[13] Clumsy Exposure 🌻
Hola! Lama banget ya ga ketemu 🥲
Jujur agak kesulitan membangun mood nulisnya, hehe. Tapiiiii moga mood baik bisa sampai ke pembaca ❤
Happy reading~
🌻🌻🌻
Sepagian itu juga, telepon terus berdering dan ponselnya terus berderit-derit karena banyaknya pesan masuk. Juni tidak lagi berani membukanya. Yang terakhir dia lihat, rekan-rekan kerja bahkan yang tidak pernah menyimpan nomornya pun menghubunginya tiba-tiba. Teman-teman alumni sekolah yang sudah lama tidak bertegur sapa mendadak menyapanya beramai-ramai,
Juni tidak menduga reaksi seperti itu yang akan dia dapatkan. Baru ketika ponselnya menampilkan nama Keyhan sebagai pemanggil, Juni akhirnya menekan tombol terima panggilan.
"Bang Ke?"
"Bagus! Kalian berhasil." Keyhan terdengar sangat senang di seberang sana. "Dan akting kalian keren juga!"
"Bang Ke. Ini saya terus gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Bersikap biasa aja. Sekarang kita tunggu aja berita nyebar."
"UDAH NYEBAR!!!" Juni memutar bolamata. Kalau tidak menyebar, yang membuatnya tiba-tiba mendapat teror ini apa namanya?
Namun, Keyhan hanya terkekeh di sana, seolah ini semua masalah enteng.
"Ya, belum nyebar-nyebar banget dong, Jun. Kamu lupa kalau Seven itu artis top. Habis ini mungkin bakal banyak wartawan yang nyariin kamu."
"HAH?" Otomatis, Juni menyingkap jendela kamarnya. Siapa tahu puluhan wartawan telah bercokol di depan apartemennya seperti di drama-drama. Cukup lama ia mengamati, tidak ada siapapun yang tampak mencurigakan, hanya penghuni apartemen yang keluar masuk lobi, petugas kebersihan, dan penjual bubur ayam di depan kompleks apartemen. Namun tetap saja. "Kalau saya diculik wartawan gimana?!"
"Juni, relaks!" Keyhan berujar sabar, tetapi ada setitik nada geli dalam suaranya. Sepertinya ia pagi ini berada dalam mood yang sangat bagus, meski harus menari-nari di atas penderitaan Juni. "Nggak akan ada yang nyulik kamu, oke? Kamu kerja aja kayak biasa, bersikap biasa. Paling hati-hati aja kalau ada yang nanya-nanya. Bilang no comment aja."
***
Atas petuah itu Juni akhirnya memberanikan diri berangkat ke kantor. Ada memang, ketakutan-ketakutan yang bersarang di kepalanya. Membuat Juni gugup setengah mati begitu turun dari mobil taksi.
Ada keinginan untuk bercerita pada Jo, Sheya atau Shua. Tetapi untuk saat ini skenario dalam otak Juni masih terlalu semarak. Mungkin nanti. Mungkin ia akan berbagi cerita kepada mereka nanti.
Meski pintu masuk ke AB advertising sudah sepi karena Juni sudah telambat, Juni tetap merasa perlu berhati-hati. Usai buru-buru menempelkan jempol di mesin finger print, ia menatap sekitar, lantas bersembunyi-sembunyi dengan gegas menuju kantornya di lantai dua. Menunduk, langkah-langkah cepat tanpa suara, Juni berusaha membuat dirinya tidak terlihat.
"Juni!"
Jantung Juni mencelos seketika. Baru lima langkah masuk dan dia sudah akan dihadapkan berbagai pertanyaan pelik soal kehidupan asmaranya? Tidak! Dia tidak akan membiarkan itu. Bahkan tanpa melihat siapa yang memanggilnya, Juni terbirit lari.
"Juni! Woy! Jun!" Angga, salah satu anak produksi berseru. "Jun, makanan lo jatuh!"
Tetapi Juni terus saja lari. Angga memungut toples kecil berisi kukis yang sepertinya jatuh dari tas Juni yang tidak ditutup rapat. "Heran, biasanya sewot kalau diminta dikit aja. Ini malah dibuang. Gapapa, rejeki anak soleh."
***
"Jun, lo liat moodboard-"
Juni berbalik cepat pada Amira, copywriter lain di timnya. Dengan tidak kalah cepatnya, hingga tidak mencerna lagi ucapan gadis itu, Juni menjawab, "No comment."
Menyisakan Amira yang melongo di tempatnya. "Ya, ya udah kalo nggak liat."
***
"Jun! Juni! Si Jo mana sih, gue cariin mau─"
"No comment." Dan Juni berlalu.
Sementara Haidar menatapnya bingung. "Kesambet apaan tuh anak?"
***
"Juni, deadline campaign-"
"No comment."
Juni baru kembali dari toilet ketika seseorang menyambangnya dari belakang. Sesuai instruksi Keyhan, Juni menjawab dengan no comment, bahkan tanpa memikirkan pertanyaan apa yang akan diajukan rekan-rekan kerjanya. Ia hanya ... tidak ingin terlibat masalah, itu saja. ia tidak ingin urusan pribadinya dibahas, apalagi di kantor.
Tetapi setelah satu ayunan langkah setelah jawabannya yang agak terlalu cepat, Juni baru menyadari sesuatu. Suara itu ... milik siapa? Bukan Jo, bukan Amira, bukan anak copywriter ataupun media yang dia kenal. Itu ... suara ... Juni dengan cepat berbalik.
"Eh, Mbak Kaluna!" Secara otomatis, Juni menyengir dalam upaya menghapus jejak sembrononya berani mengabaikan senior seperti tadi.
Mbak Kaluna ini adalah Account Executive di kantornya, secara jabatan dan senioritas, beliau berada di atas Juni. Mana orangnya terkenal judes dan galak. Sembari melipat kedua tangan di dada, Kaluna menatap Juni dengan satu alis terangkat.
"No comment?" Dia mengulang kalimat Juni, menambahkan intonasi tanya di belakang.
"Eh, maaf, Mbak. Saya kira tadi siapa. Ada perlu apa ya, Mbak?"
Dan meski Juni sudah nyaris merobek pipinya untuk tersenyum lebar, Kaluna bahkan tidak membalas senyumnya sedikit pun. Gadis itu hanya berdiri di atas hak tumitnya dan menatap Juni datar.
"Saya tanya, deadline campaign Ramadhan buat Wadidow kan besok. Udah beres?"
"U-udah, Mbak. Nanti saya submit."
"Segera, ya. Sebelum makan siang."
"Oke, Mbak."
Lalu Juni membalikkan langkah dan diam-diam mengembuskan napas lega. Ternyata, itu tak seburuk yang dia pikirkan. Hanya masalah pekerjaan, tidak ada yang aneh.
Juni menatap sekitar, rekan-rekannya tengah sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang tengah mengetik, ada yang melamun sembari berpikir, ada yang mengeprint. Tidak semuanya, atau bahkan mungkin semuanya tidak sempat membuka laman gosip dan membaca berita itu. Ya, itu terdengar masuk akal. Ketakutannya sepertinya... terlalu berlebihan.
Syukurlah, karena dengan pemikiran itu, langkah Juni menjadi lebih enteng.
"Eh, Jun?" Kaluna kembali memanggil.
Juni berbalik menatapnya, senyum di wajah. "Ya, Mbak?"
"Kamu ... pacaran sama Seven Abrisam?"
Seketika itu juga, semua orang mengangkat wajah dan menatapnya. MAMPUS
***
Persoalan menghadapi rekan-rekan kerja di kantor yang kelewat kepo adalah hal pelik, namun masih dapat teratasi. Dengan raut wajah sebiasa mungkin, Juni tersenyum, lalu secara cepat menyusun satu kebohongan.
"Eh? Oh, yang berita Seven dating, ya? Emang mirip saya? Hahaha tapi kan nggak mungkin banget saya pacaran sama Seven. Yang bener aja!"
Dengan cepat mereka terpengaruh. Beberapa orang mengangguk-angguk. "Ya bener juga sih."
"Iya, ya. Circle-nya artis pasti bedalah sama rakyat jelata kayak kita. Gimana caranya pacaran sama mereka?"
"Nah, kan?" Juni tersenyum.
Tetapi di hadapan para wartawan yang tiba-tiba muncul dari balik gerobak rujak dan menyodorkan mikrofon padanya, Juni membeku. Ia menjadi yang terakhir pulang (dan dengan tanpa beban) ketika para wartawan itu menyerbu ke arahnya.
"Mbak, boleh minta tanggapannya sebentar?"
"Mbak, benar Mbak yang namanya Kanigara Juni?" Seseorang lain menyodorkan recorder.
Seorang lagi datang, menyodorkan ponsel. "Benar Mbak pacaran sama Seven Abrisam?"
"Mbak? Tolong dijawab Mbak. Apakah benar?"
Kepala Juni berputar tiba-tiba. Berdenyut. Ia memejamkan mata, merasakan kakinya kesulitan tetap berpijak, seakan melayang. Ada ketakutan yang menyergapnya saat itu juga. Membawa Juni jauh, jauh ke masa lalu.
***
Mungkin waktu itu umurnya empat tahun, atau lima. Juni kecil memegang balon kuning di tangan kecilnya dengan erat dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya dipegang sang ibunda, Rindang. Mereka berjalan di antara puluhan, ratusan manusia yang hadir di ruangan itu.
"Juni." Rindang berjongkok, menyejajarkan level pandangnya dengan sepasang mata bulat Juni kecil. "Mama mau ambil makan. Kamu pegang ujung baju Mama yang erat, ya?"
Juni mengangguk. Ia melakukannya, mencengkeram ujung dress Rindang. Kata Mama, jika ia menjadi anak baik dan penurut, serta tidak menangis selama pergi, ia akan bisa melihat pengantin cantik. Juni suka melihat pengantin yang cantik, memakai baju bagus serta riasan di kepala. Cantik sekali.
Rindang mengambil dua buah piring. Untuknya, dan untuk Juni. Juni lebih suka makan sendiri dengan piring sendiri, meskipun agak belepotan. Ia tengah asyik memilah makanan dari meja prasmanan sementara Juni kecil mengedarkan pandangannya dengan takjub. Orang-orang berdatangan, mengenakan pakaian-pakaian bagus. Mereka berjejal di sekitar Juni. Hingga ...
Buk! Kaki seseorang menyenggolnya. Tidak begitu sakit. Tapi saat itu juga, membuat balon di tangan Juni terlepas. Juni panik. Balonnya terbang.
Jadi, dia mulai bergerak menjauh. Berlari-lari kecil mengejar balon.
"Balon! Balon! Balon Cuni!"
Tetapi balon terus bergerak menjauh. Dan ketika Juni sadar, ia sudah tidak melihat Rindang di sekitar. Di antara kaki-kaki yang berlalu lalang, ia tidak dapat menemukannya. Kepanikan itu menguat. Dan sebelum ia menyadarinya, tangisnya pecah.
Perasaan tersesat. Perasaan sendirian. Ia membencinya.
***
"Mbak? Apakah foto-foto itu benar?"
"Apa benar Mbak pacaran dengan Seven?"
"Sudah berapa lama kalian pacaran?"
Dengungan kuat. Mereka semua seakan berdegung di kepala Juni. Saat itu, semua yang Juni inginkan adalah kabur dari situ. Tetapi tidak bisa. Tubuhnya kaku. Kakinya terpaku.
***
"Mamaaaa" Juni kecil menangis kencang. Menarik perhatian sejumlah orang.
Namun tak satupun di antara mereka adalah wajah yang dia kenali. Tak satupun di antara mereka yang memeluknya dan menenangkannya.
"Mamaaaa!!!"
Dan sepasang tangan yang kokoh meraihnya. Juni membuka matanya dan tangisnya terhenti hampir saat itu juga.
Samudera tersenyum. "Mama kamu di sana. Kamu kenapa pergi-pergi?"
"Papa!"
Detik itu juga, ia merasa aman.
***
Papa. Juni meringis dalam hati, memanggil sang ayah. Meski ia tahu, ayahnya berada di sana dan tidak mungkin mendatanginya sekarang.
Para wartawan itu tidak berhenti, terus merecokinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Alat-alat perekam suara yang mereka sodorkan semakin dekat dan dekat. Mereka mengepungnya. Membuat Juni merasa sesak.
"Permisi, saya..." Ia berusaha kabur, berusaha menjauh. Namun nihil. Mereka begitu rapat di sekeliling Juni.
"Tolong dijawab dulu, Mbak!"
"Mbak!"
Lalu, satu tangan terulur, menarik Juni dari kerumunan. Memblokir orang-orang lainnya. Dia tinggi, mengenakan celana hitam, jaket hitam, topi dan masker. Orang itu tidak mengatakan apa-apa, hanya memosisikan Juni di belakang punggungnya.
"Mas Seven! Jadi foto-foto dan berita itu benar?"
"Seven! Tolong konfirmasinya!"
"Seven!"
Mereka semakin menjadi. Tetapi pria di depan Juni ini dengan gesit menarik Juni menjauh. Jari jemarinya yang lebih besar menggenggam jemari ramping Juni erat. Hangat.
Tak jauh dari sana, Keyhan membukakan pintu mobil, tangannya melambai-lambai menyuruh Juni untuk cepat masuk.
Sementara Juni berupaya masuk, Seven menghalangi para wartawan. Ia tidak membuka mulut. Wajahnya berada rapat di balik masker dan topi. Namun begitu ia ikut masuk dan duduk di samping Juni, Juni baru menyadarinya.
Pria itu punya mata yang tidak mungkin tertukar dengan siapapun. Mata yang bersinar. Mata paling indah yang pernah Juni saksikan.
Entah dari mana datangnya perasaan hangat itu, tetapi Juni tidak dapat menyangkalnya. Apakah dari tatapan mata yang menakjubkan itu? Ataukah ... dari genggam Seven yang masih belum melepasnya. Bahkan hingga sekarang.
Tetapi perasaan itu tidak bertahan lama. Karena Seven menoleh ke arahnya, dan menurunkan masker.
"Kenapa? Terpesona?" tanyanya.
Detik itu juga, semua rasa hangat yang Juni rasakan ... buyar.
***
Aku mau ucapin makasih banyak banyak banyakkk buat yang masih baca cerita itu atau bahkan nungguin 🥺🥺🥺
Thank you~
Kira-kira, menurut kalian yang bakal naksir duluan Juni atau Seven ya? Heheh
See you again!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top