03-Lamaran
Yasna terduduk menghadap cermin sembari menatap pantulan wajahnya yang masih polos tanpa sentuhan make-up apa pun. Ia mendesah pasrah melihat alat-alat yang tidak diketahui fungsinya. Oh, ayolah. Yang Yasna tahu hanya pupur bayi, dan lipgloss.
Pokoknya Umi mau kamu cantik malam ini.
Gamis warna maroon cocok buat kamu.
Kata-kata umi tadi sore membuat kepala Yasna pusing. Iya, pusing. Seribet inikah acara pertunangan malam ini? Padahal dulu, sewaktu Mbak Maida dilamar Mas Ni'am tidak seperti ini.
Ia melirik jam dinding bergambar Doraemon, masih pukul tujuh, itu artinya keluarga Fahad akan segera datang dan acara khitbah Yasna bisa dilaksanakan.
Yasna menoleh begitu mendengar decitan pintu.
"Dek," panggil Maida setelah menutup pintu kamar rapat-rapat.
"Iya, Mbak. Ada apa?" tanya Yasna. Punggungnya menegak.
"Subhanallah, kamu cantik banget." Wanita dengan balutan gamis hijau tua dan hijab hitam berjalan menghampiri adiknya.
"Udah, deh. Mujinya berlebihan, Mbak."
Maida terkekeh melihat adiknya mengerucutkan bibir. Terlihat imut. "Tapi, kamu kurang cantik kalau belum dirias. Mbak bantu, ya?"
"Nggak percaya diri, Mbak," rengek Yasna.
"Kamu aja yang nggak biasa, Dek. Mbak lihat tas kamu, isinya cuma lipgloss, pupur bayi, hand body, cela mata, sama minyak wangi botolan aja. Kamu ini gadis dewasa atau anak SMP? Eh, anak SMP aja sekarang banyak yang suka dandan," celoteh Maida.
Tangan Maida mulai membuka hijab Yasna, lalu mengaplikasikan foundation ke permukaan pipi. Tidak terlalu tebal agar kelihatan natural, tetapi anggun.
"Eh, kamu tahu ndak. Fahad itu pas kelas 3 SMP pernah ngompol di celana, lho," ujar Maida sembari membubuhkan bedak dengan menepuk-nepuk pipi.
Mata Ayra membulat, terlihat lucu. "Masa, Mbak? Kenapa?"
Pensil alis warna cokelat Maida gunakan untuk membingkai alis Ayra yang agak tipis. Ia terkekeh mengingat kejadian entah berapa tahun yang lalu. "Awal Mbak di Ar-Risalah kan santrinya belum sebanyak sekarang, juga masih kecil. Deket banget sama Gus Fahad. Dulu, niatnya, sih, biar perut buncit hilang."
"Emang dulu Gus Fahad gemuk?" potong Yasna antusias.
Maida mengangguk. "Dibilang gemuk, sih, nggak. Cuma ya, perutnya agak buncit gitu. Hahaha."
"Terus, Mbak?"
Maida menyentuh kelopak mata Yasna agar terpejam. Dengan hati-hati, ia membuat satu garis di pelupuk mata menggunakan eyeliner supaya terlihat lebih tajam.
"Ya, kita lompat-lompat berdua di garasi. Siapa yang paling tinggi lompatannya, dia yang menang. Kita main itu sampai pukul 10 kalo nggak salah, deh. Salahnya lagi, kita malah mimum es. Capek, dia langsung pulang terus tidur. Eh, pas bangun langsung semuanya basah. Kasur, selimut, celana, baju. Mbak kaget banget pas Umi Dair manggil suruh ke ndalem. Eh, lihat Gus Fahad nangis di tepi kasur. Ya, Mbak ndak bisa nahan ketawa. Terus Umi nanya, kenapa? Mbak ceritain aja semuanya."
Yasna terkikik membayangkan Fahad kecil sesuai cerita sang kakak.
"Dan ... Mbak masih ndak nyangka sampai sekarang. Kamu ternyata jadi calon istrinya," lanjut Maida lagi berbarengan dengan selesainya sesi make-up.
Ia tersenyum tulus begitu melihat pantulan dirinya dan Yasna di cermin. Cantik.
Mata Yasna terbuka secara perlahan. Ia takjub dengan apa yang dilihatnya sekarang. Benarkah ini dirinya? Sungguh. Yasna memuji keterampilan Maida dalam megaplikasikan make-up.
"Tuh kan, kamu cantik banget, Dek."
Satu garis tercipta di bibir Yasna, matanya menyipit memerhatikan dirinya dari atas sampai bawah.
"Wah, anak Umi udah cantik," puji Umi Fara. Entah kapan wanita paruh baya yang mengenakan gamis tosca masuk ke kamar Yasna.
"Kalau bukan Maida yang rias, Dek Yasna nggak bakalan cantik gini, Umi," sahut Maida percaya diri.
"Percaya dirinya Mbak Mai ndak hilang, ya, Umi." Yasna terkekeh di akhir kalimat.
Umi Fara tersenyum hangat. Ia senang, bahagia melihat kedua putrinya yang kini sudah dewasa.
"Ya, biarin. Umi juga sewaktu muda kayak Mbak, lho. Ya, nggak?"
"Sudah, itu Umi kalian masih perawan. Kalau sekarang, yang ndak," timpal Umi Fara.
"Lha, itu percaya dirinya masih ada."
"Sudah, kita turun aja. Keluarga Fahad udah sampe," lerai Umi Fara menggandeng lengan kedua putrinya.
Begitu mendengar kabar keluarga Fahad sudah datang, jantung Yasna kembali bekerja lebih keras. Keringat dingin keluar dari telapak tangannya, yang langsung disadari Umi Fara.
"Kamu jangan gugup gitu, Dek. Rileks, ok?" tutup Umi Fara menenangkan.
***
Langkah Yasna ia bawa seanggun mungkin ketika keluar dari kamar. Ia menggenggam tangan Umi Fara dan Maida dengan erat. Degup jantungnya tidak bisa ia atur, apalagi ketika mata yang sedari tadi fokus menatap lantai tak sengaja berhenti di satu titik, yaity Fahad.
Bisik-bisik tentang pujian betapa cantiknya Yasna malam ini tak sengaja ia dengar dari rombongan Fahad. Gadis itu semakin tersipu, apalagi sekarang menjadi objek utama semua orang yang hadir di ruang tamu.
"Nah, ini dia yang kita tunggu. Gimana, Fahad? Seperti bidadari, kan? Kamu aja sampai bengong lihat Mbak Yasna," canda Abi Rasyid. Baik Yasna atau pun Fahad, keduanya menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipi masing-masing.
Semua orang tergelak mendengar gurauan Abi Rasyid. "Ini bukan produk gagal, Abi. Fahad tak akan menyesal pokoknya," sahut Abi Syarif-Ayah Yasna-membuat semua orang tertawa lagi.
"Tentu saja. Kan aku yang memilih anakmu ini untuk jadi mantu. Cocoklah," timpal Abi Rasyid lagi.
Setelah aksi canda gurau antara calon besan, Abi Syarif selaku tuan rumah memberi isyarat pada Hamdan selaku Mc untuk membuka acara malam ini.
Tak ada yang meriah seperti acara kebanyakan orang. Hanya mengundang sanak saudara dan tetangga sekitar saja. Kue-kue yang ada di toples dan berjejer di depan para tamu pun seadanya saja. Itu sesuai permintaan Yasna yang menginginkan semuanya tampak sederhana.
"Ini cuma lamaran, bukan nikah. Belum tentu jadi juga, kan?"
"Jangan ngomong gitu. Kamu ngarep ndak jadi nikah sama Fahad?" tanya Umi Fara.
"Ya, bukan gitu. Maksudnya, buat apa mewah. Baru lamaran, nanti aja nikahan baru mewah. Semewah apa pun terserah," tutup Yasna. Ia langsung pergi ke dapur untuk melihat kue yang di oven sudah matang atau belum.
"Tangan kamu dingin banget, Dek," bisik Maida di telinga Yasna yang langsung dijawab dengan gelengan kepala.
"Santai aja, jangan grogi gitu," tegur Maida lagi.
"Kalau maunya Yasna, sih, gitu. Tapi ini tangan ndak bisa diajak kompromi, Mbak. Gimana, dong?"
Maida langsung menutup mulutnya rapat-rapat menahan tawa begitu melihat ekspresi wajah Yasna yang polos.
"Jangan ngobrol terus," tegur Umi Fara. Jari telunjuknya ia sengaja tempelkan di ujung bibir.
"Kalau begitu, kita tanyakan langsung pada Mbak Yasna, ya," ujar Mas Hamdan.
Wajah Yasna berubah tegang begitu semua mata tertuju padanya. Ia sama sekali tidak mendengarkan MC memandu acara malam ini.
Sikut Maida menyenggol pelan, membuat si korban menoleh dan memberikan tatapan seolah bertanya 'ada apa?'
"Ah, sepertinya Mbak Yasna kurang fokus. Kita ulang lagi," ujar Mas Hamdan.
Yasna tersenyum kikuk. Setelahnya, ia menatap Fahad yang malam ini mengenakan setelah koko putih dan jas hitam.
"Yasna, bersediakah menerima pinanganku?" tanya Fahad sungguh-sungguh.
Diam. Bibir Yasna bungkam. Ia tak suka jadi pusat perhatian seperti ini.
"Dek?" panggil Maida, menyadarkan Yasna.
"Ah, eh. Hmmm... iya, Mas. Saya terima lamarannya." Jawaban Yasna mengundang senyuman semua orang.
"Alhamdulillah. Kalau begitu, Mas Fahad bisa maju, terus pakein cincinnya."
Fahad, ia maju beberapa langkah mendekati Yasna sesuai instruksi dari Hamdan. Sejak tadi, tangannya sudah menggenggam kotak merah berbentuk hati yang kini dibukanya di hadapan Yasna.
"Ayo, Mbak Yasna. Keluarin tangan kirinya." Hamdan memberikan instruksi lagi.
Dengan ragu, tangan kiri Yasna yang sedari tadi tersembunyi di balik hijabnya ia keluarkan.
Bibir Fahad melengkung mencinptakan satu senyuman di hadapan Yasna, membuat gadis itu seakan kehabisan pasokan oksigen di ruang tamu. Apalagi, saat tangan kekar Fahad menyentuh miliknya.
Hangat, pikir Yasna. Pipinya memerah seperti tomat masak, mengundang senyuman dari semua orang yang hadir.
"Gimana, Nak? Cincinnya pas?" tanya Abi Rasyid begitu cincin emas melingkar sempurna di jari manis Yasna.
"Longgar banget, Abi," sahut Yasna seraya tersenyum kikuk.
Semua orang tak bisa menahan tawa, termasuk Fahad. Ia menggumamkan kata maaf sembari berusaha menyudahi tawanya yang dibuat tidak bersuara.
Pipi Yasna memerah lagi. Apalagi melihat wajah tampan Fahad dalam jarak sedekat ini, membuat hayalannya bertambah tinggi. Tetapi, segera ia tepis.
"Makasih," gumam Yasna yang hanya bisa didengar oleh Fahad. Jarak mereka sangat dekat, hanya terpaut tiga puluh senti.
Abi Rasyid beringsut mendekati pasangan yang baru saja meresmikan hubungan ke jenjang yang lebih serius.
"Kemarikan tangan kalian berdua."
Abi Rasyid menggenggam lengan keduanya menjadi satu. "Pejamkan mata kalian dari pandangan yang tidak seharusnya dilihat. Tutup telinga dari hal yang tidak patut untuk di dengar. Saling percaya dan jaga kehormatan." Begitu jampi-jampi Abi Rasyid pada Yasna dan Fahad yang langsung diangguki.
Semua orang mengangkat kedua tangan, begitu Mas Hamdan mempersilakan Abi Syarif memimpin doa untuk kelangsungan hubungan mereka ke depan.
Acara yang sederhana tapi cukup sakral ini dititup dengan makan-makan. Semua orang tampak sibuk dengan obrolan masing-masing. Sedangkan Yasna? Gadis itu sibuk memandangi jari manisnya yang kini terhiasi cincin dengan model simpel.
Fahad terduduk di antara umi dan abinya. Sejak tadi, ia tak henti tersenyum dan memuji ciptaan Allah yang kini menjadi calon istrinya.
Ini bukan mimpi, tapi nyata. Tunggulah aku dua tahun lagi, Sayang, gumamnya dalam hati.
***
Alhamdulillah, akhirnya bisa update hari ini. Setelah merenung panjang, dan jadilah sesuai yang dibaca.
Jangan lupa, vote dan komen. 😊
Makasih 🙏💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top