Dua Tetes Kopi di Atas Awan Susu

Mengayuh dan mengayuh adalah keseharian yang sekarang dimiliki Rathya, seperti halnya ia tak pernah bosan menyeduh untuk peminat kopinya. Menjelajah tempat-tempat yang ramai dikunjungi sepanjang kota Bandung ini.

Gambar bicyle shoopnya mulai tersebar di dunia maya. Pun dengan nama Kopi Penyeduh Kenangan sempat masuk trending tocip di salah satu media sosial berlambang burung. Orang-orang yang kebetulan menemukan kendaraan jualnya itu maka dengan segera mengabadikan momen. Sayangnya, ia selalu berkilah bila orang-orang berkeinginan berfoto bersama.

Hampir dua jam yang lalu, sejak petang datang, Rathya berada di taman yang terletak di bilangan jalan Merdeka. Taman Vanda, begitu orang-orang menyebut lokasi yang berbentuk segitiga ini. Air mancur dan tanaman hias yang berada di tengah-tengah taman menjadi magnet yang menempatkan ruang publik ini sebagai destinasi favorit untuk ngariung.

Tatapannya berhenti pada arah utara di mana agak jauh ke depan terdapat Balai Kota. Seseorang mengenakan kemeja setengah lengan menggerakan tangan  ke arahnya. Rathya mengangkat tangan guna membalas.

"Ke sana, yuk!" tunjuk Rathya pada alas duduk berbentuk kubus yang berderet di samping tanaman hias.

Keduanya duduk berhadap-hadapan.

"Nara Safa?" tanya Rathya bermaksud memastikan.

Yang ditanya mengangguk memperlihatkan gingsul. "Cukup Nara," balasnya. Merunduk ke bawah sebentar di mana tempat ia meletakkan tote bag yang berwarna cokelat tua. Lalu mengeluarkan buku di dalamnya.

"Ini novelnya dan ini pesanan Akang," ujarnya menyerahkan buku dan paper bag.

Rathya langsung mengeluarkan sejumlah uang.

"Tidak diperiksa dulu, Kang?"

"Aku percaya dengamu," balas Rathya.

Nara tertawa pendek. "Itu kalimatku."

"Anggap saja aku terinspirasi darimu."

Untuk ke duanya kali Nara tertawa, kali ini menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Aku masih kepikiran lo sama akun Perempuan Egois itu," kata Nara dengan pandangan tertuju ke warna warni lampu pada air mancur yang menari-nari.

"Bukankah sudah aku katakan untuk tidak memikirkannya," balas Rathya. Untuk beberapa kerjap ia memerhatikan wajah perempuan yang memiliki kulit bersih itu.

"Kan aku lagi balas-balas dengan Nuri, eh dia malah nyeletuk kasar gitu. Dan itu memang ditujukan pada aku dan Nuri," kenang Nara.

"Nuri?" tanya Rathya.

"Itu akun Gulanya Kopi Penyeduh Kenangan," tutur Nara. "Sepupu aku kemarin."

Meski tanpa mengeluarkan suara terlihat bibir Rathya membentuk huruf o. "Lupakan, oke?" pintanya kemudian.

Perempuan yang mengenakan jogger pants berwarna mocca itu mengangguk seraya tersenyum. Ia mengangkat kaki kanan disilangkan dengan bertumpu pada kaki kiri.

"Aku membicarakan Akang dengan Pak Widi," katanya lagi setelah beberapa saat berdiam diri menikmati gemercik air mancur. "Sepertinya beliau tertarik untuk bertemu dengan Akang."

"Pak Widi Kopi Aroma?"

Nara mengangkat sedikit tubuhnya dan menyilangkan kedua lengan. "Iya," balasnya, "kalau Akang mau, besok kita temui Pak Widi."

Rathya berpikir sebentar, pandangannya berbentur pada dua pasang muda yang mengambil gambar dengan air mancur sebagai backgroundnya. "Tentang apa?" tanyanya

"Jadi begini," Nara memperbaiki posisi duduk. "Aku menawarkan kerja sama antara Akang dengan beliau."

"Kerja sama dalam hal ...?"

"Besok akan kujelaskan, menurutku ini menguntungkan Akang."

Rathya menimbang sebentar. "Di mana harus kutemui kamu besok?" tanyanya kemudian.

Nara mengerjap. Ia memainkan jemarinya seolah menghitung. "Kalau Akang tidak keberatan kita ketemu di Unpas Taman Sari."

"Mahasiswa?"

"Iya, semester akhir," jawab Nara dengan tersenyum

Rathya meneguk liur. Kembali mengedarkan pandangan.

"Besok jam satu, bisa?" tanya Nara.

Setelah menarik napas Rathya mengangguk.

"Siplah, jadi besok kita resmi kencan ya," ujar Nara dengan senyum menggoda.

Rathya tergelak. "Jadi itu namanya kencan?"

"Kenapa, ada yang hati yang Akang jaga perasaannya?"

Rathya menggeleng dengan menyisakan tawa.

"Di akun linemu aku tidak menemukan bubuk-bubuk kopi yang kau jual?" kata Rathya mengalihkan pembicaraan.

Nara mengerling. "Cie, stalk ya?" Ia bangun dari tempat duduk, menekan pinggangnya dengan kedua tangan. "Itu akun pribadiku, Kang," jelasnya,  "kemarin aku lupa bawa hp jualan.  Tapi akunku itu tidak hanya jualan kopi. Ada pakaian, asesoris perempuan, dan sebagainya. Kalau Akang mau ntar aku kasi."

Nara mencari posisi, lalu dengan santainya mengambil gambar untuk dirinya sendiri. 

"Sama aja kan tanpa harus add akun jualanmu?"

Nara mengangguk dengan terus memandang layar ponsel. "Iya sama aja," jawabnya. Beberapa jepretan berhasil ia ambil lalu menoleh pada Rathya. "Mau ikut berfoto denganku?"

Rathya  menggeleng. Ia memang tidak suka bergambar, di akun instagramnya bahkan hanya berisi tiga buah foto tentang dirinya, dan itu pun tidak sendiri, kalau tidak bersama Ikbal maka dengan teman-temannya, selebihnya gambar kopi, kopi dan kopi yang tentunya berisi caption-caption.

Nara kembali menempatkan diri di samping Rathya. "Ayolah! Tenang, tidak akan kusebarkan."

"Satu saja," Rathya memberi syarat.

Nara mengangguk cepat lalu lebih mendekat pada Rathya. Ia menyandarkan lengannya pada bahu lelaki itu. Rathya merasakan bahunya sedikit kesakitan lantaran gelang model rope yang berbahan perak menekan tulang bahunya. Keduanya mendongak ke atas dan menjadikan air mancur perpaduan bunga taman sebagai latar.

Setelahnya Nara tersenyum mengusap layar. "Aku akan memperlihatkannya pada Nuri, dia pasti ngamuk," katanya dengan pandangan tetap berada pada layar.

"Ke mana dia kok gak ikut?"

"Tadinya mau," balas Nara, kembali duduk pada alas yang menyerupai kubus. "Besok dia ada ujian di sekolahnya."

"Kalau dilihat dari cara komentar di isntagram, seharusnya sepupumu itu jenis perempuan yang banyak bicara."

Lagi lagi Nara tertawa pendek memperlihatkan gigi gingsulnya. "Biasalah Kang, anak SMP mah gitu, kalau chit chat banyak omongnya, pas ketemu langsung mendadak jadi patung."

"Sebentar," kata Rathya bangun dari duduk. Seseorang berteriak tentang bicyle shoopnya yang berada di bahu jalan.

Lelaki berpakaian hijau lengkap dengan topi berdiri persis di samping kendaraan jualnya itu. "Akang pemilik gerobak ini?"

Rathya mengangguk.

"Maaf ya Kang, di sini dilarang berjualan."

"Oh iya Pak, maaf maaf."

"Tolong ya Kang."

"Iya Pak, sebentar ya Pak. Saya ke teman saya dulu."

Rathya menarik napas ketika orang itu berlalu dari hadapannya, kemudian kembali melangkah di mana Nara masih duduk dengan nyaman. "Aku harus pergi sekarang," ujarnya.

Nara terlihat paham, ia mengangguk pendek. "Harusnya bapak-bapak itu memberikan toleransi, kalau kios dagang gitu memang merusak pemandangan, dan juga dapat menganggu lalu lintas. Tapi kalau punya Akang mah malah membuat tempat ini bertambah exotis."

Rathya tidak ingin menanggapi, toh hasilnya tetap sama. "Hayu," katanya dengan memberikan jalan.

"Akang mau ke mana sekarang?" tanya Nara yang mulai melangkahkan kakinya.

"Mengembara kayaknya," jawab Rathya singkat.

Nara menoleh. "Ih serius atuh."

"Benaran mau mengembara," balas Rathya tetap melangkah dengan perlahan, "kenapa, mau ikut?"

"Kalau mengembara ke hati Akang, boleh?" tukas Nara dibarengi dengan cekikan.

Rathya menanggapi hanya dengan tersenyum tipis, langkahnya bersama Nara berhenti di bahu jalan.

"Ya sudah, aku tunggu besok di kampus ya Kang."

"Di gerbang kampus," tekan Rathya.

Nara mengangguk. "Akang bawa motor besok?" tanyanya.

Rathya menjawab dengan satu kali anggukan.

"Berarti besok aku ngankot aja ke kampus," kata Nara pelan, "dan harus datang ya, kalau nggak, maka lusa akan turun berita di koran bahwa seorang gadis bermalam di gerbang kampus."

Rathya tergelak di tempatnya berdiri.

"Aku duluan ya, Kopi," tandas Nara bergerak dengan arah mundur sambil mengembangkan senyuman lalu berbalik dan melangkah cepat.

Rathya mengangangkat tangan. Ia terus memandang punggung Nara yang melaju ke arah utara, di mana motornya yang terpakir agak jauh di Balai Kota.

***

Rathya duduk di atas kursi kayu berhadapan dengan meja, tubuhnya sedikit membungkuk pada layar laptop. Batang bubuk tembakau dibiarkan menyala tergeletak di bibir asbak. Ia terlihat fokus pada pembukuan dagangannya.

Spontan saja ia menoleh ke belakang ketika pundaknya dirangkul Pinaka.

"Sudah bangun?"

Pinaka mengangguk membiarkan rambut cokelatnya bergerai menyentuh leher Rathya. "Aku tidak tahan melihatmu duduk tanpa pakaian," kata Pinaka dengan mulut yang masih menyisakan aroma alkohol.

"Aku baru selesai mandi," jawab Rathya melepaskan rangkulan Pinaka. Berbalik dan mengenggam lengan perempuan yang memiliki bibir berisi itu. "Kau sudah berjanji tidak akan mengulanginya," katanya kemudian.

Pinaka melepaskan tangannya lalu bergeser ke sisi pembaringan. "Kali ini saja, sudah lama juga 'kan?"

"Apa pun itu, bagaimana kalau aku tidak datang dan orang lain yang membawamu?"

"Aku yakin kau akan datang," balas Pinaka mengembangkan senyuman.

"Itu yang terakhir!"

Senyuman Pinaka mengerut. "Kau tidak akan tega membiarkanku seperti itu."

"Terserah," balas Rathya bangkit dari kursinya menuju lemari pakaian. "Bersiaplah aku akan mengantarkanmu pulang," ucapnya dengan tetap memunggungi sambil mengenakan kemeja kombinasi hitam putih bergaris vertikal.

"Kenapa buru-buru, aku masih ingin di sini?"

"Sekalian, aku ada urusan," jawab Rathya singkat.

Pinaka diam sejenak, warna mukanya berubah manandakan suasana hatinya ikut berubah. Lalu meraih cardigan panjang berumbai rumbai dengan warna maron yang mencolok dari atas tas jinjingnya, tergeletak tepat di pucuk spring bed.

"Aku pulang!" kata Pinaka berdiri dan berlalu cepat menuju muka pintu yang sedikit terbuka.

Rathya menoleh, sekejap saja tubuh Pinaka sudah menghilang di balik pintu. Ia menghempas pantatnya yang masih berbalut handuk ke atas pembaringan. Menarik napas dengan sangat banyak lalu diembuskan secara mendadak sehingga kedua pipinya mengembung.

Belum genap setengah tiga dinihari tadi, Rathya yang kebetulan pulang lebih cepat berniat menghabiskan malam dengan menonton di salah satu situs yang menyediakan film secara daring. Telepon genggamnya bergetar, sebuah panggilan menampilkan nama Pinaka. Ketika tombol gagang telepon disentuh, suara perempuan itu terdengar panik dan kepayahan.

Tanpa pakaian pelapis, hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek Rathya bergegas ke ruang parkir dan langsung membawa matic putihnya itu melaju. Di depan rumah club malam kawasan setia budi ia menemukan Pinaka yang berdiri terhuyung-huyung di pinggir jalan. Tidak ada pilihan lain selain dibawa ke kontrakannya, untuk mengantarkan pulang ke rumah perempuan itu tentu saja kejauhan. Jadilah malam itu ia tidur dengan Pinaka yang meracau tak jelas, bahkan beberapa kali muntah dan menyebabkan lantainya penuh kotoran.

Teringat dengan janji, Rathya bergegas menanggalkan handuk untuk menggantikannya dengan jeans model pensil lalu mengeratkannya dengan sabuk hitam. Menyemprot parfum reffil beroma kopi ke pergelangan tangan lalu digosokan di bagian leher dan sebagian pakaian. Setelah merasa siap ia bergerak mengambil dua helm yang tergeletak di samping pintu.

Motor Rathya mulai memasuki kawasan Taman Sari. Kios-kios makanan dengan harga mahasiswa berjajar di sepanjang jalan. Tempatnya memang ramai, dengan adanya dua universitas yang berhadap-hadapan membuat lahan itu cocok untuk menjajakan berbagai jenis makanan.

Rathya menepi ke sebelah kanan, tepat di muka pintu gerbang salah satu kampus pasundan yang tersebar di beberapa titik kota Bandung. Nara Safa berdiri dengan blazer hitam yang menutupi kemeja putih polos lengan panjang.

"Sudah lama?" tanya Rathya sembari menyerahkan helm.

Nara menggeleng lalu menerima penutup kepala itu dan mengenakannya, ia kesulitan ketika menarikkan pengaman helm. Rathya turun menstandarkan motor. Berdiri di hadapan perempuan itu dan membantu memasangkannya.

Nara terpaku di tempatnya berdiri dengan kedua tangan memegang sisi helm. Perempuan penyuka aroma kopi itu tersekat dengan hidungnya berada tepat di pundak Rathya yang membungkuk.

"Naik," perintah Rathya yang sudah kembali ke atas motornya.

Pipinya merona, Nara membeku di atas sadel motor yang mulai melaju.

Hari demi hari Bandung semakin macet saja, dengan banyaknya pembangunan jalan seperti skywalk dan flay over membuat kota ini seolah begitu sumpek. Menurut walikota yang sangat dekat dengan kalangan muda itu mengatakan bahwa saat ini Bandung sengaja dibikin sakit, seperti tubuh yang demam ketika minum pil pahit menimbulkan efek gigil. Pada waktunya pada saat sarana prasana jalan itu sudah mendapatkan fungsi, dengan sendirinya kemacetan tersebut dapat diuraikan.

Setelah melewati jalan yang tersendat-sendat, Rathya dan Nara sampai di depan toko yang kelihatan sederhana . Lelaki paruh baya menyambut keduanya, mempersilakan memasuki area yang disambut pula dengan aroma kopi, dan mata dapat melihat sisi bangunan yang unik nan klasik.

Rathya sering ke sini, sebagai konsumen biasa. Meski demikian ia pernah ke dapur pabrik pembuatan bubuk kopi tanpa bahan kima ini. Di sana ia dapat menemukan sepeda ontel yang terpajang di sudut dapur.

"Jadi gimana, Pak?" tanya Nara yang langsung pada persoalan.

"Apanya yang gimana?" tanya balik lelaki yang umur lebih dari setengah abad itu dengan tersenyum.

"Seperti yang kita bicarakan kemarin," balas Nara dengan tersipu malu.

Ketiganya berada di ruangan kecil dengan beberapa tumpukan karung berisi biji kopi. Di kursi sofa yang terlihat sudah usang dan satu meja yang di atasnya tergelar pot bunga bertuliskan huruf cina. Rathya menyenangi ruangan ini, bukan bentuk ruangannya yang klasik tapi aroma kopi yang melebur bersama udara.

"Ya kalau saya gimana Nak Rathya saja," kata Pak Widi dengan pandangan tertuju pada Rathya.

"Jadi gini, Kang," suara Nara kembali muncul ke permukaan. "Beliau ini bersedia memberikan harga khusus untuk Akang tentu saja dengan beberapa syarat."

Rathya menanggapi dengan muka serius.

Nara meneguk air kemasan botol yang dipegangnya sejak dari kampus. "Akang bersedia memasarkan kopi bubuk Aroma di akun Akang, mengambil dalam jumlah banyak atau kata lainnya berlanggan di sini."

"Bisa saja gratis," sela Pak Widi dengan kaki kanan yang terayun-ayun. "Kalau peminat di akun itu terhadap produk di sini melebihi target."

Meski tidak selalu, Rathya kerap berbelanja bubuk kopi di sini. Rasanya hal yang diungkapkan Nara tidak masalah. Dengan mendapatkan harga khusus apalagi gratis maka ia bisa menurunkan harga menu. Dengan sendirinya dapat menarik pelanggan lebih banyak lagi.

"Saya setuju, Pak," ujar Rathya pada lelaki keturunan tionghoa itu. "Kapan kesepakatan ini dimulai?"

"Secepatnya," jawab Pak Widi. "Kita lihat dalam bulan ini permintaan yang datang dari akun sosmed Nak Rathya."

Rathya menyodorkan tangan, lelaki bermata sipit pun menyambut. Ketiganya berdiri hampir bersamaan.

"Saya tunggu kabar baiknya," kata Pak Widi lagi.

"Siap Pak," ujar Rathya, lalu melangkah yang diikuti Nara di belakangnya.

"Akang memiliki waktu luang?" tanya Nara ketika keduanya sudah berada di parkiran.

"Sekarang?"

"Iya," jawab Nara singkat dan sudah duduk dengan nyaman.

Rathya menoleh ke belakang. "Jam berapa sekarang?"

"Tiga kurang, Kang."

"Emang mau ke mana?"

"Akang sudah makan?" tanya Nara, "suka mie ramen?"

Rathya baru menyadari perutnya hanya diisi sebiji roti dan segelas kopi. "Kamu?" tanyanya balik.

"Belum, karena itu aku berencana ngajak Akang makan mie ramen kalau nggak keberatan sih."

"Di mana?"

"Di sukajadi."

"Di mananya?"

"Nanti aku tunjukin."

Rathya menyepakati, motornya kemudian mulai melaju. Melintasi jalan-jalan yang menurut walikota pula bahwa aspal di Bandung ini 70 % mulus. Ia mengikuti arah yang sesuai dengan petunjuk Nara, mengantarkannya ke sebuah rumah makan ala jepang.

Ia mengikuti Nara yang mendahului, lumayan ramai, hanya menyisakan beberapa meja. Di bagian luar malah sudah penuh. Nara memilih meja yang berdekatan dengan pintu masuk. Mengangkat tangannya pada pramusaji yang mengenakan pakaian serba hitam

"Saya ikut yang free ya, Teh," kabarnya dengan menu di tangan.

"Silakan Teh," sahut Pramusaji, "tiga pilihan Fried Ramennya gratis."

"Gratis?" tanya Rathya dengan mendekatkan wajahnya pada Nara.

Nara mengikat rambut kemudian mengangguk. "Aku sering bergeriliya ke instagram mencari promosi gratis ginian," terang Nara. "Kita cukup membayar topping dan minumannya saja, dengan mengunggah pesanan di sosmed maka kita dapat makan dengan gratis."

Lagi lagi mulut Rathya membentuk huruf o.

"Mahasiswa itu harus pandai cari yang gratisan, Kang," tambah Nara lagi dengan senyum yang melekat di bibirnya. "Tapi gratisnya harus elegan."

Setelah menunggu beberapa lama, ramen tek-tek dengan topping ayam jamur dan tofu furai pesanan Nara sampai di meja. Sedangkan Rathya sendiri memilih ramen lada hitam disertai ekado sebagai topping.

"Nanti malam di alun-alun?" tanya Nara sambil melilit mienya dengan sepasang sumpit.

Rathya hanya mengangguk lantaran mulutnya sedang terisi penuh.

"Nanti malam aku datang bersama teman-temanku," lanjut Nara.

"Oh ya?" balas Rahya setelah mengunyah hingga tandas.

"Ya," kata Nara lagi dengan menampilkan raut muka yang mampu membuat lelaki-lelaki berdecak kagum. "Mereka tertarik setelah kutunjukan instagram Akang."

Untuk beberapa jeda Rathya terperangkap ke dalam tatapan perempuan yang kali ini berbusana hitam putih, layaknya seragam. Tertegun saat gadis itu berbicara, matanya berbenturan dengan pupil milik Nara. Ia seolah melihat dua tetes kopi di atas awan susu. Rasa keinginan untuk melihat dan melihat menariknya sangat kuat, sehingga makanan yang berada dalam piringnya merasa cemburu sebab Rathya sekarang mengabaikannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top