14. Propose
[Yuhuuu! Cerita ini aslinya udah tamat, yes. Bisa beli ebooknya bagi pecinta e-book di google playbook. Kalo mau beli bab satuan ada di Karyakarsa kataromchick aku. ❤️]
Jessa tidak tahu sudah berapa lama dirinya tertidur, tapi yang jelas dia sudah tidak lagi menggunakan gaun yang tadi dikenakannya untuk makan malam dengan Kharan. Dia juga menyadari tempatnya tertidur sekarang bukan lagi di mobil atau pun di rumah mamanya. Sekarang dia berada di penthouse milik Zeke lagi. Setelah berhari-hari tidak datang ke sini, suasananya masih sama saja, tidak berbeda. Yaiyalah sama aja, emang mau beda kayak apa?
Secara perlahan Jessa bangun dan memberikan banyak waktu untuk kesadarannya benar-benar pulih kembali. Setelah ini memang dia harus banyak bicara dengan Zeke. Banyak hal yang harus mereka bicarakan, dan meluruskan segala tindakan yang memang akan dilakukan ke depannya.
"Kamu sudah bangun, Jessa."
Suara maskulin milik Zeke itu terdengar saat Jessa memejamkan matanya sejenak untuk meregangkan otot leher.
"Hm. Sudah, Pak."
Ada decakan yang muncul dari bibir Zeke, membuat Jessa sepenuhnya menatap pria itu.
"Saya nggak suka dengan panggilan 'Pak' yang kamu gunakan disaat kita nggak lagi bekerja."
"Tapi saya juga nggak lagi jadi bagian pribadi Bapak, jadi panggilan 'Pak' rasanya lebih masuk akal."
Jessa bisa melihat mata pria itu yang dipejamkan dengan lelah. Sayangnya rasa tak terima Zeke tidak begitu penting saat ini. Toh, pria itu juga tetap mengambil duduk di samping Jessa dan sepertinya ingin mulai membahas banyak hal dilihat dari gesturnya yang siap sedia.
"Kenapa kamu ditinggalin di jalan sendirian?" tanya Zeke.
"Ya, karena kamu telepon! Dia cemburu karena curiga sama kedekatan kita."
Zeke menggeleng pelan. "Nggak seharusnya seorang pria melakukan hal begitu walaupun cemburu. Pria macam apa yang bersikap pengecut meninggalkan perempuan yang dikatakan calon istrinya sendirian."
"Ya, itu karena kamu nelepon disaat yang nggak tepat! Lagian ngapain, sih, kamu nelepon lagi? Aku udah nggak kerja, kenapa malah ditelepon segala?!"
Jessa menggebu-gebu saat mengatakannya. Namun, langsung terhenti dalam sekali gerakan Zeke yang mencengangkan. Pria itu meletakkan telapak tangannya yang besar ke permukaan perut Jessa. Bagaimana bisa rasanya sehangat ini?
"Kamu membawa anak saya. Kamu tidak memberitahu saya bahwa anak saya sedang tumbuh di sini, di perutmu."
Jessa terdiam untuk sesaat. Pembahasan ini terlalu cepat untuk didengar, tapi juga tepat untuk mereka kemukakan. Zeke sudah mengetahui keberadaan anaknya, untuk apa menutupinya lagi?
Namun, tidak puas rasanya jika tidak melakukan satu hal yang Jessa inginkan sejak awal pada Zeke. Yaitu menampar pipi pria itu dengan keras.
Tahu apa yang terjadi? Zeke terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Pria itu dengan cepat menoleh pada Jessa dan memberikan pertanyaan, "Kenapa kamu tampar saya?"
"Kamu lupa? Kamu sendiri yang bilang kalo aku nggak boleh hamil. Hamil hanya akan merugikan aku, dan kamu nggak akan menikahi aku meskipun aku mengandung anak kamu. Aku akan rugi karena berusaha memanfaatkan anak ini untuk bisa kamu nikahi dan numpang hidup. Terus sekarang kamu mau pura-pura lupa ingatan dan bilang aku sengaja nggak kasih tahu soal kehamilanku? Apa kamu nggak berkaca dengan kesalahan kamu yang bicara seperti itu, bahkan disaat aku belum tahu kalo lagi hamil?"
Rasa kesal yang menaungi Jessa jelas diluapkan saat ini. Dia sudah menahan-nahan sejak pertama kali mengetahui kehamilannya. Sebenarnya keinginan yang lebih kuat datang untuk menampar Zeke adalah ketika pria itu mencoba menjilat ludahnya sendiri untuk tidak jadi memecat Jessa.
"Okay, that's my fault. Maaf. Saya nggak tahu kamu hamil, dan kata-kata seperti itu muncul karena memang supaya kamu nggak mencoba sengaja merugikan diri kamu sendiri dengan hamil apalagi posisinya kamu belum menikah."
"Itu sebabnya saja mau menikah."
"Ya, kamu memang akan menikah."
Jessa tidak percaya dengan tanggapan pria itu. Bagaimana Zeke bisa sesantai itu membiarkannya menikah dengan pria lain.
"Kalo kamu nggak keberatan aku nikah dengan pria lain, kenapa kamu repot-repot bawa aku ke sini? Ngapain kita bicarakan soal ini? Oh! Jangan-jangan kamu mau ambil anakku, supaya kamu nggak repot-repot ngurusin aku sebagai ibunya, kan?"
"Lagi-lagi pikiran kamu kemana-mana. Saya nggak bilang kamu akan menikah dengan pria lain, Jessa."
"Terus maksud kamu apa?"
Zeke masih menatap perut Jessa dan menyentuhnya dengan pandangan kasih sayang. "Kita akan menikah sesegera mungkin. Saya nggak mau anak saya nggak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan dari keluarga Tatum. Dia akan menjadi pusat perhatian karena lahir sebagai cucu pertama."
Jessa mengernyit dalam mendapati ucapan pria itu. Kayaknya dia memang udah gila. Mana mau aku nikah sama pria yang belum move on dari mantan istrinya?
"Menikah? Sama kamu?" tanya Jessa.
"Ya. Kenapa muka kamu nggak yakin seperti itu?" balas Zeke.
"Kamu yakin nggak sedang mabuk? Kamu yang bilang nggak akan menikahi aku. Kamu—"
"Itu kesalahan. Kamu nggak akan tahu betapa senangnya saya akan jadi seorang ayah."
Senang menjadi seorang ayah belum tentu senang menjadi seorang suami, kan? Jadi, kehidupan macam apa yang akan dijalani Jessa menjadi seorang istri yang tidak benar-benar diharapkan?
***
Zeke membutuhkan banyak waktu untuk bisa membujuk Jessa ke rumah ibu perempuan itu dengan cepat. Masalahnya, Zeke sudah dikabari oleh mamanya bahwa beliau sudah sampai di rumah yang Mama Jessa dengan bantuan Pono. Pagi ini, Zeke harus mengalami drama lebih dulu dengan Jessa karena perempuan itu mengatakan harus menggunakan gaun yang sama seperti yang digunakannya semalam jika tak mau mamanya curiga. Namun, Zeke tidak mengizinkan karena gaun tersebut jelas terbuka. Pria itu dengan yakin membelikan pakaian baru bagi Jessa di pusat perbelanjaan di bawah penthouse-nya. Jessa diminta untuk memilih meski dengan drama yang panjang.
"Mamaku pasti mikir yang nggak-nggak kalo aku nggak pake gaun semalam."
Zeke masih berkomentar mengenai hal tersebut, padahal sekarang perempuan itu sudah tampil cantik dan rapi dengan dress hamil yang tampak cantik untuknya. Sesuai dengan selera Zeke yang suka melihat lekuk tubuh pasangannya, tapi tidak suka jika terlalu terbuka. Zeke juga sengaja ingin memperlihatkan baby bump Jessa yang tampak dengan dress tersebut.
"Kamu pakai gaun yang semalam juga mama kamu akan tetap mikir macam-macam. Nggak perlu ditutupi, nyatanya kita memang mau mengakui perbuatan kita yang salah di depan mama kamu."
Zeke mendapati Jessa yang memang cemas. Pasti dia takut dengan reaksi marah yang ditunjukkan mamanya nanti. Wajar saja jika orangtua marah dengan perbuatan anaknya yang salah, tapi kemarahan tidak akan selamanya dilakukan. Toh, marah-marah saja tidak akan menyelesaikan masalah. Yang bisa mereka lakukan adalah memperbaiki apa yang ada di depan mereka nantinya, bukan sibuk meratapi kesalahan yang sudah terjadi.
Namun, Zeke tidak akan bisa mengubah ketakutan Jessa jika dia memberikan ceramah bijak semacam itu. Yang bisa dilakukan Zeke adalah menggenggam tangan Jessa, memberikan kekuatan pada perempuan itu agar tidak terjerumus pada beban pikirannya.
"Jangan memikirkan hal buruk apa pun. Kamu harus pikirin juga kondisi bayinya, semakin kamu terlalu terbebani, semakin kondisinya nggak baik. You have to relax, Jessa."
"Relax? Kamu aja yang bawa janinnya kalo kamu masih bisa sesantai itu!" geram Jessa.
Zeke menarik napasnya sendiri untuk tetap bersabar menghadapi Jessa. Dia tidak bisa sembarangan bertingkah jika tak mau pada akhirnya hanya menekan mental perempuan itu saja.
Dalam diam, akhirnya mereka sampai di kediaman mama Jessa. Tentu saja Jessa tidak langsung turun, ada drama lagi saat mengetahui bahwa mobil orang lain sudah terparkir di sana.
"Siapa yang datang?" ucap Jessa semakin panik.
"Kita turun dulu," balas Zeke.
"Kasih tahu aku dulu! Siapa yang datang?"
Zeke menghela napasnya agak lelah. Menghadapi Jessa yang sekarang, jauh berbeda dengan Jessa yang apa-apa serba mandiri. Jika biasanya Zeke yang selalu diurusi oleh perempuan itu, sekarang Zeke-lah yang harus mengurus Jessa.
"Mommy saya yang datang diantar Pak Pono. Saya meminta mommy saya untuk melamar kamu kepada mama kamu. Karena kita harus menikah secepat mungkin, sebelum kandungan kamu semakin besar, Jessa."
Tatapan Jessa pada Zeke sekarang benar-benar menunjukkann betapa terkejutnya perempuan itu.
"Melamar???" seru Jessa.
"Ya. Kamu dan saya akan segera menikah, jadi lamaran mommy dilakukan sekarang. Semakin cepat lebih baik."
"Kamu gimana bisa melamar—"
"Kenapa kalian masih di sana? Cepat turun dari mobil dan kita bicara di dalam!" teriak Raquella yang sadar betul apa yang sedang terjadi.
Zeke tidak gugup sama sekali, tapi Jessa jelas berbeda dari pria itu. Semoga saja reaksi ini tidak mengindikasikan bahwa Jessa akan kabur di hari pernikahan mereka. Kalaupun Jessa akan kabur, Zeke akan mampu menemukan perempuan itu. Sebab tidak ada satu halangan apa pun yang mengalahkan kekuatan uang milik keluarga Tatum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top