JANJI
"Assalamualaikum," salam dari anak berbaju merah putih sembari mencium tangan emaknya.
"Waalaikumsalam." Sri Astutik yang tengah melipat pakaian mengerutkan kening ketika melihat raut muram anak sulungnya. "Piye sekolahmu, Nduk?"
"Capek, Mak, banyak tugas dari Bu Guru," jawab Siti dari dalam kamar. "Mak, tahu Transmart ndak?"
Sri melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda. Mumpung dia masuk kerja malam, sebisa mungkin pekerjaan rumah sudah selesai sebelum berangkat nanti sore. "Yo tahu. Ada apa memange?"
Setelah berganti pakaian, Siti bergabung dengan ibunya bersila di tikar. Tangan kecilnya tidak diam saja, ia bergegas membantu Sri melipat baju. "Tadi temen-temen pada ngomong soal Transmart, Mak. Liburan kemarin mereka ke sana. Katane seru, Mak. Ada banyak mainan."
Sri Berdecak. "Biasa wae, cuma kaya pasar malem, Nduk. Cuman bedanya ada di mol."
Siti memajukan tubuh, mendekat ke ibunya dengan wajah antusias. "Emak sudah pernah ke sana, tho?"
Sri menggeleng. "Belum. Buat apa Emak ke Mol?" Sri memisahkan baju sesuai milik masing-masing anggota keluarganya.
"Siti kepengen ke sana, Mak."
"Kamu mau ngajak emakmu ke mana, Ti?" tanya Hartono sambil melepas jaket hijau yang berlogo salah satu ojek online.
Sudah hampir dua tahun, Hartono bekerja sebagai driver ojek online. Sebelumnya ia pernah bekerja di pabrik plastik yang sama dengan Sri sebagai satpam. Namun, karena ada masalah keuangan di pabrik, Hartono pun terkena pemutusan hubungan kerja.
Uang pesangon yang diterimanya pun dibelikan sepeda motor untuk narik ojek. Keluarga besar-terutama Darminah, ibu kandung Hartono—sebenarnya tidak setuju kalau putranya ngojek. Malu, katanya. Padahal penghasilan dari ojek online jauh lebih besar dibanding satpam yang hanya UMR.
"Ke Transmart, Pak." Siti berlari kecil mengikuti Hartono ke kamar. "Ayo ke sana, Pak."
"Kamu ini, mbok nanti dulu, tho. Bapakmu baru pulang sudah minta macem-macem," tegur Sri sambil memasukkan baju ke lemari di kamar. "Pak'e buatno teh anget dulu, Nduk!"
Hartono melepas oblongnya hingga tinggal kaos dalam, lalu mengganti celana dengan sarung. "Budi, Fajar, Sari kok ndak kelihatan, Mak?" Hartono merebahkan tubuh di dipan yang berada di ruang keluarga.
"Fajar sama Sari ikut Ibu ke rumahe Bude Mangun. Kalau Budi tadi ke rumahe Udin, ngerjain PR bareng." Sri duduk di dekat kaki Hartono, lalu memijit pelan betis suaminya. "Orderan rame, Pak? Kok tumben baru jam dua sudah balik."
"Alhamdulillah, sudah tupo besar. Ada restoran baru di Manahan, jadine banyak yang order."
"Solo masih rame, yo, Pak? Masih aman tho? Soale tadi Mak'e lihat tipi kok di Cina tambah medeni. Banyak yang kena korona."
"Indonesia masih aman. Mugo-mugo aman terus, Mak." Hartono berbalik, menelungkupkan tubuhnya. "Kalau penghasilan Pak'e rutin segini terus, kita bisa nabung sedikit-sedikit."
"Berarti kita bisa jalan-jalan ke mol ya, Pak?" tukas Siti cepat seraya meletakkan gelas blirik di atas meja. "Pasti Budi, Fajar sama Sari juga seneng, Pak. Nanti kita ajak Mbah Dar juga. Ya, Mak? Ya, Pak?" Kini ia duduk bersimpuh di dekat meja.
"Ke mol mau ngapain? Yang dijual sama saja dengan toko Pak Budi. Hargane malah lebih mahal." Hartono menyuruh Sri untuk memijit bahunya.
Siti memanyunkan bibir. "Siti pengin kayak temen-temen ke Transmart, Pak. Pengin naik mainan yang di sana."
Sri Astutik saling pandang dengan suaminya. "Emak manut bapakmu, kalau sekarang Emak ndak ada duit."
"Bapak yo belum ada, Nduk."
Siti terlihat kecewa. Bahunya melorot. Anak itu memang jarang sekali minta sesuatu. Dia nerimo. Bahkan selalu ngalah ke adik-adiknya.
Sri tidak tega melihat raut muram putrinya. "Kalau bulan depan piye, Nduk? Biar Emak bisa nabung dulu."
"Iya, Mak, Siti mau." Siti mengangguk-angguk cepat. Senyum lebar tercetak di wajah bulat bocah sebelas tahun itu. "Janji lho, Mak. Bulan depan kita semua jalan-jalan ke mol."
"Ya kamu berdoa biar orderan Bapak rame, jadi kita bisa main ke kota."
Siti menyanggupi perintah emaknya. "Siti nggak pernah lupa doa'in Bapak sama Emak. Bu Ustadzah ngajarin Siti. Pokoke janji ya, Mak, bulan depan jalan-jalan ke mol."
Siti mengangguk mantap. Tak ada salahnya ia menuruti permintaan Siti. Lagipula mereka sudah lama tidak piknik. Kalau dia bisa menyisihkan gaji selama tiga minggu, kalau sekedar masuk wahana bermain masih bisa ia sanggupi.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top