam Fahad membuat sang Adik memanyunkan bibir, entah berapa senti. Yang jelas, itu terlihat lucu dan menggemaskan. Ah, apalagi pipinya yang seperti bakpau.

"Sudahlah. Kalian kalau dekat begini, pasti ndak akur," lerai Umi Dair. Ia pun mengambil selembar tisu di meja lalu mengelap keringat di kening.

Pasangan kakak beradik itu langsung diam begitu umi mereka berujar. Lalu, suasana menjadi hening dan cenderung membuat Yasna canggung berada di antara keluarga Abi Rasyid.

Ia cukup lama terhanyut dengan isi pikiran yang negatif. Iya, negatif. Membayangkan satu ketakutan dalam diri Yasna tentang hubungannya ke depan bersama Gus Fahad. Ah, andai tadi dirinya dan Salwa tidak membahas hal itu, pasti semua pikirannya masih jernih.

"Yasna."

Kepala Yasna terangkat, lalu menoleh ke sumber suara. Ia terpaku begitu melihat Fahad tengah menatapnya sembari memamerkan sebuah senyuman yang bisa membuat Yasna meleleh seperti es batu.

"Mas pamit dulu, ya. Kamu baik-baik di sini, jaga kesehatan, rajin ibadah, ngaji dan...."

"Dan belajar jadi istri yang solihah kan, Mas?" sela Tsani yang langsung dihadiahi tatapan maut Fahad.

"Dan, ya, gitu pokoknya. Tuh, gara-gara kamu, Mas jadi lupa mau ngomong apa lagi, kan."

Tsani terkekeh melihat kakaknya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal.

"Iya, Mas." Sungguh, hanya itu yang keluar dari mulut Yasna. Sebenarnya, ia ingin bicara banyak, tapi tidak jadi karena kehadiran orang tua Fahad.

"Masa gitu doang, sih, Mbak?" tanya Tsani tidak terima.

"Dek, diam!" peringat Abi Rasyid. Mulut Tsani langsung terkatup rapat.

Setelah aksi menjulurkan lidah dengan Tsani, Fahad bangkit dan menghampiri pasangan suami istri yang biasa ia panggil dengan sebutan abi dan umi.

"Kalau begitu, Fahad pergi dulu, ya. Abi sama Umi jaga kesehatan di sini." Ia memeluk tubuh orang tuanya satu persatu bergantian.

"Kamu juga. Jangan kasyikan kuliah sampe lupa ngabarin kami di sini, juga calon istrimu, Fahad," pesan Umi yang langsung diangguki Fahad.

Ia mengambil tas ransel hitam kesayangannya dan berjalan ke luar rumah. Diiringi Umi Dair, Abi Rasyid, Tsani dan tentunya Yasna.

Semua barangnya sudah terlebih dahulu mendarat di Mesir. Jadi, hanya tersisa satu tas ransel dan itu yang dipakainya sekarang.

Satu buah mobil avanza warna hitam sudah siap di halaman rumah untuk mengantarkan Fahad ke Jakarta, ke Bandara internasional Soekarno Hatta.

Tangis tak kuasa lagi dibendung oleh dua orang wanita yang disayangi Fahad. Sedangkan Yasna? Ia masih mati-matian menggigit bibirnya agar butiran bening dari mata tidak turun. Yasna rasa, dirinya belum berhak menangisi orang yang berstatus sebagai calon suaminya. Belum halal, kan?

"Umi sama Tsani jangan nangis, ok? Aku jadi ndak tega ninggalinnya." Dengan tangan kekarnya, Fahad menghapus air mata Umi Dair dan Tsani bergantian.

Keduanya sama-sama memaksakan senyum. "Iya, Umi mau senyum aja kayak Abi kamu."

Mereka semua menatap Abi Rasyid yang sedari tadi hanya tersenyum dan tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Semua paham, di balik senyuman itu ada rasa tidak ikhlas melihat kepergian Fahad. Mungkin itu salah satu benteng agar tidak menangis.

"Umi, Abi, Tsani, titip Yasna, ya. Aku balik harus utuh."

Semua orang terkekeh, termasuk Yasna. Apalagi, pipinya sekarang memerah seperti tomat.

"Iya, siap."

Setelah dipikirnya cukup, Fahad pun menyalami satu persatu anggota keluarganya. Terkecuali Yasna. Ia hanya mengatupkan tangannya.

Ia lalu masuk ke dalam mobil dan tak lama pergi langsung meninggalkan halaman rumah keluarga Abi Rasyid.

Yasna langsung pergi tanpa sepatah kata pun. Ia tak sanggup lagi menahan rasa sesaknya sendiri. Gadis itu ingin menangis di kamar, sendirian.

***

Alhamdulillah, part baru bisa dipublish. Haha... lebih panjang dari yang sebelumnya.

Kira-kira, jadi nikah nggak, ya? Kok ikut deg-degan? Yeee, kalo nggak deg-degan pasti mati, dong. Haha (krik-krik) -_-

Selamat membaca, ya. Semoga suka. Dan jangan lupa buat komen dan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top