5. Sang Laila
Jessa akhirnya berada di sini, di rumah sakit elit swasta yang memiliki fasilitas internasional. Sitama Hospital bukan milik keluarga Tatum, tapi masih dimiliki oleh kerabat Zeke. Itulah sebabnya tidak sulit bagi Zeke untuk meminta akses tercepat untuk anak mantan istrinya.
Ah, mengenai mantan istri Zeke. Laila memang tidak mendapatkan anak dari Zeke, melainkan dari pria lain yang sekarang entah dimana keberadaannya. Setahu Jessa, suami Laila yang sekarang belum mati, jadi seharusnya tanggung jawab mengurus anak Laila adalah pria yang menjadi suaminya, kan? Bukan malah Zeke yang tidak memiliki ikatan darah apa pun dengan anak itu.
Begini, nih, kalo perceraian hasil dari orangtua yang memaksa. Iya, Laila yang selingkuh hingga hamil anak pria lain membuat Zeke dipaksa orangtuanya untuk menceraikan wanita itu. Sebenarnya, saat mendengar kabar ini, Jessa juga bisa memahami apa yang orangtua Zeke rasakan. Siapa yang akan rela melihat salah satu putra mereka menanggung seorang bayi yang jelas-jelas bukan darah daging Zeke? Namun, yang namanya cinta memang membutakan Zeke. Dia terpaksa bercerai dan kini masih saja bucin dengan Laila yang sudah memiliki keluarga sendiri.
Jessa memutuskan untuk ke kantin setelah memberitahu Zeke yang serius bicara dengan Laila. Dia tidak berharap menyaksikan langsung kekompakan pasangan yang seharusnya menjadi keluarga kecil itu.
"Hai, Jess. Boleh saya duduk di sini?"
Jessa terkejut karena Laila-lah yang mendatangi mejanya, bukan Zeke.
"Oh, Bu Laila. Silakan, Bu."
Jessa mengamati apakah Zeke akan mengikuti wanita itu atau tidak, tapi melihat Laila yang sendirian menunjukkan bahwa memang wanita itu hanya sendiri mendatangi Jessa.
"Anaknya nggak ditungguin, Bu?" tanya Jessa.
"Zake yang nungguin," ucap Laila dengan pipi merona.
Kenapa juga dia salah tingkah sendiri? Bayangin apa, sih, nih perempuan?
"Saya nggak tahu kalo kamu akan nemenin bos kamu sampai ke sini, loh, Jess. Bapak makin ribet, ya? Dia pasti makin bikin kamu kesusahan. Tugas kamu pasti nambah semenjak saya nggak ada."
Bagi Jessa, semua itu sudah biasa. Karena, gila aja gue ngeluh, udah tujuh tahun hafal kelakuan Zeke, terus makin terbiasa tiga tahun berasa kayak istri penggantinya. Menurut Jessa, ucapan Laila ini terlalu berlebihan. Wanita ini terlalu percaya diri dalam mengungkapkan kalimat semacam ini. Nyatanya Zeke tidak apa-apa tanpa wanita itu. Yang tidak baik-baik saja mungkin hanya perasaan pria itu. Namun, yang namanya perasaan tidak akan bisa dilihat oleh orang lain. Selebihnya, Zeke sangat baik, sehat luar dalam. Jessa bisa memastikan bahwa segala kebutuhan pria itu tidak kurang sama sekali, karena Jessa yang mengaturnya sendiri.
"Eh, ya begitulah, Bu. Ini aja ada tugas satu minggu yang belum selesai. Saya disuruh selesaiin, tapi saya nggak sangguplah. Makanya mau nggak mau kerjain bareng aja sekalian biar saya nggak ribet nyocokin jadwal."
Laila tampak tersenyum manis, sudah jelas membayangkan sosok Zeke yang gagah dalam balutan jas dan serius bekerja. Ingin sekali Jessa memberikan peringatan pada mantan istri Zeke ini, bahwa tidak seharusnya wanita itu terlalu peduli pada Zeke, harusnya Laila sibuk mengurus keluarga kecilnya sendiri dan menyuruh suaminya yang sekarang mengurus seluruh kebutuhan anak mereka. Namun, Jessa mengingatkan pada diri sendiri bahwa dia tidak lebih penting dari mantan istri Zeke ini.
"Gimana Zake bisa cari sekretaris pribadi yang lain kalo kamu sebegini bagusnya dalam bekerja, Jess. Kamu bisa diandalkan, bahkan sangat peduli dengan kondisi yang anak saya alami."
Hm? Gimana? Siapa yang peduli sama anak situ?
"Zake bilang kamu mau nunggu urusannya meskipun waktu kerja kalian tertunda."
Jessa menahan helaan napasnya yang menandakan rasa kesal. Pria itu seperti suami yang sedang menyembunyikan aktivitas bersama simpanannya. Padahal Jessa bisa saja dibawa go public dan Jessa memang bukan simpanan. Ini tugasnya, tapi tidak ada status simpanan seperti itu. Mereka pasangan monogami yang tidak melibatkan orang lain dalam hubungan yang terjalin.
"Normal aja, sih, Bu. Saya memang dapat gaji lemburan yang sesuai, kalo nggak mendingan saya pulang dan tidur sekarang."
Jessa langsung memikirkan hal itu karena merasa sangat bosan dan kesal jika harus lebih lama basa basi dengan mantan istri Zeke itu. "Eh, tapi saya boleh nggak, sih, pulang aja, Bu? Mumpung Bapak lagi sibuk ngurusin anak Ibu."
Laila tidak tampak terkejut sama sekali, seolah wanita itu masih memposisikan diri sebagai istri Zeke. Wanita itu malah berkata dengan gaya ibu presdir pada Jessa. "Boleh. Biar saya yang bilang ke Bapak kalo kamu harus istirahat juga. Jangan kebanyakan kerja, kamu harus punya kehidupan sendiri. Zake pasti ngerti, kok. Kamu juga perlu waktu untuk cari pasangan."
Jessa menelan ludahnya sendiri ketika kalimat terakhir ditambahkan. Lagi-lagi soal pasangan yang harus Jessa cari.
"Iya, bener, Bu. Kalo gitu saya pulang, ya. Semoga anak Ibu cepet sembuh"
Jessa dengan cepat mematikan ponselnya supaya Zeke tidak menghubunginya. Dengan hati yang agak potek Jessa keluar dan menghentikan taksi. Tidak peduli argo yang mahal ketimbang kendaraan umum atau online, Jessa hanya ingin pulang ke kosnya. Sendirian dan tidak ada gangguan, begitu lebih baik.
***
Zaland menuangkan kembali minuman ke gelas Jessa. Adik Zeke yang satu ini memang tukang minum, makanya sering mengajak teman untuk bisa diajak berbincang. Jessa bisa berakhir di kelab bersama Zaland karena pria itu memang baru kembali dari Hawaii, diperintah oleh papanya untuk mengurus bisnis resort yang ada di Jakarta. Sebab sekarang sudah banyak keluarga kecil yang hobinya staycation bahkan disela hari libur yang sangat mepet.
"Gila, ya, gue bisa kalah sama laki-laki usia 40."
Jessa menoleh begitu Zaland mengatakan hal tersebut.
"Kalah sama laki-laki usia 40? Siapa?"
Jessa belum mabuk, dia masih mampu diajak bicara dengan serius tanpa melantur. Tapi biasanya, Jessa bukan melantur ketika mabuk justru dia langsung tertidur ketika sudah mabuk berat.
"Zeke Mason Tatum," jawab Zaland.
Kening Jessa berkerut menjadi satu. Kenapa nama kakak pria itu yang disebutkan?
"Kalah soal apa? Kalian sama-sama dapat bagian sendiri-sendiri soal bisnis keluarga. Kakak kamu dapat bisnis manufaktur, dan kamu dapat bisnis penginapannya. Bahkan kamu dapat yang di luar negeri, loh. Bisa lebih bebas di sana."
Zaland tertawa entah karena apa. Namun, Jessa tidak begitu peduli. Dia sedang memikirkan apa yang dilakukan Zeke saat ini dengan Laila sang mantan istri. Bisa saja Zeke dan Laila tidak bisa menahan diri untuk saling berdekatan hingga bibir mereka bersentuhan. Jika sudah demikian, mereka pasti akan merambat ke hal lainnya yang lebih dari sekadar menyatukan bibir.
"Kalah soal perempuan."
Jessa semakin tidak memahami ucapan Zaland yang terdengar aneh. "Ngapain sampe kalah? Kakak kamu itu nggak banyak pengalaman. Dia cuma punya pengalaman sama istrinya."
"Mantan istrinya, harus dikoreksi bagian itu. Karena kalo papa dan mama denger, mereka bakal nyuruh kakak gue pecat lo."
"Ya ... mantan istri cuma status aja. Di mata kakak kamu, Laila itu masih seperti istrinya."
Pergelangan tangan Jessa ditahan oleh Zaland ketika hendak menuangkan kembali minuman.
"Lo tahu nggak apa yang gue maksud soal kalah mengenai perempuan itu?" tanya Zaland.
Secara otomatis Jessa menggelengkan kepalanya. "Nggak."
"Gue kalah dari kakak gue buat mengambil hati sekretarisnya."
Jessa tertegun. Dia bingung dengan ucapan Zaland yang tiba-tiba aneh begini. Sejak kapan pria itu berani menggoda Jessa seperti ini? Sebelum-sebelumnya, Zaland hanya berani mengajak Jessa menemaninya pergi dan mereka mencari mangsa sendiri-sendiri di tempat nongkrong yang tidak murah, dan seluruh biaya ditanggung oleh Zaland. Namun, sekarang, Jessa dirayu dengan kata-kata yang inginnya, sih, didengar oleh Zeke. Jessa ingin tahu bagaimana reaksi Zeke jika tahu adiknya merayu Jessa yang tidur dengan Zeke.
"Kamu lagi melantur—"
"Diem. Kakak gue lagi jalan kesini, kalo lo mau ini berhasil, ikutin cara gue."
Dengan peringatan tersebut, Jessa semakin bingung. Dia menjadi diam mematung ketika Zaland meraih dagu Jessa. Pria itu bersiap mencium bibir Jessa, tapi belum merasakan deru napasnya saja, tubuh Jessa sudah terhuyung ke belakang dan tahu-tahu saja Zaland terjungkal dari kursinya karena tendangan Zeke.
"Pak!"
Jessa masih sepenuhnya sadar, makanya dia segera menghentikan Zeke yang tampak marah. Marahnya pria itu tidak berteriak, justru Zeke mengatupkan bibirnya dan hanya menunjukkan rahangnya yang mengetat.
"Pak—"
"Laila bilang kamu mau istirahat, dan saya harus memberikan kamu waktu istirahat. Tapi apa yang kamu lakukan di sini dengan Zal? Kamu pikir mempermainkan adik saya bisa membuat kamu mendapatkan uang double?! Salah! Kamu nggak akan dapat apa-apa! Benar kata Laila, kamu hanya perempuan muda yang nggak tahu diri! Kamu saya pecat. Mulai besok, jangan datang ke kantor saya!"
Jessa terkejut dengan apa yang terjadi. Ini terlalu cepat untuk Jessa cerna. Dia tidak mengerti apa-apa. Kenapa malah ucapan Laila yang benar? Kenapa malah Jessa yang dipecat?
Zeke pergi begitu saja setelah memecat Jessa dengan tidak hormat begini. Bukan masalah pekerjaan yang lepas yang Jessa pikirkan, tapi mengapa Laila menjadi tolak ukur pria itu menilai Jessa?
"Sorry. Ternyata nggak berhasil, Jess. Gue tadinya mau bikin dia cemburu, supaya dia—"
Zaland menghentikan ucapannya karena mendapati Jessa yang menyentuh perutnya dan tampak kesakitan.
"Jess? Perut lo kenapa?"
Jessa tidak tahu, yang dia tahu, sesuatu terasa mengalir di betisnya. Dan ketika ada sedikit cahaya yang menyorot tempat mereka, sesuatu terlihat merah pekat dan membuat keduanya panik.
[Jangan lupa versi novelnya bisa kalian dapatkan di Karyakarsa kataromchick ya. Terus kalo mau baca AU VERSION gratis bisa ke Instagram freelancerauthor. Aku kasih spoiler AU VERSION nih di bawah🤭]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top