Kolam Kopi

Malam belum terlalu malam, suara panggilan terakhir hari ini dari rumah Tuhan yang bersahut-sahutan baru reda setengah jam yang lalu. Rathya menempati salah satu kursi di dalam rumah kopi yang terletak di kawasan Setia Budi. Di depannya tergelar novel terbitan tahuan 2000an awal, beberapa waktu yang lalu ia khusuk membacanya, ketika ketertarikan mulai menurun, menutupnya dan membiarkan buku itu kedinginan di atas meja.

Tempat yang strategis untuk membangun usaha coffe shopp. Berdekatan dengan tiga kampus ternama, di sepanjang jalan itu pula berderet rumah-rumah surabi yang selalu dipadati pengunjung. Bahkan sisi jalan hampir tidak ada ruang kosong, penuh oleh kendaraan pengunjung.

Rathya mengangkat tangannya saat Ikbal menaiki tangga di lantai dua rumah kopi itu. Ia sengaja memilih duduk di sudut balkon bangunan. Dengan posisi yang demikian mata dengan leluasa mendapat penglihatan yang lebih luas, ruas jalan yang menanjak dan bangunan-bangunan bertingkat, dan bila pandangan diarahkan ke bawah maka pendar-pendar lampu kendaraan membentuk kunang-kunang yang sedang berwisata.

"Tidak jualan?" tanya Ikbal saat bokongnya menjejaki kursi yang empuk.

Tidak ada sahutan.

"Ada masalah?"

Masih sama, setelah menunggu beberapa jeda juga tidak ada jawaban yang diberikan Rathya.

"Lalu kenapa kau memintaku ke sini kalau tidak ada yang ingin dibicarakan?"

"Mau pesan apa?" tanya balik Rathya sambil mengangkat tangannya pada pramusaji.

Setelah menyebutkan pesanan pada pramusaji kembali Ikbal menatap Rathya. "Kau butuh istirahat?"

Ikbal adalah satu-satunya manusia tempat ia meperlihatkan sisi kehidupannya. Warna-warna yang selama ini menjadi misteri bagi orang lain tidak akan berlaku bila berhadapan dengan lelaki jangkung di depannya ini. Bahkan seolah menempatkan diri yang sedang bercermin dengan keadaan telanjang, tanpa sehelai benang pun menutupi.

"Aku bukan lagi orang yang dibutuhkannya."

Ikbal yang semula tegak menenggelamkan punggungnya pada sandaran kursi, seolah tubuhnya ditelan oleh kursi berbahan busa tersebut. "Kau habis bertemu dengannya?" tanyanya dengan suara yang rendah.

Siang tadi. Saat Rathya duduk di atas kursinya dengan novel di meja. Pintu kamar didorong dari luar, Pinaka muncul berbalutkan pakaian tanpa lengan dengan wajah yang tampak kusut.

"Aku sumpek butuh hiburan," kata Pinaka berdiri dengan suara manja.

Rathya mengalih posisinya ke samping lalu membetulkan letak kaca mata. Ia menatap perempuan itu sejenak. "Mau ke mana?" tanyanya kemudian.

"Terserah," balas Pinaka.

Rathya beranjak guna mengganti pakaian. Ia menghentikan aktivitas saat Pinaka memeluk dari belakang. "Kau ingin menghabiskan kebosananmu di kamar ini?" ancamnya.

Perempuan yang baru saja memantapkan angka 24 pada umurnya di bulan lalu itu merenggangkan pelukan. Lalu duduk di sisi pembaringan tepat di depan cermin panjang milik Rathya.

"Hayu," ajak rathya sambil memasukan buku ke dalam tas kecil.

"Untuk apa kau membawa buku itu?" tanya Pinaka dengan nada tak senang.

"Siapa tahu buku ini nantinya mampu mengubah pandanganmu terhadap novel."

Pinaka menggeleng cepat. "Daripada menghabiskan waktu membaca novel, lebih baik aku menonton film."

Rathya tidak ingin berdebat masalah ini. Dan ia selalu berada di posisi yang kalah bila harus meladeni.

"Aku pengen surabi," ujar Pinaka sambil mengenakan helm. "Aku lapar," katanya lagi bermaksud memperjelas.

Matic Rathya mulai melaju, belok ke atas saat berada di jalan setia budi. Ia memarkirkan motornya pada bahu jalan. Tepat di depan rumah surabi. Ketika memasuki salah satu kedai, penuh, demikian dengan yang berada di sebelah. Akhirnya keduanya menyepakati warung surabi yang terletak di seberang jalan.

Di lantai dua, pada sisi yang tak beratap. Keduanya duduk berdampingan. Pinaka melahap surabi telurnya, kurang, ia pun memesan lagi sampai kemudian merasa perut tak mampu lagi menampung. Sedangkan Rathya sendiri hanya memesan minuman dingin, tadi sebelum Pinaka datang ia sudah menghabiskan satu bungkus nasi padang.

Pinaka meletakan kepalanya pada bahu Rathya. Jari telunjuk mengarah pada rumah surabi bertingkat di seberang jalan. "Kau ingat saat kita mengunjungi surabi itu pertama kali?" tanyanya.

Rathya tersenyum tipis mengikuti arah telunjuk Pinaka. "Ya, ya," katanya, "tiba-tiba saja seekor tikus mencuri surabimu, padahal baru dua kali kamu sentuh."

"Dan malam itu kita jadian," tambah Pinaka.

Keduanya berdiam diri. Suara-suara klakson terdengar bersahutan guna mengusir kemacetan yang tak akan habis-habis. Weekend seperti ini memang membuat Bandung semakin padat, sepanjang jalan dipenuhi plat B, orang-orang Jakarta seolah sedang menjajah kota ini.

"Sembilan tahun ya," kata Pinaka lagi dengan suara yang amat pelan.

"Tujuh tahun," Rathya menyela. "Kamu lupa dua tahun yang lalu memintaku untuk melepaskanmu?"

"Teruslah mengingat yang jelek-jelek tentang aku, Rat." Pinaka menjauhkan kepalanya dari bahu Rathya. "Dengan demikian kau terus mengingat tentangku. Benci dan suka itu tipis sekali."

"Aku sama sekali tidak membencimu."

"Berarti kau hanya menyukaiku tanpa embel benci?"

"Terkutuklah aku yang menyukai kekasih orang lain."

Pinaka berdeham, menyangga pipi dengan tangan kanan. Matanya terarah pada Rathya. "Kau orang pertama yang menyentuhku," katanya.

"Lalu apa alasanmu untuk tidak memilihku?"

Udara yang berada di sekeliling Rathya tiba-tiba saja berubah menjadi panas. Ia merogoh kocek lalu menyulut kertas berisi bubuk tembakau. Menghisapnya sebanyak-banyak mungkin.

"Bisakah untuk sekarang kita tidak membahas masalah ini?" pinta Pinaka. Meneguk minumannya hingga tandas.

"Lalu sampai kapan kita akan begini?"

"Sebaiknya aku pergi," kata Pinaka meraih tasnya.

Rathya menarik napas. "Baiklah, aku tidak akan membahasnya lagi." Suaranya terdengar amat pelan.

Perempuan itu mengurungkan niat. Kembali menempatkan bokong pada kursi. "Kau belum berencana untuk pulang?" tanya Pinaka bermaksud menguraikan kecanggungan."

"Ke ...?"

"Bertemu dengan emakmu."

Rathya kembali menarik napas. Matanya berpapasan dengan salah satu angkot yang tiba-tiba saja berhenti padahal sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Hal ini pula yang membuat pria yang  sekarang mengenakan kemeja planel ini tidak suka menaiki angkot. Kepalanya mendadak pusing, mual tapi tidak bisa dimuntahkan. Sopir yang sering menghentikan angkutan secara mendadak memang kerap mendapatkan keluhan. Ia menggeleng perlahan, menyesap minumannya. "Bagaimana dengan kisomu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Lancar," balas Pinaka singkat. Ia menengadah, langit mulai remang. Bercak-bercak merah menempel di kaki langit barat. "Bisa hari ini kau tak jualan, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."

Tidak mengangguk pun menggeleng, Rathya membeku di tempatnya. Obrolan bergeser, termasuk berkenang hal-hal manis yang pernah dicecapi. Momen-momen yang mengikat keduanya pada sebuah hubungan. Hingga sekarang entah apa nama kedekatan ini.

Pinaka meraih tas ketika derit ponsel memintanya untuk menanggapi. Sebuah nama tertera di sana. "Sebentar," katanya pada Rathya. Melepaskan rangkulan tangan lalu melangkah ke sudut. Bersandar pada dinding, sekitar tiga depa dari tempat Rathya duduk.

Beberapa menit berlalu Pinaka kembali mendekati mejanya. "Aku masih ingin bersamamu," ujar Pinaka dengan posisi berdiri, "tapi aku ada keperluan."

Rathya tidak menanggapi.

"Sejam lagi aku akan kembali, kau bisa menungguku?"

Lelaki itu mengangguk pendek. Lalu tersenyum tipis. Ia mengalihkan pandangannya pada langit yang mulai gelap. Matahari baru saja tengglam untuk muncul ke belahan bumi yang lain. Setengah jam terlewati, ia memesan minuman lagi, sejam merangkak. Sebuah pesan masuk. Dengan menaikkan ke dua kaki pada kursi ia menggeser layar. Napasnya terdengar berat lalu memasukan ponsel ke dalam saku. Bangun dari kursi lalu turun ke lantai satu menuju meja kasir.

"Dia datang seenaknya ke kontrakan, lalu kalian jajan surabi. Dia menuyuruhmu menunggu setelah teleponnya berbunyi," kata Ikbal menanggapi penuturan sahabtnya. Ia tersenyum kecut. "Hebat sekali perempuan itu dan kau luar biasa seolah bersikap sebagai malaikat untuknya."

Jeda beberapa saat. Suara cekikian dan selorohan dari meja sebelah mengisi udara di balkon kedai kopi itu.

"Sadarkah kau selama ini hanya dimanfaatkan? Dia membutuhkanmu saat ada perlunya saja, lalu meninggalkanmu tanpa rasa bersalah."

Pertanyaan itu bukan pertama kali diajukan oleh Ikbal. Dan Rathya mengetahui hal ini dengan kesadaran penuh. Tetapi hatinya terlalu lembek untuk mengakui.

"Aku mencintainya." Suara Rathya mengambang tipis.

"Itu bukan cinta, tapi wujud keras kepalamu."

"Lalu apa bedanya denganmu yang selalu melayani perempuan manja itu?"

Ikbal meneguk mocacinonya dan menyisakan setengah. Memperbaiki posisi duduk. "Itu jelas berbeda," kata Ikbal dengan suara yang tegas. "Aku tidak menampik bahwa ketika mencintai seseorang memerlukan adanya pengorbanan. Menyisihkan waktu misalnya, mengantarkannya pada tempat-tempat yang semula hal yang anti kita kunjungi atau pun dengan melunakkan hati dengan masalah remeh yang datang dari pasangan. Tapi satu hal yang kuyakini, bahwa cinta akan berjalan dengan mestinya ketika ada timbal balik dalam hubungan tersebut. Dan wajib kita pertahankan selama tidak ada cacat di sana."

Rathya sangat memahami ucapan sahabatnya ini. Cacat dalam arti ketidak mampuan menjaga hubungan. Dan ia tahu persis kekasih Ikbal adalah jenis perempuan yang setia. Hal inilah yang mampu membuat Ikbal bertahan meski sifat perempuannya kadang bersikap menyebalkan. Meminta sesuatu yang berlebihan, bahkan terlihat posesif melewati batas wajar.

"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Rathya dengan tatapan menyerah.

Ikbal menatap lekat muka sahabatnya ini. Dengan sorot yang teduh. "Kau itu lelaki yang baik, Rat," katanya dengan perlahan-lahan. "Tapi tahukah kau bahwa kita tidak akan bertahan hidup hanya dengan berbuat baik?!"

"Maksudmu?"

"Baik dan tegas, Rat," jelas Ikbal. "Berjalan berimbang, kalau tidak maka bersiaplah dengan hidupmu sebatas dimanfaatkan orang lain."

"Begitu pula kau bersikap dengan Pinaka," lanjut Ikbal setelah memberi jeda pada saluran pernapasannya. "Untukmu yang sudah berada di stadium akut, hindari dia dalam waktu yang lama. Putuskan semua komunikasi yang menghubungkan kalian."

"Tapi aku sudah berjanji untuk tidak menghindarinya," sela Rathya,

"Ah," balas Ikbal dengan menepiskan lenganya ke udara. "Kesepakatan apa lagi yang butuh kau pertahankan untuk manusia model Pinaka? Orang yang merusak kepercayaan kita lebih dari satu kali wajib mendapatkan rasa tidak percaya kita lagi."

Rathya membeku di tempatnya dengan pandangan pada esspreso yang bersisa setengah di gelas. Kedai itu semakin ramai, telinganya akrab dengan tawa yang berderai serta senda gurau dari penghuni meja-meja bersusun. Hatinya malah lengang, terkesan sunyi.

***

Seminggu lebih tanpa ponsel, memang menciptakan sesuatu yang ganjil, kadang kala menjadi sesuatu yang kurang dalam keseharian. Alat komunikasi berbentuk pipih itu mampu membuat seseorang menagih, candu.

Rathya harus banyak menahan diri. Terlebih bermain ke dunia instagram. Biasanya sebelum tidur ia membuka aplikasi media sosial itu, menutupnya kembali, membuka lagi sampai kantuk yang menghentikannya. Pun saat makan, merelakan suapan diselingkuhi dengan tatapan pada layar guna membalas komentar-komentar di sana.

Sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan bersama bicyle shoppnya. Ke kontrakan paling ganti banju dan mandi. Bahkan pernah seharian tidak pulang, membiarkan tubuhnya tetap dibaluti pakaian kemarin. Mandi pun tidak. Di sisa waktu malam meringkuk di atas kursi-kuris trotoar. Lalu siang kembali menjajakan kopinya.

"Tidak pernah update lagi, Kang?"

Suara itu berhasil membuat Rathya menoleh ke belakang, menemukan Nara berdiri dengan menjinjing kamera. Saat ini ia memarkir bicyle shoopnya di samping gedung bersejarah yang memuat perjanjian antara bangsa Asia dan Afrika.

"Ke mana saja?" tanya Rathya balik.

Perempuan berambut gelombang itu tersenyum lalu membawa tubuhnya untuk duduk persis di samping Rathya. "Aku pulang ke Sukabumi," jawabnya. "Kenapa?" tanyanya lagi, "Akang merindukanku?"

"Ya merindukanmu mengantarkan bubuk kopi, aku kewalahan harus ke kopi aroma."

"Yah padahal aku ingin merindukanku karena sesuatu yang lain."

"Atau kau yang merindukanku."

Nara tersenyum simpul. "Sepertinya begitu."

"Pantas kau menemukanku di sini. Kau menguntitku?"

Nara terkekeh. "Aku hanya mengitari jalan ini," kilah Nara. "Sekarang buatkan pelangganmu ini cappucino!"

Ratyha bangun dari kursinya untuk meyiapkan pesanan perempuan di belakangnya yang sibuk dengan ponsel. Beberapa menit kemudian ia membawakan minuman campuran susu dan espresso itu.

Untuk bereapa saat keduanya masing-masing dengan kesibukan. Nara menggeser-geser layar ponsel. Sedangkan Rathya menatap pejalan kaki yang menyusuri trotoar, beberapa di antaranya mengambil gambar dengan orang-orang yang berpakaian layaknya makhluk halus. Entah apa yang membuat orang-orang itu tertarik, padahal mereka tahu bahwa yang diajak berfoto hanya mengenakan kostum, dan sentuhan make up, tidak lebih dari itu.

Bergeser agak sedikit ke samping, pengunjung gedung bersejarah mengambil gambar juga secara bergantian dengan menjadikan tiang-tiang bendera sebagai latar.

"Fans Akang menyerangku," kata Nara setelah menyesap minumannya.

Rathya menoleh dengan kening mengerut. Sorot mata penuh tanya.

"Dari beberapa hari yang lalu," Nara melanjutkan penjelasannya. "Mungkin dia mengira aku memiliki hubungan dengan Akang. Awalnya aku abaikan, tapi lama kelamaan karena hampir setiap hari membuatku risi, kuajak ketemu dia menolak dengan berbagai alasan."

"Anonim?"

"Perempuan Egois, yang dulu juga berkomentar kasar."

"Boleh kulihat?" pinta Rathya.

Nara menyerahkan telepon pintarnya.

Rathya mengamati. Alisnya nyaris bertemu dan sesekali memperbaiki kacamata.

"Kamu block saja, lebih baik tidak usah ditanggapi," saran Rathya.

"Mungkin dia pacar Akang?"

Rathya menarik napas lalu menggeleng. "Aku lelaki yang tak laku," katanya dengan senyum tipis.

"Ah masa sih?" tanya Nara seusai meneguk cappucinonya. "Nyatanya akang memiliki banyak fans, dan ngebet banget ketemu sama Akang."

"Itu kan dunia maya," sahut Rathya, "mereka gak mengenal aku secara utuh. Siapa coba perempuan yang mau hidup bersama lelaki penjaja keliling?"

"Tidak seperti itu, Kang," kata Nara dengan perlahan-lahan. "Perempuan tidak hanya melihat jenis pekerjaan pasangannya, maksudku di sini dalam arti halal ya. Kami lebih melihat bagaimana lelakinya memiliki tanggung jawab, dan juga berkomitmen yang besar. Bukan sekadar bualan, kalau omong mah anak SMP juga bisa."

"Andai semua perempuan memiliki pemikiran sepertimu."

"Jangan pesimis gitu atuh, Kang!" balas Nara dengan serius menatap Rathya. "Kayak yang lagi patah hati aja?" selidiknya.

Rathya menanggapi dengan tawa yang terdengar hambar di telinga Nara.

"Optimis, Kang," kata Nara lagi, "kayak tulisan-tulisan Akang di instagram, padahal banyak lo yang terinspirasi dari tulisan Akang."

Rathya membeku, tidak ingin menanggapi.

"Ngomong-ngomong, pertanyaanku belum dijawab?"

"Yang mana?"

"Kenapa Akang tidak pernah update lagi di instagram?" jelas Nara. "Dan juga aku ngeline tidak pernah diread, apalagi dibalas."

"Pensiun dari hp," jawab Rathya singkat.

"Maksdunya Hp Akang dijual?" Tentu saja Nara tidak percaya dengan lelucon itu.

"Anggaplah begitu."

"Ah, kenapa aku gak percaya ya?"

Rathya terkekeh. "Silakan tafsir sendiri." Ia bangun dari kursi, berniat menyeduh esspresso untuknya sendiri. "Sudah dapat kerjaan?" tanyanya dengan tetap memunggungi.

"Ijazah aja belum ada," jawab Nara. "Aku malah berniat melamar dengan Akang."

Belum ingin menanggapi, Rathya menyempurnakan esspresso dari rock presto. Aroma kopi segera menguap, dan selalu berhasil mengembangkan liurnya. Ia lalu mendekati Nara.

"Bagaimana dengan jualanmu?" tanyanya kemudian.

Nara menyandarkan tubuhnya pada sisi kursi, dengan demikian sekarang ia berhadap-hadapan dengan Rathya. "Lancar," balasnya. "Aku serius lo, Kang."

Rathya mengerutkan dahi, meyesap espressonya. "Jangan bercanda," tegasnya.

"Apanya yang bercanda?" Nara menegakkan tubuh lalu menatap Rathya dalam-dalam, bermaksud lelaki di depannya ini memercayai ucapannya.

Rathya kembali tersenyum, sejenak mengedarkan pandangan lalu kembali pada Nara. "Aku belum mampu menggaji seorang lulusan sarjana."

"Aku ingin belajar dari Akang," Nara mulai menjelaskan keinginan. "Jadi begini, aku juga berencana membuka usaha rumah kopi di Sukabumi, sebelumnya aku ingin belajar meracik kopi. Akang keberatan mengajariku?"

Rathya memerhatikan perempuan yang memiliki poni di pelipisnya itu, seolah mencari keseriusan dari perkataanya. "Meski tidak digaji?"

Nara mengangguk mantap. "Aku bersedia membantu Akang, mengantarkan pesan, memberikan menu, atau apa pun itu tapi Akang juga harus mengajariku dan memercayaiku untuk menyeduhkan kopi pada pelanggan."

"Aku bukan peracik yang handal."

"Nyatanya banyak yang suka, termasuk aku," kata Nara terus meyakinkan. "Ayolah mau ya, Kang?" Nara mengatupkan telapak tangannya memohon. Pun mimik wajahnya terkesan manja.

"Baiklah," Rathya menyepakati. Menoleh ke arah lain untuk tidak menatap lebih lama pada kedua bola mata Nara. Ia seperti bocah yang takut melihat kolam, ngeri bila tak mampu mengimbangi lalu tenggelam. Sedangkan saat ini, ia masih berusaha timbul ke permukaan setelah lama terjerembab ke dasar lautan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top