5/10
Hari-hari telah berganti. Hubunganku dengan Tenko pun sudah semakin dekat layaknya sahabat sejati. Aku tidak menyangka kami berdua bisa bergaul dengan baik. Tidak peduli tanggapan orang yang menatapku aneh karena sering bermain pahlawan-penjahat dengan anak berumur lima tahun.
Setiap bermain permainan itu, aku selalu menjadi penjahatnya dan Tenko menjadi pahlawannya. Tak jarang kedua anak yang sering bermain dengan Tenko bergabung dengan kami. Tentu saja mereka bertiga jadi pahlawan dan aku penjahatnya. Tapi tidak masalah. Aku sama sekali tidak keberatan.
Seperti biasa, aku dan Tenko tengah menghabiskan waktu bersama di taman. Kali ini tanpa kedua temannya atau pun Hana.
"Kakak, kenapa kau tidak jadi pahlawan?"
Ah, pertanyaan ini akhirnya keluar juga.
"Karena aku tidak mau."
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Aku tidak punya Quirk, Tenko-kun."
Tenko terdiam mendengar jawabanku. Anak itu menundukkan kepalanya, jari-jari kecilnya saling meremas satu sama lain. "Apakah ... Apakah jika tidak punya Quirk, kita tidak bisa jadi pahlawan?" ucapnya pelan, "Umurku sudah lima tahun, tapi Quirk-ku belum juga muncul. Apakah aku juga tidak punya Quirk?"
Tidak. Kau punya Quirk, Tenko. Quirk yang hebat. Dan itu akan muncul tidak lama lagi.
"Itu tidak mungkin. Kau pasti punya Quirk. Mungkin Quirk itu akan muncul sebentar lagi. Siapa yang tahu, kan? Kau jangan putus asa."
"Benarkah? Kau yakin Quirk-ku akan muncul sebentar lagi?" Tenko menatapku dengan manik gray-nya yang berbinar.
"Tentu saja. Kau hanya perlu menunggu," kataku seraya mengelus kepalanya.
"Syukurlah. Saat Quirk-ku muncul nanti, aku harap ayah tidak akan membenciku lagi."
"Eh? Membencimu?"
Tenko mengangguk pelan disertai senyum sedih yang menghiasi bibir mungilnya, "Ayah selalu menghukum dan memarahiku jika aku ketahuan main pahlawan-pahlawanan bersama teman-temanku dulu. Aku tidak tahu kenapa. Aku selalu bertanya-tanya, apakah Ayah membenciku karena Quirk-ku belum muncul? Tapi Ibu bilang, ayah tidak membenciku. Ibu juga berkata ayah seperti itu karena ayah tau betapa sulitnya menjadi pahlawan. Aku tidak mengerti apa maksud perkataan ibu, Kak. Aku tidak mengerti."
Isak tangis mulai keluar dari celah bibir Tenko. Tanpa menunggu persetujuannya, aku langsung membawa tubuh kecil itu ke dalam pelukanku. "Ibumu benar, Tenko-kun. Ayahmu tidak mungkin membencimu. Mungkin dia memang punya alasan untuk semua itu. Sudah, jangan menangis lagi. Ingat, pahlawan tidak cengeng."
Setelah mendengar kata Pahlawan, isakan itu berhenti seketika. Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat tingkahnya yang polos.
Segera, kulepaskan pelukanku sebelum menyeka air mata di wajah Tenko. Gerak tanganku langsung berhenti saat menyentuh bekas luka di sekitar matanya. "Apakah ini masih gatal?"
Tenko mengangguk menjawab pertanyaanku, "Iya. Tapi anehnya, ini gatal saat aku di rumah saja. Ibu sudah membawaku ke dokter, tapi dokter juga tidak tahu ini alergi pada apa."
Itu bukan alergi. Itu adalah tanda kalau Quirk-mu akan muncul tidak lama lagi, Tenko.
"Hey, Tenko-kun. Jika aku memberimu sesuatu, apakah kau akan menerimanya?"
Meski bingung dengan pertanyaanku, Tenko menjawab. "Tentu saja."
Maka aku pun memberikan sesuatu itu padanya.
Sesuatu yang aku maksud itu adalah sarung tangan. Sarung tangan lukis, lebih tepatnya. Dengan beberapa jari yang tidak tertutup, aku harap bisa mencegah kehancuran apapun yang disebabkan Qurik milik Tenko nanti.
"Eh? Sarung tangan? Untuk apa?"
Untuk mencegah tanganmu menghancurkan apa pun yang kau sentuh.
Entah kenapa, aku merasa Quirk Tenko akan muncul sebentar lagi. Jika aku tidak salah perhitungan, besok adalah hari dimana Hana memberitahu Tenko kebenaran tentang nenek mereka ; Shimura Nana, yang seorang pahlawan. Semua pembaca manganya pasti tau apa yang akan terjadi setelah itu. Kemarahan Kotaro, kemunculan Quirk Tenko, dan ... Kehancuran keluarga itu.
Tidak semua jalan cerita di manga ini bisa aku ubah seenaknya. Jika aku mengatakan pada Tenko untuk tidak mengikuti Hana saat kakak perempuannya itu mengajaknya ke ruang kerja ayah mereka, bukannya itu akan terdengar aneh?
"Kau tidak suka ya?" tanyaku pura-pura sedih. Hanya ini cara agar dia mau menerima pemberianku, sungguh.
"Aku suka kok!" jawab Tenko cepat.
"Jika kau memang suka, bisakah kau selalu memakainya mulai sekarang? Jangan dilepas, bahkan saat kau mandi sekalipun."
"Eh? Tapi kalau nanti basah bagaimana?"
Aku berusaha menahan tawa atas pertanyaan polosnya.
"Sarung tangannya kan ada dua pasang. Jika yang satu basah, kau bisa pakai yang satunya lagi."
Tolong katakan IYA, Tenko. Katakan IYA.
"Baiklah, Kak. Terima kasih atas hadiahnya."
Ah, senyum manisnya bahkan lebih menyilaukan dari matahari di dunia tabi.
"Aku yang seharusnya berterimakasih padamu, Tenko-kun."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top