[03] Clumsy Decision 🌻

Vote dulu boleh, dong?

Kalian suka 🐱 nggak?

Coba dong ceritain pengalaman lucu sama meng-nya 🥺

Dan... Selamat membaca~

Sleepy melingkarkan badan di sofa, menahan kantuk. Sneezy menggosok-gosokkan hidungnya di sofa yang sama, tidak peduli. Bashful dan Doc duduk rapi di depan Juni. Sementara Happy mengendus-endus kaki gadis itu dan Dopey bermain dengan sebuah bola, juga di depan Juni. Setidaknya, setengah dari mereka tampak peduli saat Juni menangis meraung-raung seperti kesurupan.

"Huaaa kalian pasti nggak tahu rasanya!" racaunya. Ia hanya berhenti untuk menarik lembaran tisu baru dan menyusut air mata sekaligus ingus, tisu bekasnya tersebar di seluruh lantai. "Gimana Mami sudah milih-milih baju adat buat nikah nanti. Dimas kan turunan Bali! Nggak jadi dong, pake bunga kamboja!" Ia menyedot ingus lagi. Kadang, tangisannya membuat Juni tersedak sendiri.

"Miaw!" Happy menyahut.

Dopey berhenti memainkan bola, ia mendorong kotak tisu lebih dekat ke arah Juni, membuat tangis Juni yang tadinya mulai reda, kembali kencang. Ia mengangkat Dopey dan memeluknya erat-erat.

"Huaaaaa, maaf ya, kalian nggak jadi punya Papi seganteng Adimas. Mami juga sedih banget!!!"

Di dalam kekalutan itu, Juni tidak lagi melihat Doc. Rupanya, kucing bercorak hitam abu-abu gelap dan putih yang ia adopsi sejak bayi itu telah pergi entah kemana. Ketika dia kembali, dia membawa seekor ikan di mulutnya dan menaruhnya di pangkuan Juni.

Juni tercengang, tangisnya tertahan menjadi sedakan.

Apakah ... Doc baru saja ... mencoba menghiburnya? Dengan seekor ikan peda yang mungkin ia colong dari meja makan?

"Miaw," Doc mengonfirmasi.

Pemandangan itu, tisu yang memenuhi karpet dan lantai, kucing-kucing yang mengelilingi Juni, seekor ikan goreng yang berada tidak pada tempatnya, dan Juni yang tampak berantakan menjadi kejutan tersendiri bagi Jo yang baru pulang lembur.

"What .... the ... hell?!" ucapnya, kesulitan mengungkapkan perasaannya saat ini menjadi kata-kata. Karena, literally, what the hell?!

"Kita abis kebanjiran?" tanyanya kemudian, masih sambil berdiri di ambang pintu.

Juni berbalik, menatap Jo. Lalu, ia bangkit, berlari untuk menangis di kaki perempuan itu.

***

Kadang Jo meragukan keputusannya berbagi apartemen dengan Juni, atau mengajak bicara gadis itu sejak awal. Ia menyukai Juni karena anak itu terlihat berbeda dari karyawan-karyawan wanita lain yang ia temui, yang kebanyakan hanya tentang kompetisi: siapa paling cantik, siapa paling modis, siapa paling menarik. Mereka berdandan habis-habisan hanya untuk menghabiskan hari di kantor yang sumpek hingga larut malam, tidak masuk akal.

Jo sendiri juga berdandan, tipis-tipis. Juni juga berdandan tipis-tipis, kalau ingat. Namun Juni tidak begitu peduli dengan komentar orang lain atas penampilannya, atau apapun itu. Sepertinya, otak gadis itu hanya terbagi atas tiga hal: Dimas Lukman, kucing-kucingnya, dan cara mengumpulkan cuan agar bisa memberikan tempat layak untuk diri sendiri dan kucing-kucingnya. Namun Jo juga tidak mengerti bagaimana Juni ingin menabung untuk membeli apartemen sendiri tapi gajinya selalu habis untuk makanan kucing, mainan kucing, dan barang-barang lucu untuk kucing.

Namun ada saat-saat Jo meragukan keputusannya. Seperti sekarang.

Usai tragedi semalam, sepulang kerja hari ini Juni mengajaknya ke salon dekat kantor. Pukul tujuh malam lewat sedikit, mereka tiba di sana, Juni bahkan sudah membuat appoinment di awal tentang kunjungan mereka. Awalnya Jo berpikir mereka akan perawatan rambut, meskipun itu bukan mereka sekali, atau medi pedi. Namun ... tahu, apa yang Juni katakan saat masing-masing telah duduk menghadap cermin?

"Jo...?"

"Apaan?"

"Gue kan mau potong rambut, kan orang-orang biasanya ngobatin patah hati dengan potong rambut, kan?"

Detik itu, perasaan Jo mulai tidak nyaman. "Terus?"

"Tapi gue udah potong rambut bulan lalu dan rambut gue masih pendek ..."

Jo menatap curiga. "Terus?"

Juni menoleh padanya dan tersenyum lebar. "Lo ... mau nggak, potong rambut gantiin gue?"

"...."

"...."

"Sini, mending kuping lo yang gue potong!" Mata besar Jo membulat semakin lebar. Mengerikan bagi Juni, hingga gadis itu menciut di kursinya. "Lagian. Udah berapa kali gue bilang emangnya, nggak faedahnya lu ngehaluin Dimas Lukman! Mending gue, ngehaluin manusia gepeng!"

"Sama aja! Sateru... Sate─"

"Satoru Gojo!"

"Ya, itu. Dia juga nggak bakal ngelirik lo!"

"Ya, emang! Tapi seenggaknya dia nggak akan ngelirik manusia lain, nggak kayak Dimas Lukman!" Jo menjulurkan lidah mengejek dan Juni mendengkus.

"Orang masih sedih!" omel Juni.

Jo justru tertawa. "Kenapa lo nggak ngikutin saran temen lo yang kemaren aja, Wak?"

"Yang mana?"

"Itu ... join aplikasi dating. Tahu nggak, obat patah hati yang lebih ampuh dari motong rambut doang?" Jo menyeringai. "Ketemu cowok baru."

***

Juni masih menatap pesan terakhir Icha yang penuh aura penghinaan itu. "Jangan lupa dateng, Jun. Jangan pura-pura lupa dateng juga, wkwk. Pokoknya harus bawa cowok lo. Eh, jangan bilang lo masih jomlo aja. Enggak, kan?" yang diikuti emot senyum. Najis.

Ia menekan tombol paling kiri dari navigasi ponselnya, yang selanjutnya menampilkan beberapa laman yang sedang terbuka. Juni kembali ke halaman dimana tadi ia berada sebelum pesan rekan di kelas yoganya yang super 'baik hati' itu. Rupanya, proses loading sudah selesai. Akunnya sudah dibuat dan sekarang waktunya Juni melengkapi profil.

Ya, setelah menghubungi Shua dan Sheya, rupa-rupanya teman-temannya itu akhirnya sepakat menyerah dan mulai mengunduh aplikasi kencan yang disarankan Shena. MenU: Choose Your Plate for Me n U!

Usai melengkapi beberapa data dan pertanyaan yang kadang membuat kening berkerut, profil Juni sekarang terpampang di laman dengan dominasi warna pink salmon, menggunakan nama yang sedikit menggelitik, Sweet Strawberry Ice Cream.

Aplikasi aneh. Kenapa harus pakai nama makanan? Bikin laper aja!

Setelah mengklik beranda, aplikasi tersebut langsung menyuguhkannya rekomendasi pria di sekitar.

Jamal, 28, Hot Grilled Jalapeno, 2 km away.

Ganteng, sih badannya, meski mukanya ketutupan. Tapi namanya Jamal. Juni pernah trauma dengan Jamal Tukang waktu SMP dulu. Dia biasanya dipanggil untuk memperbaiki saluran air yang bocor atau merenovasi bagian belakang sekolah. Lalu suatu hari, Juni yang tidak sengaja lewat sana mendapat catcalling dari si Jamal Tukang. Sejak itu, Juni alergi dengan yang namanya Jamal. Ditambah Juni tidak suka yang pedas-pedas. Otomatis skip.

Pria kedua bernama Adrian, 30 tahun, dan nama makanannya cukup membuat perut Juni tergejolak senang. Sweet Salty Cheesecake. Sayangnya, rambutnya klimis dan bagian yang seharusnya ditumbuhi kumis dan jambang dicukur sangat sangat bersih.

"Kurang gemoy," keluh Juni sebelum menggeser jempolnya ke kiri. Swipe.

Selanjutnya adalah Budi, 27 tahun, Sweet Honey Butter Fried Chicken. Membacanya, Juni membatin, Ya Allah, pengen makan ayam goreng mentega. Pria itu juga sangat mendekati idamannya; kumis tipis, dan badan yang sedikit berisi. Yah, seperti Dimas Lukman versi KW.

Ia menyukai beberapa pria lagi di aplikasi tersebut. Tiga hal yang dipertimbangkan Juni adalah; usia yang tidak terpaut terlalu jauh (karena ia pengin, sih, sugar daddy, tapi khawatir justru dapatnya sugar kakek), nama makanan di profilnya, dan kumisnya. Berkumis lebih baik. Baru saat akan memilih kandidat pasangan keempat, sebuah panggilan masuk ke ponselnya, mengalihkan perhatian Juni dengan serta merta.

Sempak is calling ....

Duh, Bapak-bapak satu ini menelepon lagi, batin Juni. Pak Samudera, yang biasanya ia panggil dengan Sempak saja sesuai arahan sang ibunda, tidak pernah menelepon kurang dari dua hari sekali, biasanya ia menghubungi setiap hari, bahkan hingga dua kali sehari.

Kali ini pun, kasusnya demikian. Hanya saja, tidak biasanya sang ayah menghubungi larut malam begini. Panggilan video pula. Juni menjawabnya setelah dering kedua.

"Halooo putriku yang cantik~" Seperti biasa, Sempak memulai dengan gombalannya.

Juni mengerutkan hidung. "Ada apa, Pap?" tanyanya. Yang membuat tidak hanya hidung, tetapi hingga keningnya berkerut adalah latar belakang video tersebut. Samudera tampak berdiri di depan pintu rumah, sambil sesekali menepuk nyamuk di pipinya. "Papa ngapain di luar? Banyak nyamuk!"

"Juni ... kamu kapan pulang?" Samudera justru membalas dengan suara memelas. "Tolongin Papa. Papa dikunciin di luar sama ibu kamu."

"Hah? Kenapa?"

"Gara-gara nggak ngebolehin makan martabak. Ya, kamu tahu kan, nanti kolesterolnya tinggi lagi! Ibu kamu nggak bisa dibilangin. Sekarang Papa diusir dari rumah."

Juni meringis. Kenapa orangtuanya ini drama sekali?

"Terus Papa mau tidur di luar?"

"Ya ... mau gimana lagi. Besok tolong checkout-in Papa tenda, dong. Buat jaga-jaga."

Helaan napas lolos dari bibir Juni. Ia memijat kepalanya. "Sini, biar Juni aja yang bicara sama Malin."

Pintu terbuka dengan keras di belakang Samudera, menampilkan sosok sang ibunda, Rindang. Sewaktu melihat foto masa muda ibunya, Juni berpikir dia mirip Rindang, dengan mata yang lebih besar menurut ayahnya. Ibunya itu tidak tampak jauh menua dari foto mudanya itu. Tentu, seiring usianya yang sekarang telah menyentuh kepala lima, ada kerutan di mata dan kening, juga garis senyum yang tidak bisa diabaikan, atau uban yang mulai mewarnai rambut hitamnya. Tetapi dia masih menyimpan kejayaan masa mudanya, hanya versi lebih dewasa, dengan rambut yang sekarang tidak lagi pendek, tetapi panjang sepundak dan seringnya digelung.

"Maliiiiin," rengeknya, kemudian sadar bahwa Rindang tidak begitu menyukai nama panggilan itu, ia pun menyengir dan cepat-cepat mengoreksi. "Ibunda sayang~ Sempak nggak diizinin masuk, banyak nyamuk, loh."

"Biarkhin! Ini masa Papa kamu melarkhang Mama makan markhtabak! Padahal dia kan tahu itu markhtabak adalah separkuh hidup Mama!"

Sembari mendengarkan ibunya mengomel dengan suara cadel, Juni diam-diam bersyukur Samudera sudah melatihnya melafalkan huruf R sejak berusia lima tahun.

"Ih, nanti Papanya kabur, loh, ke rumah janda sebelah," Juni berusaha mengompori sementara Rindang hanya mendengus kesal.

"Awas aja kalau berkhani!"

"Emangnya Mama nggak kesepian sendirian di rumah kalau Papa tidur di luar?"

"Nah, itu. Lagian kalau asam urat kamu kumat gimana? Aku kan kerja, Juni juga jauh. Nanti kalau sakit siapa yang nolongin?" Samudera berusaha membujuk, yang Juni lihat nyaris berhasil. Seandainya saja kalimat pamungkasnya tidak pernah diungkapkan. "Kamu sih, nggak mau punya anak lebih dari satu. Anak kita udah gede sekarang dan kerjanya jauh."

Setelah itu, Juni bahkan tidak ingin mendengar kelanjutannya. Hampir dapat dipastikan, Sempak tidur di luar malam ini.

Tidak seperti sahabat sepermainannya, Shua dan terutama Sheya yang punya saudara, Juni adalah anak satu-satunya. Ayahnya sebenarnya menginginkan anak lainnya, tetapi mengingat ibunya yang kesakitan ketika melahirkan, pria itu jarang mengungkitnya.

Dulu, karena kesepian, Juni mulai memelihara kucing, yang ia beri nama Snowy karena bulunya yang putih. Kucing itu yang menemaninya setiap waktu. Snowy sudah meninggal tujuh tahun yang lalu di usia dua belas tahun, dan sekarang hanya menyisakan cucu-cucunya, yang Juni sayangi seperti keluarga.

Begitu Juni memutuskan sambungan video, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya.

Budi likes you! Start chatting with him.

Mungkin ini saatnya. Menemukan seseorang untuk pergi bersama ke pernikahan Icha. Atau bisa jadi ... menemukan seseorang yang dapat menemaninya untuk waktu yang lebih lama. Menghilangkan rasa kesepian ini, yang telah berakar terlalu dalam.

***

Hope you enjoy this chapter ❤

Juju & Jojo~

See you again, soon~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top