03. Clumsy Meeting 🌻
[𝟶𝟹. 𝙲𝚕𝚞𝚖𝚜𝚢 𝙼𝚎𝚎𝚝𝚒𝚗𝚐]
🌻🌻🌻
Kadang Juni berharap dia bisa terbangun pagi-pagi dengan dramatis, persis seperti pembuka cerita-cerita remaja yang sering dia baca. Bangun terlambat, lalu terburu-buru berlari ke kamar mandi sampai nyaris jatuh. Roti dan jus jeruk sudah terhidang di meja, tetapi dia tidak akan sempat untuk sarapan. Hanya menggigit roti sembari menalikan sepatu sebelum terbirit-birit ke sekolah.
Mungkin hal itu pernah terjadi padanya. Kira-kira ... hmm, sembilan atau sepuluh tahun lalu.
Sekarang, Juni biasanya terbangun karena Cilok yang menekan-nekan dada dan perutnya semena-mena, atau Cimol yang mengeong keras-keras minta diberi sarapan. Lalu ia akan berbaring sembari menatap langit-langit selama beberapa waktu, memikirkan bahwa hari ini, seperti hari-hari lainnya, dia akan pergi bekerja. Tidak akan ada hal istimewa yang terjadi. Pilihannya hanya ada dua; hari yang berat, atau hari yang berat banget. Entah siapa di antara muridnya yang akan berkelahi atau berbuat onar hari ini, entah orangtua murid mana yang akan mengomel, entah tugas mahadahsyat apa lagi yang akan dibebankan Ibu Yanuar, kepala sekolah tercintanya. Bahkan Bandung Bandowoso saja diberi waktu semalam untuk membangun candi, ini Ibu Yanuar kadang-kadang tidak ada logika, disuruh membuat atp, media pembelajaran, rpp, jurnal semua harus selesai hari itu juga.
Sekali lagi, setelah dua menit login ke dalam hari, Juni mendesah..
Seperti pagi-pagi lainnya, hari ini pun, Juni memeriksa keningnya, lantas meringis. Dia tidak ingin bekerja, tapi dia tidak sedang sakit, tidak ada alasan libur (meski biasanya pun jika sakit dia tetap pergi bekerja). Ketika memeriksa ponsel yang ditinggalkan semalam dalam keadaan data menyala, ringisan Juni bertambah.
[Grup Wali Kelas SD Pelopor Bangsa]
Kepshake [Ibu Yanuar]: Selamat pagi Bapak/Ibu yang berbahagia. Semangat pagi 😘
Mengingatkan, jadwal piket penyambutan siswa yang terbaru untuk hari ini adalah Bu Juni dan Bu Joana, ya. Diharap datang minimal 30 menit lebih awal. Semangat semuanya! 😊
ANJIR GUE BARU TIDUR TIGA JAM?!
Sebelum menekan tombol kirim, Juni buru-buru menghapusnya, menggantikannya dengan kalimat baru.
[Grup Wali Kelas SD Pelopor Bangsa]
Kepshake [Ibu Yanuar]: Selamat pagi Bapak/Ibu yang berbahagia. Semangat pagi 😘
Mengingatkan, jadwal piket penyambutan siswa yang terbaru untuk hari ini adalah Bu Juni dan Bu Joana, ya. Diharap datang minimal 30 menit lebih awal. Semangat semuanya! 😊
Baik, Ibu. Semangat juga 😊
Kepshake [Ibu Yanuar]: Oh iya, Bu Juni. Mau mengingatkan, hari ini murid baru yang kemaren mulai masuk hari ini, ya nanti di kelas Ibu Juni. Mohon bimbingannya, Ibu Juni.
Iya, baik, Bu. 🙏
Juni menghela napas, terhitung ke tiga kalinya dalam kurun waktu sepuluh menit. Kabarnya, anak baru yang pindah baru pindah itu adalah anak perempuan, setidaknya dia bisa menghela napas lega karena tidak harus mengurus satu lagi pendekar hiperaktif di kelasnya. Jendela sudah dua kali pecah di kelasnya, kipas angin rusak karena dilempari sapu, belum diganti, dan sapu dan pel yang terus diganti tiap bulan selalu ludes seperti dimakan, tidak bersisa. Please, no more of trouble makers.
Lalu, di bawah kotak perpesanan grup wali kelas, ada satu pesan dari orangtua siswa. Juni boleh merasa lega sejenak karena hanya ada satu, dan itu dari ibu Brazio. Semoga isinya anak itu tidak masuk sekolah. Izin kemana kek, tidak masalah.
[Bunda Chio]
Malam, Bu Juni. Maaf mengganggu malam-malam. Saya mau mengabarkan bahwa mulai besok Chio diantar jemput omnya, ya. Soalnya saya dan suami mau umroh. Nitip Chio ya, Bu Juni. Kalau ada apa-apa nanti bisa sama omnya aja.
Oh, iya, Bunda. Baik. Semoga umrohnya lancar.
🌻🌻🌻
Juni datang terlambat. Akibatnya ia harus mendapat pelototan dari Joana yang sedari tadi berdiri di dekat gerbang sekolah, menyapa dan menyalami setiap anak yang datang di antar orangtuanya.
"Kemana aja sih, lo? Lama banget?" bisik Joana pada Juni yang sudah berdiri tegap di sisinya, tersenyum kepada anak-anak itu, mengulurkan tangan agar mereka bisa mencium punggung tangannya.
"Hehe abis bangun kan gue langsung mandi."
"Bagus, dong. Terus?"
"Ternyata mandinya dalam mimpi, hehe. Gue ketiduran lagi."
Joana menjulingkan mata sebagai balasan, ekspresinya yang ketus berubah 180 derajat menjadi penuh senyum saat satu lagi orangtua datang bersama putrinya yang baru kelas 4, kelasnya Joana.
"Halo, Briana~ Cantik banget hari ini. Sudah sarapan, belum?" sapanya. Joana itu, kalau di depan anak-anak yang bersama orangtua terlihat seperti malaikat, kalau orangtuanya pulang berubah jadi ibu tiri. Alias, dari kelas 1 hingga kelas 6, tidak ada murid yang tidak terintimidasi olehnya, guru paling killer di sekolah. Bahkan murid-murid kelas 3 selalu berdoa dan bernazar agar tidak masuk kelasnya Joana nanti.
Briana, anak itu, hanya menunduk malu. Yang membalas adalah sang ibunda yang hari ini ... wow, Juni harus berdecak. Rumornya, ibu Briana mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tahun ini, dan Juni bahkan tidak terkejut. Sudah sejak lama wanita itu diberi gelar ibu pejabat lantaran jilbab punuk untanya yang setinggi harapan orang tua, dempul dengan ketebalan dua senti, alis ala-ala pelakor, dan jangan lupa gelang emas dua kilo di tangan.
"Iya, nih, ibunya cantik pasti anaknya harus cantik, dong," katanya sembari tertawa dengan nada tinggi. "Sarapan kayak biasa ya, Briana? Telur sama sosis. Briana tuh, makannya harus English breakfast, Bu. Nggak bisa dia kayak nasi uduk nasi uduk gitu, atau makanan pinggir jalan kurang higienis gitu, nanti bisa minta muntah," tambahnya seraya menampilkan ekspresi jijik.
Joana tertawa menanggapi, meski Juni tahu di sisinya wanita itu justru mengepalkan tangan. Karena... not at my nasi uduk! Literally itu adalah sarapan Joana yang sampai kiamat ia tidak akan bosan memakannya. Untunglah, wanita itu segera pergi karena katanya ada rapat partai yang harus ia hadiri. Jika tidak, Juni tidak akan bisa berbuat apa-apa jika Joana mulai menjambak jilbab tingginya itu dan mengeluarkan apa isinya. "Pasti isinya bukan rambut!" Joana pernah berargumen, "taruhan itu kepala gede banget isinya apaan?"
"Camilan kali," Juni menebak.
"Ye, itu mah elu selalu sedia cemilan. Menurut gue isinya ya dempul. Lo liat ga tasnya kecil banget, itu pasti segala make up, minyak angin, minyak telon ditaruh di kepala!" Dan sampai sekarang, masih menjadi misteri apa isinya.
"Juju! Juju! Liat deh!" Cubitan Joana di lengannya memecah lamunan Juni. Ia menoleh, sedikit terperangah.
"Apa?"
"Ada cowok ganteng banget!!!"
"Hah, siapa?!"
"Ituuu deket bak sampah!!!"
Kepala Juni secara otomatis menoleh, setengah penasaran, setengah berharap mendapat penyegaran mata pagi-pagi. Seganteng apa memangnya sampai Joana ribut begitu. Dan kenapa cowok ganteng harus berada di dekat bak sam─ Namun, seketika, rahangnya jatuh.
"ITU KAN PAK ROMI ANJIR?!"
Juni melotot. Pak Romi adalah guru olahraga yang terkenal dengan kegenitan dan omongannya yang agak di luar kaidah normal. Semacam Vicky Prasetyo versi lite. Pak Romi, menyadari tatapan Juni yang diarahkan padanya, segera tersenyum lebar dan melambai, yang membuat Juni seketika membuang muka dan bergidik ngeri. Joana, di lain justru tertawa kencang.
"Parah lo!" ujarnya tidak terima sembari mencubit lengan Joana.
Yang dicubit justru tertawa semakin keras. "Kenapa? Ganteng kok dia kalau diliat dari isi dompet. Bukannya tadi pagi abis pamer duit segepok ya di status WA? Hahaha. Tuh artinya dia siap ngelamar elu, Jun. Kan dia naksir sama lo!"
Juni meringis. Amit-amit, deh! Juni sampai harus mengusap-usap lengannya, berharap dengan begitu energi doa tidak baik dari Joana tadi tidak akan menempel padanya. Dia masih ingat ucapan pria itu beberapa waktu lalu. "Ini saya bukannya mau sombong ya, Neng Juni. Tapi baru banget Abang dapat tanah warisan sepuluh hektar. Pengennya sih umroh, tapi kalau Neng Juni sudah siap dilamar, langsung Abang jual deh!"
Abang, and he's being 43! For real! Mengingatnya saja Juni sudah bergidik. Parahnya, semenjak itu Joana malah semakin menjadi-jadi meledeknya.
"Udah, terima aja. Kan lo jomlo, dia jomlo, sama-sama klop. Hahaha."
"Lo aja sana!"
Selang Juni bersungut-sungut mengomel, seorang anak perempuan berlari-lari kecil di depannya. Ayahnya melambai sebelum masuk kembali ke mobil. Juni mengenali anak itu, anak dari kelas 2B yang menjadi legenda karena menangis hampir tiap hari saat di kelas 1.
"Halo, Syahnaz," katanya, menerima uluran tangan Syahnaz yang ingin salim. Ia menepuk kepala Syahnaz, menanyai apakah ia sudah berhasil merapikan sendiri tempat tidur setelah bangun pagi saat Joana kembali menyikut-nyikutnya rusuh.
"Ju! Liat Ju!"
"Apalagi?" Juni memutar bolamatanya malas. Malas meladeni Joana.
"Ada cowok ganteng!"
Kali ini Juni tidak menoleh. Tidak sudi ia tertipu dua kali.
"Juun!!! Liat Juuunn! Ganteng banget gila, kayak model!"
"Buat lo aja ih sana Pak Rominya!!!"
"Bukan Pak Romi!!!"
Sekali ini, Juni menoleh. Dan kali ini juga, rahangnya kembali jatuh, beserta degup jantungnya.
🌻🌻🌻
"Potong poni gue sampai sesenti kalau ketemu dia lagi!"
Mendadak kata yang ia ucapkan dengan mulutnya sendiri tanpa berpikir itu berputar-putar di kepala Juni. Bisa-bisanya ia menjadi pahit lidah dan justru menemukan pria itu lagi. Turun dari SUVnya, memakai kemeja putih kali ini alih-alih hitam, dan tindik di telinga, Juni mengenalinya. Tidak mungkin salah lagi. Wajah yang mengingatkan Juni pada kucing oranye miliknya.
Pria yang ia akui pacar secara membabi buta itu!
Dan yang lebih mengejutkan ... dia datang bergandengan tangan dengan Chio! Sheez!!!
Refleks, Juni melindungi poninya, imajinasinya mulai melihat pria itu membawa gunting kebun untuk menghabisi harga diri Juni. Baru setelah, Juni tersadar bahwa pria itu berjalan ke arahnya. Dengan panik, dia berlari, mencari perlindungan dan berakhir di belakang tiang bendera.
Yah, daripada tidak ada tempat berlindung sama sekali.
"Lo ngapain di situ dah?!" Joana meneriakinya, kerut di kening wanita itu menggambarkan beribu pertanyaan di kepala Joana. Ya, dia tahu Juni itu kadang agak random, tapi tiba-tiba bersembunyi di balik tiang bendera seperti istri muda habis tertangkap basah istri pertama itu masih tidak masuk di logikanya.
"Sshh!" Juni meletakkan jari di depan bibir. "Gue lagi cari inspirasi buat jadi pembina upacara nanti!" jawabnya setengah berbisik, mulutnya dibuka lebar-lebar dalam setiap pelafalan agar Joana mengerti, sementara ujung matanya mengikuti pria itu yang berjalan ke arah Joana.
Tidak butuh waktu lama, mereka tampaknya mengobrol singkat, lalu Chio berjalan masuk menuju kelasnya, pria itu juga seharusnya pergi sebentar lagi dan Juni bisa menghela napas lega setelahnya. Namun kenapa .... Mereka masih mengobrol? Apa yang mereka obrolkan? Kenapa ... kenapa muka Joana malah memerah?
PENGKHIANAT!!!
"Permisi?" Seseorang menepuk bahunya.
Juni berpaling, dan ... nyaris jatuh dari tempatnya.
"Ibu Juni, ya?" Pria itu menyapa, tersenyum. "Saya Duha, Papanya Alana, murid baru di kelas Ibu."
🌻🌻🌻
Cek dong, siapa aja yang masih di sini dan nungguin lanjutannya???
Sabar yaaa. Ini aku serius nulisnya tiap hari, dikit-dikit nyicil 😢
Btw kalian bayangin siapa di cerita ini???
See you again soon!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top