Enam

Cahaya terus terpancar sepanjang malam, terlalu asik meninabobokan anaknya membuat Runa ikut terlena dan berakhir ikut terlelap tanpa mematikan penerangan yang ada. Runa menggeliat di samping Akia, namun gerakannya tertahan saat di sadarinya ada sebuah lengan melingkari pinggangnya. Tersentak kaget, Runa menepis tangan itu hingga si empunya terbangun.

“Pagi Bundanya Akia,” sapaan parau yang tak asing di telinga Runa menambah rasa tak percaya dengan apa yang ia lihat disebelahnya.

“kamu?kok ada disini?” tanya Runa. Lipatan dikeningnya muncul menghiasi parasnya yang baru bangun tidur.

“ini ‘kan kamar aku,” jawab Irsyad singkat. Lelaki itu tak berniat bangun dari tempatnya, ia hanya memperbaiki posisi tidurnya dan meraih pergelangan Runa, menariknya untuk ikut bergabung dengannya di bawah selimut.

“udah pagi, aku mau bantuin Bu Warti sama Mama di dapur,” ucap Runa yang menahan tubuhnya agar tak kembali berbaring seperti yang diinginkan suaminya.

“enggak usah sini aja, ngapain sih ramai-ramai di dapur kayak mau demo aja,” ucap Irsyad yang kini sudah terduduk dan menarik bahu Runa agar berbaring di sampingnya.

“kamu enggak mau sarapan?” tanya Runa.

“ini sarapanku udah ada di depan mata,” jawab Irsyad dengan sebelah mata mengedip menggoda Runa.

Pukulan yang tak terlalu kuat bersarang di dada Irsyad, kekehan Irsyad membuat Runa semakin malu dan menyembunyikan wajahnya didada Irsyad.

“kenapa enggak bilang kalau menginap disini?” tanya Irsyad dengan tangan yang bermain di surai hitam Runa.

“kamu tahu darimana aku disini?” bukannya menjawab perempuan itu malah balik bertanya.

“semalam aku pulang kalian enggak ada dirumah, aku khawatir kalian kenapa-kenapa, untung aku telepon Mama sebelum telepon polisi,” jawab Irsyad. Tangannya beralih ke punggung Runa, mengusap pelan permukaan kulit yang masih terlapisi bahan kaos.

“kamu langsung kesini?” tanya Runa yang memainkan kerah polo yang dikenakan suaminya.

“enggak,” jawab Irsyad diiringi kekehan. “tadi subuh aku baru sampai sini, lihat istri cantik tidur pulas banget,” lanjut Irsyad yang kembali mengusap rambut pendek Runa.

“katanya khawatir tapi enggak langsung nyusul, khawatir macam apa itu,” protes Runa. Bibirnya mencebik, masuk dalam mode ngambek.

“semalam udah lelah banget Run, jadi aku rebahan sebentar,” ucap Irsyad membela diri.

Runa bangun, terduduk disamping tubuh Irsyad. Gerakan Runa yang tiba-tiba itu membuat Irsyad merasa kehilangan. Ia hanya mampu menggapai lengan Runa agar tak pergi jauh darinya.

“memang pulang jam berapa?” tanya Runa dengan tatapan menyelidik

“jam satuan,” jawab Irsyad.

Dengusan kesal terdengar, Runa melihat Irsyad dari ekor matanya. Kini isi kepalanya itu memikirkan berbagai hal-hal yang tak Runa sukai. Pemikiran yang condong ke hal negatif itu ingin Runa enyahkan dari otaknya, namun sayang tak bisa.

“Aku mau ke dapur dulu,” ucap Runa bergerak meninggalkan Irsyad dan Akia di ranjang.
Irsyad hanya menatap kepergian Runa lalu mendekati anaknya.

Dirinya yang tak menyadari kekesalan dalam hati Runa, ia malah  merebahkan tubuhnya kembali di samping gadis kecilnya. Di peluknya Akia dengan hati-hati untuk melepas rindunya pada sang anak.

====

Suara langkah kaki yang menuruni tangga terdengar, Dini dan Warti yang berada di dapur langsung mengalihkan perhatian ke sumber suara. Dilihatnya Runa berjalan dengan wajah cemberut menuruni anak tangga, kening Dini berkerut matanya niatnya menyapa Runa diurungkan, matanya  melirik ke Warti, lewat matanya ia seolah mempertanyakan apa yang terjadi dengan menantunya. Sayangnya Warti pun tak tahu seperti Dini.

“Masak apa Ma?” tanya Runa yang baru sampai di anak tangga terakhir.

“ayam goreng, sini bantuin Mama,” ajak Dini, tangannya memerintahkan Runa untuk mendekat.

Runa berjalan mendekati dua wanita yang sibuk dengan alat perangnya masing-masing. Dini dengan ulekan ditangan sedangkan Warti dengan pisaunya. Runa melihat bahan-bahan yang tergeletak, matanya menemukan ada kembang kol, wortel, dan jamur kancing, ia lalu mengedarkan pandangan ke arah Warti yang sedang memotong daging ayam dan membersihkannya.

“Mau masak capcay ya Bu?” tanya Runa dengan antusias.

“iya Mba,”jawab Warti singkat, senyum tipisnya tersungging ke arah majikannya itu.

“Bu, Ina apa kabar?” tanya Runa tiba-tiba saja dirinya teringat gadis itu. Sudah lama ia tak bertemu dengan Ina, ia rindu akan celotehan Ina yang selalu menemaninya dulu saat Irayad begitu kejam pada dirinya.

“baik Mba, dia suka nanyain mba Runa kalau teleponan sama saya,” sahut Warti.

“ajak main kesini War,” ucap Dini yang baru akan mengulek bumbu untuk daging ayam.
Suara ulekan yang beradu dengan cobek batu itu memenuhi dapur, dengan sedikit bertenaga Dini menumbuk bumbu-bumbu yang ada disana , menghancurkan dan membuatnya menjadi sangat halus.

“iya bu, diajak main kesini biar kakak ketemu sama Ina,” timpal Runa.

“nanti saya ngomong dulu sama anaknya,” sahut Warti.

“benar ya Bu?,” tanya Runa meminta kepastian.

“iya Mba, tapi enggak janji ya Ina mau ya Mba,” jawab  Warti

“kalau enggak mau, biar aku yang ngomong ke dia,” sahut Runa sambil menaikkan lengan bajunya layaknya preman pasar.

“Bun, kakak haus kayaknya,” ucap Irsyad yang tiba-tiba muncul bersama Akia di gendongannya. Lelaki itu menginterupsi percakapan tiga wanita yang tengah tertawa melihat gaya Runa bak preman pasar itu.

“Iya iya,” sahut Runa. “Ma Runa tinggal ya, enggak jadi bantuin masaknya,” lanjutnya dengan wajah bersalah.

Dini tersenyum sambil mengangguk, tangannya bergerak mengusir Runa agar segera pergi menyusui anaknya.

====

“Ngobrol apa sama Mama?” tanya Irsyad yang duduk di sisi ranjang berhadapan dengan Runa yang duduk di sofa.

“Ngobroin mau masak apa hari ini,” jawab Runa yang fokus menyusui Akia.

Irsyad mengangguk-angguk. Ia kembali mengarahkan perhatiannya pada sikecil yang tertutup kain bermotif bunga berwarna-warni. “kasihan Kakak, napasnya engap itu di dalam,” ucap Irsyad.

“enggak kok, kan ini juga enggak ke tutup semua,” sahut Runa.

Irsyad menarik napas dalam.

“kenapa harus ditutupin begitu sih Run, ini di dalam kamar loh,” protes Irsyad yang tak mengerti dengan tingkah Runa, istrinya sepeeti menyiksa anaknya yang dengan kain yang menutupi kegiatan susu menyusu itu.

“ya udah sana keluar dulu, kalau aku lagi menyusui jangan ikut-ikutan nimbrung,” sahut Runa santai.

“emang kenapa kalau nimbrung, masih malu? Kita udah melakukamnya beberapa kali, tapi kamu masih malu? Aneh,” omel Irsyad.

“biarin,” jawab Runa singkat.
Kesal. Irsyad bangun dan mendekati Runa, dengan cepat ia menarik kain penutup hingga lepas dan memperlihatkan aktivitas di baliknya.

Akia tengah mengisap kuat, memberikan kesegaran bagi tenggorokannya yang kering, pipinya bahkan sampai mengempot karena hisapannya yang kuat. Irsyad tak memperhatikan wajah malu sekaligus kesal yang Runa tunjukkan ia hanya fokus pada Akia, hatinya begitu senang melihat anaknya begitu semangat memenuhi kebutuhan makannya. Matanya hanya fokus ke arah Akia. Senyumnya terbit, hatinya menghangat. Berbeda dengan Runa hatinya bukan lagi menghangat tapi membara, pipinya merah padam tanggannya berusaha menggapai kain penutup yang Irsyad sembunyikan di balik tubuhnya.

“jangan gunakan ini lagi, aku akan membuangnya,” ancam Irsyad.

“aku bisa beli lagi,” sahut Runa dengan dagu terangkat.

“aku bakar jika kamu beli lagi,” balas Irsyad sambil terkekeh.

Runa memajukan bibirnya, ia benar-benar kesal dengan tingkah suaminya yang tak paham bahwa ia masih merasa malu jika mengekspos bagian tubuhnya. Jangan samakan jika mereka sedang melakukan olahraga ranjang. Dalam hal itu, dirinya jelas di lingkupi napsu dan akalnya hilang, urat malunya juga seolah putus, jika dalam keadaan sadar seperti sekarang ia jelas malu mengekspos bagian tubuhnya.

“Aku mandi dulu,” ucap Irsyad yang mengacak rambut Runa sebelum pergi meninggalkan anak dan istrinya itu. Irsyad menyadari wajah Runa yang memerah dan usaha menutupi payudara dari matanya, ia tak mau semakin lama disana dan menyiksa Runa, padahal sama sekali bukan maksudnya untuk mengambil kesempatan untuk melihat bagian-bagian tubuh istrinya itu. Ia benar-benar ingun melihat anaknya menyusu dengan nyaman tanpa perlu ditutupi kain sialan itu. Dirinya tak melarang Runa menutupi asetnya, tapi jika di dalam rumah, apalagi di kamar mereka  untuk apa, hanya menyuksa anaknya saja.

“kamu mau berangkat kerja?” tanya Runa saat Irsyad mengambil handuk di lemari.

Beberapa pakaian dan barang-barang Irsyad memang masih ada di rumah Dini. Di kamarnya itu, disimpan beberapa helai baju, jadi jika ia dan Runa menginap tak perlu banyak membawa pakaian dari rumah.

“Iya, kerjaannya aku lagi banyak—“

“lembur lagi?” selak Runa.

Irsyad mengalihkan pandangannya ke Runa begitu mendengar nada suara Runa yang berbeda dari biasanya. Ia bisa menangkapa ada kesan tak suka dari Runa jika dirinya lembur bekerja.

“iya, kamu menginap disini lagi enggak apa-apa ‘kan?” tanya Irsyad.

Mata Runa berputar, ia tak suka dengan jawaban Irsyad. Ia begitu mengharapkan jawaban lain, bukan malah mengiyakan pertanyaanya.

Bukan karena ia tak mau menginap dirumah ini, bukan. Bukan karena ia tak suka jika suaminya itu bekerja hingga lembur, bukan. Runa jelas tahu semua yang Irsyad lakukan untuk keluarga mereka.
Ia juga bukan tak suka jika Irayad bekerja dengan perempuan, Runa sadar, dunia ini di penuhi oleh laki-laki, perempuan, laki-laki seperti perempuan dan perempuan seperti laki-laki, jadi ia tak bisa mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh berdekatan dengan suaminya. Hanya saja ia tak suka jika ada perempuan yang bersikap berlebihan pada suaminya. Mereka teman kerja ya sudah cukup sampai disitu. Apa perlu Runa melabeli kening Irsyad dengan tulisan bapaknya Akia!

“memang berapa orang yang lembur?” tanya Runa.

“Bertiga,” jawab Irsyad singkat sambil menyiapkan pakaian yang akan ia gunakan.

Runa diam. Ia ingin bertanya lebih lanjut namun malu, Irsyad pasti akan mengiranya cemburu jika Runa langsung menanyakan siapa itu el sebenarnya. Bisa besar kepala lelaki itu.  Tapi jika tidak bertanya tentu rasa penasaraannya akan semakin memuncak.

“siapa aja?” tanya Runa akhirnya.

“aku, Dito sama Helena,” jawab Irsyad. “tumben kamu nanya sedetail itu,” lanjut Irsyad dengan sebelah alis yang terangkat.

“enggak apa-apa, pengen tau aja,” sahut Runa. “siapa tahu kamu bohong, bilang lembur taunya bukan,” lanjut Runa yang memusatkan perhatian pada Akia.

Irsyad terdiam di tempat, menatap sang istri yng baru saja berhenti bicara. Butuh beberapa detik untuknya agar bisa mencerna ucapan Runa. Ia sudah mulai bisa meraba kemana arah ucapan Runa. Terlambat mungkin menyadari yang menelpon kemarin adalah istrinya bukan ibunya. Terlambat ia menyadari bahwa istrinya mendengat ucapan Helena yang terdengar berlebihan jika orang tak melihat secara langsung kejadiannya. Irsyad akhirnya  tersenyum dan berjalan mendekati sang istri. Sepertinya ia perlu menjelaskan pada Runa apa yang terjadi sebenarnya.

“jadi ceritanya ada yang cemburu nih?” ledek Irsyad yang berlutut di depan Runa sambil menatap mata Runa.

“Apaan sih,” elak Runa.

“ngaku aja Bun,” goda Irsyad.

“Dih, kamu tuh kepedean, Ngapain juga cemburu sama kalian, bodo amat. Kau kalian suap-suapan juga bodo amat, enggak peduli,” ucap Runa dengan nada bicara yang semakin meningkat.

Irsyad tertawa begitu melihat emosi Runa. Sekeras apapun usaha Runa menutupi rasa cemburunya, jelas Irsyad tahu apa yang dirasakan istrinya itu. Niatnya menjelaskan iaburungkan, sepertinya menyenangkan melihat Runa cemburu tapi tak mau mengaku. Lelaki yang melupakan niatnya untuk mandi itu memutuskan untuk bermain-main terlebih dahulu dengan istrinya. Menggoda dan membakar hati sang istri agar ia mengetahui sejauh mana rasa cemburu Runa yang bisa membuatnya tahu, seberapa dalam perasaan perempuan itu padanya.

“jadi boleh suap-suapan nih?” goda Irsyad.

“terserah!” bentak Runa yang langsung bangun dari sofa dan pergi keluar kamar membawa Akia yang masih menyusu.

Irsyad masih tertawa di dalam kamar, baginya kecemburuan Runa benar- benar menyenangkan. Tanpa ia sadari, ada hati yang benar- benar terbakar di luar sana. Karena bagi Ruan itu bukan sekedar lelucon, ia juga tak paham kenapa hatinya begitu kesal mendengar ucapan Irsyad padahal ia tahu itu hanya ledekan, Irsyad hanya menggodanya. Atau jangan-jangan dirinya yang salah, bisa saja itu bukan hanya sekedar menggodanya, bisa saja itu memang keinginan Irsyad yang di kemas secara tidak langsung, mengingat rumah tangganya bukan dilandasi oleh pondasi yang baik. Bukan karena keduanya saling mencintai dan ingin membangun sebuah rumah, keduanya membangun rumah hanya karena tak sengaja melakukan kesalahan. Sebuah pondasi bernama keterpaksaan. Yang kekuatannya diragukan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top