Kejadian Luar Biasa

"Pak'e masih punya masker?" tanya Sri sembari menyerahkan cairan pembersih dan sabun cuci tangan kepada Hartono.

"Kemarin Pak'e dapet masker kain gratis dari relawan. Lumayan, bisa untuk gonta-ganti." Hartono mengambil dua buah masker yang masih terbungkus plastik, lalu menyerahkan pada Sri untuk dicuci.

Meskipun katanya sudah disterilkan, Sri tetap mewanti suaminya agar selalu mencuci masker terlebih dahulu sebelum dipakai.

"Keadaan Solo pripun, Pak?" tanya Sri cemas. Seminggu lalu pemerintah mengumumkan virus corona sudah masuk ke Indonesia. Walau Solo masih dalam zona hijau, tapi ketakutan tetap membayangi Sri Astutik.

"Sampai sekarang katanya masih aman. Belum ada yang kena,"

"Semoga ndak ada yang kena, Pak. Ngeri juga mbayangin kalau Solo ada yang kena."

Namun, harapan tak seindah kenyataan. Beberapa hari kemudian, pemerintah kota Solo mengumumkan bahwa  ada warganya yang positif covid-19.

Geger. Panik. Heboh. Masker hilang dari peredaran. Cairan anti kuman langka. Sabun cuci tangan susah didapat.

Warga ekonomi menengah ke atas memborong bahan pokok. Swalayan membeludak. Permintaan tinggi, persediaan barang menipis, menjadikan harga melambung tinggi.

Tak terkecuali Sri Astutik. Ia mencemaskan kesehatan suaminya. Sebagai tukang ojek—yang kerjanya selalu bersinggungan dengan banyak pelanggan—sangat rentan tertular virus.

Berbagai cara pencegahan selalu Sri tekankan pada Hartono. Selalu memakai masker, sering-sering cuci tangan, dan Sri melarang Hartono untuk memboncengkan pelanggan.

"Untuk sementara ngambil pengiriman barang dan pengantaran makanan saja, Pak'e. Kita kan ndak tahu orang yang njenengan boncengin itu dari mana saja, habis ketemu siapa saja. Pokoke sampai korona ilang, tetep harus waspada."

"Iyo, Mak." Hartono menyetujui saran istrinya. "Tapi ... penghasilan Bapak mesti turun, Mak," lanjutnya.

Sri terdiam beberapa saat. "Wes ora popo, yang penting sehat selamet. Masalahe di rumah ada Ibu sama anak-anak. Katane yang bahaya kalau kena orang sepuh sama anak-anak."

Tidak apa-apa. Ya, jika hanya sehari-dua hari, penurunan penghasilan Hartono masih bisa disiasati dengan lebih mengirit pengeluaran. Lagipula Sri masih bekerja, setiap Sabtu ia masih menerima upah. Masih cukup.

Namun, lagi-lagi manusia cuma bisa berencana, Tuhan-lah yang menetapkan.

Bukannya membaik, kondisi semakin kacau. Kasus positif covid semakin meningkat. Hingga akhirnya Solo menerapkan kejadian luar biasa.

Perkantoran, sekolah, pabrik, swalayan, rumah makan bahkan pasar diliburkan. Solo—kota yang tak pernah tidur—pun menetapkan adanya jam malam.

Kata 'tidak apa-apa' sudah luntur menjadi waspada. Bagaimana tidak? Anak sekolah tidak ada yang menggunakan jasa ojek. Karyawan pun bekerja dari rumah. Jika biasanya saat makan siang adalah jam-jam padat, kini dapat satu pesan antar makanan pun sudah bersyukur.

Hartono mencoba berkeliling lebih pagi dan pulang larut malam, mencari peruntungan jika ada yang membutuhkan jasanya. Namun, sia-sia. Malahan hanya buang-buang waktu dan bensin.

"Tehnya diminum dulu, Pak." Sri Astutik meletakkan cangkir di meja, lalu menyusul suaminya duduk di dipan. Diamatinya Hartono yang tengah memejamkan mata. Wajahnya nampak kuyu, kantong mata terlihat jelas, lingkaran mata menghitam, dan kerut di kening bertambah.

Malam sudah larut. Jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari, dan Hartono baru saja pulang.

Hartono bangkit dari tidur, menyesap air teh yang masih mengepul. Beberapa hari ini rasa teh buatan Sri Astutik tak semanis biasanya, tapi ia tidak memprotes. Ia tahu, mereka harus berhemat.

"Tumben Mak'e belum tidur?" Hartono membuka pembicaraan. Biasanya kalau istrinya masuk kerja pagi, jam segini ia pastib sudah masuk alam mimpi. Sri harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan makan sebelum berangkat kerja. "Besok apa bisa bangun pagi?"

Sri Astutik termenung. "Mulai besok Emak kerjanya diselang-seling, Pak. Dua hari masuk, dua hari libur."

Bagi pekerja kantoran atau pegawai pemerintahan, bekerja dari rumah tidak berpengaruh pada penghasilan. Namun lain halnya dengan Sri yang hanya buruh pabrik. Upahnya dihitung berdasar absensi.

Jika hari kerja diselang-seling, itu artinya gaji yang didapat Sri hanya separuh dari biasanya.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top