Sentuhan Gula Dalam Kopi

Semenjak pertama kali kakinya menginjak kota Bandung, belum pernah sekali pun Rathya pindah dari lokasi tempat kontrakan. Menemukan Ikbal dan menempatkan diri menjadi orang terdekat dengan lelaki yang selalu berpenampilan bersih itu adalah salah satu kebaikan dari Tuhan.

Ia masih ingat sembilan tahun silam ketika di kampus yang menganut disiplin ilmu pendidikan, tepatanya di halaman fakultas teknik kawasan Setia Budi. Ia bersapa dengan lelaki yang memiliki tubuh gempal.

"Ikbal Mahardika," sahut lelaki itu menjabat tangannya. "Kamu murni juga kan?"

Waktu itu hari terakhir kegiatan yang disebut pengenalan mahasiswa terhadap kampus. Keduanya membuang letih di salah satu bangunan kecil tak berdinding yang juga di sebut gazebo.

"Ya, murni teknik sipil," balas Rathya.

Seharusnya fakultas itu menelurkan tenaga-tenaga pengajar untuk sekolah menengah kejuruan, berjalan dengan waktu dan kepentingan pihak kampus, menerima pula mahasiswa yang ingin berkarir sebagai insinyur. Salah satu peminatnya adalah Rathya dan Ikbal. Untuk dapat masuk ke universitas negeri ini memang tidak mudah, bukan berarti lebih pintar dari kebanyakan orang yang gagal. Keduanya dan bisa jadi yang berhasil lolos adalah orang-orang yang memiliki keberuntungan lebih dari yang lainnya.

"Kamu ngekost di mana?" tanya Ikbal dengan pandangan tertuju pada helipad yang dijejal mahasiswa keluar masuk melewati pintu utama lobby.

"Di gerlong hilir," jawab Rathya. Matanya cekung, menandakan ia jenis manusia yang lebih banyak hidup di malam hari.

"Wah, sama dong," celetuk Ikbal dengan wajah yang sumringah. "Bagaimana habis ini pulang bareng, kita 'kan searah?"

Mendapatkan tawaran yang demikian tentu saja disambut baik oleh Rathya. Selama ini ke kampus memerlukan waktu kurang lebih lima belas menit. Kalau menunggu angkot, selain tidak bisa bebas memilih waktu, sopirnya juga kerap ngetime, membuatnya sering terlambat. Lantaran itulah ia memilih berjalan kaki melewati pasar rakyat di kawasan gerlong tengah.

"Kau bisa main biliyar?" tanya Ikbal lagi.

Rathya menoleh sambil membetulkan kaca matanya. "Ya bisalah sedikit-sedikit."

"Mantap," kata Ikbal penuh semangat. "Aku akan mengajakmu ke tempat biliyar terbaik di kawasan ini."

"Hari ini?"

"Masa harus tahun depan," balas Ikbal. "Kita ke kostku dulu ganti baju habis itu ke kostmu."

Rathya kembali menyepakati. Tidak lama kemudian suara-suara kakak tingkat berteriak lantang memanggil mahasiswa baru termasuk ia dan ikbal. Setelah kurang lebih sejam di bawah terik matahari di atas selasar helipad barulah mahasiswa baru diperbolehkan memasuki kelas. Itu pun harus menggunakan tangga untuk sampai ke lantai lima. Sedangkan lift tidak boleh mereka pakai sebelum benar-benar habis masa ospek kampus itu.

Rathya mengenal apa itu kemerdekaan pun dengan Ikbal ketika menjelang sore, dengan demikian hari itu juga resmi lepas dari masa ospek. Dan hal ini patut dirayakan, inilah yang menjadi alasan Ikbal mengajak Rathya ke tempat permainan yang menggunakan tongkat panjang itu. Dengan setengah berlari keduanya menuju tempat parkiran.

Rathya sudah menduga, terlebih memasuki gang kecil yang sangat familier. Keduanya tertawa geli menyadari bahwa selama ini berada di bawah satu atap yang sama.

"Aku di lantai atas," kata Ikbal mengakui, "baru dua hari yang lalu pindah ke sini."

"Aku di bawah, sudut kanan," tunjuk Rathya pada bangunan berkoridor itu.

"Tidak pernah melihatmu," selidik Ikbal, "padahal aku sering bersantai di ruang TV."

"Jarang keluar kamar," sahut Rathya dengan senyum malu-malu. Alasan belum menemukan teman yang cocok serta belum paham benar dengan bahasa setempat membuat Rathya lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kasur. Ke luar paling di waktu-waktu jam makan.

Belakang hari baru Rathya mengetahui bahwa rumah kontrakan itu milik bapak Ikbal, lantaran rumahnya yang jauh di Buah Batu membuat lelaki yang rajin di ke tempat pelatihan kebugaran itu memilih tinggal di kontrakan. Selain dekat dengan kampus, Ikbal juga merasa dapat bebas dari pengamatan orang tuanya.

Rathya dan Ikbal lebih dekat semenjak itu, keduanya memiliki banyak kesamaan di antara beberapa perbedaan. Mencintai club bola yang sama, menyenangi futsal, keduanya pun saling mengalahkan bila bermain pes di pc. Hanya saja Ikbal bukan jenis lelaki yang terlalu menyukai kopi bahkan ia anti aroma tembakau. Berkebalikan dari Rathya.

Lewat Ikbal pula Rathya diperkenalkan dengan beberapa rumah kopi, tempat di mana Rathya bekerja paruh waktu. Tujuannya saat itu ingin menjadi barista yang handal, ya pada prosesnya memang ia bukanlah peracik kopi profesional. Meski demikian untuk kalangan awam ia berada lebih setingkat.

Untuk membalas banyak kebaikan Ikbal, Rathya bersedia mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tentu saja bila punyanya sendiri sudah beres terlebih dahulu. Apalagi masalah gambar menggambar dengan menggunakan aplikasi autocad, Ikbal terlihat lemot untuk urusan itu.

Menuru Ikbal, ia bersedia memasuki jurusan teknik sipil lantaran paksaan orang tuanya yang berhasrat menjadikannya sebagai seorang kontraktor. Padahal ia lebih tertarik masalah seni. Termasuk desain pakaian.

Bahkan dua tahun silam, Rathya yang lebih banyak mengerjakan pembuatan skripsi temannya itu. Mulai dari penelitian hingga pengolahan data. Sedangkan nasib kuliah Rathya sendiri adalah untung yang memang tak bertuan.

Ia dan Ikbal seolah bermain dengan waktu. Seperti kopi yang diseduh air panas. Awalnya mampu mengental, hingga menyebakan air yang putih menjadi hitam pekat. Mereka lupa bahwa manusia terus meneguk hingga menyisakan ampas yang tentunya menjadi kotoran tak berfungsi selain sebagai penghuni tong sampah.

Boleh jadi keduanya disebut buyut mahasisawa, atau petapa kampus. Untuk menjadi abadi tidak mungkin. Sebab peraturan kampus negeri itu menjatahkan mahasiwa hanya boleh mengenyam pendidikan maksimal tujuh tahun, lepas dari itu akan didepak meski tanpa menyandang gelar apa pun. Dan Rathya menjadi orang yang tak beruntung di atas sedikit keberuntungan Ikbal. Yang sedikit itu ternyata hanya mampu menyelamatkan Ikbal.

"Kau akan pulang?" tanya Ikbal pada Rathya yang meringkuk di atas spring bad.

Lelaki itu merasa berada di titik terendah dalam hidupnya. Patah hati dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan gelar sarjana menjadikannya ia sebagai manusia paling sial. Malang pun tak bertuan, dapat menimpa siapa pun tak terkecuali orang yang mendapatkan masalah. Jadilah Rathya sebagai wujud manusia malang yang dibebankan masalah.

"Mereka yang memintaku pulang," kata Rathya dengan tatapan kosong. "Aku akan pergi dari kota jahanam ini, tapi tidak untuk pulang."

"Kau tidak kasihan dengan emakmu?"

"Dia akan lebih menderita kalau aku pulang," jawab Rathya dengan suara yang keras, entah itu untuk mengusir ketakutannya yang menjelma bagaikan corak hitam bak ampas kopi.

Ia tahu betul bagaimana pandangan keluarga besarnya, belum lagi  tetangga, teman-temannya di sana. Mereka memang akan memberikan rasa sungkawa, tapi di belakang pasti mencetuskan penghinaan tersirat. Rasanya ia lebih memilih mati bila harus menerima tatapan mata manipulasi belas kasihan berselimut pengejekan.

Sejak saat itu tak pernah lagi menerima uang kiriman, Rathya paham alasan yang demikian adalah lantaran keluarga menginginkannya pulang. Namun ia tetap bersikeras untuk tidak kembali, dengan tabungannya selama bekerja di rumah-rumah kopi ia bertekad menyambung hidup jauh dari keluarga. Hanya inilah pilihan yang dapat ia lihat.

Rathya berusaha menghibur dirinya sendiri, mulutnya lebih akrab dengan alkohol, ia kemudian memutuskan ke Jogja. Hanya mampu bertahan seminggu di sana. di Jakarta ia dapat bertahan lebih lama dengan pekerjaan sebagai kuli di pelabuhan tanjung periuk, hampir tiga bulan di sana, ketika merasa ibu kota itu sebagai tempat hidupnya, nasib naas datang kembali menyapa. Di kota itu ia malah mendapatkan tusukan oleh preman yang sampai sekarang membekas di perutnya.

Ikbal kembali menjadi orang yang hadir seperti gula dalam kopinya. Melarutkan pahit untuk disuguhkan sebagai minuman yang dianggap favorit oleh sebagian orang.

"Rumahmu di Bandung," kata Ikbal saat itu meyakinkan.

Rathya menatap mata Ikbal seolah mencari tempat berlindung di balik sorot mata sahabatnya itu. "Tolong carikan aku kost yang murah."

"Di sini saja."

"Aku tak akan mampu membayar sewanya."

"Tidak usah kau pikirkan," kata Ikbal dengan suara yang terdengar nyaman. "Dan tutup hatimu untuk perempuan brengsek itu!"

***

Seduhan kopi tidak akan sempurna tanpa gula yang menjadi pemanis. Pun dengan seorang lelaki, ia akan menjadi manusia pesimis tanpa sentuhan perempuan yang manis.

Bagaimana bila kemudian aku menjadikanmu gula di dalam kopiku, bersedia?

-Kopi Penyeduh Kenangan-

Rathya mengunggah foto gula dan kopi berbalutkan sebuah paragraf. Tidak sampai setengah jam, like di akun instagramnya itu menyentuh angka tiga ribuan. Ratusan komen pun masuk silih berganti. Akankah ia sekarang menjadi seleb instagram?

Tidak-tidak, jelas itu bukan seorang Rathya. Pelakunya memang lelaki yang memiliki tinggi rata-rata itu, namun ia berlindung dengan nama Kopi Penyeduh Kenangan. Memperlihatkan sisinya yang humanis pun terkesan romantis, bahkan seolah hidup yang dilalui seperti mengecap gula, begitu manis.

Pria yang bersukukan melayu itu tersenyum kala melihat dua akun yang berbalas-balas di komentar postingannya. Username Serbuk Penyemangat dan Gulanya Kopi Penyeduh Kenangan adalah dua akun yang bersahut-sahutan. Hingga kemudian sebuah akun tanpa foto ikut menyeletuk dengan kata-kata kasar.

Rathya membuka notif yang tertera di layar atas smartphone ketika sebuah pesan line masuk, memperlihatkan nama Nara Safa.

Pintu kamarnya terayun ke depan, sosok Ikbal berdiri di muka pintu dengan berkacak pinggang. Kepalanya terlihat menggeleng-geleng.

"Baru bangun maneh?"

Rathya mengangguk menyisihkan bad cover. Jam dinding berbentuk bola dengan motif club Real Madrid berada tepat menghadapnya menunjukan pukul 12. 31.

"Dan pintu ini tidak kau kunci?"

Rathya nyengir. "Lupa."

"Gelo sia."

"Gak papa, sudah biasa."

"Kebiasaan yang buruk!" balas Ikbal menggeser kursi kayu yang sebelumnya menghadap meja. "Hei manusia kelalawar," katanya lagi dengan menyilangkan kakinya. Handphone berada dalam genggaman. "Sana mandi, aku mau ngajak kau ke luar."

"Ke mana?"

"Mandi saja dulu!"

Rathya tidak ingin membantah, ia beranjak dari tempat tidur setelah merapikan alas. Lelaki yang menyukai masakan pedas itu memang tidak membutuhkan lama untuk mandi. Tidak sampai lima menit baginya untuk membersihkan badan. Ia heran dengan Ikbal yang dapat menghabiskan waktu hampir sejam di dalam kamar mandi. Bahkan ia sampai ngakak ketika Ikbal mengaku menggunakan sabun lebih dari satu kali.

Hanya saja satu hal yang membuat Ikbal risi dengan kebiasaan Rathya sehabis mandi. Seperti sekarang, keluar dengan berbalut handuk yang bergambar kopi. Rambutnya saja yang kelihatan kering, tapi tidak dengan tubuhnya. Membiarkan tetesan air menggenangi pori-pori. Ia merasa senang tanpa harus mengelap tubuhnya, membiarkan air itu mengering sendiri. Kebiasaan yang tidak biasa memang.

Ikbal beralih ke sisi pembaringan dengan menelungkupkan tubuhnya yang dibalut kaus kerah hitam polos, membiarkan Rathya duduk di kursi menunggu air di tubuhnya mengering. "Gelo ya jaman sekarang," celetuk Ikbal.

"Apanya?" tanya Rathya sambil memainkan sisa air di kulit.

"Lihat akun-akun yang komentar di instagrammu," terang ikbal, "apa sekarang manusia suka bermain kata ya?"

"Maksudnya?"

"Ternyata bukan hanya aku saja yang berpikir lemot," balas Ikbal menoleh sebentar pada Rathya dan kembali fokus pada layarnya.

"Memang kenapa dengan akun-akun itu?"

"Nama-namanya," jawab Ikbal, "Serbuk Penyemangat, Gulanya Kopi Penyeduh Kenangan, Layang-layang kesenangan, dan entah apa lagi."

Rathya memilih untuk tidak menanggapi, setelah duduk kurang lebih lima menit dan merasa air di tubuhnya mengering ia kemudian melangkah pada sudut kiri berhadapan langsung dengan kamar mandinya, di mana lemari kayu dua daun pintu berdiri kukuh berdekatan dengan cermin. Ia mengeluarkan celana pendek jenis chino bercorak grey, untuk pakaian atas ia memilih kaus oblong hitam, bertulisan 'manusia kopi'.

"Kita mau ke mana?" tanya Rathya yang sudah kembali ke kursi. Terlihat rapi, rambut panjangnya dikuncir dengan pengikat berwarna hitam. Lalu kausnya ditutupi kemeja lengan panjang sengaja tak dikancing, polos, selaras dengan celananya yang berwarna abu-abu.

Ikbal bangkit, lalu beralih ke cermin. Memperbaiki sisiran rambutnya. "Trunojoyo," katanya berbalik ke arah pintu.

Tangga yang menghubungkan teras dan kamar Rathya menjadi tempat keduanya memasang alas kaki. Rathya lebih cepat menempatkan kakinya di teras, sebab ia tak memerlukan waktu untuk mengenakan kaus kaki seperti yang dilakukan Ikbal. "Aku belum makan," kata Rathya.

"Di sana saja," sahut Ikbal sambil menepas bokong.

Beberapa penghuni memberikan salam ketika ia dan Ikbal melewati koridor untuk sampai di halaman utama kontrakan. Bagi penghuni, Rathya adalah bapak kost. Biasanya pembayaran sewa diserahkan padanya. Pun dengan keluhan, seperti closed kamar mandi yang macet, persedian air bersih lantaran pompa bermasalah, atau pun masalah listrik dan jaringan internet yang sering mengalami gangguan.

Rumah sewa itu terdiri atas dua bangunan, satu bangunan utama bertingkat dua dan satunya berbentuk setengah melingkar. Keduanya dalam satu kesatuan oleh pagar besi berwarna hijau. Halamannya sendiri terbagi atas tiga, cukup luas. Di bagian belakang, sisi kanan dan depan. Sisi kanan sendiri digunakan penghuni untuk berolahraga. Kalau dulu Ikbal sering mengajak Rathya bermain badminton di halaman samping itu kalau angin sedang tidak ada. Tapi semenjak Ikbal kembali ke rumahnya di Buah Batu, halaman itu dijadikan tempat bermain voly.

"Banyak yang baru ya?" tanya Ikbal sambil mengenakan helm.

"Beberapa," sahut Rathya singkat yang sudah duduk nyaman di belakang Ikbal.

Motor kelas 250 cc berwarna hitam milik Ikbal mulai melaju melintasi jalan gerlong hilir. Rathya memilih untuk tidak menyahut beberapa pertanyaan Ikbal, ia memang jarang  bicara kalau berada di atas kendaraan roda dua itu.

Lumayan macet, kalau normal hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Apalagi kalau lewat jalan cihampelas yang sekarang dalam pembangunan sky walk, macetnya luar biasa. Untuk itulah Rathya meminta Ikbal belok ke jalan Cimbuleuit selanjut menuju arah ITB agar sampai ke daerah Trunojoyo, kawasan distro-distro ternama kota Bandung.

Motor Ikbal kemudian memasuki halaman bata yang di sampingnya terdapat baliho gede bertuliskan Year And Sale. Kendaraanya diparkir berjejer dengan motor-motor lain.

"Ramai?" tanya Ikbal pada lelaki kurus dengan bandana tengkorak di lehernya.

"Lumayan," jawabnya dengan tersenyum. Lelaki yang mengenakan topi terbalik itu lalu menatap Rathya. "Ini Bang Rathya ya?"

Ratnya mengangguk lalu menjabat tangan.

"Saya Cecep Sunarda. Anak-anak manggil saya Asep."

Rathya lalu memosisikan diri di samping Ikbal yang duduk di kursi panjang bahan busa tanpa berpenyangga.

"Seperti yang kita bicarakan beberapa waktu lalu," kata Ikbal membuka obrolan, tatapannya tertuju pada Rathya. "Aa Asep ini bersedia ikut terlibat."

Lumayan lama, beberapa bulan belakang. Rathya menyampaikan keinginanya untuk membuka rumah kopi yang menyediakan konsep taman bacaan dan juga menjual pakaian dengan serba-serbi kopi. Ia tidak mengira, ternyata Ikbal yang saat itu terlihat tidak menanggapi tapi malah bergerak cepat.

"Nah begini, Bang," Asep menanggapi. "Saya memantau instagram Abang, kalau masalah followers akun kita juga lumayan banyak, yang menjadi tidak biasa adalah akun Abang pengikutnya terlihat aktif. Apa pun yang ditawarkan di sana sepertinya menjadi daya tarik."

Tidak salah memang, Rathya sendiri beberapa waktu yang lalu ketika memposting kaus yang sekarang dikenakan, permintaan dari followers pun langsung datang. Saat itu Rathya sama sekali tidak berkeinginan untuk menjual pakaian, lantaran Ikbal-lah yang kemudian memproduksi lebih banyak kaus yang bertuliskan tentang kopi. Hasilnya memang di luar dugaan. Sampai saat ini pun masih ada yang memesan.

"Untuk itu bagaimana kalau kita mematenkan nama Kopi Penyeduh Kenangan dalam produk pakaian?" lanjut Asep. "Dari sini kalau usaha ini berjalan dengan baik pelan-pelan kita membuka bisnis coffee shop yang berkelas."

Rathya menarik napas, senyum mengembang dari bibir yang tipis. Pelataran bangunan yang berbentuk rumah keluarga itu menjadi santapan mata. Gerimis mulai turun. Ia seperti melihat butir-butir gula yang manis untuk hari esok setelah sebelumnya hari-harinya seperti tak berwarna, hanya hitam. Layaknya bubuk kopi, pahit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top