Tujuh

Sudah dua minggu Irsyad selalu pulang larut malam, Runa yang sebelumnya selalu mengunap di rumah mertuamya memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri. Ia tak bisa terus menerus tinggal disana, seminggu dirasanya cukup. Ia harus membiasakan diri jika hal seperti ini berulang ia sudah siap. Ia perlu membangun rasa percaya diri dan keberaniannya lagi. Dulu ia bahkan bisa tinggal sendiri di kos-kosan kecilnya yang sebenarnya lebih rawan kejahatan di bandingkan kompleks rumahnya yang memiliki penjagaan yang cukup ketat.

Selama seminggu ini ia berhasil membangkitkan keberaniannya lagi. Walaupun dengan perasaan was-was, jika hari sudah mulai petang Runa akan langsung mengecek semua jendela dan pintu. Pintu belakang sudah dikunci dan ia akan mengambil tempat di ruang tamu, duduk bersama Akia sambil mengamati keadaan di luar rumah dari jendela. Atau sesekali jika banyak ibu-ibu yang berkumpul bersama anaknya ia ikut bergabung dan kembali ke rumah sebelum azan magrib berkumandang.

Seperti sekarang Runa dan Akia berkeliling taman bersama Rania dan anaknya Giandra. Rumah mereka berdekatan dipsahkan dua rumah. Runa dan Rania yang seumuran dan sama-sama baru memiliki satu anak itu sering berbagi informasi yabg berhubungan dengan parenting.

“Gi, Akia pintar tuh, makannya banyak, Gi nanti kalah loh dama Akia,” ucap Rania yang tengah membujuk anaknya untuk makan. Umur Giandra hanya beda dua bulan dengan Akia, anak lelaki itu mulai diberikan MPASI oleh sang ibu, namun napsu makan Gi —sapaan Giandra— akhir-akhir ini berkurang. Rania menyodorkan sendok berisi potonga puding ke depan mulut Gi, berharap anaknya itu akan membuka mulut, namun Gi malah menjauhkan wajahnya dari sendok, ia menghindari makanannya.

“ck! Nanti Mami diomelin Papi kamu Gi, makan dong ganteng,” bujuk Rania yang hampur putus asa menyuapi Gi.

Runa yang berada disamping Rania tertawa melihat temannya itu kesusahan merayu Gi. Runa yang berjongkok di depan stroller Akia menghentikkan pekerjaannya menyuapi sang anak, ia bergeser sedikit menghadap Gi dan mengusap rambut Giandra.

“abang Gi mau coba makanan Akia enggak? Enak loh, warnanya kuning rasanya manis, Kia suka banget sama ini, abang mau coba?” rayu Runa sambil menyodorkan pure ubi kuning ke depan mulut Gi. Gi melirik sebentar lalu membuang wajahnya.

“ah, bang Gi enggak suka kak, buat Kakak Ki aja ya,”ucap Runa, ia menggerakkan sendok ke arah Akia. “ngengggggggg,” suara Runa yang menirukan suara mobil menarik perhatian Gi. “tinnn tinn, mobilnya mau masuk Ka, aaaa,” ucap Runa. Ketika Akia membuka mulutnya sendok berisi makanan itu langsung masuk. Akia menggerakkan mulutnya seperti sedang mengunyah makanannya.

“Horeee, ih Kakak Kia pintar banget,” ledek Rania. Giandra menatap Runa lama, membuat Runa tertawa karena merasa berhasil membuat bocah lelaki itu berminat pada makanan.  Runa menyenggol lengan Rania, mengisyaratkan ibu muda itu untuk mencoba caranya tadi.

“ngeeeeenggggg, mobil Gi baru datang bang, ngeeenggg,”ucap Rania mencoba, ia menggerakkan sendok kesana kemari tak langsung ke depan Giandra untuk menarik perhatian Giandra. Berhasil, Giandra memperhatikan ibunya. “tinnnnn tinnnn, mobil datang bersiap untuk masuk,” ucap Rania, ia pikir Gi akan membuka mulutnya namun anak itu malah melengos dan kembali menatap Runa.

“Gi, aaaaa sayangkuuu,” bujuk Rania. Namun diacuhkan oleh Giandra.

Runa memperhatikan Gi, anak lelaki itu balas menatap Runa. Akh, tidak. Bukan Runa yang dilihat tapi mangkuk berisi makanan berwarna kuning di tangam Runa. Iseng, Runa mengangkat sendok berisi pure itu, ia menggerakkan sendok ke kanan dan kiri dan benar dugaannya. Giandra mengikuti arah perginya si sendok.

“abang Gi mau?”tanya Runa. Giandra semakin lekat menatap Runa.

“aaaaaa,” pinta Runa.
Giandra mengikuti permintaan Runa. Anak lelaki itu membuka mulutnya dan melahap pure ubi kuning milik Akia. Setelahnya Giandra tersenyum hingga matanya menyipit dan itu menular ke Akia. Anak perempuan Runa itu terlihat girang sampai memukul-mukul udara dengan tawa kecilnya. Runa dan Rania saling bertatapan, tawa keduanya terdengar begitu memahami apa yang terjadi disana. Rania mengusap kepala botak anaknya.

“Abang bisaan deh, genit ih, maunya sesendok sama Akia,” ledek Rania.

====

“Kakak senang enggak main bareng abang Gi?” tanya Runa sambil menutup pintu rumah. Keduanya baru tiba dirumah setelah berjalan-jalan di taman. Akia yang berada di gendongannya tertawa sambil menepuk-nepukkan tangannya ke wajah Runa.

“senang ya? Kakak ganjen deh, kalau ketemu bang Gi senyum mulu, lagi tebar pesona ya Ka?” ledek Runa. Dijawilnya dagu Akia  yang membuat anaknya itu semakin melebarkan senyumnya. Mata bayi enam bulan itu terlihat bersinar saat tertawa menularkan bahagia ke sang Bunda.

Pintu utama sudah Runa kunci, ia masuk ke dalam rumah menuju ke dapur meletakkan mangkuk kecil bekas makan Akia. Sebotol air dingin dikeluarkannya dari kulkas, Runa bergerak ke arah kabinet tempat gelas-gelas berjejer. Di ambilnya satu gelas dan di letakkannya di atas meja makan. Suara air dituang ke dalam gelas terdengar di rumah yang sepi itu. Sisi gelas yang tadinya bening kini berubah menjadi buram tertutupi embun dari air es. Runa menenguk cairan bening itu hingga tandas, Akia yang masih di gendongnya menatap Runa dengan mulut sedikit terbuka. Sepertinya anak itu terperangah melihat Bundanya kehausan hingga hanya dengan satu teguk air dingin itu lenyap.

Runa terkekeh. “kakak mau?” tanyanya sambil mengarahkan gelas kosongnya ke depan wajah Akia. “ndak boleh,” lanjut Runa. Sekilas ditempelkannya gelas yang masih terasa dingin itu ke pipi Akia, kaget, Akia menunjukkan wajah lucunya saat menerima dingin di pipinya dan langsung menyembunyikan wajah di dada Runa.

Runa tertawa begitu melihat tingkah anaknya. Ia meletakkan gelasnya dan mengusap kepala Akia lembut sambil berjalan menuju ruang televisi. Runa melepaskan gendongannya dan meletakkan Akia di atas karpet tebal yang lembut. Ia lalu ikut duduk disamping Akia, anak itu sudah bisa tengkurap dan bergerak tak tentu arah. Kadang Akia hanya berputar-putar saja, bahkan berguling. “kak, ayah telepon nih,” ucap Runa saat melihat ponselnya yang berdering menunjukkan nama Irsyad di layar ponsel. Runa mengusap layar ponselnya, dan langsung menampakkan wajah Irsyad. Runa mengarahkan ponselnya ke wajah Akia agar suaminya bisa melihat si kecil.

“assalamualaikum anaknya ayah,” sapa Irsyad yang tampak lelah.

“waalaikumsalam ayah,” jawab Runa yang menirukan suara anak kecil.

“lagi apa Kak?” tanya Irsyad.

Akia yang melihat wajah ayahnya menggumamkan suara suara tak jelas. Bayi bermata bulat itu mendekati ponsel dan menggapai-gapai ponsel ditangan Runa. Irsyad dan Runa tertawa melihat tingkah anaknya itu.

“ini nih, ngobrol sama ayah sini,” ucap Runa, diletakkannya ponsel diatas karpet. Akia langsung mendekati dan mengusap-usap permukaan benda persegi panjang itu. Runa meninggalkan Akia yang sibuk mengobrol dengan ayahnya. Ia berjalan menuju kamar dan mengambil baju ganti untuk Akia.

Akia masih mengoceh tak jelas dengan ayahnya, sesekali terdengar suara Irsyad yang tertawa karena tak mengerti apa yang dibicarakan anaknya.

“ngobrol apa sih Ka?” tanya Runa yang sudah kembali ke ruang televisi.

“habis curhat ya Kak,” sahut Irsyad sambil tertawa.

“curhatin apa Kak? Ceritain abang Gi ya Kak?” ledek Runa yang ikut bergabung pada sambungan video call itu.

“abang Gi?” tanya Irsyad bingung.

“oh, ayah belum kenal abang Gi Kak, ayah sibuk mulu sih ya Kak,” sindir Runa.

“itu siapa Run? Kamu selingkuh sama abang-abang siomay yang sering lewat depan rumah?” tanya Irsyad penuh selidik.

“sembarangan kamu, itu mah Ginanjar, ini beda lagi Giandra,” jawab Runa.

“kamu udah kenalan sama abang siomay? Hapal amat namanya. Terus Giandra abang apa lagi? Tahu bulat? Keren banget namanya,” cecar Irsyad dengan pandangan kesal.

“ya kali tahu bulat lewat kompleks sini Yah, bisa diomelin ibu-ibu saking berisiknya,” sahut Runa.

“iya terus itu abang abang apaan? Kamu selama aku lembur kenalan sama banyak laki-laki ya Run?” tuduh Irsyad. Runa berdesis , ingin rasanya ia mencungkil mata Irsyad yang menatapnya penuh curiga.

“Aku kenalan sama lelaki? Bukannya kamu yang lembur ditemani sama perempuan, samapai mau suap-suapan,”sindir Runa kasar.

Tadinya ia tak ingin mengangkat topik ini, ia bahkan berusaha mengubur pertanyaanya seputar perempuan yang dipanggil El oleh Irsyad dua minggu lalu.
Irsyad terdiam tak menanggapi ucapan istrinya.

“udah sana. Urusin kerjaan kamu, atau lanjutin mesra-mesra sama partner lembur kamu itu,” usir Runa yang langsung mematikan sambungan diantara keduanya.

“Ayah kamu nyebelin Kak,” adu Runa pada anaknya.

===

Suara bel rumah membuat Runa terjaga dari tidur lelapnya. Ia beringsut, dan duduk sebentar di sisi ranjang, mengumpulkan seluruh nyawanya. Suara bel kembali terdengar saat Runa mengucek matanya. “iya sebentar,” sahutnya. Runa turun dari tempat tidur. Ia meringis saat kakinya menyentuh lantai putih yang cukup dingin. Dengan langkah gontai ia keluar kamar tidur untuk melihat siapa yang memencet bel rumahnya malam-malam seperti ini.

Melewati ruang tamu, mata Runa melirik ke dinding tempat jam menempel. Pukul satu dini hari, ia membuang napasnya kasar saat bel dirumahnya kembali berbunyi. “iya, iya sebentar,” ucap Runa. Runa mengintip lewat jendela rumahnya, memastikan dugaannya bahwa diluar sana adalah Irsyad tepat.

Di putarnya kunci yang tergantung di lubang pintu. Pintu utama terbuka menampilkan suaminya yang masih berpenampilan rapi.

“udah tidur ya Run?” tanya Irsyad setelah mengecup puncak kepala istrinya.

“iya,” jawab Runa. Irsyad menutup pintu dan menguncinya kembali. “kamu enggak bawa kunci?” tanya Runa.

“lupa,” sahut Irsyad sambil terkekeh. “tidur lagi sana,” perintah Irsyad yang menggiring Runa ke kamar. Runa kembali ke ranjangnya, ia langsung terlelap lagi begitu merebahkan tubuh.

Irsyad mendekati istrinya perlahan, mengusap lembut kepala Runa. “capek banget ya Run?” tanyanya yang jelas-jelas tak akan dijawab.

Ia memandangi wajah Runa cukup lama, menikmati wajah Runa yang begitu damai dlalam tidurnya. Tubuh Runa yang bergerak teratur menandakan tidur perempuan itu memang sudah begitu nyenyak. Irsyad mendekatkan wajahnya ke wajah Runa, satu kecupan yang cukup lama mendarat di kening ibu satu anak itu. Irsyad melepaskan kecupan itu dan kembali mengusap surai Runa. Ia tersenyum sebentar lalu meninggalkan Runa, beralih ke box bayi yang tak jauh dari ranjang.

“Ayah pulang Kak,” ucap Irsyad, tangannya bergerak mengusap pipi Akia. “besok kita jalan-jalan ya,” ajak Irsyad. “sekarang Ayah mandi dulu,” ucap Irsyad setelah lama memandangi anaknya.

“ganti baju aja, terus langsung tidur, besok pagi aja mandinya,” ucap Runa dengan suara parau.
Irsyad tersenyum mengetahui istrinya belum benar-benar lelap.

“iya,” jawab Irsyad.

Irsyad menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya, ia lalu menuju ke lemari pakaian dan mengganti baju, segera ia bergabung dengan sang istri yang sudah kembali memejamkan mata. Lelaki itu merapatkan tubuhnya dan menaikkan selimut sebatas bahu Runa. Tangannya melingkar di pinggang Runa memberikan dekapan hangat untuk istrinya. Rasanya sudah lama Irsyad tak seperti ini, beberapa hari belakangan sepulang kerja ia langsung tidur saking lelahnya. Matanya hampir terpejam saat dering ponselnya memenuhi kamar tidur, tak ingin membuat gaduh Irsyad buru-butu memyambar ponsel dyang ia letakkan diatas nakas.

“halo El,” sapa Irsyad. Runa yang kehilangan dekapan suaminya membuka sebelah matanya begitu mendengar nama El disebut. “Iya enggak apa-apa, kenapa El?” tanya Irsyad. Dan mengalirlah obrolan antara dua orang itu.
Runa memejamkan matanya sambil mencuri dengar pembicaraan sang suami dengan perempuan bernama El itu.

lho, bukannya kemarin mereka udah oke sama rancangannya?” suara Irsyad berubah menjadi panik. Lelaki itu terduduk di ranjang sambil mengacak rambutnya begitu mendengar jawaban dari seberang.

“Terus salahnya dimana? Kemarin mereka udah oke, kenapa tiba-tiba minta perubahan, enggak bisa begitu El, rancangan itu sudah sesuai, perhitungannya juga sudah tepat,” ucap Irsyad dengan nada geram.

“hanya karena itu? Ya Tuhan, terus mereka maunya seperti apa? Kalau enggak suka kenapa tendernya dikasih ke kita,” ucap Irsyad emosi.

“ya udah, besok aku coba bertemu mereka dan bahas masalah ini,” ucap Irsyad. Tak lama panggilan itu berakhir. Irsyad kembali merebahkan tubuhnya disamping Runa. Matanya menatap langit-langit kamar, mata yang sebelumnya hampir terpejam kini malah yerbuka semakin lebar, rasa kantuknya hilang, pikirannya kembali pada pekerjaan yang mengalami kendala.

Tangan kecil merambat di perutnya, bergerak kearah pinggangnya. Irsyad mengalihkan pandangannya, tangan putih istrinya sudah memeluk tubuhnya itu. Tangan Irsyad mengusap tangan Runa dengan begitu lembut. Runa yang tak membuka matanya itu mendekatkan diri ke tubuh Irsyad, ia harap suaminya bisa lebih tenang menghadapi masalah yang sebenarnya tak Runa tahu.

“jalan-jalan sama Kakak ditunda dulu aja, selesaikan kerjaan kamu,” ucap Runa dengan suara lembut dan mata terpejamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top