11. You and Him
Jessa membungkam mulutnya ketika ikan Salmon yang dimasak dengan baik oleh chef terkenal di restoran mahal itu tidak masuk ke mulutnya sama sekali. Dia berniat mengunyah dengan anggun, tapi makanan tersebut tidak mampu untuk diproses gerakan peristaltik di kerongkongannya. Bagaimana Jessa bisa tenang jika begini? Dia tidak mungkin memuntahkannya di depan Kharan, tidak bisa juga ke kamar mandi tanpa mengatakan apa pun ke pria itu.
"Are you okay?"
No, I'm not.
Jessa masih membiarkan salmonnya di dalam mulut, dia tidak bisa memaksakan diri untuk menelan makanan tersebut. Dengan satu-satunya cara, dia mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di notes.
Aku mau ke kamar mandi, ya. Bibir aku kegigit, rasanya nggak enak makanannya kecampur darah bibir.
Jessa tidak peduli apakah Kharan benar-benar mempercayainya atau tidak. Yang terpenting adalah dia bisa berjalan cepat ke toilet dan memuntahkan makanan tersebut. Untungnya Kharan memang memberikan izin dan tampak cemas dengan alasan yang Jessa kemukakan. Jadi, Jessa tidak perlu menambahkan alasan untuk membual lebih jauh pada Kharan.
Jika ada orang di dalam toilet dengan dua bilik tertutup di sana, Jessa benar-benar tidak peduli jika mereka mendengarnya muntah dengan tidak elegan sama sekali. Anak di dalam perutnya seolah tidak mengizinkan apa pun yang Kharan belikan bisa masuk dengan mudah. Beberapa hari lalu, perut Jessa juga bergolak saat memakan makanan yang Kharan berikan. Entah mantra apa yang harus Jessa gunakan agar bayi di perutnya tidak membuat ulah disaat berduaan dengan Kharan.
Jessa melamun sejenak menatap pantulan wajahnya di cermin toilet. Lipstick mahalnya bertahan meski digunakan untuk makan dan terkenal air ketika membasuh bibir perempuan itu. Jessa tidak merasa cemas harus melakukan touch up di tempat umum karena semua peralatan rias yang dibelinya memang berkualitas bagus dan transferproof dan dijamin tidak akan meninggalkan bekas jika harus mencium Kharan di kencan mereka yang ketiga ini.
Memang kesannya Jessa murahan, tapi apa yang memangnya harus dilakukan pasangan yang berkomitmen akan menikah? Akan sangat aneh dan patut dicurigai jika Jessa tidak mau dicium oleh Kharan. Bagus jika pria itu hanya beranggapan Jessa adalah perempuan yang memiliki prinsip keras, tapi bagaimana jika Kharan mencurigai bahwa ada seseorang di hati Jessa hingga tak mau disentuh pria lain?
Tak mau memikirkannya terlalu jauh. Jessa akhirnya memilih kembali ke tempat duduknya dengan Kharan. Dia akan menggunakan alasan bahwa suasana hatinya sudah tidak baik karena bibirnya yang sakit dan pulang. Iya, pulang. Sebab Jessa tidak bisa memaksakan diri makan salmon pesanan Kharan tersebut.
"Kamu nggak makan?" tanya Kharan.
"Aku tunggu kamu selesai aja, ya? Bibir bagian dalam aku nggak nyaman buat ngunyah, perih."
Kharan tampak bingung, tapi pria itu segera mengangguk.
"Punya kamu minta bawa pulang aja, kalo gitu. Biar bisa dimakan mama kamu atau kalo kamu udah semangat buat makan lagi bisa dihangatkan lagi."
Kharan tampak begitu sabar meski seharusnya hal ini menjadi momen yang menyebalkan. Pria itu tidak memprotes atau memasang wajah masam karena agenda makan malam yang malah menjadi kacau ini.
Setelah mereka bergegas pulang, Jessa mendapatkan pertanyaan dari Kharan yang sungguh mengejutkan.
"Kamu seberapa deket, sih, sama atasan kamu?"
Jessa jelas langsung tegang diberikan pertanyaan semacam itu dari Kharan. Atasan apa? Jessa sudah berhenti selama dua minggu ini dari pekerjaannya, tidak ada atasan seperti yang Kharan maksudkan.
"Atasan?"
Kharan terlalu santai untuk seorang pria yang sedang mengetahui sesuatu. Jessa bahkan tidak tahu jika pria itu akan membahas hal ini, dan dari mana Kharan bisa mencium kedekatan Jessa dengan atasannya? Ini pasti soal Zeke, kan?
"Iya, atasan kamu."
"Aku udah nggak kerja, jadi lebih tepat untuk disebut mantan atasan. Dan aku tentu deket dengan mantan atasanku karena kami udah kenal selama sepuluh tahun. Aku bekerja di perusahaannya dari jabatan kecil, dari usiaku sembilan belas. Aku juga nggak sebentar jadi sekretaris pribadinya. Jadi, memang sedekat itulah kedekatanku dengan mantan atasanku."
"Kalo udah jadi mantan atasan kenapa dia masih menghubungi nomor pribadi kamu? Dia tanya-tanya soal kamu dimana. Apa itu normal dilakukan mantan atasan?"
"Kapan aku teleponan sama—"
"Dia telepon tadi pas kamu ke toilet. Aku angkat dan dia tanya-tanya gimana bisa aku pegang hape kamu. Nadanya nggak santai banget, dia pikir aku laki-laki absurd yang mau ngapa-ngapain kamu. Aku jelas nggak terima, dan aku bilang kalo aku ini calon suami kamu. Setelah itu dia matiin teleponnya." Kharan berdecih saat mengatakan kalimat selanjutnya, "Huh, ternyata orang kayak nggak menjamin sikap seseorang untuk bisa sopan."
Jessa mempertimbangkan apa yang sebenarnya yang terjadi. Zeke menghubungi nomornya saat Jessa tidak berada di tempat, lalu Kharan mengangkat panggilan tersebut tanpa langsung memberitahu Jessa tadi. Juga pria itu tidak menggunakan kata maaf ketika menyampaikan bahwa Zeke menelepon dan mencurigai Kharan yang membalas panggilan tersebut. Bukankah normal jika Zeke menegur Kharan? Karena yang memiliki ponsel jelas bukan Kharan. Juga ada satu poin yang paling Jessa tidak suka, yaitu sikap Kharan yang tidak meminta maaf sudah mengotak-atik ponsel Jessa tanpa izin.
Mereka belum menjadi pasangan sah, tapi Kharan sudah tidak peduli dengan ranah privasi Jessa. Sikap pria itu yang cemburu tidak suka tidak masalah sama sekali, karena dengan begitu Jessa mengerti bahwa Kharan memang mulai serius menjadikan Jessa pasangannya. Namun, bukankah ini tanda-tanda bendera merah dari Kharan? Seharusnya mereka masih bisa menjaga ranah privasi masing-masing sebelum benar-benar menjadi pasangan. Jessa juga tidak berhak dihakimi seperti ini karena memang Jessa sudah tidak berhubungan dengan Zeke selama dua minggu ini. Jessa tidak melakukan kesalahan selama masa pengenalan mereka ini.
"Sorry, nih, Kharan. Sebenernya bukannya wajar kalo mantan atasanku curiga? Karena kalian emang nggak pernah saling ketemu dan kenal. Harusnya, sih, kamu bisa lebih santai menanggapi tuduhan itu kalo kamu memang bukan laki-laki absurd seperti yang dituduhkan mantan atasanku."
Kharan yang sedang mengemudi langsung menghentikan mobil mereka di pinggir jalan. Jessa terkejut bukan main saat Kharan menghadap ke arah perempuan itu dan menekan lengannya.
"Mana ada pasangan yang mau nikah malah ditelepon mantan atasannya, dan mantan atasannya curiga ke calon suami?? Mantan atasan kamu yang nggak waras! Harusnya dia tahu diri untuk nggak menghubungi kamu yang udah nggak kerja sama dia!"
"Aku udah pernah bilang kalo semisal sekretaris barunya butuh pengarahan dari aku, mereka boleh hubungi aku untuk meluruskan pemahaman sekretaris barunya itu! Kenapa kamu jadi semarah ini?"
"Aku marah karena aku ini calon suami kamu. Apa kamu nggak mikir, kalo mantan atasan kamu berpotensi membuat kamu berpaling dari aku? Kita nggak boleh pisah, Jessa. Orangtuaku tahu bahwa kamu siap untuk aku nikahi, aku udah nggak mau capek-capek cari perempuan lain. Karena sebentar lagi kamu jadi milikku, maka kamu nggak boleh fokus ke laki-laki lain! Kamu milik aku, ngerti?"
Jessa benar-benar takut saat ini. Sosok Kharan yang seperti ini benar-benar tidak Jessa sangka akan muncul. Jika baru begini saja pria itu mencengkeram tangan Jessa, bagaimana nantinya jika mereka menikah?
"Lepas! Tanganku sakit," rintih Jessa.
Sebenarnya bisa saja Jessa menggunakan heels miliknya untuk memukul kepala Kharan. Namun, mengingat saat ini bukan hanya Jessa yang butuh perlindungan, maka dia memilih untuk tidak memancing lebih jauh kemarahan Kharan.
"Kamu jawab dulu, apa kamu akan berpaling ke pria itu?"
Jessa semakin tidak percaya dengan apa yang Kharan lakukan ini. Akhirnya karena rasa takut, Jessa menangis. Dia tidak bisa menjawab karena Kharan sungguh menakutkan.
Bukannya berusaha untuk menenangkan Jessa, pria itu malah berdecak tanpa menyembunyikan kekesalan di wajahnya.
"Nangis lagi! Kenapa, sih, kamu tuh sama aja kayak perempuan-perempuan lainnya? Kerjaannya nangis terus kalo disuruh nurut sama aku. Aku ini pasangan kamu! Kenapa malah nangis terus?!"
Jessa tidak menjawab, dia tidak bisa mendengarkan apa pun lagi selain berharap dia bisa pergi dari Kharan.
"Berisik banget!" Kharan yang benar-benar marah langsung membuka kunci pintu mobil. "Turun kamu!"
Jessa semakin terkejut ini di pinggir jalan. Kenapa Kharan malah menurunkannya di sini?
"Kharan?"
"Nggak usah panggil-panggil. Kamu harus dihukum karena kamu berani-berani simpen nomor laki-laki lain dan susah aku suruh untuk komit nggak berpaling dari aku. Turun!"
Lengan Jessa didorong untuk keluar. Dia hampir saja terjengkal karena pintu mobil sudah dibuka paksa oleh Kharan. Pria itu benar-benar gila.
Jessa ketakutan di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai itu. Dia benar-benar ditinggalkan begitu saja oleh Kharan. Rupanya pria itu tidaklah pantas menjadi suaminya. Untung saja Jessa sempat merekam suara Kharan saat dirinya bermain ponsel sebelum akhirnya Kharan bertanya soal kedekatan perempuan itu dengan Zeke. Dimatikannya hasil rekaman suara, lalu layar ponselnya menampilkan panggilan dari nomor Zeke.
Pergi Kharan, datanglah Zeke. Jika begini, Jessa lepas dari terkaman harimau malah bersiap diterkam buaya.
Apa lagi masalah yang harus aku hadapi? Kenapa sulit sekali untuk memiliki kehidupan yang damai bersama anakku?
[Yuhuuu! Cerita ini sudah tamaaattt yes. Kalian bisa baca lengkapnya di Karyakarsa atau langsung aja beli ebook nya di google playbook dengan search nama Faitna YA. Yang mau baca AU version gratis, sudah pasti langsung follow di instagram freelancerauthor.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top