Merchiano
Ada yang pernah tahu seberapa maniaknya Merchiano Nayu pada wafer? Tentu saja banyak! Banyak yang tahu.
Gadis itu setidaknya punya tiga bungkus wafer dengan berbagai rasa dalam ranselnya. Kemanapun dia pergi sudah pasti wafer akan dia bawa. Wafer bagi gadis yang biasa dipanggil Yu itu sama pentingnya dengan gadget. Ah bahkan tidak masalah baginya kalau gadget ketinggalan dibanding wafernya yang ketinggalan.
Yu membeli wafer bukan per bungkus lagi, tapi sudah per kardus dengan rasa yang berbeda pula. Tapi yang paling sering gadis itu beli rasa Vanilla, Cheese, Chocolate, Strawberry, dan Matcha.
Pagi ini Yu membuka bungkus wafer Vanillanya di ruang keluarga, suara pekikan TV tidak membuat Yu mengalihkan atensinya pada wafer, padahal TV lah satu-satunya yang meramaikan suasana rumah ini.
"Non, masa ya tadi saya dikejar-kejar sama angsa!" Asisten rumah tangga bercerita kala Yu baru saja menelan gigitan pertama dari wafer putihnya.
Tawa berderai dari mulutnya, "Kenapa bisa, buk?" suara tawa renyah itu menyenangkan untuk didengar siapapun.
Bahkan sang ART yang sisa-sisa ngos-ngosannya masih ada ikut tertular tawa Yu. Ah, itulah satu dari beberapa persamaan seorang Merchiano Nayu dengan wafer. Renyahnya wafer menggambarkan renyahnya tawa Yu.
"Enggak tahu non, ibuk jalan kayak biasa. Eh tiba-tiba ada dua angsa yang nyosor aja ngejar ibuk."
Tawa geli masih bermain di bibir Yu, bungkusan wafernya ia pegang di tangan kiri, sedang tangan kanannya mengambil alih kantung belanjaan dari genggaman wanita berumur akhir tiga puluhan itu, kemudian Yu membawanya ke dapur. Wanita itu tersenyum senang.
Sikap Yu memang manis, semanis wafer-wafer miliknya.
"Ibuk, hari ini tolong masaknya agak banyakan ya."
"Loh, emangnya nyonya pulang hari ini, Non?"
"Belum, setelah reuni kantor mama mau lacak kasus adik dua hari ini."
Selepas memakan nasi goreng dan menenggak segelas air mineral Yu berangkat ke sekolah. Ransel kecil berwarna wheat melekat manis di punggungnya, isinya hanya satu buku tulis, kotak pensil, ponsel, dan wafer-wafer.
Yu bukannya malas, tapi karena hari ini adalah hari Batik Nasional dan sekolah mengadakan event, jadi tidak ada yang namanya kegiatan belajar mengajar. Itu juga sebabnya dia berjalan santai menuju halte padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh pagi.
Tentu saja Yu mengenakan batik. Batiknya terpadu dari tiga warna; lavender, cokelat, dan putih.
"Nayu!" Dari jauh Rosa melambai girang, gadis itu mengenakan batik merah bercorak putih, ia berjalan cepat menghampiri Yu.
Sedikit lagi Rosa hampir berada di sisi Yu ketika Akarim datang lalu dengan sengaja menepuk ransel Yu agak kuat. Yu tidak sempat menghindarinya, dia hampir terjatuh, namun selagi Akarim tertawa Yu tanpa sadar memeluk ranselnya erat.
"Dasar maniak," kata Akarim ringan. Gadis itu mengedip singkat dan tertawa jenaka sambil berjalan pergi.
"Nayu, lo itu...," Rosa menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal, "sampai kapan sih Yu?"
"Sampai jumpa lagi?" Yu malah membalas ngasal, cengiran pun tidak luput menempel di wajahnya.
Rosa mengerutkan hidung, "Gini aja deh, gue bantu ngabisin wafer lo sebelum ketemu sama kawan-kawannya si Rim."
Yu menggeleng tegas, "Gue enggak takut, enggak."
Rosa sedang ke toilet, dan gadis itu meminta Yu menungguinya sampai selesai. Maka di sinilah Yu berdiri, di lorong menuju toilet. Satu tangannya menggenggam tali ransel, sedang matanya mengamati tiap-tiap orang yang lewat.
Yu tidak tahu siapa gadis itu, namun melihat wajahnya yang kikuk, pakaian putih abu-abu dan bukannya batik yang ia kenakan. Yu menyimpulkan kalau gadis itu anak baru.
Karena melamun dia tidak sengaja mejatuhkan lolipop dari tangannya, "Yahh," desah gadis itu kecewa, sebab lolipop itu tidak berbungkus lagi, sudah dijilatnya beberapa kali.
Yu yang bersandar di dinding bergerak cepat. "Jangan dimakan lagi, udah kotor," katanya tiba-tiba membuat si anak baru itu terkejut bukan main.
"E-eh, ini mau dibuang kok k-kak, bukan dimakan," jawabnya gugup.
Menghela napas pendek Yu menurunkan ranselnya, mengeluarkan satu bungkus wafer rasa coklat. "Ini gue ganti sama wafer, lolipopnya langsung dibuang ya."
Si anak baru menerima dengan sungkan, mengangguk berterimakasih sambil cepat-cepat membuang lolipop itu ke tong sampah terdekat. Jujur saja dia agak terkesima menerima perlakukan barusan.
Lengan Yu tiba-tiba saja ditarik, sekitar langkah ke sepuluh Rosa mencecarnya dengan pertanyaan, "Lo ngapain? Dia siapa? Kok megang wafer?!"
"Gue enggak kenal, sepertinya sih anak baru."
Notifikasi demi notifikasi dari ponsel menginterupsi Rosa untuk menyelidik Yu lebih lanjut, dan Yu beryukur karena itu. Begitu sampai di kelas Yu langsung duduk di bangkunya paling pojok samping jendela.
Satu bungkus wafer sudah terletak cantik di atas meja, sedang mulut Yu mengunyah satu demi satu wafer menikmati manis yang menyentuh lidah dan langit-langit mulutnya.
"Bisa enggak gue di sini aja?" pinta Yu kala bel berdering. Yu meletakkan sebelah sisi kepalanya pada lipatan tangan di atas meja menatap jendela.
Rosa mengerjap, "Nanti kalau ada yang nanya? Atau ada yang aneh-aneh sama lo di sini gimana?"
Yu memejamkan matanya, menghirup aroma wafer di sampingnya. "Gue aman, Ros," balasnya pelan.
"Oke, tapi semisal nanti kita enggak sempat ketemu lagi, lo ingetkan kalau hari ini gue nginap di rumah lo sama kembaran gue? Ortu lagi nugas soalnya."
Di sela-sela tidurannya Yu tersenyum, "Banget. Lo udah ingetin gue dari lusa lalu kalau lo mau tahu."
"Ha ha ha, iya yaa. Oke deh gue cabut," nada geli tersemat dalam kalimat Rosa.
"Eh, lo sejak kapan di sini?!"
Yu bingung, dia menegakkan tubuh, dipikirnya pertanyaan itu untuknya. Tapi sosok lelaki di depan pintu membuat Yu langsung mengerti. Hidego kembaran Rosa ada di sana, mereka berbincang sebentar kemudian beranjak pergi menuju aula mengikuti acara.
Lagi-lagi Yu memakan wafernya sampai tandas. Meskipun maniknya tertuju pada pemandangan di luar jendela, tapi tatapan mata Yu kosong, sekosong bungkusan wafernya. Gadis yang hari ini mengikat setengah rambutnya menghela napas berat, sudah sekitar satu setengah jam lebih dia berdiam dalam kelas.
Yu berjalan turun, dia mau pulang. Siang itu halte kelihatan sepi, Yu mengeluarkan wafer terakhirnya, untungnya masih sisa satu bungkus lagi yang akan menemani perjalanan pulangnya.
Hidego membisu, dia tidak melakukan apapun saat Pasha merebut wafer Yu –teman kembarannya— melemparnya pada Akarim bolak-balik, setelah puas bermain Pasha dengan kelewat santai sengaja menginjak wafer Yu.
Nayu tidak melakukan perlawanan, gadis itu tetap pada duduknya, diam tak berkutik.
"Makan tuh cewek wafer!"
Bisa saja Hidego menegur kedua orang itu, tapi tidak dilakukannya meskipun posisinya sangat memungkinkan.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Nayu, gadis itu bukan jenis gadis pencari masalah. Dia gadis yang baik, ramah, dan suka memberi pertolongan. Hanya satu keanehannya, Nayu seaddict itu pada Wafer.
Weird Nayu, beberapa orang memang menganggap Nayu semenyebalkan itu. Mungkin mereka iri, sebab Nayu gampang sekali disukai lingkungan sekitarnya.
Siang itu Hidego memahami satu hal bahwa hati Merchiano Nayu sama persis seperti wafernya, rapuh dan mudah remuk.
Rosa bersama kembarannya tiba di rumah Yu ketika waktu menunjukkan pukul tujuh malam lewat sedikit.
"Kalian udah makan?"
"Eh, jangan repot-repot, kita udah makan kok!" tukas Rosa seraya mengikuti langkah Yu.
Ternyata Yu memimpin mereka menuju ruang makan, "Tapinya sudah disiapin," tuturnya singkat, namun membuat Rosa dan Hidego tak kuasa menolak tawaran.
Ruang makan Yu ada dalam kategori sederhana, yang membuatnya agak berbeda hanyalah lemari bar di tengah-tengahnya, menciptakan nuansa vintage.
Hidego tidak kunjung duduk. Yu yang melihat arah pandang laki-laki itu menipiskan bibir berusaha tersenyum, "Gue punya banyak, jadi enggak usah dipikirin yang tadi siang," ungkap Yu menatap lurus kardus-kardus wafernya seraya membuang napas berat.
Rosa menatap kembarannya bingung, lalu ganti menatap Yu yang kelihatan sama enggannya untuk menjelaskan kalimat ambigu itu.
Makan malam berlangsung tenang, mereka menceritakan banyak hal, bercanda dan membahas hal-hal unik hingga sampai ke pertanyaan yang membungkam tawa Yu seketika.
Hidego tidak sadar ketika kata demi kata itu keluar dari mulutnya, ingin rasanya ia menarik kalimat barusan dan menggantinya dengan pertanyaan yang jauh lebih baik, ketimbang, "Apa sih enaknya wafer?"
Bola mata Yu sedikit bergetar, dia membuang arah pandang. Lama sekali kesunyian menyergap hingga Yu membuka mulutnya perlahan, "Renyah dan manis."
"Gue berharap perjalanan hidup gue terdengar serenyah wafer, dan manis seperti rasanya, apa itu salah?"
Si kembar menggeleng tanpa sadar.
"Realitanya, supaya lo ngerasain manisnya wafer, dia mesti remuk dulu kan di mulut? Waktu remuk itu dia terdengar renyah, itu, itu poinnya."
"Emang apa yang buat lo remuk?" Entah datang dari mana keberanian Rosa malam itu, padahal Hidego sudah menyikutnya.
Yu tertawa, tawa yang awalnya terdengar sumbang. Yu menatap Rosa dan Hidego yang balas menatapnya amat serius, mau tidak mau Yu tidak bisa mengelak.
"Adik gue hilang sejak empat tahun lalu."
Malam itu, sebelum mereka semua beranjak tidur Hidego melemparkan satu pertanyaan pada Yu. Pertanyaan yang membuat Hidego gelisah jika tidak mengutarakannya.
Hidego menatap Yu dalam, "Kalau lo diberi satu kesempatan buat ngomong langsung kepada semesta. Apa yang bakal lo utarakan?"
"Merci."
"Merchi? Nama lo?" potong Rosa tidak sabaran."
Yu menggeleng sekali, menghirup napas lalu memulas senyum kecil. "Terimakasih, merci. Karena gue masih bisa bertahan sampai hari ini."
A/n:
Merci, buat semua yng sudah membaca^^ Nyadar kok aku tuh kalau cerita yng lain masih rampung. Tpinya ide ini tidak mau pergi dari kepalaku, minta ditulisin masaaa:)) baru deh agak rileks sedikit kepala saya*ngakaksohard
Byebye! Sampai ketemu di short story berikutnya*ehh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top