01-Ultimatum
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak ...."[An-Nisâ:36].
***
Suara bariton terdengar begitu merdu ketika mengalunkan ayat-ayat Al-Quran di ruang tamu bergaya minimalis. Ia terduduk sembari menghadap ke pintu utama. Hanya ada dirinya dan kedua malaikat yang senantiasa mencatat amal baik buruknya.
Fahad. Pria berkoko hitam dengan aksen bordir di dadanya menutup Al-Quran lalu mengembuskan napas pelan. Mata yang terhalangi kacamata minus, memejam beberapa saat menikmati embusan angin malam dari balik jendela yang sengaja dibuka.
"Mendung sejak tadi sore, tapi ndak turun hujan. Gerahnya, Ya Allah." Selembar kertas yang tergeletak di meja, ia kibas-kibaskan di sekitar leher.
Mata Fahad terbuka begitu mendengar suara mobil terparkir di depan rumah. Ia hafal, itu milik Abi-nya, Abi Rasyid.
"Assalamualaikum?" ucap pria paruh baya ketika memasuki ruang tamu.
"Waalaikum sallam." Fahad bangkit, lalu mencium tangan Abi Rasyid penuh hormat.
Ia duduk kembali setelah pria dengan sorban hitam tersampir di bahu kanan bersandar di kursi, berhadapan dengannya. Firasat Fahad berkata tidak enak begitu melihat ekpresi wajah Abi Rasyid tidak seperti biasa. Keriput di wajahnya begitu kentara saat diam sembari menatap tajam Fahad. Sorot mata yang biasa lembut, berubah menajam bak mata elang.
Sebelum membuka suara, Fahad menelan salivanya kasar. "Abi, apa Fahad melakukan kesalahan?" tanyanya hati-hati.
Hendak menjawab, bibir Abi Rasyid terkatup lagi begitu melihat seorang wanita dengan balutan mukena putih datang menghampiri, lalu ikut duduk.
"Abi baru pulang?" tanya wanita itu yang tak lain istri Abi Rasyid, Umi Dair.
Abi Rasyid memilih memalingkan muka dari istrinya, kembali menatap Fahad seperti semula. Rahang mengeras, sorot mata tajam, dan tangan mengepal kuat di pegangan kursi yang terbuat dari jati.
Fahad menundukkan kepala. Ia tak berani untuk sekadar menatap abi-nya dalam situasi sekarang. Pasti ada kesalahan dalam diri Fahad sehingga pemimpin pondok pesantren Ar-Risalah itu berusaha menahan emosi.
"Abi?" panggil Umi Dair sembari mengelus punggung tangan suaminya halus.
"Kalau Fahad melakukan kesalahan, utarakan saja. Jangan dipendam seperti ini, Abi. Kasihan Fahad, Umi juga takut," lanjutnya lagi.
Setelah diam cukup lama, Abi Rasyid pun membuka suara. "Siapa wanita yang bernama Mayatasya?" tanya Abi Rasyid dengan nada tinggi. Mata memelotot tajam seperti akan keluar dari tempatnya.
Mata Fahad membulat begitu mendengar nama satu orang wanita yang ia kenal keluar dari mulut Abi Rasyid. Jantungnya berdebar dengan kencang.
"Jawab, Muhammad Fahad Wafiq!" bentak Abi Rasyid. Bahkan, ia sampai berdiri dan menunjuk tepat di depan wajah sang anak.
"Jawab, Nak," titah Umi Dair lembut. Ia pun memaksa tubuh suaminya untuk duduk lagi. Berbisik di telinga Abi Rasyid agar tenang.
Kerongkongan Fahad terasa kering. Ia butuh air. Iya, air. Nihil. Di meja tak ada satu gelas pun. Kalau Fahad memiliki pintu ajaib seperti Doraemon, ia ingin pergi ke tempat di mana hanya ada kedamaian. Kalau ada karpet terbang seperti milik Aladin, pria berkumis tipis itu ingin terbang di langit meninggalkan abi-nya yang tengah marah.
"Fahad," panggil Umi Dair dengan lembut.
Fahad mengembuskan napas pasrah. Ia yakin, tanpa dijawab pun, abi-nya pasti sudah tahu siapa Maya. Ingin terus bungkam, tetapi itu hanya akan membuat Abi Rasyid semakin marah. Menjawab pun, sama saja. Maju kena, mundur kena.
Dengan jantung yang berpacu lebih cepat, ia menjawab, "Kenalan Fahad, Abi."
"Kenalan? Oh, jadi kenalan itu kalian duduk berdua di depan cafe, tertawa dengan keras seperti orang yang tidak punya akhlak," tutur Abi Rasyid sarkas.
Fahad menelan ludahnya sekadar membasahi kerongkongan yang kering kerontang. Entah efek haus, atau situasi.
Udara malam yang panas terasa semakin panas begitu Abi Rasyid mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam tas, lalu dibanting ke meja dengan muka merah padam. Entah setan apa yang merasuki sosok lembut seperti Abi Rasyid. Kali ini, pria berusia enam puluh itu diluar kendali.
Umi Dair tercengang melihat siapa yang berada di dalam foto. Putra sulungnya yang mengenakan kaus biru dibalut kemeja kotak-kotak senada dan jeans tengah duduk berhadapan dengan seorang wanita tanpa hijab dan celana selutut. Kerah baju si wanita sengaja terbuka dan menampilkan bahu putih yang mulu. Keduanya tampak tertawa lepas.
"Ini yang kamu sebut teman, hah?" Ada jeda sebelum Abi Rasyid melanjutkan lagi. "Kamu suka sama dia, kan? Wanita itu, kan?"
Kepala Fahad mendongak menatap Abinya kaget. Tak tahu harus kerkata apa, karena ia mengakui apa yang dikatakan Abi Rasyid itu benar. Fahad memang merasa tertarik dengan wanita bernama Maya.
Ia bukan tidak mampu mengutarakan isi pikirannya saat ini kalau bukan yang dihadapi Fahad adalah Abi Rasyid. Sungguh, pria itu sangat menghormati sosok lemah lembut penuh kharisma seorang Kiai.
"Kata Abi-mu benar, Nak?" Ada nada kecewa yang terdengar dari bibir Umi Dair.
Bukan menjawab, Fahad bersimpuh di lutut Umi Dair. Tangannya menggenggam erat lutut yang semakin tua itu. Sungguh. Ia tak kuasa melihat tatapan teduh itu berubah kecewa. Apalagi, ada butiran bening di pelupuk mata.
Abi Rasyid hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Ia berusaha mengembalikan kesadaran yang sempat terkubur oleh emosi. Sesekali terdengar nama Allah keluar dari mulutnya. Jam dinding tua sebelah kanan menjadi daya tarik bagi Abi Rasyid ketimbang pemandangan antara ibu dan anak.
"Umi, maafin Fahad." Ia terus mengulang kalimat itu berulang kali, membuat Umi-nya terdiam. Berusaha menahan air mata agar tidak terjatuh bebas ke pipi yang semakin keriput dimakan usia.
Setelah dirasa emosinya memudar, Abi Rasyid bersuara lagi. "Menikahlah dengan seorang santri di sini, dan lupakan wanita itu." Nadanya lebih rendah, meski terkesan memaksa.
Suara petir di luar sana, seperti ada di dalam hatinya. Kepala Fahad terangkat, lalu menoleh ke arah Abi Rasyid.
Apa telinganya tidak salah dengar? Tidak segampang itu dalam persoalan menikah, apalagi menentukan calon pendamping hidup. Dan lagi, santrinya? Hanya bisa dihitung jari santriwati yang Fahad kenal.
Fahad sudah menebak jauh-jauh hari keputusan Abi Rasyid perihal masa depannya. Apakah sudah menjadi budaya di Indonesia untuk seorang anak pemilik pesantren menikah dengan orang yang dipilihkan orang tua? Padahal, sewaktu ngaji di Mranggen dulu, ia sempat membaca di kitab Fathul Mu'in perihal menentukan calon pendamping.
Tertera bahwa yang bisa dimujbir itu adalah anak perempuan, anak laki-laki tidak bisa. Bahkan, wanita dinikahkan tanpa izin darinya pun sah-sah saja. Berbeda dengan wanita yang pernah menikah.
"Fahad," panggil Abi Rasyid.
Yang namanya dipanggil terhenyak dari lamunannya. Ia menatap lamat-lamat sosok Abi Rasyid yang penuh kharisma, apalagi dengan balutan gamis putih dan jas hitam. Sorot mata yang semula tajam, penuh amarah, emosi, menguap entah ke mana.
"Jauh-jauh hari, Abi sama Umi sudah mempertimbangkan hal ini. Perihal rencana S-2-mu, Abi ingin memilihkan calon yang tepat untuk dijadikan istri. Dan setelah lulus, kamu langsung menikah. Satu minggu penuh, setiap malam Abi salat istikharah. Bertanya pada Allah siapa kiranya yang cocok jadi menantu. Wajah seorang gadis yang memang Umi-mu harapkan muncul seraya tersenyum.
"Abi yakin, itu jawaban dari Allah bahwa wanita itu yang terbaik untukmu."
Wajah Umi Dair mendadak tersenyum memandangi Fahad yang bertanya-tanya. "Yasna. Umi ingin, dia yang jadi istri kamu, Nak."
Begitu mendengar nama Yasna, isi pikiran Fahad langsung tertuju ke wajah seorang wanita tengah tersenyum memamerkan lesung pipi dan gigi gingsul. Terkesan imut dan manis. Apalagi kulit langsatnya yang menambah kesan ayu.
Sekilas, bibir Fahad mengulas senyum tipis. Hatinya menghangat. Ah, kalau boleh jujur, sejak lama ia mengagumi sosok yang menjabat sebagai wakil roisah itu. Kalem dan dewasa.
Saat Fahad sedang di rumah, libur kuliah, sesekali matanya menangkap sosok Yasna melewati depan rumah ketika pergi ke kelas. Atau pun saat gadis itu keluar masuk rumahnya di waktu piket masak.
"Bagaimana?" Pertanyaan Abi Rasyid dan Umi Dair yang bersamaan, membuyarkan lamunan sesaat Fahad. Ia gamang antara ingin menolak dan menerima.
Saat wajah Maya terlintas, ia ingin menjawab tidak. Tetapi, ketika wajah dua orang yang ia sayangi seolah memohon, ditambah dengan wajah seorang gadis bernama Yasna terpampang jelas di memorinya, jiwa Fahad seolah ingin berkata iya.
Seolah mengerti, Umi Dair berusaha menguatkan Fahad. "Kamu tahu, Fahad? Allah memerintahkan kita untuk untuk menikah dengan orang yang baik menurut pandangan kita. Baik dari segi fisik, keturunan, atau apapun yang menonjol. Dan lagi, baik menurut Allah. Allah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk kita, maka dari itu kita tanyakan melalui istikharah.
Atas petunjuk dari Allah lewat Abi, bahwa Yasna yang terbaik untuk kamu menurut-Nya. Pendapatmu tentang dia bagaimana? Pasti bagus, kan?"
Wajah Fahad menunduk sembari menyembunyikan senyumannya.
"Abi anggap, diammu sebagai tanda setuju," putus Abi Rasyid, tak ingin menerima penolakan. Dan ia yakin, putra sulungnya tak akan membantah atau mengelak lagi.
"Baiklah. Fahad mengikuti kemauan kalian kalau itu yang terbaik." Fahad bersuara.
Setelahnya, Abi Rasyid meninggalkan ruang tamu menuju kamar tanpa satu patah kata. Mungkin, ia terlalu lelah setelah melakukan perjalanan jauh ke Semarang untuk berdakwah di atas panggung. Disusul Umi Dair sembari bibirnya menggumamkan Ayat-ayat Allah yang ia hafal, meneruskan deresan yang sempat tertunda.
Fahad mendesah frustrasi. Ia sendiri bingung kenapa bisa jatuh cinta untuk kedua kalinya pada Maya? Sedangkan sekarang, abi-nya ingin Fahad menikah dengan Yasna, gadis yang sempat mencuri perhatiannya.
"Ah, sesulit ini memutuskan seorang pendamping?"
***
Hai ... hai ....
Aku balik bawa cerita baru. :) Masih seperti cerita sebelumnya, genre romance-islami. Semoga suka, ya :) Jangan lupa vote dan komennya. Dan satu lagi, insyaallah cerita ini akan publish setiap Rabu-Sabtu. Jadi, masukin ke perpustakaan atau reading list, ya. :)
Syukron katsir :)
Ratih Rahma
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top