Larutan Kopi Tak Bertepi

Manusai boleh saja berencana sematang mungkin. Seperti halnya menyeduh kopi pada umumnya, sudah dapat dipahami langkah-langkah dengan cermat. Mulai dengan menyeduh air, lalu menuangkan bubuk kopi dan gula secukupnya. Siapa yang menyangka ketika semuanya sudah siap, sebelum menikmati, tiba-tiba saja gelas yang menjadi wadah pecah ikut membawa air yang berada dalam tampungan berhamburan.

Hal inilah yang dialami seorang Rathya, lelaki perantau ini mempersiapkan hidup dengan sematang mungkin. Salah satu rencana besarnya adalah mendirikan rumah kopi, jauh hari mempersiapkan. Untuk itulah ia banyak menghabiskan waktu dengan bekerja paruh masa sebagai seorang barista di rumah-rumah kopi yang sudah memiliki nama di kota ini. Hingga kemudian rentetan masalah yang datang dari diri sendiri menghancurkan rencana hidup.

Pilihan terakhir yang ia miliki adalah kedai kopi manual brew yang akan genap satu semester di pengujung bulan. Usaha ini pun direncanakan sudah sejak lama bersama Ikbal, namun baru dapat terealisasi di tahun ini. Secara bertahap ia menyediakan alat penunjang seperti sepeda, gerobak dan pembuat kopi manual.

Ia memang memiliki modal utama dalam bisnis coffee shop , sebagai manusia kopi tentu hal ini sudah menjadi langkah awal bila ingin menekuni usaha yang sejatinya mampu menjangkau semua kalangan. Selanjutnya ia harus memiliki keterampilan dalam meracik kopi, nah inilah yang memerlukan kemampuan yang tidak gampang. Terlihat simple, sebagaimana dulu Rathya juga memikirkan hal yang sama.

Meski pun sekarang Rathya bukanlah barista yang handal, sejalan dengan pengalamannya yang bekerja di beberapa coffee shop cukup membantunya untuk menjadikan ia sebagai ahli peracik kopi. Dengan konsep yang ia tawarkan, kedainya kini mendapatkan tempat di hati penikmat kopi, paling tidak untuk kalangan menengah ke bawah, dengan harga terjangkau mereka dapat menikmati seduhan ala rumah kopi ternama. 

"Kang, aduh maaf yah tadi ada keperluan jadi aku baru bisa datang." Seorang perempuan berdiri di hadapan Rathya, menyodorkan telapak tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menjinjing paper bag berwarna cokelat tua.

Rathya berdiri dari kursi kemudian menyambut salam. "Serbuk Penyemangat?" Pertanyaan yang bermaksud meyakinkan diri sendiri.

Perempuan itu tersenyum menampilkan gigi gingsul yang terlihat manis di sisi kanan bibir. "Iya, Kang. Aku pemilik akun Serbuk Penyemangat. Boleh duduk?" balasnya sambil menunjuk kursi yang baru saja dihangatkan bokong Rathya. "Oh ya Kang," katanya lagi, "kenalkan ini sepupuku, dia ngefans banget sama tulisan-tulisan akang di instagram, dia juga sering nongkrong lo dekat sini hanya untuk dapat menikmati kopi racikan idolanya."

Rathya mengalihkan pandangan pada gadis yang berdiri di sudut kursi. Mengamati dengan saksama, seperti pernah melihatnya. Kemudian menghadirkan senyum untuk gadis itu. "Malam ini kau boleh minum gratis," ujarnya pada gadis berambut tomboy.

Gadis yang diperkirakan Rathya masih duduk di bangku menengah pertama itu mengangguk malu. 

"Silakan duduk," kata Rathya. "Mau pesan apa nona-nona manis?"

"Hmm, aku juga?" tanya perempuan pembawa paper bag.

Rathya mengangguk cepat dengan tetap mempertahankan senyum.

"Aku ingin coba Coffee Ice Cubes seperti yang diposting Akang kemarin di Instagram," balas perempuan itu dengan senyuman yang seolah menantang kemampuan Rahtya menyajikan pesanan sesuai dengan gambar-gambar yang diunggah. "Kamu?" tanyanya pada gadis berambut pendek yang sudah duduk persis di sampingnya.

"Apa aja," jawab gadis itu singkat dengan pandangan ke segala arah. Seolah menyibukan diri sendiri.

Sejenak perempuan pemilik akun Serbuk Penyemangat itu mengendurkan senyum, lalu kembali menatap Rathya. "Sepertinya dia masih nervous dapat ngobrol langsung dengan idolanya," katanya dengan menggosok-gosok paha hingga ke lutut, "kalau tidak keberatan buatkan dia cappucino, dia suka cappucino olahan Akang."

Terlihat gadis yang diakui sebagai sepupu memukul pundaknya dengan senyum tertahan, "Apaan sih," gerutunya.

Rathya tergelak di tempatnya berdiri. "Oke, oke. Tunggu sebentar, pesanan siap disajikan." Ia kemudian bergerak mendekat bicycle shoop.

Tidak memakan waktu sampai lima menit, Rathya kembali ke kursi panjang di mana dua perempuan sedang terlibat dalam obrolan. "Silakan nikmati, Nona-nona manis," katanya menyerahkan dua paper cup yang didominasi motif mirip kulit pohon pinus. Ia memosisikan diri di sisi pot bunga taman yang memang berhadapan dengan kursi.

"Ini pesanan akang," kata perempuan yang mengenakan losse shirt bercorak biru muda dipadukan dengan celana jeans hitam menyerahkan paper bag.

Rathya memeriksa kantong kertas itu, di dalamnya berisi tiga robusta dan tiga arabika. Ia senang, sebab lengkap dengan jenis toraja, flores dan jawa. Padahal sebelumnya  lupa menyebutkan jenis kopi arabika tersebut.

"Jadi totalnya 243 ribu ya?" tanya Rathya menaruh paper bag di sampingnya. Kemudian membuka ritsleting ransel kecil bergambar biji kopi yang terikat di pinggang. "Ini," katanya menyerahkan uang yang sebelumnya sudah disisihkan. "Tidak dihitung dulu?" tanyanya saat perempuan itu langsung memasukan uang ke dalam dompet yang berbentuk persegi panjang.

"Aku percaya dengan Akang," sambut perempuan itu sambil menyesap ice coffeenya. Ia melirik sebentar pada buku milik Rathya yang tergeletak di sisi pot bunga taman. Bisa jadi ia tertarik dengan sketsa pada cover novel terjemahan yang menunjukkan gambar wanita bersedekap mengenakan daster berwarna merah maron. "Akang punya line?" tanyanya kemudian.

Rathya mengangguk lalu mengeluarkan handphone dari saku sweater.

"Biar makin mudah aja kalau Akang mesan lagi," kata perempuan berambut sedada itu. "Apa id-nya?" pintanya dengan jari  siap pada layar telepon genggam.

"Aduh, aku lupa," sahut Rahyta. "Sebentar," katanya kemudian menggeser layar.

"Kode batang aja, Kang."

Rathya lalu menyerahkan ponsel. Saat perempuan berponi memindai, ia tersenyum pada gadis yang memakai kaus kuning. "Kemarin kamu ke sini?" tanyanya.

Orang yang dimaksud mengangguk malu-malu. Hal ini kemudian membuat Rathya yakin gadis berambut tomboy kemarin malam dan gadis yang berada di depannya ini adalah orang yang sama.

"Ini Kang," ujar perempuan yang menggunakan sepatu model flat keabuan-abuan menyerahkan telepon pintar milik Rathya.

Rathya mengambil ponsel dan kembali menyimpan ke dalam saku.

"Dia itu hampir tiap hari ke sini, Kang," terang perempuan bergigi gingsul. "Tulisan akang itu bikin dia baper."

Orang yang dibicarakan malah mengalihkan pandangan, pura-pura tidak mendengar.

"Akang penulis?" tanyanya, dengan mimik yang serius.

Rathya menggeleng sembari tersenyum memperlihatkan dua lesung pipi di antara rahangnya yang tegas.

"Kalau disuruh nulis setebal ini maka aku angkat tangan," jawab Rathya sambil mengangkat novelnya.

"Itu karya Juliana Alvarez ya, Kang?"

 Senyuman Rathya mengendur memerhatikan perempuan itu yang mendekatkan diri untuk melihat buku di tangannya. "Iya," jawabnya lalu menyodorkan novel terjemahan itu. "Kamu suka baca, sudah pernah baca bukunya Juliana Alvarez?" rentet Rathya dengan pertanyaan.

Bila sudah membicarakan tentang buku Rathya selalu bersemangat. Menurutnya, orang-orang di muka bumi ini harus memiliki hobi yang tingkatnya wajib, yaitu membaca. Jika sudah demikian maka pencinta buku tidak akan lagi disebut kaum minoritas.

"Aku hanya membaca In The Time ... apa itu aku lupa," jawabnya singkat.

"In The Time Of The Butterflies," Rathya meluruskan. "Pasti karena menonton filmnya?" tebaknya.

Perempuan itu mengangguk membenarkan. "Itu benar-benar nyata ya, Kang?"

Rathya menerima buku yang kembali diserahkan perempuan berambut gelombang itu. "Menurutku berdasarkan saja," sahutnya, "beberapa di antaranya iya, tentu saja dibalut dramatisasi untuk kepentingan hiburan."

"Yakin tidak ingin membaca buku ini?" tanya Rathya lagi memperlihatkan gigi yang di antara tampak bercak-bercak cokelat.

"Emang boleh?"

"Silakan," serah Rathya, "kebetulan tadi aku baru saja menamatkannya."

Perempuan itu mengambil alih lalu menimang-nimang. "Bagaimana kalau aku tidak lagi datang dan mengembalikan buku ini?" tanyanya dengan senyum tipis.

"Anggap saja aku sedang beramal," jawab Rathya dengan senyum lebar, "lagian waktu aku membelinya sedang ada diskon gila-gilaan."

Perempuan itu memasukan buku ke dalam tasnya yang berjenis hobo bag hitam pekat. "Jadi begitu caranya beramal?" tanyanya dengan nada gurauan.

Rathya memilih menjawabnya dengan tertawa pendek.

"Baiklah," kata perempuan itu lagi setelah mengawasi jam di tangannya. "Sudah mau tengah malam. Terima kasih ice coffee dan novelnya."

Rathya mengangguk dan ikut berdiri.

"Kamu masih mau di sini?" tanya perempuan pemilik pipi cabi itu pada gadis berambut tomboy yang masih tersenyum malu-malu dan masih nyaman dengan duduknya. "Atau ingin berfoto dengan idolamu ini?"

"Ah, Teteh," balas gadis itu dengan kecut, "hayu pulang!"

Sesaat ia tertawa lalu kembali menatap Rathya. "Aku tunggu orderannya di line-ku lo, Kang," ujarnya sambil membetulkan letak poni ke samping. "Kalau tidak, maka buku yang meski sudah selesai kubaca tidak akan aku kembalikan," ancamnya.

"Iya iya," sahut Rathya.dengan posisi tangan berada dalam saku sweater yang berwarna abu-abu. "Oh ya sampaikan salamku pada nona manis di sebelahmu." Liriknya dengan senyum menggoda.

"Laa, ini orangnya."

Rathya tertawa. "Aku ingin kau yang menyampaikan."

Sementara gadis berambut tomboy terlihat salah tingkah ketika merasa dirinya menjadi pusat pembicaraan.

Perempuan pemilik akun penjual bubuk kopi ikut tertawa, kemudian berbalik dan bergerak menjauhi, tentu saja bersama gadis berambut pendek yang bergelayut di lengannya.

Rathya lalu menghempaskan pantat ke kursi panjang dengan mata yang masih terus mengawasi punggung keduanya. Entah berapa lama dengan posisi demikian.

"Kalian terlihat akrab, gebetanmu?"

Pertanyaan itu sontak saja membuat Rathya menoleh. Sejak kapan perempuan yang sudah lama dikenali ini berada persis di sampingnya?

"Kau terlihat begitu menikmati pemandanganmu," kata Pinaka dengan wajah kesal, "sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku."

Ratyha menarik napas untuk diam beberapa saat. Kemudian memeluk tubuhnya sendiri. Trotoar yang terletak di belakang alun-alun itu masih terlihat ramai. Beberapa pasangan muda menikmati dinginnya malam dengan saling mengeratkan tangan. Pedagang asong juga silih berganti melintasi tepi jalan yang beralaskan ubin.

"Sudah lama di sini?" tanya Rathya kemudian.

"Dari sejam yang lalu."

"Sengaja menemuiku?"

Pinaka mengangguk pendek. "Perempuan itu cantik ya, kalian sudah kenal lama?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Baru tadi," jelas Rathya, "dia penjual online bubuk kopi."

"Sepertinya dia juga suka dengan tulisan-tulisan di akun instagrammu."

Ratya memilih untuk tidak menanggapi.

Pinaka memindahkan rambut cokelatnya ke samping kanan, mengelus-elus sebentar. "Tidak baik terlalu ramah dengan cewek-cewek," katanya, matanya tetap ia tujukan pada Rathya yang sebelumnya tertunduk menghujam menatap ubin.

Atas ucapan itu membuat Rathya menoleh, matanya berbenturan dengan pupil Pinaka. "Apa salahnya dengan ramah?"

"Perempuan itu makhluk yang mudah baper," terang Pinaka.

"Aku semakin tidak mengerti dengan arah perkataanmu."

"Bukankah yang memberikan kemontar di akunmu itu kebanyakan cewek?" ujar Pinaka memperjelas. "Kau membalas komentar mereka dengan gaya bahasa yang menggoda!"

Rathya mendengus. "Aku hanya menginginkan mereka tertarik dengan kopiku," jawabnya pelan.

"Siapa yang dapat menjamin bahwa itu niatmu?" bantah Pinaka seraya berdiri memunggungi, memperlihatkan betis jenjangnya. Dengan hotpan berwarna gelap semakin memperjelas bokongnya yang berisi pun sangat kontras terhadap pangkal kakinya yang berkulit putih.

Rathya menjauhi pandangan dari tubuh Pinaka, mengalihkannya pada tiruan bola dunia yang berada di sisi kiri, letaknya di tengah-tengah ruas jalan tepat menghadap kawasan Asia Afrika. Silih berganti manusia mengabadikan momen, pun dengan gaya yang adakalanya terkesan lebay di mata lelaki pencandu nikotin dan kafein itu.

Dari sudut mata, ia merasa kehadiran seseorang yang familier. Benar saja, lelaki tua yang duduk di kursi panjang, dipisahkan oleh pohon akasia tersenyum ke arahnya. Rathya membalas, memahami keinginan. Entahlah, sejak kapan tepatnya lelaki paruh baya itu senantiasa mendatangi menjadi pelanggan tetap di antara kebanyakan kaum muda yang menyukai racikannya.

Setelah mengolah espresso kesukaan pria tua itu, ia bergerak mendekati kemudian menyerahkan paper cup yang sudah berisi. "Tumben datang lebih awal," sapa Rathya.

"Pekerjaan tidak menuntutku untuk tinggal lebih lama di rumah penat itu," balasnya. Pandangannya melewati bahu Rathya. "Lanjutkanlah, sepertinya dia lebih membutuhkanmu."

Rathya menoleh ke belakang mendapati tatapan Pinaka yang tertuju ke arahnya. "Aku akan kembali," kata Rathya.

"Tidak perlu buru-buru," balas lelaki yang mengenakan pakaian tebal itu, "nikmati malammu."

Ratya berjalan gontai untuk kembali memosisikan diri di salah satu kursi panjang yang disediakan pemkot. Bandung dari tahun ke tahun terus mempersolek diri. Kursi panjang dan bola-bola beton banyak ditemukan di sepanjang trotoar pusat kota, hal ini menciptakan wajah Bandung yang terlihat humanis. Tempat santai terbuka yang nyaman, ditemani pendar-pendar lampu jalan membuat warga lebih betah menikmati malam di luar rumah.

"Kau masih marah denganku?" aju Pinaka dengan pertanyaan.

"Aku tidak memiliki alasan untuk marah denganmu," jawab Rathya. Ia mengeluarkan jenis filter menthol kesukaan. Membakar ujungnya dan menyesapnya pelan-pelan. Seolah memasukan kembali kegamangan yang mengitari rongga dada dan selaput-selaput aliran pernapasan.

Pinaka berdiri tepat di depan Rathya. "Atau kau sengaja menghindariku?" tanyanya lagi, sebelum orang yang ditanya menjawab kembali ia menegaskan, "jangan bilang kau tak memiliki kuota untuk membalas chatku, sedangkan setiap jam kau posting tulisanmu di instagram."

Tidak ada alasan bagi Rathya untuk mengelak. Perempuan yang sekarang berdiri di hadapannya seolah memiliki banyak mata, dapat mengintip dari balik celah yang meski ditambalnya berkali-kali. Sialnya, hatinya malah menentang dengan keras agar celah itu ditutupi dengan bahan baja. Untuk sebuah perasaan yang tak lagi memiliki alasan ia malah memilih lubang-lubang ditutupi dengan kayu lapuk, sama saja halnya membiarkan Pinaka berleluasa menerka dan menebak isi hatinya.

Pemilik gerai pakaian wanita dibilangan kebun kelapa itu menjatuhkan tubuh rampingnya di samping Rathya. Menunduk dalam, dengan mengatupkan kedua telapak tangan pada wajah. Punggungnya  bergetar.

Adakah perempuan diciptakan sebagai penenun air mata? Rathya melumat kertas berisi bubuk tembakau dengan kaki yang beralaskan boot kulit bertali. Lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Membiarkan Pinaka memuaskan diri. Jeda itu seakan menciptakan pergerakan detik yang merangkak pelan. Kesunyian yang sejatinya berasal dari hati mengalun dalam kegamangan yang berputar seperti adukan kopi.

"Kau bertengkar lagi?" terkanya setelah punggung Pinaka terlihat bergerak nyaman.

Pinaka membangunkan wajah ke permukaan. Mengusap pipi dengan punggung tangan. "Menurutmu aku ini perempuan yang egois?" tanyanya balik. Serak masih bersisa dari warna suaranya.

Sejenak Rathya meneliti permukaan muka perempuan pemilik mata sipit itu. Sorot yang mengandung permohonan terbaca olehnya. Lembut ia meraih kepala gadis itu lalu memosisikan bahunya sebagai alas yang nyaman.

Ini bukan pertama kali, lagi dan lagi Rathya seolah berada dalam larutan kopi tak bertepi. Bukan orang lain yang menempatkannya pada daerah tak bersisi, melainkan sikap manusiawinya sendiri. Takut kehilangan malah membawanya pada kesesalan yang banyak dicetuskan oleh banyak orang. Bahkan Ikbal, sahabatnya yang menempati posisi lebih ke pada saudara muak dengan sikapnya ini. Entahlah, ia termasuk golongan lelaki jenis seperti apa. 

"Bukankah egois itu milik semua orang?"

"Jika begitu aku tak salah mencintaimu dan dia?"

"Itu hakmu."

"Lalu hakmu?"

Rathya mengehela napas, pandangan diarahkan pada tiang lampu jalan yang menjulang. "Perasaanku adalah hakku," jawabnya. "Sekarang pulanglah," katanya lagi," sudah lewat tengah malam."

Pinaka bergerak menatap lelaki di sampingnya. Kulit-kulit kasar yang melapisi wajah Rathya menjadi santapan mata. "Kau janji tidak menghindariku lagi?"

Rathya mengangguk perlahan. Ikut berdiri ketika Pinaka bangkit dari kursi. Keduanya mensejajarkan diri.

"Di mana motormu?"

"Di depan," balas Pinaka. Senyum manis seolah kembali pulang pada kulit-kulit halus mukanya.

"Mau aku antarkan ke sana?" tawar Rathya.

Pinaka merangkul tas jinjingnya yang bercorak orange lalu menggeleng. "Tidak perlu," katanya dengan suara yang rendah, "bertemu denganmu sudah cukup membuatku bahagia."

Rathya memberikan senyuman. "Hati-hatilah."

Pinaka mengangguk lalu berlalu, menyusuri sisi jalan dan menghilang dari pandangan Rathya.

Pria itu mengedarkan pandangan, tak lagi ia menemukan orang tua di kursi panjang yang berbatasan dengan pohon akasia. Lelaki yang berasal dari luar pulau jawa itu kemudian melangkah mendekati bicycle shoopnya. Menyandarkan bahu pada sadel. Tangan kanannya meraih telepon genggam yang berada di balik saku. Menggeser-geser layar.

"Nara Safa," desisnya yang telinganya sendiri pun tak mampu menjangkau secara jelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top