3. kenapa?
Kenapa?
"Kenapa?" tanyaku pada langit malam.
"Menurutmu kenapa?" Aku hampir bisa melihat bulan itu menaikkan alis. Dia selalu sok pintar, tapi tetap tidak berguna.
"Beri aku ide, bulan. Beri aku imajinasi. Aku tidak butuh sarkasme."
"Imajinasi untuk apa?" tanya bintang, bermaksud reotris. "Kamu sudah punya semuanya, sayang. Tanya saja pada memorimu. Kalau bertanya baik-baik, aku yakin dia akan memberimu jawaban."
"Jangan percaya. Memori itu nyebelin." Bulan terlihat imut jika tidak sedang bersikap menyebalkan. Padaku. Aku yakin memori sekarang kesal. "Dia nggak mau bilang siapa orang tuaku, atau bahkan gimana aku dilahirkan. Beberapa bilanb aku lahir dari Theia, lainnya bilang aku nggak pernah lahir, cuma terbentuk. Memori, yang harusnya sumber terpercaya, bilang aku harus milih, kaya agamanya manusia. Tapi ini tentang orang tuaku! Aku kan berhak tau."
Aku jadi sedikit bersimpati pada bulan. Ternyata itu yang menjadikannya sesarkastis dan sedramatis ini.
Tapi dia masih bisa bertanya pada seseorang, atau sesuatu. Aku tidak. Yang mengetahui tentang malam-malamku hanyalah aku sendiri dan anak laki-laki itu. Aku ingat saat kutanya mengapa aku tak boleh melihat wajahnya, dia tidak menjawab dan langsung menghilang. Dia tidak datang berhari-hari kemudian. Aku bahkan sempat menangis di bawah jendela karena merasa bersalah dan merindukan cerita-ceritanya. Lantunan kisah yang indah dan menenangkan, tapi dalam waktu bersamaan juga membuatku berpikir keras. Pada akhirnya aku akan terlalu lelah berpikir dan tertidur.
Anehnya, sekitar seminggu kemudian aku melihatnya di dekat sawah saat mengantar makanan untuk pamanku. Aku menghampiri anak laki-laki yang sedang mengamati pekerjaan para petani itu. Inilah anehnya. Wajahnya bukan misteri bagiku, aku sudah cukup lama tahu. Namun, kenapa dia bersikeras melarangku membuka tirai saat dia bercerita?
Saat itu aku hanya merasa sedih. Untuk beberapa saat aku akan melakukan segalanya agar dia kembali mendatangiku pada malam-malam yang lambat, menemaniku menunggu pagi dengan embusan legenda.
"Kenapa kamu nggak datang lagi?" tanyaku saat itu, tidak berani menatap matanya. Melihatnya tidak merespon, aku merasa mataku mulai berair. "Tolong jangan hilang." Baru saat itu dia menoleh, sepertinya mendengar suaraku yang agak bergetar. "Aku janji nggak bakal tanya-tanya lagi. Aku nggak bakal nyoba buka gorden lagi."
Seingatku dia juga tidak menjawab untuk pernyataan itu. Tapi malamnya ... malamnya aku tidak ingat. Ada apa dengan malam itu? Kenapa aku tidak ingat banyak?
Yang jelas dia datang ke kamarku. Lalu aku tidak ingat. Apa yang salah? Apakah terjadi sesuatu?
"Boneka itu." Untuk pertama kalinya, pohon flamboyan di seberang jalan bergabung dalam dialog ini. "Boneka cantik itu, yang dulu kanu bawa tidur, tapi berakhir kamu kubur."
Hah? Aku ini apa, psikopat?
"Coba tanya memorimu."
Oke, oke. Aku akan melakukan sarannya. Hei memori, apa aku pernah lunya boneka cantik?
Kemudian memori seolah menghantamku di wajah dengan menyemburkan ingatan-ingatan acak. Ada orang tuaku yang tertawa, bayi dalam gendongan ibuku,kakiku sendiri, lenuh lumpur karena berguling di sawah. Lalu ada boneka-boneka. Siluet boneka-boneka. Oh, dan ada satu yang bukan siluet, alias asli, 3 dimensi, dan berwarna. Rasanya seperti meng-upgrade televisi jadul.
Boneka itu adalah si kelinci. Warnanya putih bersih. Dia tampak diadunkan dengan kalung logam kuning yang berkilau, bandana imut di kepala yang membuat telinganya menjadi 4, juga tangan yang membawa secarik kertas. Di bokongnya ada tangan. Tunggu, apa ini? Fetish bokong boneka kelinci?
Sebelum sempat kuomeli, memori memberiku pandangan lebih luas. Latarnya ternyata adalah jendela kamarku. Tangan tadi menyembul dari balik tirai. Rupanya anak laki-laki itu sedang menyodorkan boneka kepadaku.
"Ini buat kamu. Makasih banyak udah mau dengerin cerita-ceritaku. Maaf, aku cuma bisa ngasih ini" katanya.
Saat itu aku senang sekali. Boneka cantik nan aneh itu kupeluk sambil memosisikan diri senyaman mungkin, juga sambil mendengarkan lanjutan ceritanya.
Tapi kenapa boneka itu pada akhirnya dikubur? Atau si bedebah flamboyan membohongiku? Dia tampak cukup santai dalam keadaan apa pun. Dia jelas-jelas gaptek.
Tapi ... kenapa? Kenapa dia melarangku sebegitunya? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top