[06] Choosy Madly 🐱

Kapan kamu baca ini dan gimana suasananya?
Kalau saya, pas banget sore lagi mendung mau hujan (sama petir-petir dikit), sesuai dengan keadaan di cerita, haha.

Btw, bab 4 dan 5 dituker, ya supaya lebih urut. Bab 4 itu baru kupost beberapa hari lalu waktu Wattpad error, jadi bagi yang belum baca Choosy Unlucky, bisa dibaca dulu~

Last, enjoy this chapter. Vote dan komen kamu sangat berarti <3

Ketika Seven tiba di Sundays, ia rupanya datang lima menit sebelum waktu yang ditentukan sehingga Gabby belum terlihat. Seven melepas jaket kulitnya yang telah basah akibat wanita gila aneh yang menyiramnya, lalu menyampirkannya di kursi, menyisakan dirinya dengan kemeja putih pemberian Gabby dan celana jins hitam, serta topi baseball.

Seven rasa mungkin ia duduk di sana lebih dari setengah jam, hingga mulai gelisah dan memutuskan untuk memesan, daripada terus-terusan ditatap curiga oleh pramusaji di ujung konter, atau lebih parah, diusir.

"Satu es krim cone vanilla dan satu stroberi," katanya di balik masker, tatap menunduk, berusaha menyembunyikan wajah sebanyak mungkin di bawah topinya.

Usai sang pramusaji pergi untuk memproses pesanannya, Seven kembali memeriksa notifikasi di ponsel. Tidak ada kabar dari Gabby. Tidak ada kabar apakah dia akan terlambat, atau tidak bisa datang, atau apapun. Dia hanya ... seakan menghilang. Seperti yang dulu dia lakukan sebelum mereka resmi berpisah.

Atau mungkin dia hanya lupa. Mungkin dia tengah sibuk sekarang, bukankah dia sedang menggarap sebuah sinetron kejar tayang? Dia pasti sangat sibuk. Dia pasti ... hanya lupa.

Seven masuk kembali ke menu perpesanan mereka, ia menulis pesan untuk Gabby.

Hari ini .... kamu datang, kan?

Terkirim. Pesan itu sudah terkirim, hanya tinggal menunggu Gabby membacanya, lalu ia pasti akan segera─

"Mas-mas blind date?!" Seseorang berseru, nyaris seakan berteriak, dan suaranya begitu dekat, dalam sekejap Seven tahu bahwa seseorang telah berdiri di depannya sehingga secara refleks, dia mendongak. Seorang perempuan, namun bukan Gabby. Gabby lebih tinggi dan lebih kurus. Perempuan ini mengenakan pakaian yang amat cerah, perpaduan lilac dan mustard, bukan sesuatu yang akan Gabby pakai.

Dan dia ... familiar.

Gadis itu tersenyum lebar. "Maksudnya, Mas Budi. Hai. Udah lama ya, nunggu?!"

Seven bahkan tidak sempat bereaksi, pikirannya masih dalam tahap memproses, namun gadis itu sudah duduk dan bicara panjang lebar.

"Maaf banget ya, Mas. Saya telat," jelasnya cepat. "Tadi itu saya kehujanan kan, terus ada musibah kecil juga yang bikin baju saya basah! Itu tadi ada mobil seenaknya banget nyipratin ke saya! Padahal udah capek-capek dandan! Terpaksa deh saya pulang dulu ganti baju! Mana gojeknya lama! Mana macet lagi! Duh. Terus gojeknya juga mamang-mamang yang kalo ngebut dikit bisa masuk angin kayaknya!"

Seven membuka mulutnya, ingin menginterupsi, ingin menanyakan siapa gadis itu dan kenapa dia ada di sini. Tetapi ketika pramusaji datang membawakan pesanannya, lagi-lagi, gadis itu mengambil waktunya untuk bicara.

"Eh, ya, ampun! Udah pesen aja? Duh, Mas pasti kelamaan nunggu ya sampe gabut dan pesan es krim?"

Mata Seven seketika membelalak melihat gadis itu mencomot es krimnya, lalu menjilatnya tanpa sungkan. Tangan Seven berada di udara, ingin menghentikan gadis itu, namun apa daya tenggorokannya terasa tercekat. Kejadiannya berlangsung terlalu cepat.

"Kok tahu saya suka es krim rasa stroberi? Padahal saya nggak ada bilang kan ya sebelumnya mau pesan apa? Makasih banyak, ya udah pesenin saya! Walaupun saya telat. Masnya baik banget!"

"Anu─" Seven berdeham. Ia harus mengatakannya sekarang, namun ia masih menunggu momen yang tepat di mana harus memotong. Seperti akan menyeberang jalan, masalahnya, yang lewat ini bukan kendaraan biasa, tetapi sebuah kereta api super panjang.

"Enak banget. Seger. Pas banget abis macet-macetan makan es krim kayak gini. Apalagi cokelat stroberi. Kayak pas banget. Really my fav─"

"Kamu salah orang."

"─vorite."

Mendadak, suasana hening. Seven melepas topi dan menurunkan masker, kemudian ia melihat mata gadis itu melebar, finally he could knock some senses into her head. Sekarang, seharusnya dia sudah tahu yang ada di depannya adalah Seven Duha Abrisam, aktor yang turut berperan dalam film populer, Sewindu Rindu yang mendapat penghargaan Piala Citra karena sinematografi yang epik, meskipun Seven bukan pemeran pria utama, namun film itu berhasil melambungkan namanya.

Gadis itu terkesiap, lalu ... bencana bagian dua dimulai.

***

Pertama-tama, Seven berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Dalam hitungan kurang dari semenit, bajunya telah ketumpahan es krim, disusul dengan celananya yang mendadak basah ketumpahan kopi. Yang lebih parah, jaketnya juga telah basah kuyup beserta mobil-mobilnya. Semuanya diakibatkan oleh orang yang sama!

Ya, Seven mengingatnya sekarang, dia adalah gadis gila yang sama! Bagaimana bisa? Apa orang ini jelmaan nasib buruk atau bagaimana?

Selanjutnya, Seven berusaha mengatur napasnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya di dada, berusaha berpikir bahwa ini bukan apa-apa. Mobil kesayangannya hanya sedikit becek dan hadiah terakhir dari Gabby hanya sedikit kotor. Kopi yang sempat ia bawa masuk juga sudah tidak panas, hanya ...

Sial! Ia membuang napas kasar hingga rasanya lubang hidungnya mengembang. Matanya memelototi gadis itu, yang menatapnya dengan campuran ekspresi takut, canggung, dan memohon. Namun Seven tidak akan terperdaya. Dengan cepat ia berdiri, menjulang di depan gadis itu hingga membuatnya lebih mengintimidasi.

"Kamu yang nyiram saya tadi, kan?" tembaknya. Seven merasakan bibirnya berkedut-kedut dan asap keluar dari telinganya. "Kamu tahu kerugian yang kamu akibatkan? Saya ... jangan harap kamu bisa lepas dari saya!"

"S-saya minta maaf," gadis itu mencicit. Dalam upayanya cepat-cepat berdiri, ia justru membuat kursinya terjungkal, benar-benar definisi kecerobohan. Dengan panik, ia membuka tas dan mengeluarkan sebuah...

Seven melompat mundur hingga menabrak kursi di belakangnya, nyaris jatuh. Gadis itu baru saja mengeluarkan ... bokong kucing?! Atau awalnya Seven berpikir begitu. Benda itu berukuran kecil, seukuran telapak tangan, namun memiliki ekor dan bentuk yang persis seperti bokong kucing, hingga biji-bijinya. Yup, benda itu punya dua biji, yang biasanya menandakan jenis kelamin, ya itulah. Barulah ketika gadis itu membuka risletingnya, Seven baru menyadari itu bukan kucing, tapi sebuah dompet, semacam dompet koin.

"Saya ganti, ya. Berapa..."

Kalimatnya terhenti. Dengan satu lirikan, Seven mengikuti arah tatapan gadis itu. Ah, ya, logo LV di kemejanya. Sepertinya dia cukup pintar untuk menyadari bahwa yang sedang Seven kenakan bukan barang KW. Karena ia melihat gadis itu meneguk salivanya sebelum tersenyum canggung. Jenis senyum ketika orang-orang akan berhutang, semacam itu.

"Gini...," katanya, meremas-remas dompet di tangannya, sembari merapatkan bibir. "Ini kan tanggal tua, ya. Dan saya masih perlu beli makanan buat kucing-kucing saya! Mana samponya abis! Saya ....," tatapannya memelas. Seven merasa amat sangat curiga. Terutama ketika gadis itu memaksakan senyum. "Saya ngutang dulu, boleh, ya?"

Seven sempat bertanya-tanya, bagian mana dari wajahnya yang tampak seperti warung hingga gadis ini ingin berhutang padanya, tetapi ia tidak mengutarakannya. Ia hanya diam. Hanya melotot, seperti siap mencabik gadis itu kapan saja.

Mungkin merasa tidak nyaman dipelototi, gadis itu akhirnya kembali buka suara. "Gini aja, deh. Saya cuciin sekarang baju sama celana kamu, sampai bersih kinclong, gimana?"

"Terus saya pake apa? Kamu mau liat saya telanjang?"

Gadis itu terkesiap dan membekap mulut. Ia lalu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap sekeliling. "Jangan macam-macam ya, kamu! Gini-gini kuku saya panjang! Saya tahu dimana tempat mencakar yang bikin sakit!"

Seven memberikan tatap iritasi, karena ... bukankah seharusnya ia yang bereaksi demikian? Bukankah dia yang kemana-mana harus bersembunyi agar tidak dibuntuti penggemar aneh yang mungkin ingin menjamah-jamahnya? Atau ini hanya trik? Selalu ada penggemar gila yang kadang bereaksi di luar nalar. seperti seorang ibu muda yang pernah menalak suaminya lalu berteriak melamar Seven, literally, dengan membawa-bawa berkas perceraian dari pengadilan. Atau seorang gadis yang mengancam akan membakar sekolahnya jika ia tidak bisa bertemu Seven. Kegilaan semacam itu.

Ia harus berhati-hati. Karenanya. Seven meraih ponsel. "Saya telepon manajer saya aja─"

"Eeeh! Tunggu! Tunggu! Saya ganti! Saya ganti!" Seven menurunkan ponsel, dan gadis itu menyengir ala-ala mbak-mbak Betamart. "Atau mau didonasikan aja, nggak? Kamu artis, kan? Pasti sudah kaya."

Seven menaikkan ponselnya lagi ke telinga dan gadis itu dengan buru-buru menahan tangannya di udara.

"Saya ganti! Saya ganti! Tapi nyicil boleh, ya? Saya janji saya nggak akan kabur!"

"Gimana saya tahu kamu nggak akan kabur?"

"Siniin hape kamu."

"Stalker, ya?" Seven menyipit. Ia sudah tahu triknya, ini sudah lumrah. Gadis ini ingin nomor ponselnya, and then ... only God knows what she will do with it, mungkin meneror Seven, mungkin mendukuninya, mungkin menjualnya. Membayangkannya saja, Seven sudah bergidik. Ia merapatkan ponsel ke dadanya.

Sementara gadis itu memberikannya tatap ... sebal? Haha, tidak mungkin. Pasti hanya penglihatan Seven belaka. Gadis berambut pendek bob yang tidak ia ketahui namanya itu lalu mengeluarkan pulpen dan secarik kertas. Lalu menulis nomornya di sana.

"Ini nomor saya. Silakan kamu simpan dan tagih hutang saya!" Lalu, setelah pertimbangan sesaat, ia menatap Seven memelas. "Ganti ongkos laundry aja kan? Bukan ganti bajunya kan? Plis jawab iya!"

Seven tidak menjawab. Ia memindai angka-angka di kertas ke ponselnya, lalu menekan tombol panggil untuk mengetahui apa gadis itu sudah memberikan nomor yang benar. Mungkin itu adalah satu keputusan yang salah. Karena begitu Seven menekan dial panggil, musik yang disetel dengan volume maksimal menggema di setiap penjuru kedai es krim. Suara seorang perempuan yang dinasalkan terdengar keras menyentuh gendang telinga Seven.

Bole chudiyan~ bole kangna

Haai main ho gayi~ teri saajna.

"Tere bin jiyo naiyo lag da main─"

Buru-buru, Seven memutuskan panggilan, membuat lagu yang berkumandang ikut terhenti. Lantas, ia melotot ke arah perempuan di depannya itu. Sempat-sempatnya, perempuan ini ikut menyanyi dalam situasi seperti ini.

Seakan tahu apa yang dipikirkan Seven, gadis itu menyengir. "Maaf, keceplosan!" katanya. "Habisnya lagunya seru, sih. Ini lagu kesukaan Papa saya, loh."

Seven mengibaskan tangan, tidak berminat mendengar informasi yang diberikan gadis itu. Seolah itu penting. Seolah ia harus kenal ayahnya. Who cares? Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Seven, mereka juga tidak mungkin bertemu atau saling kenal di masa depan nanti.

"Mana KTP kamu," katanya, mengulurkan tangan.

Gadis itu menatapnya kebingungan. "Loh, kan saya udah ngasih nomor hape."

"Kamu masih bisa kabur. Sini KTP."

Meski ragu, dan dengan bibir mencebik sebal, gadis itu menurut. Ia menyerahkan KTPnya ke tangan Seven, yang kemudian menelitinya. Pertama-tama, Seven mencocokkan antara foto dan orangnya langsung.

"Ini kamu?" tanyanya.

"Iya."

"Kok burik?"

Gadis itu memutar bolamatanya. "Namanya juga foto KTP! Kalau mau bening ya pake filter seabrek-abrek!"

Seven hanya mengangkat bahu. Matanya lalu membaca nama yang tertera di kartu identitas tersebut. "Kanigara Juni," gumamnya. Oh, berarti lahirnya bulan Juni. Seperti namanya, Seven Duha, karena ia lahir jam tujuh pagi, waktu ayahnya sedang salat duha. Tetapi, di informasi berikutnya, matanya membesar.

"Kamu lahir bulan Februari?"

"Iya."

"Kenapa namanya Juni???"

"Itu ...," sekali lagi Seven menyaksikan gadis itu memutar bola mata sembari meremas-remas dompet berbulu di tangannya seolah dia sudah terlalu muak dengan pertanyaan semacam ini. "Itu ... panjang, ceritanya." Gadis itu menggeleng, seakan mengenang sesuatu yang horor. "Kalo penasaran kamu tanya aja ayah saya!"

Seven mencibir. Gadis aneh, tidak mengherankan jika orangtuanya juga aneh. Lahir bulan Februari, namun diberi nama Juni, orangtua macam apa yang memberi anaknya nama seperti itu? Tetapi ia tidak mendebatnya lebih panjang. Ia memotret KTP itu satu kali, lalu mengangsurkannya kembali ke si pemilik. Juni. Kanigara Juni.

"Nih, pegang dekat muka."

"Buat apa?"

Namun tatapan Seven cukup untuk membuatnya berhenti bertanya dan hanya melakukannya. Sesuai intruksi, Juni meletakkan ponsel di dekat wajahnya.

"Senyum."

Juni meringis, dan cekrek, sebuah foto telah diambil. Seven mengecek kedua foto itu untuk kali terakhir lalu memberi anggukan persetujuan. Ia kemudian mengambil kertas dan pulpen yang tergeletak di meja dan menulis sesuatu di balik nomor Juni tadi. Sebuah alamat.

"Datang ke tempat ini besok sore. Kalau kamu kabur ...,"

"Apa?"

Seven tersenyum, ia tahu cara ini akan ampuh. Diam-diam, Seven memuji diri sendiri serta kepalanya yang bekerja cukup cerdas dalam situasi seperti ini. Gadis ini tidak akan bisa kabur bahkan jika ia berusaha. "Kalau kamu kabur, datamu bakal saya masukin pinjol."

Di luar kedai, langit kembali gelap dan petir menggelegar.

🐱🐱🐱

Jahat Mas Tujuh 🥲


Jangan lupa istirahat hari ini~ besok masih ada Sheya-nya cappuc_cino dan Shua-nya okkyarista
❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top