[09] Clumsy Dilemma 🌻
Haiii~
Maaf ya, lama. Sibuk i'tikaf (backsound suara drakor)
.
Just enjoy ❤🌻
.
Ketika Juni pulang dengan langkah-langkah lunglai, lampu ruang tengah telah padam. Tetapi ketika ia membuka kulkas di dapur untuk mengambil minum (dan mungkin ia dapat menemukan masih ada sisa camilan, kalau beruntung), mulai terdengar meongan berjamaah, diikuti kaki-kaki kecil yang berderap ke dapur.
"Hah? Kalian lapar juga?" tanya Juni.
Ia mengambil sebungkus makanan kucing yang tersimpan di ujung lemari, lalu membaginya ke dalam dua buah mangkuk besar tempat keenam kucingnya biasa makan. Segera, keenamnya mengerubungi makanan yang disajikan sementara Juni menatap mereka sembari bersila. Tangannya sesekali terulur, mengelus bulu-bulu Doc dan Happy yang berada paling dekat dengannya.
"Stok makanan kalian udah abis. Ini yang terakhir, makan yang lahap, ya," curhatnya. "Besok beli baru, tapi mungkin yang lebih murah aja, ya? Kalian nggak apa-apa, kan? Mulai sekarang kita harus hemat karena babu kalian ini lagi kena masalah, harus ganti rugi banyak. Kalian yang sabar ya. Besok-besok makan nasi aja nggak apa-apa, ya?"
Mungkin karena kucing-kucingnya sibuk makan, tidak ada yang merespons Juni. Atau mungkin karena memahami apa yang gadis itu sampaikan, mereka menjadi sibuk makan, tahu bahwa itu akan menjadi makanan mewah terakhir mereka.
Sementara Juni mengeluarkan napas berat, mengingat kembali pembicaraan mereka satu jam lalu. Kesepakatan yang membuatnya mendadak kehilangan semangat hidup.
Hah ... si Bang Ke itu benar-benar ... sudah gila?
***
Keesokan harinya cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati Juni. Hari ini, ia dan Shua datang ke tempat tinggal baru Sheya, sekalian membantu pindahan. Ekspektasi Juni, mereka akan sibuk membersihkan debu, mengepel, mencat ruangan dan menata barang-barang. Nyatanya tidak. Apartemen Sheya sudah tertata rapi dan tidak banyak lagi barang yang harus dibereskan. Jadi ia hanya duduk di sana bersama Sheya sembari menunggu Shua datang. Juni memberikan kado berupa set pisau, celemek lucu dan keset dapur bergambar kucing yang dipilihnya dengan sangat hati-hati. Juni pikir kadonya sudah menjadi yang paling istimewa, tetapi begitu mengetahui Shua membawa robot pembersih dan air purifier sebagai hadiah pindahan, ia segera menyepak kadonya ke kolong meja dapur.
"Beda banget kalau dokter yang ngadoin, ya? Penuh pertimbangan kebersihan dan kesehatan," gumamnya.
Juni mengembuskan napas berat, lalu menyentuh rambutnya yang terasa hangat. Bahkan berjemur di bawah sinar matahari tidak dapat membantu mengembalikan semangatnya kali ini. Seolah jiwanya telah terisap dan masih tertinggal di apartemen Seven, dijadikan tumbal sebagai pengganti figur mainan yang secara tidak sengaja Juni rusak.
Di bagian teduh apartemen, Shua tengah membahas tentang fengsui, dan Sheya ingin mengganti namanya yang ia anggap sial. Jika gadis itu melakukannya, Juni seharusnya juga. Perbuatan buruk apa memang yang sudah dilakukannya sehingga tiba-tiba ia punya hutang puluhan juta dalam semalam?!
Lelah berjemur, Juni pun beringsut ke dekat sofa, mengambil tempat di antara Sheya dan Shua. Ia duduk menyimak kedua sahabatnya itu bertukar cerita sembari tangannya memainkan robot pembersih yang dengan iseng ia nyalakan.
Rupanya, tidak hanya dirinya yang mengalami kesialan dalam blind date mereka Sabtu lalu. Sheya malah blind date sama bosnya! Ih, gila! Sesaat Juni membayangkan Pak Yash, GM perusahaannya yang sudah hampir berusia lima puluh, dengan kumis melintang, rambut mengalami kemunduran (seperti hidup Juni) dan perut buncit, ugh, jangan lupa rambutnya yang sebadan-badan sampai ke dada itu. Membayangkan dirinya kencan buta dengan Pak Yash seketika membuat Juni bergidik.
Shua memiliki pertemuan yang tidak kalah mencengangkan. Bisa-bisanya dia sama sugar daddy?!!
Dan nggak ngajak-ngajak?!
"... mana dia nanya kelanjutan blind date-nya segala lagi." Sheya masih menceritakan tentang atasannya si Jiwa dengan menggebu-gebu. Sheya yang biasanya lebih banyak diam terutama di depan banyak orang, sekarang seperti memuntahkan abu vulkanik dari mulutnya. Si Jiwa pasti semengerikan itu sampai bisa membangunkan naga tidur dalam diri Sheya.
Omong-omong soal mengerikan, Juni jadi teringat ancaman mengerikan pinjol yang dilakukan Seven atas dirinya.
"Sama kayak─"
"Terus, lo jawab apa?"
Juni baru ingin bercerita, tetapi Shua sudah lebih dulu bicara, dan sepertinya, Sheya masih punya banyak lava untuk dimuntahkan, sehingga Juni dengan sabar menunggu dan mendengarkan.
"Sebenarnya pengen banget gue bilang, 'Ya lo mikir aja, sih? Setelah nyiksa gue untuk jadi budak romusha di kantor, lo pikir gue mau jadi budak lo di luar kantor juga?!" semburnya.
Juni meringis. Satu temannya jadi budak dunia akhirat. Sementara dirinya ada kemungkinan harus menjual organ. Lebih menderita yang mana, kira-kira? Ia baru akan buka mulut ketika Sheya bicara lagi.
"Tapi ya ... nggak sampai ngomong gitu. Mana berani? Jadi gue tolak dia dengan santun."
"Tolak gimana?"
"Nggak dulu, Mas."
Ada tawa yang disemburkan Shua setelahnya. Juni sudah pasti akan ikut tertawa juga seandainya ia tidak ingat hutang di detik terakhir, sehingga akhirnya ia hanya geleng-geleng. Pembicaraan mereka kemudian secara natural bergeser. Dari pria yang disebut Sheya Si Sakit Jiwa menjadi nama yang sial, lalu proses kelahiran Sheya dan Shena yang juga tidak kalah ribetnya.
Kelahiran semenyakitkan itu ... hingga membuat Mama Lilin sendiri trauma melahirkan dan Juni berakhir menjadi anak tunggal, hanya tidak kaya raya.
Tup! Selagi pembicaraan berlangsung, Juni mendengar letupan kecil pada robot pembersih yang tangannya tanpa sengaja utak-atik. Juni panik seketika. Jangan sampai ia harus ganti rugi robot pembersih! Jadi ketika Sheya melirik ke arahnya, Juni pura-pura tidak melihat dan sibuk mengelus-elus robot itu, dalam hati berdoa semoga tidak kenapa-napa.
Tidak lama, ia kemudian perlahan menyingkirkan robot itu ke sisi setelah mematikannya. Dengan gerakan yang tidak terbaca oleh yang lain. Aman, jika robot itu rusak, Sheya akan berpikir itu karena dia salah pencet waktu menyalakannya besok pagi.
***
Pertemuan dengan teman-temannya mengurangi sedikit beban di pundak Juni, karena ya dia tidak jadi menderita sendirian. Kalau dia gagal ke pesta pernikahan Icha dan justru berakhir di penjara karena terjerat hutang, setidaknya kedua sahabatnya itu tidak akan tertawa-tawa sambil menyesap wine seperti di film-film kan? Meskipun pertemuan itu juga tidak memberikannya solusi apa-apa. Meskipun ia tidak bisa meluapkan lebih banyak keresahannya karena ternyata teman-temannya juga punya masalah sendiri-sendiri.
Ponselnya bergetar dan Juni memeriksa. Ada sebuah pesan masuk. Bukan dari Seven. Ini nomor tidak dikenal. Segera, Juni membuka isinya.
0822-xxxx-xxxx
Ini nomor Juni, kan?
Ini Keyhan.
Jadi gimana? Sudah buat keputusan?
Belum :(
Oke, pikirin aja baik-baik.
Masih ada waktu 28 jam lagi.
Hah? Dia beneran menghitung waktunya? Gila! Dasar manajer gila! Dasar pasangan gila! Juni menyumpah. Waktu Keyhan mengatakan akan memberinya waktu 48 jam untuk berpikir, Juni menganggap itu hanya hitungan kasar. Siapa sangka dia benar-benar menghitung mundur sampai 48 jam?! Ternyata mereka sama saja, hobi menekan. Mereka ingin memanfaatkannya demi menutupi hubungan terlarang mereka?!
Sambil merebahkan diri di atas karpet kamarnya (berhubung tempat tidur sudah dipenuhi Sleepy, Sneezy dan Happy yang tengah pulas), Juni mengkilas balik kejadian malam sebelumnya. Penawaran gila yang membuat kepalanya nyaris meledak saat ini juga.
***
Sementara Juni mundur ke sudut ruang, berusaha membuat dirinya mengecil, Keyhan sibuk menghalau Seven yang tampak begitu marah hingga rasanya ia bisa mencabik-cabik Juni saat itu juga. Keyhan tahu, seberapa berharga figur-figur action itu bagi Seven, bukan hanya harganya, tapi bagaimana pria itu akan memburunya hingga penghujung dunia hanya untuk melengkapi koleksinya tersebut, demi memuaskan inner child-nya. Dan menghancurkan koleksi itu begitu saja adalah satu tindakan kriminal besar.
Setengah jam kemudian, barulah Seven bisa sedikit ditenangkan dan mereka kembali berembuk, mengelilingi meja yang sama dengan jarak sejauh mungkin antara Seven dan Juni. Keyhan berada di tengah-tengah, mengawasi kalau-kalau kembali terjadi gencatan senjata. Sesekali, Juni mengecek jamnya. Ini sudah cukup larut baginya. Ia khawatir Jo lembur lagi malam ini dan kucing-kucingnya tidak ada yang memberi makan.
"Jadi ... gue bilang ini bukan sebagai manajer Seven. Tapi emang lo udah salah, ngehancurin koleksi Seven," ujar Keyhan, berusaha tenang dalam situasi itu.
Di depannya, Juni tertunduk. Ia menatap puing-puing figure action yang ditumpuk di atas meja. Ada yang kehilangan satu kaki, ada yang kehilangan tangan, ada yang kehilangan kepala, semuanya berkat tangan ajaib Juni.
"Saya nggak mau tahu!" Seven menimpali, masih dengan berapi-api. "Kamu harus balikin action figure saya! Atau kamu saya tuntut!"
"Gi-gimana caranya?"
Dengan gemetar, tangan Juni bergerak, berusaha merekatkan action fugure di atas meja itu kembali ke bentuk semula. Namun lem kertas yang ia gunakan jelas tidak berguna sehingga kepala Batman di tangannya menggelinding jatuh, membuat Seven kembali emosi.
"WOI!!! ITU KEPALANYA!" Seven terkesiap. Tidak bahkan dalam mimpi buruknya ia melihat benda yang ia sayang seperti anak sendiri dipenggal orang dengan cara sekejam itu. Buru-buru, ia menangkap kepala itu agar tidak jatuh ke lantai, bahkan jika itu berarti lututnya harus lecet karena gesekan yang tiba-tiba saat dia berlutut.
"Maaf...," Juni menyengir dalam perasaan bersalah.
"MAAF AJA NGGAK CUKUP! KAMU UDAH MENGGAL KEPALA BATMAN SAYA!!!"
"Dia ... mati?" Juni terkesiap. Ia lalu ikut berlutut di depan Seven yang masih berlutut, menangkupkan kedua tangan di depan dada. Berikut mata yang memelas rasa iba. "Maafin! Tolong jangan tuntut saya! Saya nggak punya uang dan saya punya enam kucing yang perlu dinafkahi!"
Seven berdiri dan memalingkan wajah. Ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan luluh apapun yang gadis itu lakukan. "Nggak mau tahu. Gimana pun caranya, kamu harus ganti rugi!"
"Saya miskin, sumpah! Bapak saya kafenya udah sepi udah berubah jadi warung!!! Ibu saya webtoon-nya nggak laku! Likes-nya aja nggak nyampe 100, 10 likes dari 10 akun saya!"
Juni menarik kaki Seven, ingin bersimpuh padanya, tetapi Seven buru-buru menarik kakinya. "Itu bukan urusan saya! Pokoknya─"
"Duh, please! Kamu nggak kasihan sama saya? Sama kucing-kucing saya yang yatim piatu?!"
"Enggak. Pokoknya kamu harus gant─"
"Bayarnya pake BPJS boleh, nggak?"
"YA MANA BISA?!! Syarat pake BPJS minimal berakal."
"GUYS!!!" Keyhan tiba-tiba berdiri, menyita perhatian Seven dan Juni. Keduanya menoleh, menunggu pria itu menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan.
"Gue punya ide!"
Ada detik-detik yang cukup mendebarkan sementara Keyhan berjalan pelan dalam langkah-langkah lebar menghampiri. Ada senyum di wajahnya, dan keyakinan di kilat matanya. Seolah, dia telah menemukan ide paling brilian yang pernah ada.
"Sev, lo lagi terjerat rumor gay. Lo pengin rumor ini cepat kelar, kan?" Ketika Seven mengangguk, tatapan Keyhan berpindah pada Juni. "Dan kamu harus ganti rugi yang nggak sedikit sama Seven. Kamu nggak punya uang sebanyak itu, kan?" Dan ketika Juni turut mengangguk, Keyhan menjentikkan jarinya.
"Kalian kerja sama aja."
Juni menginterupsi cepat. "Kerja sama kayak gimana? Kalau bantu-bantu saya bisa. Saya bisa masak .... telur! Bersih-bersih, bisa. Angkat galon, bisa. Gali sumur juga bisa!"
Di sampingnya, Seven berdecak. "Dengan tangan kamu itu? Kamu masak, yang ada rumah saya kebakaran!"
"Jadi pacar Sev."
Jika rahang bisa jatuh, pasti bunyinya sudah bergedebuk di lantai. Juni tidak bisa memercayai pendengarannya sendiri. Terlebih lagi Seven, yang menatap Keyhan seolah pria itu kepalanya mendadak ada dua. Karena, ya, apa hubungannya?! Namun sebelum mereka bisa protes, Keyhan sudah meletakkan kedua tangan di udara. "Gue jelasin!"
"Maksud gue," katanya setelah semua orang kembali dalam posisi duduk. "Juni, kamu bilang kan nggak ada uang sebanyak itu. Dan Sev, lo mau nagih ampe berbuih juga nggak ada itu uangnya. Jadi gini aja. Juni nggak usah ganti pake materi, gimana? Tapi pake jasa. Kalian bisa kerjasama."
"Dengan pacaran?! Lo abis ngobat, ya?" Seven menyipitkan mata. Yang membuat Keyhan melotot tidak terima.
"Enggak, ya! Gue nggak pernah yang begituan! Tapi kalian pikir lah. Ini solusi paling masuk akal atas permasalahan kalian. Sev, kalo lo punya pacar, cewek, segala rumor lo bakal segera reda. Dari rumor gay sampai rumor lo nggak move on-move on dari Gabby."
Pada detik itu, Juni mengarahkan tatap pada objek yang dibicarakan, Seven. Keyhan benar, ada rumor seperti itu yang terus berseliweran. Dan meskipun Juni bukan salah satu fansnya, namun berhubung Gabby adalah pacar Dimas Lukman yang sekarang, dan berhubung rumor itu kerap dibicarakan orang di kantornya, mau tidak mau ia mendengarnya juga. Kabar-kabar seperti bahwa Seven belum menghapus foto-foto Gabby dari Instagramnya, bahwa ia masih mengenakan gelang pasangan mereka, bahwa ia ... menjadi begitu menyedihkan meskipun Gabby telah bahagia bersama orang lain.
Dan entah hanya bayangannya, tapi Juni merasa seakan ... baru saja menyaksikan kilat kesedihan itu sendiri di wajah Seven.
"Coba lo pikir, Sev," Keyhan meneruskan, "Dimana lagi lo bisa nyari cewek yang bisa bantu pura-pura jadi cewek lo cuma buat nutupin gosip. Dan gratis!"
Pada kata gratis, Juni melebarkan mata. Jadi ia akan dimanfaatkan secara cuma-cuma? Namun mengingat hutang yang dibebankan kepadanya, ia sama sekali tidak berani protes.
"Sama cewek ini?"
Juni perasaan lirikan tajam dari pria bernama Seven Abrisam itu. Rasanya seperti pria itu adalah juri kontes menyanyi dan Juni baru saja mengeluarkan suara sumbang. Atau pria itu adalah juri acara memasak dan Juni adalah hidangan overcooked charred black beef with handwashed soup alias daging gosong dengan kuah kobokan.
"Why not?" Keyhan mendekat hingga berdiri di sisi Juni, ia meletakkan telapak tangannya di bawah dagu Juni. "She's pretty enough, isn't she?"
Sebagai penekanan, Juni mengerjap-ngerjapkan matanya tiga kali, berharap itu dapat menambahkan sisi imut pada dirinya. Ia tidak tahu itu berhasil atau tidak karena Seven justru mendengkus tidak percaya.
"Come on!" Keyhan mencoba lagi. "Cuma butuh make over dikit. Actually she could be prettier than you ... ex."
"Don't say that," Seven berkata dengan suara rendah, seolah tersinggung. Tetapi ia kemudian mengibaskan tangan seakan mengabaikannya. "Selama lo iket aja tangannya supaya jangan bikin onar lagi."
"Jadi gimana? Deal, jadiin dia pacar bohongan lo?"
"Tumbal skandal, ya?" Seven bergumam, meneliti Juni dari ujung rambut hingga ujung kaki. "I guess, yeah."
"Deal, kalau gitu."
"Tunggu!" Juni mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berderap maju. Selama pembicaraan tadi, ia merasa seperti kasat mata saja di hadapan dua pria ini. "Kalian nggak nanya pendapat saya, saya mau apa enggak?"
"Do you have other choice?"
Pilihannya cuma dua, jual ginjal atau bersedia dijadikan tumbal skandal. Dua-duanya bukan pilihan menyenangkan sehingga kening Juni berkerut dalam.
"Oke, saya kasih waktu deh buat kamu mikir," kata Keyhan akhirnya. "48 jam, cukup?"
Lalu, Seven menimpali. "Make it quick. Say yes, or give me cash, nggak ada BPJS."
Sekarang Juni dalam dilema. Antara jual ginjal dan tumbal skandal ... mana yang harus ia pilih?
***
Note dari Juni: Jangan cepu-in Sheya ya, soal robotnya 🤫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top